Waktu menunjukan pukul 18.30 WIB. Suara alat makan yang saling menghantam memenuhi ruang makan yang disesakki oleh suasana hening. Mayang menatap tajam pada anak laki-lakinya yang tengah menyantap hidangan tanpa menghiraukan pandangannya, meskipun Dimas tau sang ibu terus memperhatikannya sedari tadi. "Sudah baikan dengan Ramona?" tanya Mayang setelah sebelumnya meneguk air putih dari gelasnya.Dimas mengangkat kepala dan menoleh ke arah ayah dan ibunya secara bergantian. "Mama ngomong sama Dimas?" Dimas balik bertanya dengan mengangkat kedua alis."Mama tidak sedang bercanda, Dimas," ucap Mayang yang tetap bertahan pada ekspresi wajah datarnya."Baikan yang gimana maksudnya? Hubungan Dimas sama Mona baik-baik aja ko, Ma." jawab Dimas seadanya kemudian meneguk air."Mama nggak mau tau ya, kamu harus balikan sama Mona. Jauhi gadis kotor itu jika kamu masih menganggap Mama sebagai ibumu!" sarkas Mayang dengan sorot mata tajam di balik kacamatanya.Rasa lezat masakan yang ia kunyah berub
Seorang wanita tua menatap tajam seorang pemuda yang baru menampakkan batang hidungnya pagi ini. Dimas memutuskan untuk bermalam di kosan Dewi tadi malam. "Baru pulang?! Jangan bilang semalam kamu tidur dirumah gadis jalang itu ya!" hardik Mayang yang sama sekali tidak digubris oleh pemuda tersebut.Dimas memasuki kamarnya yang berada di lantai dua, dan bersiap sekedarnya untuk bekerja. Pria itu membasuh wajah dan menggosok gigi, dia memilih untuk melewatkan ritual mandi paginya. Dia berjalan keluar dari kamarnya begitu pakaian kerja rapi membalut tubuh."Dimas berangkat, Pa," pamitnya kepada sang ayah yang tengah membaca koran di teras. "Loh, nggak sarapan dulu, Dim?" pria tua itu mengangkat kedua alisnya."Nanti aja, Pa," jawab Dimas kemudian menghambur ke arah mobil miliknya. Tak berselang lama mobil itu melaju meninggalkan rumah. Mayang yang menyaksikan kepergian Dimas di ambang pintu, kini berjalan dan mengambil posisi duduk di kursi teras yang bersebelahan dengan suaminya. "A
Erin terjaga saat sebuah dorongan mengguncang bahunya. "Bangun, Rin, kamu ngga kerja?! Sudah jam enam," ucap seorang perempuan yang sedari tadi berusaha membangunkannya. "Emh? Sudah pagi?" tanya Erin sembari mengucek kedua matanya. Megan hanya memutar bola mata menanggapi ucapan Erin. Mood Megan berubah 180° semenjak ia mengetahui kebusukan Erin semalam. Ingin sekali Erin segera pergi dari ruangannya.Erin bergegas pulang untuk bersiap berangkat kerja, waktu masih tersisa 1 jam. Sepeda motornya dipacu dengan kecepatan tinggi agar segera tiba dirumah. "Bu ... kenapa semalam Ibu tidak pulang? Abel kangen Ibu." ucap lirih seorang gadis kecil berusia 3 tahun begitu Erin tiba dirumah. "Dari mana saja kamu?! Udah nggak ingat anak?! Abel nangis nyariin kamu semalaman!" hardik perempuan paruh baya yang mengenakan daster batik."Berisik! Baru juga masuk rumah, udah ngajakkin berantem!" sarkas Erin tak mau disalahkan.Perempuan paruh baya itu berjalan mendekat sembari mengendus-endus ke ara
Seorang wanita tua berjalan mondar-mandir sembari mengepalkan kedua telapak tanganya. Wajahnya nampak begitu gelisah. 10 menit yang lalu ia mendapat kabar bahwa Lusi sahabatnya akan pulang. Sudah menjadi sebuah tradisi, mereka berdua akan mengkhususkan 1 hari untuk bersenang-senang. "Nggak cape, Ma? Mondar-mandir, sudah seperti setrikaan," seru seorang pria dengan rambut yang mulai dipenuhi uban. Mayang mencebik ke arah suaminya. Perasaan gelisah itu kian menjadi, ia siap meluapkannya kepada sang suami kalau-kalau suaminya hendak berjalan mendekatinya.Dan benar saja, pria tua itu menuruni tangga dan memutuskan untuk mendaratkan pantatnya di sofa yang terletak tak jauh dari Mayang saat ini berpijak. Tanpa menghiraukan lagi sang istri, ia mulai membuka lembaran koran yang datang pagi itu. Sang istri yang merasa kesal berjalan mendekatinya dengan kaki yang dihentakkan. Dengan kasar Mayang merebut koran dari tangan suaminya."Papa itu harusnya peka! Istri lagi gelisah begini malah bikin
Keheningan yang mencekam terus saja meruang. Tak seorangpun dari mereka yang berusaha membuka percakapan. Dari kaca sepion tengah, Risman dapat melihat dengan jelas sang istri tengah melipat tangan di depan dada. Wajah cantik yang mulanya datang dengan riang, kini berubah muram bercampur amarah tak dapat disembunyikan. Laju kendaraan terasa begitu cepat meski pria berbadan tambun itu memperlambat laju kendaraan yang ia kemudikan. Astaga, apa yang akan aku katakan nanti jika Ramona menceritakan semuanya kepada Lusi? batin Risman yang kini merasa pikiranya seolah buntu. "Brakk! Duduk, dan jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Ramona!" seru Lusi seraya membanting pintu, membuat dua orang lain yang ada disana terperanjat kaget. Situasi rumah yang nyaman dipenuhi dengan atmosfer yang mencekam. Hal itu sangat nyata dirasa oleh gadis yang baru saja dinyatakan hamil. Ramona terus saja menunduk sembari mengepalkan kedua tanganya di atas lutut. Dia tidak dapat menemukan satu alasan pun untuk
Sebuah cangkir kosong nampak masih bertengger dimeja seorang pria berparas rupawan. Terlihat begitu rapih dengan dasi bergelayut diantara kerah baju. Bersandar dagu sembari termenung menatap sang pujaan hati yang masih berkutat dengan pekerjaannya sebagai gadis waiters."Dim, sudah lama?" sapa seorang pria pemilik cafe kehadirannya tidak disadari."Setengah jam yang lalu, Om," jawab Dimas sembari menegakkan badan. Pandangannya kembali memburu keberadaan si gadis. Membuat Roy tertawa ringan."Dia masih disana, nggak bakalan hilang," Dimas membuang nafas sembari meregangkan otot-ototnya. "Kejadian yang Dewi alami akhir-akhir ini membuat aku khawatir, Om.""Sebagai sesama pria, Om bisa mengerti kekhawatiran kamu, Dim. Tapi kamu tenang saja, Erin sudah tidak lagi bekerja disini." "Baguslah, Om. Minta ijin boleh nggak, Om? Aku sama Dewi ada perlu sebentar," "Oh, silahkan, Dim. Langsung pulang juga nggak papa. Dia bekerja terlalu keras hari ini." ucap Roy dengan gamblang. "Hehe, nggak en
Dewi meraba saku celananya saat dering ponsel mengusik konsentrasinya bekerja. Tertera nama Reni sebagai penelepon di layar benda pipih tersebut. Segera ia menyingkir dari keramaian agar dapat fokus mendengar apa yang hendak disampaikan lawan bicaranya. Meski kini ia tidak lagi satu tempat kerja dengan Reni, namun Dewi tetap berusaha menjaga hubungan pertemanannya dengan Reni agar tetap terjalin baik. "Hallo, Ren?" "Hallo, Wi! Apa kabar? Kamu nggak lupa kan sama aku? Sudah enak nih hidupnya, makanya udah nggak pernah ngasih kabar ke aku," ucap Reni dengan bibir mengerucut. "Maaf, Ren, akhir-akhir ini aku kerja soalnya. Kamu apa kabar?" tanya Dewi mengalihkan."Baik, Wi. Kebetulan aku lagi keluar, nih. Rencananya mau mampir ke kosan kamu.""Oh, iya Ren. Nanti aku share lok. Udah dulu ya? Aku mau lanjut kerja, da." Dewi mengakhiri percakapan telepon dan berniat untuk kembali bekerja. Sayup-sayup terdengar suara sumbang yang cukup memantik rasa penasarannya dari arah loker. Ia pun meng
Reni berjalan gontai disebuah trotoar. Deru suara kendaraan tidak membuatnya merasa sedikitpun terganggu, lebih tepatnya, tidak ia pedulikan. Berbalut pakaian cukup minim. Sebuah hotpants dan kaos bewarna putih ketat. Sudah menjadi umum jika banyak orang dijalan menubrukkan pandangan mereka padanya. Paha dan bagian tubuh atas terekspos begitu jelas. Sesekali pengguna jalan membleyer kendaraan dan berteriak menggoda, namun semua itu tidak cukup membuatnya merasa terhibur. Justru bertambah dongkol. Bayangan tentang Eva yang meledak-ledak terus berulang secara brutal di dalam kepalanya. Jika menelaah lebih jauh, memang pantas jika Eva begitu membencinya. Sesama perempuan, Reni bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Eva, namun itu tidak membuatnya urung merusak hari bahagia Eva. Cintanya terhadap pria bernama Riko membuatnya gelap mata, terlebih saat itu dia sedang mengandung janin hasil hubungannya dengan Riko. “Analoginya seperti kucing, Ren. Kucing nggak akan pernah nolak jika
Dimas menyusuri lorong rumah sakit dengan perasaan gelisah. Denga langkah seribu pria itu berjalan ke ruangan bersalin. Satu per satu kamar dia periksa demi mendapati sang istri, nyaris putus asa karena Dewi tak juga ditemukan. Kini langkahnya tiba di ruangan paling ujung. Pria itu menekuk lutut dengan kedua mata terpejam. Jantungnya memompa darah begitu cepat, bayangan dari rasa bersalah telah membiarkan istrinya yang saat ini sedang membutuhkannya terus berkelibat di kepala. Dewi tidak memiliki keluarga lain selain Dimas di kota itu. Suara rintihan dari seorang perempuan yang sangat familiar masuk ke dalam telinganya. Seketika kedua mata pria itu terbuka lebar dan menegakkan badan. Bergegas Dimas membuka gorden yang berada di sebelah kiri tubuh. Dilihatnya seorang wanita yang tengah menangis sembari berpegangan pada lengan Rina, salah satu karyawati di perusahaan tempatnya bekerja."Sabar, Bu. Bu Dewi pasti kuat." wajah wanita itu terlihat panik. Dia belum memiliki pengalaman mela
Di ambang pintu berpegangan pada kusen dan satu tangan mengelus perut yang terasa berdesir karena janin di dalam perut melakukan sebuah pergerakan, Dewi menatap nanar pada Dimas yang pergi berlalu melewatinya tanpa sepatah kata. Perasaan nyeri menyerang ulu hati mendapati sang suami beraut dingin, tidak sehangat biasanya. Dewi tidak menyangka jika Dimas akan semarah itu. Biasanya pagi-pagi sekali pria itu sudah mempersiapkan makanan untuk mereka sarapan, namun pagi ini terasa jauh berbeda dari biasanya. Hanya ada roti tawar dan selai kacang di balik tudung saji. Tidak ada lagi baki berisi beragam menu masakan seperti kemarin. Pria itu pergi ke tempat kerja tanpa berpamitan (walau di waktu lalu ucapan pamitnya kerap kali dibalas ketus, bahkan seolah terkesan Dewi abaikan), tetapi Dewi merasa lega. Keberadaannya masih berada dalam jangkauan perhatian pria itu. Tetapi itu kemarin, entitasnya saat ini seperti sebuah mahluk tak kasat mata. "Ini semua salahku. Seharusnya sejak awal aku m
Pagi itu Dewi bangun dan mendapati sarapan sudah tersedia di atas nakas di samping tempat tidur. Dimas menjadi suami siaga semenjak tahu istrinya hamil. Pria itu selalu menyempatkan diri untuk memasak jika waktu subuh tiba, atau membeli masakan di warteg jika dia tak sempat. Hal itu dilakukan Dimas tanpa pamrih, meski hingga hamil memasukki trimester terakhir pun Dewi masih hemat bicara dengannya. Segala sikap dingin Dewi diakari oleh kesalah pahaman Dewi terhadap Dimas dan Anggita. Pria itu hampir putus asa. Berulang kali Dimas menjelaskan, jika antara dirinya dengan Anggita tak ada hubungan sepesial, namun hanya punggung sang istri yang dia dapat. Perlahan Dewi beringsut mendekati nakas tanpa ada keinginan untuk melepas pantat yang menempel pada benda yang ada di bawah tubuh. Perlahan dia mengambil baki makanan dengan sangat hati-hati, khawatir jika makanan di dalamnya tumpah. Namun alis tebalnya tiba-tiba bertaut, mendapati secarik kertas di sekatan baki logam.'Mas sudah siapka
Akhir-akhir ini Dewi merasa tidak enak badan. Tubuhnya mudah lelah, nafsu makan berkurang, mual disertai sakit kepala, bahkan tak jarang gadis itu muntah. Gejala-gejala tersebut selalu datang mengganggu harinya, dan semakin parah di waktu pagi.Sudah selama satu minggu Dewi tinggal di kosan Eva, Dewi enggan untuk kembali pulang. Rasa kecewanya terhadap Dimas yang membabi buta menjadikan dia lupa atas segala kebaikan sang suami."Wi, apa kau tidak ingin memeriksakan kondisimu ke dokter?" tanya Eva dengan raut wajah menunjukkan kekhawatiran. Gadis itu membaca gejala-gejala kesehatan yang Dewi alami akhir-akhir ini sebagai tanda kehamilan. Namun, melihat kondisi hati sahabatnya yang masih didera kecewa, Eva tidak ingin mengatakannya terlebih dahulu. Biarkan Dewi mengetahui sendiri."Tidak, Va, aku baik-baik saja." jawab Dewi yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah menumpahkan isi perutnya, bubur ayam yang menjadi sarapannya pagi ini.Jelas sekali gadis itu berbohong. Wajahnya yang
Dewi langsung memeluk Eva saat gadis itu muncul dari balik pintu. Membuat gadis itu terkesiap, dengan kehadiran Dewi yang tanpa aba-aba siang itu.Alis Eva bertaut, apa yang sudah membawa sahabatnya ini datang? Melihat gadis itu menangis terisak, Eva tahu betul, Dewi sedang tidak baik-baik saja saat ini. "Kita bicarakan di dalam ya?" bujuk Eva kepada Dewi yang langsung berbalas anggukan. Eva kembali di hadapan Dewi dengan segelas air. Dengan bibir mengulas senyum, Eva menyerahkan gelas berisi air tersebut kepada Dewi. "Kamu minum ya?" kembali Eva membujuk Dewi saat menyerahkan segelas air putih kepada perempuan itu. Dewi mereguk air minum sekali tandas. Menangis sepanjang hari benar-benar membuat tenggorokannya kering. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Eva dengan hati-hati. Pembawaan gadis bertubuh jangkung tersebut terdengar sangat hangat, sehingga Dewi tanpa ragu menceritakan masalah yang dia alami kepada Eva. "Rumah tanggaku ... sedang tidak baik-baik saja saat ini." ucap D
Tiga hari berlalu setelah bertemu dengan Risman wajah Dewi berangsur-angsur membaik. Bekas lebam sudah semakin memudar, hanya perlu sedikit polesan make up untuk menutupinya. Dewi segera menyusul Dimas di ruang makan seusai ia memantas diri. Seperti yang Dimas katakan tempo hari, Dimas mengijinkan Dewi untuk ikut ke tempat kerja.Aroma wangi yang menguar membuat pria yang sibuk berkutat dengan alat makan mengangkat wajah. Pandangannya menatap wanita yang berjalan mendekat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wanita itu terlihat bertambah cantik setiap harinya. Lama Dimas memperhatikan Dewi yang diam mematung setelah menyadari pandangan sang suami seolah melekat pada tubuhnya. “Ada yang aneh?” tanya Dewi sembari melempar tatapan ragu. Takut jika karyawan di kantor tempat Dimas bekerja menilai penampilannya norak.“Engga, Sayang. Buruan makan.” Jawab Dimas datar lalu kembali dengan sarapannya.Dewi mendengus pelan. Disaat seperti ini dia membutuhkan saran atau pujian dari Dimas. Tapi pr
“Aduh, Mas, pelan-pelan, sakit,” Dewi meringis kesakitan saat Dimas mengompres pipinya dengan handuk kecil yang sebelumnya dicelup dalam air dingin.Tamparan perih yang Risman daratkan pada wajah wanita itu menyisahkan lebam. Sudah bisa dipastikan tamparannya begitu keras.“Lagian. Kenapa sih, pake bersihin halaman segala. Kan kita bisa suruh orang buat bersihin.” Jawab Dimas sembari mengulangi kegiatan yang sama. Mengompres pipi yang sering dia ciumi. “Hih. Aku itu bosen, Mas, karena nggak ngapa-ngapain. Kamu sih, enak, kerja di kantor, ketemu teman-teman. Ada yang daiajak bercanda. Lah aku?” Dewi mengarahkan telunjuk pada wajahnya yang memperlihatkan ekspresi kesal.Dimas menggeleng pelan mendengar alasan istrinya. Setelah menikah, Dewi mulai agak cerewet, tidak semalu dulu. “Kan bisa cari hiburan, nonton video youtttup mungkin.”Dewi menghembuskan nafas pasrah. Setelah diingat, memang benar apa yang Dimas katakan. Dunia ini tidak bisa diarunginya dengan aman tanpa pria itu disisih
Dimas mengerjap beberapa kali saat netranya tidak menemukan raga sang istri disebelahnya. Sayup-sayup terdengar suara wajan dan serok beradu. Pria bertubuh tinggi itu berjalan ke arah sumber suara. Di dapatinya sang istri sedang memasak, masih menggunakan lingerie berwarna hitam yang dipakai semalam. Pria itu tersenyum melihat kelakuan istrinya. Aroma lezat masakan menguar di dapur minimalis bernuansa klasik tersebut. Dari belakang Dimas memeluk tubuh wanita tersebut. Membuatnya terperanjat, nyaris melempar alat masak yang saat ini ada dalam genggamannya. Untung Dewi cepat sadar. Seandainya reflek ia melempar alat masak tersebut, bisa=bisa wajah tampan suaminya ternoda dengan lepuhan minyak.“Kaget ya?” ucap Dimas sembari membelai leher jenjang istrinya dengan bibir dan hangat hembusan nafas.“Kagetlah, kamu tiba-tiba nongol begitu,” gerutu Dewi atas kemunculan Dimas yang datang tanpa terdengar suara derap kakinya. Dimas tersenyum sembari membelai gemas rambut istrinya yang diikat eko
Dimas menyusuri jalanan ramai dengan hati yang gelisah. Berulang kali ia mengusap kasar wajahnya. Baru saja pria itu menerima kabar kalau ibunya jatuh sakit. Perasaan bersalah kepada wanita yang telah melahirkannya pun muncul. Dimas memutuskan untuk keluar dari rumah sejak Mayang mengancam tidak akan lagi menganggapnya sebagai anak jika Dimas masih menjalin hubungan dengan gadis yang dianggapnya rendahan itu. Didalam ruangan yang didominasi warna putih seorang wanita tua yang amat ia kenali langsung menghadap kanan memunggunginya begitu Dimas menampakkan batang hidung. Dalam hati, Mayang merasa sangat senang dengan kedatangan Dimas. Mungkin putranya merasa menyesal dan bersedia meninggalkan gadis murahan itu saat mengetahui kondisi kesehatanya menurun.“Apa kata dokter, Pa?” tanya Dimas kepada ayahnya yang sedari awal menyambutnya dengan hangat.“Biasa, Dim. Darah tinggi Mama kamu kumat.” Jawaban Suhendar disambut dengan decahan oleh Mayang.Dimas menarik nafas dalam setelah mendengar