Bab 35: Tempaan di Ambang Kehancuran Langkah kaki mereka terdengar berat di lorong yang semakin sunyi setelah kepergian Ragnar. Bayangan ancaman yang ditinggalkan masih terasa di udara. Cahaya keris di tangan Arjuna mulai meredup, namun kehangatan dari senjata itu tetap ada, seolah menjadi pelindung terakhir mereka. Pak Budi berhenti sejenak, menghela napas dalam-dalam. "Kita tidak bisa terus berjalan dalam kondisi seperti ini," katanya sambil menatap mereka satu per satu. "Kalian semua butuh istirahat." Arjuna menggeleng. "Tidak, Pak. Kita harus terus maju. Ragnar bisa saja kembali kapan saja." Livia menaruh tangan di bahu Arjuna, suaranya lembut namun tegas. "Pak Budi benar. Kita sudah terlalu lelah, dan melanjutkan perjalanan tanpa tenaga akan menjadi bunuh diri." Bayu, yang kelelahan namun tetap berusaha tersenyum, duduk di lantai batu dingin. "Aku setuju dengan Livia. Lagipula, aku rasa kakiku sudah tak kuat lagi berdiri." Dani, yang masih gemetar, duduk di samp
Bab 36: Pengorbanan Seorang Guru Hujan rintik-rintik membasahi kota pagi itu, seakan langit turut menangisi tragedi yang melanda. Di dalam kantor polisi, suasana dingin terasa menusuk, bukan karena cuaca, melainkan karena beban yang dirasakan oleh mereka yang ada di sana. Arjuna, Livia, dan Pak Budi duduk di ruangan yang terpisah, masing-masing menghadapi penyelidikan yang menyesakkan dada. **Ruangan Interogasi Arjuna** Arjuna duduk di kursi kayu yang keras. Tangan gemetar, wajahnya basah oleh keringat dingin. Di hadapannya duduk **Inspektur Aditya**, sosok tegas berusia lima puluhan, dengan wajah penuh guratan pengalaman. "Arjuna Mahendra," suara Inspektur Aditya terdengar datar, namun tegas. "Bisakah kau jelaskan apa yang sebenarnya terjadi di hutan itu?" Arjuna terdiam. Tenggorokannya tercekat. Apa yang bisa ia katakan? Bahwa Ragnar, monster berwuj
Bab 37: Pertemuan Para Dewa Arjuna membuka matanya dengan pandangan kabur. Tubuhnya terasa ringan, seperti sedang melayang di udara. Namun, udara di sekitarnya bukan udara yang dingin dari ruang sidang, melainkan aroma tanah dan dedaunan yang menyegarkan. Ketika pandangannya mulai jelas, ia menyadari bahwa dirinya berada di sebuah hamparan tanah luas yang diterangi oleh cahaya keemasan. Di hadapannya berdiri Odin dengan jubah hitam panjang, tongkat Gungnir di tangan. Amaterasu berdiri di sampingnya, memancarkan cahaya lembut yang menenangkan. Namun, sosok yang paling menarik perhatian Arjuna adalah seorang pria bertubuh kekar, berambut pirang panjang, dengan palu besar tergenggam di tangan kanannya. Dada berototnya terbuka lebar, menampakkan aura kekuatan yang luar biasa. "Thor…" gumam Arjuna pelan, mengenali dewa petir dari mitologi Nordik. Thor menatap Arjuna dengan mata biru cerah dan menyeringai. "Jadi, inikah manusia yang dikatakan mewarisi kekuatan Ares?" suaranya ber
Bab 38: Di Balik Bayang-Bayang Pertempuran Kampus terasa seperti dunia yang berbeda sejak kejadian tragis itu. Suara-suara ramai yang dulu memenuhi lorong kini berubah menjadi bisikan penuh kehati-hatian. Keheningan menyelimuti suasana, seolah-olah seluruh tempat berduka atas kehilangan yang baru saja terjadi. Tidak ada lagi canda tawa Dani yang selalu menghidupkan suasana, atau semangat Bayu yang berapi-api. Semua telah berubah, dan Arjuna merasakannya lebih dari siapa pun. Arjuna berjalan perlahan di lorong kampus, matanya kosong menatap lantai. Pikirannya penuh dengan bayangan teman-temannya yang telah tiada. Ratna, Sarah, Dani, dan Bayu—semua tewas dengan cara yang begitu tragis. Bayangan tubuh mereka yang tergeletak di tanah, wajah mereka yang penuh luka, terus menghantui Arjuna setiap kali ia menutup mata. Livia menyusul dari belakang, langkahnya cepat namun penuh kehati-hatian. “Arjuna!” panggilnya dengan nada lembut, menyentuh bahu Arjuna untuk menghentikannya. Arjuna
Bab 39: Awal yang Baru Arjuna berjalan pelan di samping Livia, meninggalkan kampus yang sunyi. Kepergian Pak Budi masih menyisakan luka yang menganga di hati mereka, tapi di tengah keputusasaan itu, ada tekad baru yang lahir. Arjuna tahu, kehadiran Livia adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap waras. Namun, ia juga tahu bahaya masih mengintai, dan Livia adalah target berikutnya. Malam semakin larut, angin dingin bertiup lembut, tetapi Arjuna merasa ada kehangatan yang mengalir di sampingnya. Livia menatapnya, wajahnya tampak lelah, namun tetap memancarkan keteguhan. Mereka berjalan tanpa arah, hingga akhirnya tiba di sebuah apartemen kecil yang sederhana. Itu adalah tempat tinggal Livia. Saat mereka tiba di depan pintu apartemen, Arjuna berhenti, menghela napas panjang. "Livia... aku harus mengatakan sesuatu." Livia menoleh, alisnya terangkat sedikit. "Apa?" Arjuna menatapnya dalam-dalam, suaranya serius. "Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian. Dunia ini sudah terlalu
**Bab 40: Latihan dengan Raja Kera** Malam itu, meskipun Arjuna berusaha memejamkan mata, pikirannya terusik oleh pertemuan aneh dengan para dewa. Panggilan itu begitu nyata, seperti mimpi yang meninggalkan bekas di jiwanya. Namun, tubuhnya lelah, dan tanpa sadar, dia kembali terlelap dalam tidur yang dalam. Ketika Arjuna membuka matanya lagi, dia tidak berada di kamar. Tubuhnya berdiri di tengah padang hijau yang luas, dengan awan-awan berarak rendah di langit biru. Udara terasa segar, dan suara burung berkicau mengisi suasana. Tetapi, yang paling menarik perhatiannya adalah sosok yang berdiri tidak jauh darinya. Sosok itu adalah **Sun Wukong**, Raja Kera. Dia mengenakan baju zirah emas yang berkilauan, dengan jubah merah berkibar di punggungnya. Sebuah tongkat emas—**Ruyi Jingu Bang**—tertancap di tanah di sebelahnya, berkilauan dengan aura keemasan. Senyuman lebar terukir di wajahnya, penuh kejenakaan, namun matanya memancarkan kecerdasan tajam. "Selamat datang, Arjuna!" seru
Bab 41: Latihan Keras Waktu terasa berjalan dengan cara yang aneh di dunia para dewa. Arjuna tak lagi menghitung hari dengan melihat matahari atau bulan, karena keduanya tetap diam di tempat, seolah terjebak dalam keabadian. Namun, Sun Wukong terus menghitung. Setiap pagi, dia mengingatkan Arjuna berapa hari telah berlalu, seolah mengukur ketahanan muridnya. **Hari Keempat: Tubuh dan Jiwa Menyatu** Pada hari keempat, Arjuna telah memahami bahwa kekuatan sejati bukan hanya berasal dari tubuh, tetapi juga dari jiwa. Latihan hari itu dimulai dengan meditasi di tepi jurang, di mana Sun Wukong mengharuskannya duduk di atas batu kecil yang goyah. Angin bertiup kencang, membuatnya nyaris terjatuh beberapa kali. "Rasakan keseimbangan di dalam dirimu," Sun Wukong berujar, duduk di samping Arjuna tanpa bergeming sedikit pun. "Bukan hanya kaki, tapi jiwamu juga harus seimbang." Arjuna memusatkan pikirannya, merasakan aliran energi mengalir dari tubuh hingga ke pikirannya. Perlahan, dia
**Bab 42: Berlatih Lebih Keras** Setelah menyelesaikan latihan bersama Sun Wukong, Arjuna terbangun di dunianya dengan tubuh yang terasa lebih kuat dari sebelumnya. Namun, sebelum ia sempat menyusun napas, suara berat dan bijaksana bergema di kepalanya. "Arjuna, kini waktunya engkau belajar dariku lagi." Arjuna mengenali suara itu. Odin, dewa kebijaksanaan dan peperangan dari dunia Nordik. Sebelum ia dapat merespons, tubuhnya tiba-tiba terasa ringan, seperti ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat. Sekejap kemudian, ia mendapati dirinya berdiri di sebuah medan luas bersalju. Di hadapannya berdiri Odin dengan jubah hitam yang menjuntai, membawa tombak Gungnir di tangannya. "Selamat datang di Asgard," ucap Odin dengan suara penuh wibawa. "Kau telah menerima kekuatan, tetapi kau belum memahami bagaimana mengendalikannya. Itu sebabnya kau harus belajar seni strategi dan ketenangan dalam pertempuran." Arjuna menunduk hormat, mengingat bimbingan dari para dewa adalah anugerah ya
Bab 69: Serangan di Malam yang Tenang Arjuna dan Livia menikmati malam yang tenang di sebuah pondok kecil di tengah hutan, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kota. Udara malam terasa segar, ditemani suara gemerisik dedaunan yang bergerak lembut ditiup angin. Setelah peristiwa berat yang mereka alami, malam itu menjadi momen singkat untuk melepaskan beban yang mereka tanggung bersama. Livia, dengan tatapan lembut, menatap ke luar jendela, sementara Arjuna duduk di kursi dekat perapian. Mereka berbincang ringan tentang masa depan—tentang kemungkinan yang masih jauh dari jangkauan, tetapi tetap memberi mereka harapan kecil untuk terus bertahan. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama. Di kejauhan, bayangan gelap menyelinap di antara pepohonan. Kyle dan timnya telah tiba, bergerak seperti pemburu yang mengintai mangsanya. Mereka tahu betul bahwa pondok kecil itu adalah tempat persembunyian Arjuna dan Livia. Kyle berdiri di depan pasukannya: Lyra, Damos, Eryon, dan Velri
Bab 68: Rencana dalam Kegelapan Di dalam ruang tak bercahaya di benteng Sven, Kyle berdiri dengan tangan terlipat di belakang punggungnya, menatap peta yang terbentang di atas meja batu besar. Sekelilingnya, keheningan menggantung tegang, hanya dipecahkan oleh suara langkah berat ketika empat sosok memasuki ruangan satu per satu. Lyra, dengan rambut putih yang tampak membara seperti api, mendekati meja dengan gerakan anggun. Matanya yang berkilauan memancarkan keyakinan akan kekuatannya. Di belakangnya, Damos melangkah masuk dengan suara gemuruh, tubuh berbatu raksasanya hampir menyentuh langit-langit ruangan. Eryon, makhluk tanpa wajah yang tubuhnya bergerak seperti bayangan cair, muncul dari kegelapan tanpa suara, hanya meninggalkan getaran samar di udara. Terakhir, Velric memasuki ruangan, baju zirah hitam berlumuran darahnya memantulkan cahaya redup dari obor. Ia berjalan dengan ketenangan seorang ksatria yang tahu betul kekuatannya tak tertandingi. “Jadi, inilah merek
Bab 67: Luka yang Menorehkan Harga Diri Ruangan tempat Ragnar berbaring sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang menjadi pengiring waktu. Luka di tubuhnya belum sepenuhnya sembuh, meskipun perban yang membalut dada dan lengannya sudah diganti berkali-kali. Aroma obat memenuhi udara, menyatu dengan dinginnya lantai batu. Di luar, awan gelap menyelimuti langit, membuat suasana semakin muram. Ragnar mengerang pelan, mencoba mengangkat tubuhnya dari ranjang sempit yang ia tempati. Setiap gerakan kecil memicu rasa sakit tajam di otot dan tulangnya. Kekalahan dari Arjuna menjadi beban yang lebih berat daripada luka-luka fisiknya. Bukan hanya kekalahan itu melukai tubuhnya, tetapi juga egonya yang selama ini ia anggap tak tergoyahkan. Pintu ruangan terbuka perlahan, menciptakan suara berderit yang memecah keheningan. Kyle muncul dari balik pintu, wajahnya terlihat santai, tetapi tatapan matanya seperti elang yang mengamati mangsanya. Ia membawa secangkir kopi yang masih men
Bab 66: Di Bawah Langit yang Tenang Setelah pertemuan dengan para dewa, Arjuna kembali ke pondok sederhana di tepi hutan tempat ia dan Livia berlindung sementara waktu. Hembusan angin malam membawa kesejukan, menenangkan pikiran Arjuna yang masih dipenuhi dengan bayangan pertarungan dan pesan para dewa. Ia membuka pintu kayu pondok perlahan, dan di dalam, Livia tengah duduk di kursi dekat jendela, memandang bulan yang menggantung tinggi di langit. “Bagaimana?” tanya Livia lembut, menoleh ke arah Arjuna. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya tetap penuh perhatian. “Pertarungan ini masih jauh dari selesai,” jawab Arjuna, suaranya rendah. Ia menutup pintu di belakangnya, berjalan mendekat. “Semar dan para dewa memperingatkanku bahwa Sven sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang... mungkin akan mengubah segalanya.” Livia menghela napas pelan, tangannya menyentuh lengan kursi. “Arjuna, kau telah berjuang begitu keras. Tapi, kau juga butuh waktu untuk bernapas.
Bab 65: Perang yang Mendekat Hening menggantung di antara medan perang yang baru saja menjadi saksi kehancuran. Arjuna berdiri di tengah puing-puing, tubuhnya menggigil oleh sisa adrenalin yang masih mengalir deras. Kemenangan melawan Ragnar adalah bukti kekuatannya, tetapi juga pengingat akan bahaya yang lebih besar: Sven. Livia mendekatinya, wajahnya penuh kelegaan sekaligus kekhawatiran. Ia menggenggam tangan Arjuna dengan erat, seolah takut kehilangan dia lagi. “Arjuna, kau tahu ini belum selesai, kan?” Arjuna menatapnya, matanya yang biasanya tenang kini dipenuhi tekad. “Aku tahu, Livia. Sven sedang menunggu. Dia tidak akan tinggal diam setelah Ragnar kalah.” Malam itu, di perkemahan kecil yang mereka dirikan di pinggir hutan, Arjuna duduk di depan api unggun yang menyala redup. Livia tertidur di sisinya, kelelahan setelah hari yang panjang. Namun, pikiran Arjuna terus berputar. Ia tahu Sven adalah ancaman yang jauh lebih besar daripada Ragnar. Sven adalah penguasa
Bab 64: Keputusan yang Tak Terhindarkan Suara dentingan senjata masih menggema di udara saat pertarungan antara Arjuna dan Ragnar mencapai puncaknya. Setiap gerakan mereka menciptakan ledakan energi yang mengguncang tanah, menghancurkan pepohonan, dan membuat udara bergetar. Namun, meski telah menggunakan kekuatan Ares yang mengalir di dalam dirinya, Arjuna merasakan tekanan yang luar biasa. Ragnar bukanlah lawan sembarangan; ia bertarung dengan presisi mematikan dan kekuatan luar biasa, seperti predator yang bermain-main dengan mangsanya sebelum memberikan pukulan terakhir. Livia berdiri di kejauhan, menggenggam tangan di depan dadanya dengan wajah penuh kecemasan. Ia ingin berteriak, ingin memberikan dukungan kepada Arjuna, tetapi suaranya tertahan oleh rasa takut yang mencekam. Ia tahu bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Ragnar adalah monster, kekuatan yang jauh melampaui batas manusia biasa. Namun, ia juga tahu bahwa Arjuna adalah satu-satunya harapan yang mereka mil
Bab 63: Bayangan yang Semakin Menggelap Malam itu menjadi saksi bagaimana Arjuna bertempur mati-matian melawan bayangan gelap yang mencoba membawa Livia. Cahaya biru dari kristal di tangannya mulai meredup, namun ia tetap berdiri dengan tubuh penuh luka. Nafasnya memburu, tapi matanya menyala dengan tekad. “Livia, kau harus pergi sekarang!” Arjuna berteriak sambil menahan satu bayangan yang menyerangnya dengan cakar hitam yang tajam. Livia memandangnya dengan mata penuh kekhawatiran. “Aku tidak akan meninggalkanmu, Arjuna!” Namun, sebelum Livia sempat melangkah, salah satu bayangan melesat cepat ke arahnya. “Tidak!” Arjuna melompat ke depan, mengayunkan tinjunya yang berselimut cahaya biru. Bayangan itu hancur seketika, tetapi sisanya semakin agresif, mengepung mereka berdua. “Ini bukan pertarungan yang bisa kita menangkan,” suara Ares bergema dalam pikiran Arjuna. **“Kita harus mundur sementara, atau kau akan kehilangan segalanya!”** “Lalu aku harus pergi ke mana?
Bab 62: Awan Gelap yang Menggantung Arjuna duduk di sisi tempat tidurnya, menatap jendela yang terbuka lebar. Angin pagi berembus lembut, tetapi ada sesuatu yang berat menggantung di udara. Mimpi yang baru saja dialaminya masih membekas kuat, seperti sebuah luka yang sulit sembuh. Livia sudah kembali tidur, tubuhnya terbungkus selimut hangat. Melihatnya dalam keadaan damai seperti itu membuat hati Arjuna terasa lega, tetapi pikirannya tetap kacau. Ia tahu Sven sedang merencanakan sesuatu. Mimpi itu bukan sekadar gambaran acak, melainkan sebuah pesan—peringatan tentang apa yang akan datang. Ia merasakan kehadiran Ares di dalam dirinya, membara seperti api yang siap membakar. **"Kau merasa itu nyata karena memang nyata,"** suara Ares terdengar, bergema di benaknya. **"Apa maksudmu?"** balas Arjuna dalam pikirannya. **"Mimpi itu bukan hanya pesan, tetapi sebuah celah kecil ke dalam rencana mereka. Sven ingin mematahkanmu sebelum pertarungan yang sebenarnya dimulai. Kau tidak bis
Bab 61: Rencana Gelap di Dunia Bawah Kedalaman dunia bawah selalu sunyi, tetapi bukan sunyi yang tenang—melainkan sunyi yang memekakkan, seolah-olah seluruh dunia itu menyembunyikan jeritan yang tidak pernah selesai. Di sebuah istana besar yang berdiri di atas lautan lava yang mendidih, Sven duduk di takhta hitamnya, wajahnya memancarkan kebencian yang mendalam. Di hadapannya berdiri Ragnar, bawahannya yang paling setia, tetapi juga yang paling kejam. “Semuanya berjalan sesuai rencana,” Ragnar membuka pembicaraan dengan suara penuh keyakinan. “Teman-teman Arjuna sudah kita singkirkan. Sekarang dia hanya memiliki Livia, satu-satunya kelemahan yang tersisa.” Sven tersenyum tipis, senyum yang tidak menunjukkan kegembiraan, melainkan ancaman. “Kehilangan mereka sudah cukup untuk mengguncangnya, tetapi tidak cukup untuk menghancurkannya sepenuhnya. Aku ingin dia tidak hanya kehilangan orang-orang yang ia cintai, tetapi juga kehilangan dirinya sendiri. Kau tahu apa yang harus kita l