Bab 46: Cahaya Sang Surya dan Bisik Ular: Langkah Awal Menuju Keabadian Setelah menyelesaikan pelatihan dengan Dewi Isis, Arjuna memasuki portal bercahaya yang membawanya ke dimensi berikutnya. Kali ini, ia merasakan panas yang menyengat dan kehangatan matahari yang seakan mengelilinginya dari segala arah. Ketika matanya menyesuaikan diri dengan cahaya terang, Arjuna mendapati dirinya berada di tengah padang pasir luas. Langit di atasnya bercahaya keemasan, dan di kejauhan, sebuah kuil megah berdiri kokoh dengan obelisk menjulang ke langit. Arjuna melangkah mendekati kuil tersebut, dan di puncak tangga, sosok agung menantinya. Sosok itu memiliki tubuh manusia, tetapi kepalanya adalah kepala burung elang dengan mata yang bersinar seperti matahari. Jubahnya dihiasi dengan emas dan simbol-simbol kekuasaan. “Selamat datang, Arjuna,” suara itu bergema, dalam dan penuh wibawa. “Aku adalah Ra, dewa matahari dan penjaga harmoni alam semesta. Kau telah dipilih untuk mempelajari kekuatan
Bab 47: Sayap Quetzalcoatl dan Langit Tak Berujung Arjuna menggenggam erat jimat berbentuk ular zamrud di tangannya, mendengar gema kata-kata terakhir dari Kulkulkan, sang dewa cahaya dan keseimbangan. Di dalam hatinya, ia merasa baru saja melangkah ke dunia yang jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan. Tapi ia tahu ini hanyalah awal dari perjalanan panjangnya. Tanpa banyak waktu untuk merenung, portal bercahaya lain terbuka di hadapannya. Energi dari portal itu terasa sangat berbeda—dingin seperti embun pagi, tajam seperti bilah pedang, tetapi sekaligus mengundang rasa ingin tahu yang tidak terbendung. Ada sesuatu yang memanggilnya, sebuah bisikan lembut yang berkata, *"Datanglah."* Arjuna melangkah maju, hatinya dipenuhi keyakinan meskipun pikirannya penuh dengan pertanyaan. Begitu ia menyeberangi ambang portal, ia mendapati dirinya berdiri di puncak sebuah gunung yang sangat tinggi. Pemandangan di sekitarnya memukau, seolah-olah ia berada di atas dunia. Awan putih t
Bab 48: Bara Kehidupan, Cahaya Kebenaran Langkah Arjuna terasa ringan, meski pikirannya penuh tanda tanya setelah meninggalkan Quetzalcoatl. Ia melewati lorong bercahaya dari portal, seperti menembus lapisan-lapisan dimensi. Tubuhnya terasa melayang, dan udara di sekelilingnya mulai menghangat. Bau belerang samar tercium, menandai bahwa ia tiba di tempat baru. Ketika cahaya di sekitarnya meredup, Arjuna mendapati dirinya berdiri di tepi kawah gunung berapi yang menggelegak. Lava mendidih memancar dari celah-celah besar, menyebarkan semburat oranye yang menyilaukan. Asap tebal mengepul ke udara, tetapi anehnya tidak membuatnya sulit bernapas. “Arjuna Mahendra,” suara lembut namun menggema memecah keheningan. Arjuna memutar tubuhnya, mencari sumber suara itu. Dari celah batuan di dekat kawah, seorang wanita muncul. Ia memiliki kulit kecokelatan seperti tanah vulkanik, rambut hitam bergelombang dengan ujung berwarna merah menyala seperti bara, dan mata keemasan yang bercahaya.
Bab 49: Ujian Harmoni dan Amukan Badai Arjuna keluar dari portal cahaya dan mendapati dirinya berdiri di sebuah hutan lebat yang dipenuhi dengan bambu yang menjulang tinggi. Udara di sekitarnya terasa lembap dan dipenuhi aroma dedaunan yang segar. Suara kicauan burung dan gemericik air terdengar samar, menciptakan suasana damai yang anehnya membuat Arjuna merasa waspada. Di tengah hutan, sebuah sosok berdiri dengan tenang, menghadap sebuah danau kecil. Sosok itu mengenakan jubah perang tradisional Korea berwarna perak dan biru dengan ukiran naga di bagian bahunya. Helmnya berbentuk seperti mahkota yang dihiasi ornamen bunga dan bulan sabit. Sosok itu menoleh ke arah Arjuna, menatapnya dengan mata tajam namun penuh ketenangan. "Arjuna Mahendra, penerus Ares," suara itu bergema lembut namun tegas. "Aku adalah Dangun, pelindung negeri Timur. Kau datang untuk belajar dari kebijaksanaan dan kekuatan yang telah diwariskan oleh leluhurku." Arjuna membungkuk dengan hormat. "Yang
Bab 50: Cahaya di Tengah Kegelapan Setelah menyelesaikan latihannya bersama Susanoo, tubuh Arjuna masih terasa kaku. Kekuatannya berkembang pesat, tapi setiap tahap pelatihan tampak semakin berat. Susanoo mengucapkan kata-kata perpisahan singkat, kemudian portal lain muncul di hadapan Arjuna, memancarkan cahaya keemasan yang menyilaukan. Aura portal itu membawa kedamaian sekaligus kehangatan yang terasa akrab. Arjuna menghela napas, bersiap melangkah. Ia tahu tugasnya belum selesai, dan pelatihan berikutnya menunggu. Langkahnya perlahan, namun penuh tekad. Begitu ia memasuki portal itu, ia disambut oleh pemandangan yang menakjubkan. Dataran tinggi yang luas terbentang di hadapannya, dihiasi pohon sakura yang bermekaran. Angin lembut bertiup, membawa kelopak bunga yang melayang-layang di udara. Di tengah dataran, berdiri sebuah paviliun megah dengan atap emas, dihiasi ukiran burung phoenix yang tampak seolah akan terbang kapan saja. Arjuna mengenali tempat ini. Lebih dari itu,
Bab 51: Mata Kebijaksanaan Athena Setelah menyelesaikan latihannya dengan Amaterasu, Arjuna melangkah keluar dari portal bercahaya keemasan. Tubuhnya terasa lebih ringan, namun pikirannya penuh dengan pertanyaan. Cahaya dalam dirinya telah tumbuh lebih kuat, tetapi ia menyadari bahwa setiap dewa memiliki cara berbeda untuk mengajarkan pelajaran hidup. Portal berikutnya muncul di hadapannya, kali ini memancarkan aura biru kehijauan dengan simbol burung hantu di atasnya. Arjuna menghela napas panjang. "Athena," gumamnya. Ia pernah mendengar cerita tentang Dewi Kebijaksanaan Yunani ini, yang terkenal karena strategi perangnya yang tak tertandingi dan kecerdasannya yang tajam. Tanpa ragu, ia melangkah masuk ke dalam portal. Seketika, ia disambut oleh pemandangan kota kuno yang megah. Pilar-pilar marmer berdiri tegak, menopang bangunan-bangunan yang menjulang tinggi dengan arsitektur yang indah. Di tengah kota, terdapat sebuah kuil besar yang
Bab 52: Cinta, Godaan, dan KekuatanSetelah pelatihan keras yang melibatkan strategi dan kebijaksanaan bersama Athena, Arjuna melangkah ke portal berikutnya dengan hati yang penuh harapan, tetapi juga dengan sedikit kelelahan. Setiap latihan memberinya wawasan baru, tetapi juga menguras energinya, baik secara fisik maupun emosional. Saat ini, dia tidak tahu apa yang menantinya, tetapi portal di depannya tampak berbeda dari sebelumnya. Cahaya merah muda keemasan memancar lembut, membentuk pola bunga yang berkilauan.“Apakah ini pertanda pelatihan yang lebih tenang?” gumam Arjuna sembari melangkah masuk. Namun, harapannya akan ketenangan sirna begitu ia menjejakkan kaki di dunia baru yang terasa aneh, penuh misteri, dan... menggoda.**Dunia Aphrodite**Arjuna mendapati dirinya berada di sebuah padang rumput luas yang dipenuhi bunga bermekaran, dengan aroma manis yang memenuhi udara. Langit berwarna lembayung, dan sinar matahari yang redup menciptakan suasana magis. Di kejauhan, ia melih
Bab 53: Ujian Dingin Sang Dewa Laut Portal yang berkilauan biru tua berputar di depan Arjuna, memancarkan aura tenang namun menakutkan. Arjuna menatapnya dengan ragu. Pelatihan bersama Aphrodite sebelumnya terasa seperti badai emosi, dan sekarang ia harus menghadapi sesuatu yang jauh lebih misterius. Nama Poseidon, sang dewa laut, telah lama dikenal dalam legenda. Ia terkenal bukan hanya karena kekuatannya yang luar biasa, tetapi juga karena sifat dinginnya yang tak tergoyahkan. Dengan menarik napas dalam-dalam, Arjuna melangkah ke dalam portal. Dunia Poseidon Arjuna muncul di tengah lautan luas. Namun, ia tidak tenggelam. Permukaan air di bawah kakinya padat, seperti kaca, memantulkan langit kelabu di atas. Ombak besar bergulung di kejauhan, seolah-olah memancarkan kekuatan liar yang tak terkontrol. Di tengah kehampaan itu, sebuah istana megah berdiri menjulang, seluruhnya terbuat dari karang biru berkilauan dan kristal es. Saat Arjuna melangkah mendekat, suara gemuruh terd
Bab 69: Serangan di Malam yang Tenang Arjuna dan Livia menikmati malam yang tenang di sebuah pondok kecil di tengah hutan, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kota. Udara malam terasa segar, ditemani suara gemerisik dedaunan yang bergerak lembut ditiup angin. Setelah peristiwa berat yang mereka alami, malam itu menjadi momen singkat untuk melepaskan beban yang mereka tanggung bersama. Livia, dengan tatapan lembut, menatap ke luar jendela, sementara Arjuna duduk di kursi dekat perapian. Mereka berbincang ringan tentang masa depan—tentang kemungkinan yang masih jauh dari jangkauan, tetapi tetap memberi mereka harapan kecil untuk terus bertahan. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama. Di kejauhan, bayangan gelap menyelinap di antara pepohonan. Kyle dan timnya telah tiba, bergerak seperti pemburu yang mengintai mangsanya. Mereka tahu betul bahwa pondok kecil itu adalah tempat persembunyian Arjuna dan Livia. Kyle berdiri di depan pasukannya: Lyra, Damos, Eryon, dan Velri
Bab 68: Rencana dalam Kegelapan Di dalam ruang tak bercahaya di benteng Sven, Kyle berdiri dengan tangan terlipat di belakang punggungnya, menatap peta yang terbentang di atas meja batu besar. Sekelilingnya, keheningan menggantung tegang, hanya dipecahkan oleh suara langkah berat ketika empat sosok memasuki ruangan satu per satu. Lyra, dengan rambut putih yang tampak membara seperti api, mendekati meja dengan gerakan anggun. Matanya yang berkilauan memancarkan keyakinan akan kekuatannya. Di belakangnya, Damos melangkah masuk dengan suara gemuruh, tubuh berbatu raksasanya hampir menyentuh langit-langit ruangan. Eryon, makhluk tanpa wajah yang tubuhnya bergerak seperti bayangan cair, muncul dari kegelapan tanpa suara, hanya meninggalkan getaran samar di udara. Terakhir, Velric memasuki ruangan, baju zirah hitam berlumuran darahnya memantulkan cahaya redup dari obor. Ia berjalan dengan ketenangan seorang ksatria yang tahu betul kekuatannya tak tertandingi. “Jadi, inilah merek
Bab 67: Luka yang Menorehkan Harga Diri Ruangan tempat Ragnar berbaring sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang menjadi pengiring waktu. Luka di tubuhnya belum sepenuhnya sembuh, meskipun perban yang membalut dada dan lengannya sudah diganti berkali-kali. Aroma obat memenuhi udara, menyatu dengan dinginnya lantai batu. Di luar, awan gelap menyelimuti langit, membuat suasana semakin muram. Ragnar mengerang pelan, mencoba mengangkat tubuhnya dari ranjang sempit yang ia tempati. Setiap gerakan kecil memicu rasa sakit tajam di otot dan tulangnya. Kekalahan dari Arjuna menjadi beban yang lebih berat daripada luka-luka fisiknya. Bukan hanya kekalahan itu melukai tubuhnya, tetapi juga egonya yang selama ini ia anggap tak tergoyahkan. Pintu ruangan terbuka perlahan, menciptakan suara berderit yang memecah keheningan. Kyle muncul dari balik pintu, wajahnya terlihat santai, tetapi tatapan matanya seperti elang yang mengamati mangsanya. Ia membawa secangkir kopi yang masih men
Bab 66: Di Bawah Langit yang Tenang Setelah pertemuan dengan para dewa, Arjuna kembali ke pondok sederhana di tepi hutan tempat ia dan Livia berlindung sementara waktu. Hembusan angin malam membawa kesejukan, menenangkan pikiran Arjuna yang masih dipenuhi dengan bayangan pertarungan dan pesan para dewa. Ia membuka pintu kayu pondok perlahan, dan di dalam, Livia tengah duduk di kursi dekat jendela, memandang bulan yang menggantung tinggi di langit. “Bagaimana?” tanya Livia lembut, menoleh ke arah Arjuna. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya tetap penuh perhatian. “Pertarungan ini masih jauh dari selesai,” jawab Arjuna, suaranya rendah. Ia menutup pintu di belakangnya, berjalan mendekat. “Semar dan para dewa memperingatkanku bahwa Sven sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang... mungkin akan mengubah segalanya.” Livia menghela napas pelan, tangannya menyentuh lengan kursi. “Arjuna, kau telah berjuang begitu keras. Tapi, kau juga butuh waktu untuk bernapas.
Bab 65: Perang yang Mendekat Hening menggantung di antara medan perang yang baru saja menjadi saksi kehancuran. Arjuna berdiri di tengah puing-puing, tubuhnya menggigil oleh sisa adrenalin yang masih mengalir deras. Kemenangan melawan Ragnar adalah bukti kekuatannya, tetapi juga pengingat akan bahaya yang lebih besar: Sven. Livia mendekatinya, wajahnya penuh kelegaan sekaligus kekhawatiran. Ia menggenggam tangan Arjuna dengan erat, seolah takut kehilangan dia lagi. “Arjuna, kau tahu ini belum selesai, kan?” Arjuna menatapnya, matanya yang biasanya tenang kini dipenuhi tekad. “Aku tahu, Livia. Sven sedang menunggu. Dia tidak akan tinggal diam setelah Ragnar kalah.” Malam itu, di perkemahan kecil yang mereka dirikan di pinggir hutan, Arjuna duduk di depan api unggun yang menyala redup. Livia tertidur di sisinya, kelelahan setelah hari yang panjang. Namun, pikiran Arjuna terus berputar. Ia tahu Sven adalah ancaman yang jauh lebih besar daripada Ragnar. Sven adalah penguasa
Bab 64: Keputusan yang Tak Terhindarkan Suara dentingan senjata masih menggema di udara saat pertarungan antara Arjuna dan Ragnar mencapai puncaknya. Setiap gerakan mereka menciptakan ledakan energi yang mengguncang tanah, menghancurkan pepohonan, dan membuat udara bergetar. Namun, meski telah menggunakan kekuatan Ares yang mengalir di dalam dirinya, Arjuna merasakan tekanan yang luar biasa. Ragnar bukanlah lawan sembarangan; ia bertarung dengan presisi mematikan dan kekuatan luar biasa, seperti predator yang bermain-main dengan mangsanya sebelum memberikan pukulan terakhir. Livia berdiri di kejauhan, menggenggam tangan di depan dadanya dengan wajah penuh kecemasan. Ia ingin berteriak, ingin memberikan dukungan kepada Arjuna, tetapi suaranya tertahan oleh rasa takut yang mencekam. Ia tahu bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Ragnar adalah monster, kekuatan yang jauh melampaui batas manusia biasa. Namun, ia juga tahu bahwa Arjuna adalah satu-satunya harapan yang mereka mil
Bab 63: Bayangan yang Semakin Menggelap Malam itu menjadi saksi bagaimana Arjuna bertempur mati-matian melawan bayangan gelap yang mencoba membawa Livia. Cahaya biru dari kristal di tangannya mulai meredup, namun ia tetap berdiri dengan tubuh penuh luka. Nafasnya memburu, tapi matanya menyala dengan tekad. “Livia, kau harus pergi sekarang!” Arjuna berteriak sambil menahan satu bayangan yang menyerangnya dengan cakar hitam yang tajam. Livia memandangnya dengan mata penuh kekhawatiran. “Aku tidak akan meninggalkanmu, Arjuna!” Namun, sebelum Livia sempat melangkah, salah satu bayangan melesat cepat ke arahnya. “Tidak!” Arjuna melompat ke depan, mengayunkan tinjunya yang berselimut cahaya biru. Bayangan itu hancur seketika, tetapi sisanya semakin agresif, mengepung mereka berdua. “Ini bukan pertarungan yang bisa kita menangkan,” suara Ares bergema dalam pikiran Arjuna. **“Kita harus mundur sementara, atau kau akan kehilangan segalanya!”** “Lalu aku harus pergi ke mana?
Bab 62: Awan Gelap yang Menggantung Arjuna duduk di sisi tempat tidurnya, menatap jendela yang terbuka lebar. Angin pagi berembus lembut, tetapi ada sesuatu yang berat menggantung di udara. Mimpi yang baru saja dialaminya masih membekas kuat, seperti sebuah luka yang sulit sembuh. Livia sudah kembali tidur, tubuhnya terbungkus selimut hangat. Melihatnya dalam keadaan damai seperti itu membuat hati Arjuna terasa lega, tetapi pikirannya tetap kacau. Ia tahu Sven sedang merencanakan sesuatu. Mimpi itu bukan sekadar gambaran acak, melainkan sebuah pesan—peringatan tentang apa yang akan datang. Ia merasakan kehadiran Ares di dalam dirinya, membara seperti api yang siap membakar. **"Kau merasa itu nyata karena memang nyata,"** suara Ares terdengar, bergema di benaknya. **"Apa maksudmu?"** balas Arjuna dalam pikirannya. **"Mimpi itu bukan hanya pesan, tetapi sebuah celah kecil ke dalam rencana mereka. Sven ingin mematahkanmu sebelum pertarungan yang sebenarnya dimulai. Kau tidak bis
Bab 61: Rencana Gelap di Dunia Bawah Kedalaman dunia bawah selalu sunyi, tetapi bukan sunyi yang tenang—melainkan sunyi yang memekakkan, seolah-olah seluruh dunia itu menyembunyikan jeritan yang tidak pernah selesai. Di sebuah istana besar yang berdiri di atas lautan lava yang mendidih, Sven duduk di takhta hitamnya, wajahnya memancarkan kebencian yang mendalam. Di hadapannya berdiri Ragnar, bawahannya yang paling setia, tetapi juga yang paling kejam. “Semuanya berjalan sesuai rencana,” Ragnar membuka pembicaraan dengan suara penuh keyakinan. “Teman-teman Arjuna sudah kita singkirkan. Sekarang dia hanya memiliki Livia, satu-satunya kelemahan yang tersisa.” Sven tersenyum tipis, senyum yang tidak menunjukkan kegembiraan, melainkan ancaman. “Kehilangan mereka sudah cukup untuk mengguncangnya, tetapi tidak cukup untuk menghancurkannya sepenuhnya. Aku ingin dia tidak hanya kehilangan orang-orang yang ia cintai, tetapi juga kehilangan dirinya sendiri. Kau tahu apa yang harus kita l