“Malem, Tante.” Aileen menemukan ibu Gama sedang sibuk mengawasi ART yang menyiapkan makan malam.“Eh, Leen. Masuk sini. Ini tadi mama kamu kenapa kirim makanan banyak banget? Nggak usah repot-repot harusnya.”“Nggak apa-apa, Tante.”“Duh, tiga hari lagi rasanya kok lama, Tante nggak sabar pengen keluarga kita resmi ketemu kalo gini.”Aileen hanya melemparkan senyum. Tiga hari lagi harusnya bukan waktu yang lama. Terlalu cepat malah baginya.“Ayahnya Gama lagi nonton TV di dalam. Gama, anterin Aileen ketemu Ayah,” perintah Trias kepada anaknya. “Nanti Ibu susul abis ini beres.”Tanpa ragu Gama menggandeng tangan Aileen. Gama yakin kalau ayahnya juga akan menyukai Aileen. Ia hanya malas saja bertemu ayahnya. Akan tetapi rasanya tidak sopan kalau di acara pertemuan dua keluarga nanti ayahnya tidak ikut serta hanya karena perasaan pribadinya terhadap sang ayah.“Yah, ada Aileen.”Fahri—lelaki yang sedang menonton televisi itu seketika menoleh dan menatap perempuan yang dibawa anaknya unt
"Kupikir kamu bakal nyerahin semuanya ke aku karena males milih atau karena menurutmu nggak penting.”Aileen berdiri mematung di hadapan Gama. Apa yang dikatakan Gama memang sempat terlintas di pikirannya. Tadinya, dia malas ikut Gama ke toko perhiasan untuk memilih cincin pernikahan mereka. Namun setelah dipikir-pikir lagi, itu cincin yang akan dikenakannya. Setidaknya cincin itu harus benar-benar pas, nyaman dipakai, dan cantik untuk dipamerkan.“Kalo aku nggak ikut, ntar kamu salah ukuran. Jangan-jangan ntar kamu mesen pake ukuran jari mantan kamu. Lagian kamu kan nggak tau seleraku gimana.”“Aku belum pernah ya ngajak mantanku nyari cincin. Lagian emangnya kamu tau siapa aja mantanku?”“Ada pramugari, ada astrada, yang terakhir artis yang sekarang lagi dapet project film di luar. Dan yang terakhir ini yang sahabatnya Kak Beta. Bener nggak?”Gama mengerjap pelan. Ia kaget karena Aileen bisa menyebutkan daftar mantan pacarnya, meskipun harusnya ia tidak perlu terlalu heran. Aileen p
“Kak, nggak tidur kan?” Yara memperhatikan kakaknya yang sejak tadi lebih sering memejamkan mata—sesaat setelah mengenakan kebaya, saat di-make up, hingga saat semua orang telah meninggalkan mereka di kamar, berdua saja. “Kakak nggak bisa tidur ya semalem? Tegang, Kak?”Yang Yara tidak tahu, Aileen sedang menata pikirannya, bukan mengantuk seperti yang disangka Yara. “Ya tegang lah, Dek. Cewek mana yang mau lamaran nggak tegang? Ntar kamu juga gini.”Yara mengerucutkan bibir. Hubungannya dengan Adam saja masih tidak ada kejelasan. Manalah berani ia berpikir sampai tahap lamaran. “Jangan tegang, Kak. Baru lamaran doang kan, belum akad nikah,” ledek Yara.Aileen hanya bisa menggeleng pelan. Yara tidak akan memahami perasaannya saat ini.Rasanya, Aileen saat ini seperti sedang melangkah di atas jurang, menggunakan jembatan dari bambu yang rapuh. Sekali saja ia terpeleset, atau salah memijak, kehidupannya ia pertaruhkan.“Kak Gama kan baik banget, Kak. Dulu aku pernah dianterin dia pulang
“Mana yang katanya jago debat? Kenapa cuma ngangguk doang? Padahal udah nunggu-nunggu suaramu keluar.”Keduanya sedang berada di taman samping, tempat berbagai makanan dihidangkan di meja-meja panjang.Bagi Aileen, Gama memang menyebalkan, harus ia akui itu. Namun, belum pernah ia sekesal ini, akibat Gama yang tidak berhenti meledeknya sejak tadi. Dia memang tidak menjawab permintaan Gama dengan kata-kata. Entah ke mana larinya kemampuan adu mulut yang dikuasainya. Alih-alih menjawab, Aileen hanya mengangguk mengiakan permintaan Gama untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. “Tau gitu tadi nggeleng aja,” sahut Aileen.Sebuah senyuman membingkai bibir Gama. “Jangan dong.”“Trus, sejak kapan kamu punya tanggal pernikahan? Kenapa nggak bilang-bilang aku?”“Surprise!”Aileen menarik satu sudut bibirnya sambil mendengkus. “Ok, aku cukup terkesan. Silakan diurus semuanya dalam satu setengah bulan.”“Aman. Aku produser, Leen. Kenalanku make up artist, dekor, sampe desainer semua ada. Kam
“Ara!” Adnan yang pertama kali menyadari kehadiran sesosok wanita di balik pintu yang sedikit terbuka. Merasa keberadaannya telah terpergok, Ara membuka pintu lebih lebar, lantas masuk ke ruangan dengan pencahayaan remang itu. “Hai.” Dengan refleks, Adnan berdiri dan memberikan tempatnya semula untuk Ara. Karena selama bertahun-tahun di situlah posisi Ara—di samping Gama. “Kapan nyampe Jakarta?” “Kemaren,” jawab Ara sambil tersenyum. Ia pun sama sekali tak canggung untuk duduk di samping Gama, seperti yang selalu ia lakukan sebelum hubungan mereka berakhir. Gama membeku di tempat. Ia tidak sepenuhnya bisa mengerti apa yang sedang dirasakannya. ‘Oh, jadi gini rasanya kecewa, lega, seneng, kesel, campur semua jadi satu!’ “Apa kabar, Gam?” Ara mengambil kesempatan selagi Adnan dan Arga memesan camilan dan minum untuk mereka. “Baik. Nggak pernah lebih baik dari hari ini.” Arabella yang biasa dipanggil Ara—seorang perempuan muda dengan karir sebagai salah satu aktor yang mulai meramb
“Leen!” Vania mengulang sekali lagi memanggil Aileen karena Aileen tak kunjung menyahutinya. “Bu Aileen.” Kali ini Vania menambahkan ketukan di meja kerja Aileen agar atasannya itu sadar akan keberadaannya.“Eh? Apa?”Vania menarik napas dalam-dalam. Meskipun mereka berteman, di dalam kantor Aileen tetap atasannya dan ia selalu (sebisa mungkin) menjaga profesionalitas di lingkup pekerjaan. “Ada yang lagi dipikirin? Ada yang perlu kukerjain lagi?”Aileen menggeleng cepat. Ia tadi memang sedang melamunkan sesuatu yang mengganggu pikirannya.Apalagi kalau bukan sosok perempuan yang hendak membeli unit apartemennya. Andai papanya belum memberitahukan daftar mantan pacar Gama kepadanya, ia pasti hanya akan mengenali sosok perempuan itu sebagai seorang aktris yang mulai merambah dunia internasional. Akan tetapi, karena ia telah membaca daftar mantan pacar Gama, jelas ia tak hanya melihat Arabella tanpa menyangkutpautkannya dengan Gama.Apa salah kalau ia memiliki kecurigaan karena Arabella
“Aileen, kamu di mana?”Aileen sontak terkesiap saat mendengar pertanyaan Gama dari seberang sambungan telepon. Ia mengedarkan pandangan melalui kaca jendela mobil, lantas mengumpat sejadi-jadinya. “Shit! Shit! Oh, God! Ngapain gue di sini?”“Leen!”“Gam—”Di ujung sambungan telepon, Gama mengernyit mendengar Aileen mengumpat lantas memanggilnya seperti orang kehilangan arah.Entah mengapa sepulang kerja, Aileen malah mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit di mana Bara sedang dirawat. Sebenarnya apa yang sedang ia pikirkan? Apa ia terlalu khawatir sampai-sampai membuatnya kembali ke rumah sakit?“Leen. Di mana sih?”“Gam, kamu di mana? Bisa jemput aku nggak?”Saat menghubungi Aileen, Gama masih berada di kantornya. Ia memang berniat mengajak Aileen untuk makan malam bersama sembari membicarakan beberapa detail tentang acara pernikahan mereka. Siapa sangka Aileen justru bereaksi seperti itu dan justru membuat Gama khawatir. “Kamu di mana? Aku jalan sekarang.”“Jangan bawa mobil. Aku
"Aku tadi lewat restoran langganan kita. Aku inget kamu, jadi aku beliin ravioli kesukaan kamu." Ia mengangkat sedikit paper bag di tangannya untuk menunjukkan kalau ia benar-benar membawa sesuatu untuk Gama. Gama sama sekali tidak berminat, bahkan untuk melirik apa yang ditenteng perempuan di hadapannya itu. "Dari mana kamu tau aku tinggal di sini? Kak Beta?" Harusnya Gama tidak perlu pusing-pusing menebak, karena pasti kakaknya yang memberi tahu perempuan itu. "Gam. Aku cuma pengen kita tetep jadi temen baik meskipun hubungan kita udah berakhir." "Buat apa aku nurutin keinginan kamu kalau keinginanku dulu juga nggak pernah kamu turutin." "Sorry, Gam. I'm really sorry.Can we talk about it? Aku bisa nemenin kamu makan malam sambil--" "Ada calon istriku di dalam. Dan aku nggak mau dia salah paham." Gama menyentuh kotak sensor di handle pintu, hampir menekan pin sebelum ia berpesan sekali lagi kepada perempuan itu. "Jangan pernah lagi datang ke sini! Cuma calon istriku yang bebas ke
"Kamu serius?" Gama mengernyitkan kening setelah mendengar permintaan Aileen sore itu. Aileen mengangguk dengan wajah penuh harapnya. "Kenapa tiba-tiba?" Gama masih belum bisa menghilangkan rasa herannya. Meski memang sejak ada seorang putri menggemaskan di tengah-tengah mereka, Aileen jadi lebih lembut dan … hopeless romantic—kalau bisa Gama simpulkan dengan sebuah frasa. Dan Gama tidak pernah keberatan menghujani Aileen dengan keromantisan seperti yang diinginkan Aileen. "Pengen aja, Gam. Nggak mau ya?" Aileen tidak sadar kalau ia memperlihatkan rasa kecewanya karena Gama seakan menolak ajakannya. "Bukan nggak mau. Tapi semuanya pasti udah beda. Nggak bakal sama kayak dulu. Udah puluhan tahun kan." "Ya nggak apa-apa. Sekalian olahraga. Ya?" rengek Aileen. "Jarak segitu mana bisa disebut olahraga, Cinta. Kalau dulu aja kita kuat apalagi sekarang." "Tapi kan—” Aileen langsung terdiam saat Gama berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri. Ia akhirnya bisa terseny
“Kakek juga punya villa di Bandung, ngapain kita nginep di hotel?” Aileen mengerucutkan bibir kala mobil yang dikendarai sopir berhenti di depan sebuah hotel. Ya meskipun ia juga salah satu bisnis di bawah jaringan Candra Group, tetap saja ia lebih nyaman jika menginap di villa kakeknya. “Villanya Kakek lagi direnov kata Mama.” “Hah? Renov? Apanya?” “Cuma dirapi-rapiin aja dikit. Nanti kita ke sana kok, Mama minta tolong aku buat sekalian ngelihat hasilnya. Tapi sekarang kamu mesti istirahat dulu. Villa Kakek masih ke atas lagi kan, sekitar satu jam dari sini. Kita udah empat jam di perjalanan. Aku nggak mau kamu kecapekan, jadi kita mesti istirahat dulu.” “Iya kita lama di perjalanan itu karena kamu berkali-kali nyuruh sopir buat pelan-pelan.” “Kan biar Kakak nggak keguncang-guncang.” Aileen mengernyitkan kening. Kadang ia masih bingung dengan panggilan ‘Kakak’ yang disebut Gama. Pasalnya dari kecil pun ia dipanggil ‘Kakak’ oleh semua anggota keluarganya, termasuk mama dan papan
“Aku mau nikahin Aileen lagi.”Tiga orang di hadapan Gama—Ervin, Yara, dan Kemala—menatap Gama dengan bingung.“Maksudku, aku mau … semacam ngulang acara pernikahanku sama Aileen. Akad nikahnya sih nggak. Cuma perayaannya aja,” terang Aileen saat melihat ketiga orang di hadapannya benar-benar terlihat kebingungan. “Bisa bantu aku? Karena aku maunya ini jadi kejutan buat Aileen, aku nggak bisa nanya langsung dia maunya gimana. Kalian sebagai orang terdekat Aileen, pasti pernah dong denger gimana pernikahan impian Aileen.”“Emangnya itu bakal ngobatin sakit hatinya Kak Aileen?” sindir Ervin terang-terangan.“Mungkin nggak. Tapi aku mau mewujudkan pernikahan impian Aileen.”Gama sudah memikirkannya jauh-jauh hari. Mungkin ia tidak bisa mengobati sakit hati Aileen karena kelakuannya dulu yang menjadikan acara pernikahan mereka sebagai ajang balas dendam kepada mantan kekasihnya. Tapi setidaknya, ia ingin Aileen memiliki kenangan tentang acara pernikahan yang pernah Aileen impikan.“Jadi,
“Kak Beta, ini adeknya bisa dibawa pergi nggak? Apaan sih? Ngomong aneh-aneh,” gerutu Aileen. “Kamu pikir aku sejahat apa sampe bisa gugurin anakku …, kalau bener aku hamil. Aku bukan dia.”Gama menutup mulutnya, begitu juga dengan Beta yang entah mengapa merasa tersindir, padahal Aileen tidak berniat menyindir siapa pun. Ia hanya mengungkap fakta.“Kayaknya kalian perlu ngobrol. Aku tinggal ya, Gam. Kopermu nanti biar dianter orang ke rumahmu.” Beta lantas beralih ke Aileen. “Selamat ya, Leen. Jangan lupa cek lagi ke dokter.”Aileen hanya bisa mengangguk sambil menatap kepergian kakak iparnya itu. Ia masih malas melihat Gama yang ada di hadapannya, padahal berminggu-minggu sebelumnya ia benar-benar ingin bertemu dengan Gama.“Mau ke dokter sekarang? Kak Beta ada jadwal praktek jam dua. Tapi kalo kamu mau ke dokter lain, coba … biar aku tanya ke stafku di kantor, ada yang udah punya anak kok. Siapa tau dokter kandungannya bagus. Atau … tanya Mama—”“Gam.” Aileen menggeleng. “Jangan bi
"Gama!""Hm?"Kemala semakin menggeram kesal mendengar gumaman Gama. Jelas kalau Gama baru saja bangun tidur atau bahkan sekarang pun masih memejamkan mata setengah tidur."Lo tau kan kalo Aileen nggak enak badan? Lo tau kan kalo Aileen muntah-muntah?" sentak Kemala."Hm?""Bangun, Gam! Gue perlu ngomong serius sama lo."Aileen menatap kosong kepada Kemala. Ia sedang mengabaikan kenyataan bahwa Kemala sedang menghubungi suaminya karena ada kemyataan lain yang harus ia hadapi.Gama terkesiap. Ia kini benar-benar dalam mode siaga. "Aileen kenapa, Mal? Lo masih sama dia kan?""Udah gila ya lo? Denger istri lagi begitu bukannya pulang? Nggak mampu beli tiket lo? Apa urusan di sana lebih penting daripada istri lo?""Mal, Aileen kenapa?"Kemala masih berusaha menenangkan diri sambil mengatur napasnya. Di otaknya hanya ada sumpah serapah untuk Gama. Karena itu, ia tidak menjawab apa pun yang ditanyakan Gama. Fokusnya adalah mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada di kepalanya."Pulang lo pagi
“Kamu mau balik, Kak? Ngapain? Di rumah juga nggak ada orang kan.”“Kangen rumah, Pa,” jawab Aileen sembari ikut duduk di samping papanya dan bergelayut manja di lengan sang Papa.“Kangen rumah apa kangen suami? Belum pulang juga tuh si Gama? Emangnya nggak bisa nyempetin waktunya? Weekend gitu, pulang ke Jakarta sebentar. Cuma Kalimantan loh, bukannya Amerika.”“Masalah di tambang belum selesai, Pa. Kalo dia pulang, malah makin lama di sananya nanti,” jawab Aileen menenangkan sang Papa yang sepertinya mulai kesal.Apa itu artinya Aileen tidak kesal dengan suaminya?Jangan salah! Aileen juga kesal setengah mati karena Gama tidak kunjung pulang setelah satu bulan pergi ke Kalimantan. Kadang ia bahkan curiga kalau Gama memiliki perempuan lain di sana. Namun, sleep call yang mereka lakukan setiap malam tidak menunjukkan hal-hal yang mencurigakan."Ajak Bibi, atau Mbak, atau siapa pun dari sini, Kak. Mama sama Papa nggak tenang kalo kamu sendirian di rumah." Rhea menepuk punggung tangan A
“Dari mana lo yakin dia nggak akan balik lagi?” “Yakinlah, at least untuk sementara.” Kemala mengangguk pasti. “Kontraknya lima tahun. Lama ya tanda tangan kontraknya kalo diitung-itung, hampir satu tahun kan ya, setelah kalian depak dia dulu. Tapi sekarang lo bisa lega kan?” Aileen terkekeh. Memang lebih lama dari yang diperkirakannya. Ia dan Gama juga tidak terlalu mengurus kepindahan Arabella atau apa pun yang berkenaan dengan perempuan itu. Namun, pada akhirnya ada kepastian bahwa Arabella akan berkarir di luar untuk sementara waktu. Meski tidak ada yang namanya kontrak untuk selamanya. Suatu hari nanti, kemungkinan besar Arabella akan kembali lagi. Entah apa yang akan terjadi pada hubungannya dengan Gama ketika hal itu terjadi. Lima tahun lagi, mungkin saja hubungannya dengan Gama jadi lebih erat dengan hadirnya seorang anak. Atau … mungkin juga hubungannya jalan di tempat seperti sekarang karena ia yang masih merasa ragu dengan hubungan rumah tangganya. Ini bukan hanya tenta
“Beneran nggak ada kerjaan urgent?”Aileen mengangguk begitu mendengar pertanyaan Gama yang dilemparkannya berkali-kali sejak suaminya itu memintanya untuk ikut bertemu dengan Adit—suami Beta.“Mas Adit ngebolehin nggak ya kalo aku ngajak Risa ke rumah Ibu?” Gama menggaruk kepalanya yang tidak gatal.Perceraian Beta dan Adit memang masih dalam proses. Tapi karena Adit juga masih harus bekerja dan Adit tidak ingin Risa terkontaminasi dengan kelakuan buruk Beta, maka Adit membawa Risa ke Semarang untuk diasuh oleh orang tuanya. Itu juga yang sedang diperjuangkan Adit—hak asuh Risa.“Nanti kita coba yakinin, kalau niat kita cuma ngobatin kangennya Ibu, bukan mau ngambil Risa dan bikin Risa jauh dari Mas Adit.”Jam makan siang sudah hampir berakhir ketika Gama memarkirkan mobilnya di area parkir sebuah hotel.“Ayo, Mas Adit udah nunggu di lobby.”Benar seperti yang dikatakan Gama, Adit tengah duduk di sofa yang berada di lobby hotel sembari memangku Risa yang masih berumur dua tahun.“Hai
“Iklan yang itu cancel juga, Ra.”Arabella menatap manajernya dengan tatapan nyalang. “Gimana sih kamu? Gitu aja nggak becus! Udah berapa iklan yang cancel? Berapa acara yang juga cancel? Kamu bisa bayangin nggak seberapa besar kerugianku?”Jemmi menggaruk pelipisnya. Ia juga tidak bisa apa-apa ketika klien artisnya itu satu per satu memutuskan untuk mundur. Bukan ia tidak becus, tapi ia sudah mencoba negosiasi ulang, berkali-kali, tetapi tetap saja klien mereka memutuskan untuk membatalkan kontrak, baik yang sudah ditandatangani, atau bahkan yang masih tawar-menawar.“Turunin rate-ku deh,” ketus Arabella. Ia yakin banyak juga artis di luar sana yang menurunkan rate-nya di masa paceklik seperti dirinya sekarang. Ini bukan lagi perkara ‘yang penting dapur ngebul’. Kalau hanya untuk urusan hidup sehari-hari, tabungannya jauh lebih daripada cukup. Tetapi ini masalah eksistensi di dunia hiburan. Jangan sampai orang-orang lantas lupa ada seorang artis yang bernama Arabella.“Sudah, Ra. Kam