Sementara Diva tidak lagi terlalu memperhatikan. Dia sibuk membalas pesan-pesan dari Nora dan Echa. Mereka kembali menanyakan keberadaannya, tanpa tahu dia sudah tiba. Sesekali Diva melirik Roma yang masih digendong Juna, dia juga melihat gadis kecil itu mencium prianya. Hanya di pipi sehingga dia membiarkan. Jika Roma sudah berani mencium Juna di bagian lain, jangan salahkan dia bertindak lebih. Diva juga mendengar apa yang dikatakan Roma, juga balasan perkataan Juna. Masih dalam tahap wajar baginya, meskipun dua kalimat pendek itu memiliki arti yang berbeda, dia hanya menanggapinya biasa saja. Dia percaya pada Juna, prianya mencintainya. "Selain ada Bunda sama Papa, di atas ada siapa aja?" tanya Juna pada Roma. Ia ingin memastikan mereka semua sudah berkumpul. Ia ingin membagi kebahagiaan bersama teman-teman dekatnya. "Ada Om Kevin, Tante Nora, sama Tante Echa juga," jawab Roma gembira. Dia selalu menyukai jika sahabat kedua orang tuanya berkunjung. Rumahnya akan ramai, tak lagi
Empat orang wanita dewasa duduk di satu sofa panjang, sedangkan tiga orang pria duduk di masing-masing single sofa yang tersisa. Sementara itu, Roma sudah diminta Helen untuk kembali ke kamarnya, obrolan serius mereka tidak boleh didengar oleh anak seusianya. Meskipun masih ada tersisa satu single sofa yang masih kosong, tetapi mereka tak ingin topik berat obrolan mereka akan merusak otak polos Roma, membuatnya dewasa di usia belia. Awalnya gadis kecil itu menolak, dia masih ingin di sini bersama om kesayangannya. Namun, setelah Juna membujuknya dengan berjanji akan mengajaknya jalan-jalan minggu depan hanya berdua saja, Roma langsung menurut, dan bergegas ke kamarnya. Tujuh orang dewasa itu hanya diam, tak ada satu pun dari mereka yang bersuara untuk memulai percakapan, bahkan setelah beberapa menit berlalu. Hanya denting lonceng angin yang ditiup angin yang terdengar. Mereka juga tidak bergerak selama itu, tetap duduk di posisi mereka masing-masing. Tatapan mereka tertuju pada be
Suasana yang tadi dipenuhi aroma kegembiraan seketika berubah. Perkataan Kevin sukses membawa atmosfer yang tidak menyenangkan. Wajah Juna mengeras, tak lagi santai seperti tadi. Diva juga tampak murung, dia masih trauma dengan semua kejadian itu. Sekarang dia tahu kenapa otaknya menolak untuk mengingat, pasti karena semua ini. Seandainya saja bisa, dia ingin tetap saja amnesia, lupa pada semua hal buruk yang menimpanya di masa lalu. "Gue juga mau ngomong kayak gitu tadi." Arsyi juga meringis. Sungguh, ia merasa tidak nyaman karena mengacaukan kebahagiaan mereka semua hari ini, tetapi bagaimanapun masalah itu adalah yang terpenting. Mereka harus menemukan pelaku itu agar dapat menyeretnya ke meja hijau. Tentu saja setelah Juna memberinya pelajaran yang ia yakin tidak akan bisa dilupakan orang itu seumur hidupnya. "Sorry to say, tapi kita emang harus ngebahas ini. Semakin cepat ditemukan, semakin cepat kita bisa nyeret dia ke penjara." Juna tak bereaksi, tetapi di dalam hati memben
Hilda Ambarwati adalah seorang pengacara yang bekerja di salah satu firma hukum ternama di Jakarta. Dia memiliki klien seorang pebisnis ternama di tanah air. Saat ini sang pebisnis sedang melakukan perjalanan bisnis bersama sekretarisnya, dan masih akan terus berada di luar negeri dalam waktu yang tak bisa ditentukan. Sang pebisnis yang juga merupakan salah satu rekan bisnis Juna ingin menjalin kerjasama. Berhubung dia tidak bisa bertemu dalam waktu yang dia sendiri tidak bisa menentukannya sementara kerjasama yang ditawarkannya termasuk kerjasama yang penting maka dia menyuruh pengacaranya yang tak lain adalah Hilda, untuk bertemu dengan Juna terlebih dahulu. Begitulah kata-kata Hilda yang ditirukan Kevin. Ia sudah mengatakan pada Hilda bahwa Juna masih belum bisa diganggu karena baru pulang dari luar negeri setelah mengurus bisnis, yang mana hanya alasannya saja. Ia tidak sepenuhnya mengarang, hanya pada bagian mengurus bisnis saja yang tidak benar. Mengenai urusan penting, itu a
[Juna setuju buat ketemu sama lu. Besok pas makan siang][Tempatnya lu aja yang nentuin. Juna bakalan datang]Hilda nyaris memekik saat membaca dua buah pesan yang masuk ke ponselnya sore itu. Cuaca yang sedikit tak bersahabat tak lagi dipedulikan. Kemacetan yang membuatnya masih belum tiba di rumahnya pun tak lagi membuatnya kesal. Semuanya terobati oleh dua buah pesan itu. Mendung yang menggelayuti langit ibu kota sejak beberapa menit yang lalu tak lagi membuatnya takut, juga kilatan-kilatan cahaya di langit bagian Utara. Dia terlalu bahagia untuk merasa takut. Perjalanan pulang yang lebih lama dari biasanya tak lagi dipedulikan. Senyum terus terukir di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna cherry, bahkan setelah dia sampai di rumahnya. Bergegas Hilda keluar dari mobil, setengah berlari memasuki rumah mungil yang terletak di salah satu komplek perumahan elit di ibu kota. Sebagai salah seorang pengacara yang cukup memiliki nama, tentu saja dia bisa membeli segalanya. Atasannya di
Reuni kejutan itu berakhir setelah makan malam yang diwarnai dengan sedikit insiden kecil, Roma merajuk tak ingin makan malam kecuali disuapi oleh Juna. Namun, Helen tak mengizinkannya. Dia tak ingin putrinya tumbuh menjadi gadis yang manja jika dituruti semua keinginannya. Arsyi pun mendukung Helen, pria itu meminta putrinya untuk makan sendiri. Juna yang awalnya ingin menuruti keinginan Roma, membatalkan niatnya melihat tatapan membunuh dari Diva. Selain itu, Helen juga melarangnya. Alhasil, Roma makan sendiri –tanpa disuapi– setelah menangis selama beberapa menit. Helen tersenyum melihatnya, dalam hati berharap semoga dia tidak salah dalam mendidik anak satu-satunya. "Aku mau ngomong sama Arsyi habis ini, Juna," kata Diva memberi tahu setelah selesai membantu Helen membereskan meja makan. Untuk bagian cuci piring dan semua peralatan masak, tugas Echa dan Nora. Sekarang kedua sahabatnya itu sedang sibuk mengerjakan tugasnya tersebut. Tak hanya Juna yang mengernyitkan alisnya, Ar
Ruang kerja Arsyi berukuran cukup besar karena tak hanya menampung set meja kerja dan rak buku, tetapi juga satu set sofa, dan dua set PC. Arsyi memilih ruang kerjanya sebagai tempat untuk mereka mengobrol karena ruang kerjanya termasuk bagian pribadi darinya. Dilihat dari sikap Diva, sepertinya wanita itu ingin berbicara serius mengenai putrinya, Evelyn Romansa Wiraatmadja. Entah ada apa sehingga Diva ingin membicarakan masalah Roma. Mungkin dia cemburu pada perhatian Juna terhadap putrinya, atau Diva ada melihat sesuatu yang lain. Sebagai seorang Ayah, instingnya cukup tajam. Ia juga sedikit khawatir dengan sikap manja Roma pada Juna, terkadang terlihat berlebihan. "Apa ada yang penting, Va?" tanya Arsyi setelah duduk di kursi kebesarannya. Diva dan Juna duduk di depannya, di kursi tamu. Meja kerjanya membatasi mereka. Diva berdeham satu kali sebelum membuka suara. Jujur saja, dia merasa sungkan mengatakannya. Namun, jika dibiarkan bisa-bisa Roma menjadi pelakor dalam hubungannya
Sebuah restoran bintang lima di sebuah hotel berbintang menjadi pilihan Hilda untuk makan siangnya bersama Juna. Menurutnya restoran ini sangat mendukung, mulai dari tingkat kemewahan sampai suasananya yang romantis. Dua buah kursi di setiap meja dengan gelas berisi lilin aromaterapi yang menyala menghiasi meja. Beberapa buah lampu kristal menggantung di langit-langit dengan cahayanya yang kuning keemasan, tidak terlalu terang, tetapi juga tidak redup. Suasana yang sangat mendukung untuk menyatakan perasaan. Sayangnya, mereka tidak akan membicarakan masalah pribadi, melainkan kerjasama bisnis yang akan terjalin.Belum, pikirnya. Belum saatnya dia mengatakannya pada Juna. Dia akan membuat Juna melihatnya dulu, kemudian mendekatinya. Setelah itu baru menyatakan perasaannya. Kali ini dia harus berhasil membuat Juna jatuh cinta padanya, dan bertekuk lutut jika perlu. Senyum Hilda merekah sempurna melihat sosok yang sedang dia tunggu melangkah ke arahnya. Entah Juna mengenalinya atau tid
Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s
Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da
Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons
Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di
"Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam
Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas
Senyum puas tercetak di bibir sexy Juna. Akhirnya, tetapi ini baru awal karena ia tidak akan berhenti sampai Hilda membusuk di penjara. Ponselnya berbunyi, Juna yang ingin mengomentari perkataan Arsyi mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk meraih ponsel dari kantong kemeja dan memeriksa siapa yang menghubunginya. Nama ayahnya tercinta tertera di layar. Juna kembali tersenyum, orang yang ditunggunya sudah tiba. Cepat ia menggulir ikon hijau ke kanan, menjawab panggilan itu. "Where are you? Nggak ada di rumah."Ternyata bukan Daddy, tetapi Mommy yang menggunakan ponsel ayahnya untuk menghubunginya. Ataukah ia yang salah membaca nama si penelepon? Alis Juna mengernyit, ia menjauhkan ponsel dari telinga guna memeriksa. Benar, ini nama ayahnya. Berarti benar Mommy yang menggunakan ponsel Daddy."Juna di rumah Helen, Mom!" sahut Juna sambil berdiri, melangkah keluar ruang kerja Arsyi yang sedikit lebih sesak dari terakhir mereka berkumpul. "Meriksa bukti video sekali lagi. Kevin udah
Suara dari layar lebar berukuran satu kali setengah meter terdengar mendominasi di ruang kerja Arsyi. Sementara tujuh pasang mata menatap nyaris tak berkedip pada layar yang menampilkan adegan berlatar belakang sebuah restoran mewah. Seorang wanita cantik terus meracau dengan kata-kata yang masih bisa ditangkap dengan jelas arti dan maksudnya. Wanita itu berada di bawah pengaruh alkohol sehingga semua hal yang disembunyikannya rapat-rapat, terbongkar oleh mulutnya sendiri. Tayangan berdurasi hampir satu jam itu berasal dari ponsel Juna yang dialihkan ke mesin proyektor. Tadi malam Kevin sudah menyalinnya ke dalam mikro film dan disket. Rencananya mereka akan memberikan disket kepada pihak berwajib sebagai bukti kejahatan yang sudah dilakukan oleh wanita di dalam layar tadi. "Kalo boleh gue jujur, sebenarnya gue agak kaget dia yang ngelakuin semuanya," komentar Nora setelah tayangan berakhir. "Gue emang nggak kenal sama dia, tapi selama yang gue liat dia cewek baik-baik. Maksudnya, p
Baiklah. Segala sesuatu memang bisa terjadi. Siapa pun orangnya bisa melakukan semua itu, tetapi untuk Hilda merupakan sebuah pengecualian. Ia memang tidak mengenalnya secara dekat, tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin. Sungguh, jika Kevin tidak melihat dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri, ia tidak akan memercayainya. Video berdurasi lebih dari tiga puluh menit itu diambil baru beberapa jam yang lalu. "Kayaknya sekarang dia masih belum sadar, masih pingsan di restoran tempat kita makan siang tadi." Kevin menatap Juna, meneguk ludah kasar melihat ekspresi tak terbaca di wajahnya. Mata karamel Juna memerah, tanda jika dia sedang menahan amarah. "Lu pasti juga nggak nyangka, 'kan, Vin, kalo yang kita cari selama ini adalah dia?" tanya Juna dengan gigi bergemeletuk. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis selembut Hilda bisa melakukan hal keji seperti itu, bahkan tanpa perasaan mengaku senang atas kabar meninggalnya Diva bersama bayinya. Hilda benar-benar seorang psikop