**Bab 40: Latihan dengan Raja Kera** Malam itu, meskipun Arjuna berusaha memejamkan mata, pikirannya terusik oleh pertemuan aneh dengan para dewa. Panggilan itu begitu nyata, seperti mimpi yang meninggalkan bekas di jiwanya. Namun, tubuhnya lelah, dan tanpa sadar, dia kembali terlelap dalam tidur yang dalam. Ketika Arjuna membuka matanya lagi, dia tidak berada di kamar. Tubuhnya berdiri di tengah padang hijau yang luas, dengan awan-awan berarak rendah di langit biru. Udara terasa segar, dan suara burung berkicau mengisi suasana. Tetapi, yang paling menarik perhatiannya adalah sosok yang berdiri tidak jauh darinya. Sosok itu adalah **Sun Wukong**, Raja Kera. Dia mengenakan baju zirah emas yang berkilauan, dengan jubah merah berkibar di punggungnya. Sebuah tongkat emas—**Ruyi Jingu Bang**—tertancap di tanah di sebelahnya, berkilauan dengan aura keemasan. Senyuman lebar terukir di wajahnya, penuh kejenakaan, namun matanya memancarkan kecerdasan tajam. "Selamat datang, Arjuna!" seru
Bab 41: Latihan Keras Waktu terasa berjalan dengan cara yang aneh di dunia para dewa. Arjuna tak lagi menghitung hari dengan melihat matahari atau bulan, karena keduanya tetap diam di tempat, seolah terjebak dalam keabadian. Namun, Sun Wukong terus menghitung. Setiap pagi, dia mengingatkan Arjuna berapa hari telah berlalu, seolah mengukur ketahanan muridnya. **Hari Keempat: Tubuh dan Jiwa Menyatu** Pada hari keempat, Arjuna telah memahami bahwa kekuatan sejati bukan hanya berasal dari tubuh, tetapi juga dari jiwa. Latihan hari itu dimulai dengan meditasi di tepi jurang, di mana Sun Wukong mengharuskannya duduk di atas batu kecil yang goyah. Angin bertiup kencang, membuatnya nyaris terjatuh beberapa kali. "Rasakan keseimbangan di dalam dirimu," Sun Wukong berujar, duduk di samping Arjuna tanpa bergeming sedikit pun. "Bukan hanya kaki, tapi jiwamu juga harus seimbang." Arjuna memusatkan pikirannya, merasakan aliran energi mengalir dari tubuh hingga ke pikirannya. Perlahan, dia
**Bab 42: Berlatih Lebih Keras** Setelah menyelesaikan latihan bersama Sun Wukong, Arjuna terbangun di dunianya dengan tubuh yang terasa lebih kuat dari sebelumnya. Namun, sebelum ia sempat menyusun napas, suara berat dan bijaksana bergema di kepalanya. "Arjuna, kini waktunya engkau belajar dariku lagi." Arjuna mengenali suara itu. Odin, dewa kebijaksanaan dan peperangan dari dunia Nordik. Sebelum ia dapat merespons, tubuhnya tiba-tiba terasa ringan, seperti ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat. Sekejap kemudian, ia mendapati dirinya berdiri di sebuah medan luas bersalju. Di hadapannya berdiri Odin dengan jubah hitam yang menjuntai, membawa tombak Gungnir di tangannya. "Selamat datang di Asgard," ucap Odin dengan suara penuh wibawa. "Kau telah menerima kekuatan, tetapi kau belum memahami bagaimana mengendalikannya. Itu sebabnya kau harus belajar seni strategi dan ketenangan dalam pertempuran." Arjuna menunduk hormat, mengingat bimbingan dari para dewa adalah anugerah ya
Bab 43: Terus Berlatih Setelah seratus hari yang penuh tantangan berlatih bersama Shiva, Arjuna merasakan perubahan signifikan dalam dirinya. Energi ilahi yang ia kuasai kini terasa lebih stabil, namun ia sadar masih ada banyak hal yang belum ia pahami. Shiva, dengan suara dalam dan penuh wibawa, memandang Arjuna dengan bangga, tetapi juga dengan keseriusan yang tak tergoyahkan. “Latihan ini baru permulaan, Arjuna. Untuk menghadapi Sven dan pasukannya, kau harus menguasai kekuatan lain yang akan membantumu menyelaraskan kekuatan ilahi dengan jiwa manusiamu,” ujar Shiva sambil menatap cakrawala biru di depan mereka. “Sudah saatnya kau bertemu dengan Ratu Laut Selatan, Nyi Loro Kidul.” Arjuna mengangguk, meski dalam hatinya terselip keraguan. Ia pernah mendengar tentang Nyi Loro Kidul dari cerita-cerita rakyat, tetapi ia tak pernah membayangkan akan bertemu langsung dengan sosok legendaris itu. Dengan sebuah lambaian tangan, Shiva membuka portal ke dimensi lain, sebuah gerbang ya
Bab 44: Jejak Kepempimpinan dan Kehormatan Setelah menyelesaikan latihan intensifnya bersama Prabu Siliwangi, Arjuna merasa dirinya semakin dekat dengan tujuan akhir, meskipun jalannya masih panjang. Prabu Siliwangi, dengan kebijaksanaan dan ketenangan seorang raja, memandang muridnya dengan bangga. “Kau telah belajar banyak, Arjuna,” ujar Prabu Siliwangi. “Namun, ada satu hal yang belum sepenuhnya kau kuasai — kemampuan untuk memimpin, menginspirasi, dan menggunakan kekuatanmu dengan bijaksana demi kebaikan banyak orang. Untuk itu, kau harus bertemu Gajah Mada, seorang tokoh yang bukan hanya seorang panglima besar, tetapi juga simbol persatuan dan kebijaksanaan.” Prabu Siliwangi membuka sebuah gerbang energi di tengah hutan. Cahaya keemasan yang berpendar dari portal itu menyilaukan, tetapi terasa hangat. Arjuna melangkah maju tanpa ragu, dengan keyakinan bahwa perjalanan berikutnya akan membawanya lebih dekat pada pemahaman penuh tentang kekuatannya. **Kehadiran di Era Maj
Bab 45: "Pelatihan Agung: Pelajaran Vishnu, Saraswati, dan Isis" Setelah menyelesaikan pelatihan bersama Guan Yu, Arjuna memasuki portal yang memancarkan cahaya biru keemasan. Di ujung portal, ia tiba di sebuah dimensi yang dipenuhi dengan energi tenang dan suci. Langitnya biru cerah, dikelilingi oleh awan emas, sementara hamparan tanahnya berupa danau luas yang memantulkan kilauan cahaya matahari. Di tengah danau, berdiri sosok agung berkulit biru dengan empat lengan, mengenakan pakaian kerajaan dan membawa berbagai senjata di setiap tangannya. Sosok itu adalah Vishnu, sang penjaga alam semesta. “Arjuna,” suara Vishnu menggema dengan ketenangan mendalam. “Aku telah menantikanmu. Kau telah belajar banyak dari para guru sebelumku, tetapi pelatihan ini akan menguji inti dari jiwamu sebagai pelindung.” Arjuna membungkuk hormat, menyadari bahwa pelatihan ini akan menjadi salah satu yang paling penting dalam perjalanan spiritualnya. “Aku siap menerima pelajaran darimu, Guru Vishnu.”
Bab 46: Cahaya Sang Surya dan Bisik Ular: Langkah Awal Menuju Keabadian Setelah menyelesaikan pelatihan dengan Dewi Isis, Arjuna memasuki portal bercahaya yang membawanya ke dimensi berikutnya. Kali ini, ia merasakan panas yang menyengat dan kehangatan matahari yang seakan mengelilinginya dari segala arah. Ketika matanya menyesuaikan diri dengan cahaya terang, Arjuna mendapati dirinya berada di tengah padang pasir luas. Langit di atasnya bercahaya keemasan, dan di kejauhan, sebuah kuil megah berdiri kokoh dengan obelisk menjulang ke langit. Arjuna melangkah mendekati kuil tersebut, dan di puncak tangga, sosok agung menantinya. Sosok itu memiliki tubuh manusia, tetapi kepalanya adalah kepala burung elang dengan mata yang bersinar seperti matahari. Jubahnya dihiasi dengan emas dan simbol-simbol kekuasaan. “Selamat datang, Arjuna,” suara itu bergema, dalam dan penuh wibawa. “Aku adalah Ra, dewa matahari dan penjaga harmoni alam semesta. Kau telah dipilih untuk mempelajari kekuatan
Bab 47: Sayap Quetzalcoatl dan Langit Tak Berujung Arjuna menggenggam erat jimat berbentuk ular zamrud di tangannya, mendengar gema kata-kata terakhir dari Kulkulkan, sang dewa cahaya dan keseimbangan. Di dalam hatinya, ia merasa baru saja melangkah ke dunia yang jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan. Tapi ia tahu ini hanyalah awal dari perjalanan panjangnya. Tanpa banyak waktu untuk merenung, portal bercahaya lain terbuka di hadapannya. Energi dari portal itu terasa sangat berbeda—dingin seperti embun pagi, tajam seperti bilah pedang, tetapi sekaligus mengundang rasa ingin tahu yang tidak terbendung. Ada sesuatu yang memanggilnya, sebuah bisikan lembut yang berkata, *"Datanglah."* Arjuna melangkah maju, hatinya dipenuhi keyakinan meskipun pikirannya penuh dengan pertanyaan. Begitu ia menyeberangi ambang portal, ia mendapati dirinya berdiri di puncak sebuah gunung yang sangat tinggi. Pemandangan di sekitarnya memukau, seolah-olah ia berada di atas dunia. Awan putih t
Bab 83: Api Dendam yang Membara Arjuna berdiri terpaku di depan puing-puing rumah orang tuanya. Malam yang gelap terasa seperti neraka bagi dirinya. Bau hangus dari kayu yang terbakar masih tercium, bercampur dengan darah yang mengering di tanah. Tubuhnya gemetar, bukan karena ketakutan, melainkan oleh kemarahan yang membara. Pak Budi berdiri di sampingnya, tubuhnya penuh luka setelah pertarungan sengit melawan Kyle dan Ragnar. Meski berhasil melukai Kyle, kehadiran Ragnar yang mendadak mengubah segalanya. Kini, mereka hanya bisa berdiri di hadapan kehancuran, dengan dua tubuh tak bernyawa tergeletak di antara reruntuhan. “Arjuna...” Pak Budi mencoba berbicara, tetapi suaranya bergetar. Arjuna perlahan berlutut di samping tubuh kedua orang tuanya. Matanya menatap kosong ke arah mereka, sulit mempercayai apa yang baru saja terjadi. Ibunya, yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat, kini terbaring diam dengan luka mendalam di dadanya. Ayahnya, yang selalu menjadi sosok pelindu
Bab 82: Darah di Bawah Langit Malam Di tengah kegelapan ruang bawah tanah yang dingin, Sven berdiri dengan angkuh di atas lantai batu yang berlumut. Kilatan cahaya biru dari bola kristal di tangannya memantulkan wajahnya yang penuh dengan kegetiran dan kebencian. Mata merahnya menatap tajam pusaran dimensi dalam bola tersebut, menyaksikan Arjuna yang baru saja berhasil melewati ujian waktu bersama Sun Wukong dan Pak Budi. "Dia semakin kuat," gumam Sven dengan suara berat yang menggema di ruangan itu. Di sampingnya, berdiri sosok pria berotot dengan rambut pirang pendek dan wajah keras — Kyle, tangan kanan Sven yang terkenal tanpa ampun. Mata Kyle yang dingin memancarkan kekejaman yang sudah menjadi ciri khasnya. “Dia sudah melampaui ekspektasi kita,” lanjut Sven sambil mengepalkan tangan. "Tapi kekuatan yang besar tidak ada artinya kalau hati seseorang dihancurkan.” Kyle mengangguk tanpa ekspresi. “Apa perintahmu, Tuan Sven?” Sven tersenyum tipis, senyum yang lebih me
Bab 81: Ujian Waktu dan Bayangan Masa Lalu Arena kosmik berputar seperti pusaran dimensi tanpa akhir. Arjuna berdiri di tengahnya, tubuhnya diliputi rasa lelah yang menusuk, tetapi tekadnya tetap membara. Pak Budi dan Sun Wukong berdiri tak jauh darinya, memperhatikan dengan cermat persiapan ujian berikutnya. “Ujian waktu adalah ujian terakhir sebelum kau sepenuhnya layak disebut pewaris kekuatan para dewa,” kata Sun Wukong dengan suara berat. Pak Budi menambahkan, “Ini bukan sekadar perjalanan melawan elemen. Waktu adalah musuh yang tidak terlihat, yang bisa menghancurkan jiwa siapa pun.” Arjuna menarik napas dalam-dalam. Setelah semua yang ia lewati—kematian teman-temannya, kekacauan yang ditinggalkan Sven, serta kehilangan besar yang menghantam hatinya—ia tahu bahwa ujian ini mungkin yang paling berbahaya. “Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanya Arjuna sambil menatap lurus ke pusaran waktu yang berkilauan di depannya. “Kau harus melangkah ke dalam waktu itu sendiri,” j
Bab 80: Ujian Kekosongan Arena Kosmik kembali hening. Hanya gema napas Arjuna yang terdengar saat ia berdiri di tengah ruang tak berujung itu. Rasa lelah mulai menjalari tubuhnya setelah menghadapi dua elemen pertama, angin dan api. Namun, tekadnya tetap tak tergoyahkan. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, dan ujian yang lebih berat sedang menantinya. Sun Wukong berdiri di tepi arena, tongkat emasnya menciptakan suara ketukan pelan saat ia menyentuh lantai kaca hitam dengan ujung tongkatnya. Wajahnya serius, sebuah ekspresi yang jarang terlihat dari raja kera yang biasanya ceria. Pak Budi berdiri di sampingnya, tenang seperti biasa, namun sorot matanya penuh perhatian. "Elemen berikutnya akan benar-benar menguji inti jiwamu, Arjuna," kata Pak Budi, suaranya bergema lembut di dalam arena. "Ini bukan soal kekuatan fisik atau bahkan pengendalian energi semata. Ini tentang seberapa kuat hatimu menghadapi kehampaan
Bab 79: Awal Perjalanan Baru Keesokan paginya, langit di Alam Para Dewa dihiasi warna keemasan yang memukau, seperti lukisan hidup yang tak ada bandingannya di dunia fana. Sinar mentari lembut menyentuh setiap sudut istana, membawa ketenangan sekaligus kekuatan baru bagi siapa pun yang merasakannya. Arjuna berdiri di balkon kamarnya, mengenakan pakaian tempur ringan yang diberikan para dewa. Angin sejuk mengelus wajahnya, namun pikirannya jauh dari damai. Ia memikirkan kata-kata Amaterasu semalam. Bayangan Livia yang berlatih untuk menjadi lebih kuat terus menghantui benaknya. Di satu sisi, ia merasa bangga atas keberanian Livia, namun di sisi lain, ia khawatir. Livia adalah bagian terpenting dalam hidupnya, dan gagasan bahwa ia harus menghadapi bahaya membuat Arjuna tidak bisa tenang. “Sudah siap?” Suara Sun Wukong yang khas membuyarkan lamunan Arjuna. Ia menoleh dan mendapati sosok raja kera itu berdiri di depan pintu kamar, dengan tongkat emasnya yang bersandar di bahu.
Bab 78: Ketenangan Sebelum Badai Setelah pertemuan panjang dengan para dewa, Arjuna merasa tubuh dan pikirannya lelah. Langkahnya berat saat ia mengikuti Sun Wukong dan Pak Budi melalui lorong-lorong megah di istana Alam Para Dewa. Dinding-dindingnya penuh ukiran indah, menceritakan kisah-kisah kuno tentang peperangan, cinta, dan pengorbanan. “Kau butuh istirahat,” kata Pak Budi lembut. “Pikiranmu harus jernih untuk apa yang akan datang.” Arjuna hanya mengangguk, terlalu lelah untuk menjawab. Mereka akhirnya tiba di sebuah kamar besar yang disediakan untuknya. Pintu besar dari kayu berukir terbuka dengan sendirinya saat mereka mendekat. Di dalamnya, ruangan itu memancarkan aura ketenangan. Tempat tidurnya besar, dihiasi kain sutra berwarna biru dan emas. Di sudut ruangan, sebuah jendela besar menghadap ke langit ungu Alam Para Dewa, memberikan pemandangan yang memukau. “Ini tempatmu untuk malam ini,” kata Sun Wukong sambil melirik sekeliling. “Manfaatkan waktumu. Besok,
Bab 77: Perjalanan ke Alam Para Dewa Pagi itu, udara di Gunung Salak terasa lebih segar dari biasanya. Sinar matahari menembus celah dedaunan, menciptakan pola-pola cahaya yang bergerak di atas tanah. Arjuna, Sun Wukong, dan Pak Budi berdiri di sebuah dataran terbuka, memandang ke arah timur di mana lembah hijau membentang jauh hingga ke cakrawala. Namun, meski pemandangan itu memukau, pikiran mereka tertuju pada sesuatu yang jauh lebih besar. “Kita harus bergerak sekarang,” ujar Sun Wukong, tongkat emasnya bersandar di bahunya. “Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa kita sia-siakan, terutama ketika Sven mungkin sedang mempersiapkan langkah berikutnya.” Pak Budi mengangguk. Ia merapikan kain sarungnya, lalu memandang Arjuna dengan serius. “Alam para dewa bukan tempat sembarangan, Juna. Kau akan bertemu banyak entitas yang memiliki kekuatan jauh di luar nalar manusia. Tetapi, kita tidak punya pilihan. Untuk melawan Sven, kita membutuhkan aliansi yang lebih kuat.” Arjuna menat
Bab 76: Panggilan dari Puncak Kabut tebal semakin menyelimuti perjalanan mereka, membuat udara terasa berat dan mencekik. Sunyi yang mencekam hanya dipecahkan oleh langkah kaki mereka di atas tanah berbatu dan suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin. Arjuna memimpin di depan, pandangannya tertuju pada puncak yang masih samar terlihat di kejauhan. Panggilan itu semakin kuat, tidak lagi berupa bisikan tetapi menjadi gema yang berdentam di dalam dirinya. “Puncaknya tidak jauh lagi,” kata Pak Budi sambil mengamati sekitar, meskipun nada suaranya penuh kehati-hatian. “Tapi kita harus tetap waspada. Energi di sini semakin kacau.” Arjuna mengangguk tanpa berkata apa-apa. Pikirannya terus tertuju pada suara yang seakan-akan berbicara langsung ke dalam jiwanya. Ada sesuatu yang menunggunya di sana, sesuatu yang bisa mengubah segalanya. Sun Wukong, yang berjalan di belakang, tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Tunggu,” katanya tegas, mengangkat tongkatnya. Matanya menyipit, mena
Bab 75: Di Balik Bayang Gunung Salak Gunung Salak menjulang megah di kejauhan, kabutnya melingkupi puncaknya seperti selimut rahasia yang menjaga misteri. Angin pegunungan yang dingin menyapu wajah Arjuna, Pak Budi, dan Sun Wukong saat mereka akhirnya tiba di kaki gunung. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menyelimuti dunia dengan cahaya jingga yang menambah suasana menegangkan. “Di sini,” kata Pak Budi sambil berhenti di sebuah celah batu besar. “Ini pintu masuk ke jalur tersembunyi yang akan membawa kita ke tempat latihan berikutnya. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Sven telah mengirim anteknya, mereka mungkin sudah memasang jebakan.” Arjuna mengangguk, matanya memindai sekitar dengan waspada. Ia merasa udara di sekitarnya lebih berat, seolah sesuatu yang tak kasatmata sedang mengintai mereka. “Rasakan itu?” Sun Wukong tiba-tiba berkata, menghentikan langkah mereka. Ia memegang tongkat emasnya dengan erat, matanya menyipit tajam. “Apa itu?” Arjuna bertanya, men