Bab 30: Kegelapan yang Mengintai Pagi hari datang dengan keheningan yang menyesakkan. Desa yang semalam dilanda ketakutan kini tampak seperti sebuah tempat yang hilang dari waktu. Penduduknya mulai keluar dari rumah, namun wajah-wajah mereka kosong, seperti terperangkap dalam ketakutan yang mendalam. Arjuna, Pak Budi, dan yang lainnya duduk di ruang tamu rumah kepala desa, mencoba menyusun rencana selanjutnya. "Pak Budi," kata Arjuna dengan suara berat. "Kita sudah melawan Mara, tapi aku merasa... ini baru permulaan. Sesuatu yang lebih besar sedang mengintai." Pak Budi mengangguk perlahan. "Kau benar, Arjuna. Mara hanyalah perpanjangan dari kekuatan yang lebih gelap. Kekuatan yang mengarah pada kehancuran. Tapi kita harus tetap kuat. Setiap langkah yang kita ambil kini akan menentukan apakah kita bisa menghadapinya atau tidak." Arjuna menatapnya tajam. "Bagaimana kita bisa melawannya jika kita terus-menerus dihantui oleh ketakutan? Aku merasa tidak bisa mengendalikan diriku." Sar
Bab 32: Jejak di Dalam Kegelapan Malam di desa dipenuhi ketegangan. Angin dingin berhembus membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering, menyelinap melalui celah-celah dinding rumah Pak Budi. Di dalamnya, suasana tak kalah suram. Arjuna duduk di dekat perapian, matanya terpaku pada nyala api yang memantul di retakan dinding tanah liat. Namun pikirannya melayang, memutar kembali semua kejadian sejak ia terlibat dalam perang ini. Di sudut lain ruangan, Pak Budi sibuk mencampurkan ramuan herbal di dalam sebuah mangkuk batu. Tangannya bergerak cepat, mencampur dedaunan, akar, dan cairan yang mengeluarkan aroma menyengat. "Kau kelihatan gelisah, Juna," katanya, memecah keheningan tanpa menoleh. Arjuna mengusap wajahnya. "Aku hanya memikirkan apa yang kau katakan tadi, soal portal itu. Aku paham bahayanya, tapi... kenapa harus aku, Pak?" Pak Budi menghentikan pekerjaannya, menatap Arjuna dengan tatapan tajam namun penuh pengertian. “Karena kau adalah Ares, sang dewa perang. Kau terl
**Bab 31: Api yang Terpendam** Malam itu, udara di desa terasa berat, seperti menanggung beban yang tidak terlihat. Arjuna berdiri di luar aula desa, membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Tatapannya terpaku pada hutan gelap yang tampak tidak berujung. Kegelisahan menguasai dirinya, menyelimuti pikiran dengan rasa bersalah dan ketidakpastian. Suara langkah pelan mendekatinya, memecah keheningan. Ratna muncul dari balik bayangan, wajahnya penuh kekhawatiran. Ia membawa selimut tipis dan menggantungkan senyuman kecil di bibirnya. "Kau di sini lagi, memikirkan hal-hal yang sama," katanya pelan. Arjuna hanya diam, matanya masih menatap ke arah hutan. Ratna mendesah, lalu berdiri di sampingnya. “Kau tidak perlu menyalahkan dirimu atas apa yang terjadi, Arjuna,” katanya sambil menyerahkan selimut itu. “Kita semua tahu kau melakukan yang terbaik.” Arjuna menerima selimut itu, meski tidak memakainya. "Aku mencoba, Ratna. Tapi mencoba saja tidak cukup. Kekuatan ini... setia
**Bab 33: Pertanda dari Kegelapan** Matahari perlahan menyembul dari balik awan, namun suasana hati kelompok kecil yang berkumpul di rumah Pak Budi tidak selaras dengan kecerahan pagi itu. Mereka semua tahu ancaman Ragnar semakin dekat. Ketegangan tergambar jelas di wajah Ratna, Livia, Bayu, Dani, dan Sarah yang duduk melingkar, mendengarkan rencana Pak Budi. "Kita harus segera menuju kuil tempat keris ini ditempa," ujar Pak Budi sambil mengangkat keris yang kini berada di tangan Arjuna. "Arjuna harus menyelesaikan ujiannya di sana. Kekuatan sejati keris ini hanya bisa terbangkitkan setelah itu. Tanpa kekuatan penuh, kita semua akan kalah." Bayu mengerutkan kening. "Tapi kenapa harus kita semua ikut? Bukannya ini hanya urusan Arjuna?" Ratna mendesah kesal. "Bayu, berhenti mengeluh. Kita semua sudah terlibat sejak awal." "Dia benar," tambah Sarah. "Kita semua di sini untuk me
Bab 34: Ujian Terakhir di Kuil Tertutup Kuil kuno itu menyambut mereka dengan keheningan yang menggema. Cahaya pagi yang masuk melalui celah-celah dinding batu memancarkan nuansa suram. Arjuna dan yang lain melangkah perlahan, masih diselimuti kesedihan atas kematian Banyu. Meskipun Banyu adalah musuh, ada rasa kehilangan yang membekas di hati mereka. Pak Budi berjalan di depan, menggenggam tongkat kayu yang tampak sederhana namun memancarkan aura kepercayaan diri. "Kalian harus tetap fokus. Ujian di dalam kuil ini tidak akan mudah. Kematian Banyu adalah pengingat bahwa kegelapan bisa menyelimuti siapa saja." Arjuna, masih memegang keris yang kini bercahaya redup, mengangguk pelan. "Aku mengerti, Pak Budi. Tapi apa sebenarnya ujian ini?" Pak Budi berhenti di depan pintu besar berukiran simbol kuno. "Ujian ini bukan hanya untukmu, Arjuna. Kalian semua akan diuji. Kuil ini akan menggali ketakutan terdalam kalian dan memaksa kalian menghadapi sisi gelap diri sendiri." Sarah
Bab 35: Tempaan di Ambang Kehancuran Langkah kaki mereka terdengar berat di lorong yang semakin sunyi setelah kepergian Ragnar. Bayangan ancaman yang ditinggalkan masih terasa di udara. Cahaya keris di tangan Arjuna mulai meredup, namun kehangatan dari senjata itu tetap ada, seolah menjadi pelindung terakhir mereka. Pak Budi berhenti sejenak, menghela napas dalam-dalam. "Kita tidak bisa terus berjalan dalam kondisi seperti ini," katanya sambil menatap mereka satu per satu. "Kalian semua butuh istirahat." Arjuna menggeleng. "Tidak, Pak. Kita harus terus maju. Ragnar bisa saja kembali kapan saja." Livia menaruh tangan di bahu Arjuna, suaranya lembut namun tegas. "Pak Budi benar. Kita sudah terlalu lelah, dan melanjutkan perjalanan tanpa tenaga akan menjadi bunuh diri." Bayu, yang kelelahan namun tetap berusaha tersenyum, duduk di lantai batu dingin. "Aku setuju dengan Livia. Lagipula, aku rasa kakiku sudah tak kuat lagi berdiri." Dani, yang masih gemetar, duduk di samp
Bab 36: Pengorbanan Seorang Guru Hujan rintik-rintik membasahi kota pagi itu, seakan langit turut menangisi tragedi yang melanda. Di dalam kantor polisi, suasana dingin terasa menusuk, bukan karena cuaca, melainkan karena beban yang dirasakan oleh mereka yang ada di sana. Arjuna, Livia, dan Pak Budi duduk di ruangan yang terpisah, masing-masing menghadapi penyelidikan yang menyesakkan dada. **Ruangan Interogasi Arjuna** Arjuna duduk di kursi kayu yang keras. Tangan gemetar, wajahnya basah oleh keringat dingin. Di hadapannya duduk **Inspektur Aditya**, sosok tegas berusia lima puluhan, dengan wajah penuh guratan pengalaman. "Arjuna Mahendra," suara Inspektur Aditya terdengar datar, namun tegas. "Bisakah kau jelaskan apa yang sebenarnya terjadi di hutan itu?" Arjuna terdiam. Tenggorokannya tercekat. Apa yang bisa ia katakan? Bahwa Ragnar, monster berwuj
Bab 37: Pertemuan Para Dewa Arjuna membuka matanya dengan pandangan kabur. Tubuhnya terasa ringan, seperti sedang melayang di udara. Namun, udara di sekitarnya bukan udara yang dingin dari ruang sidang, melainkan aroma tanah dan dedaunan yang menyegarkan. Ketika pandangannya mulai jelas, ia menyadari bahwa dirinya berada di sebuah hamparan tanah luas yang diterangi oleh cahaya keemasan. Di hadapannya berdiri Odin dengan jubah hitam panjang, tongkat Gungnir di tangan. Amaterasu berdiri di sampingnya, memancarkan cahaya lembut yang menenangkan. Namun, sosok yang paling menarik perhatian Arjuna adalah seorang pria bertubuh kekar, berambut pirang panjang, dengan palu besar tergenggam di tangan kanannya. Dada berototnya terbuka lebar, menampakkan aura kekuatan yang luar biasa. "Thor…" gumam Arjuna pelan, mengenali dewa petir dari mitologi Nordik. Thor menatap Arjuna dengan mata biru cerah dan menyeringai. "Jadi, inikah manusia yang dikatakan mewarisi kekuatan Ares?" suaranya ber
Bab 83: Api Dendam yang Membara Arjuna berdiri terpaku di depan puing-puing rumah orang tuanya. Malam yang gelap terasa seperti neraka bagi dirinya. Bau hangus dari kayu yang terbakar masih tercium, bercampur dengan darah yang mengering di tanah. Tubuhnya gemetar, bukan karena ketakutan, melainkan oleh kemarahan yang membara. Pak Budi berdiri di sampingnya, tubuhnya penuh luka setelah pertarungan sengit melawan Kyle dan Ragnar. Meski berhasil melukai Kyle, kehadiran Ragnar yang mendadak mengubah segalanya. Kini, mereka hanya bisa berdiri di hadapan kehancuran, dengan dua tubuh tak bernyawa tergeletak di antara reruntuhan. “Arjuna...” Pak Budi mencoba berbicara, tetapi suaranya bergetar. Arjuna perlahan berlutut di samping tubuh kedua orang tuanya. Matanya menatap kosong ke arah mereka, sulit mempercayai apa yang baru saja terjadi. Ibunya, yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat, kini terbaring diam dengan luka mendalam di dadanya. Ayahnya, yang selalu menjadi sosok pelindu
Bab 82: Darah di Bawah Langit Malam Di tengah kegelapan ruang bawah tanah yang dingin, Sven berdiri dengan angkuh di atas lantai batu yang berlumut. Kilatan cahaya biru dari bola kristal di tangannya memantulkan wajahnya yang penuh dengan kegetiran dan kebencian. Mata merahnya menatap tajam pusaran dimensi dalam bola tersebut, menyaksikan Arjuna yang baru saja berhasil melewati ujian waktu bersama Sun Wukong dan Pak Budi. "Dia semakin kuat," gumam Sven dengan suara berat yang menggema di ruangan itu. Di sampingnya, berdiri sosok pria berotot dengan rambut pirang pendek dan wajah keras — Kyle, tangan kanan Sven yang terkenal tanpa ampun. Mata Kyle yang dingin memancarkan kekejaman yang sudah menjadi ciri khasnya. “Dia sudah melampaui ekspektasi kita,” lanjut Sven sambil mengepalkan tangan. "Tapi kekuatan yang besar tidak ada artinya kalau hati seseorang dihancurkan.” Kyle mengangguk tanpa ekspresi. “Apa perintahmu, Tuan Sven?” Sven tersenyum tipis, senyum yang lebih me
Bab 81: Ujian Waktu dan Bayangan Masa Lalu Arena kosmik berputar seperti pusaran dimensi tanpa akhir. Arjuna berdiri di tengahnya, tubuhnya diliputi rasa lelah yang menusuk, tetapi tekadnya tetap membara. Pak Budi dan Sun Wukong berdiri tak jauh darinya, memperhatikan dengan cermat persiapan ujian berikutnya. “Ujian waktu adalah ujian terakhir sebelum kau sepenuhnya layak disebut pewaris kekuatan para dewa,” kata Sun Wukong dengan suara berat. Pak Budi menambahkan, “Ini bukan sekadar perjalanan melawan elemen. Waktu adalah musuh yang tidak terlihat, yang bisa menghancurkan jiwa siapa pun.” Arjuna menarik napas dalam-dalam. Setelah semua yang ia lewati—kematian teman-temannya, kekacauan yang ditinggalkan Sven, serta kehilangan besar yang menghantam hatinya—ia tahu bahwa ujian ini mungkin yang paling berbahaya. “Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanya Arjuna sambil menatap lurus ke pusaran waktu yang berkilauan di depannya. “Kau harus melangkah ke dalam waktu itu sendiri,” j
Bab 80: Ujian Kekosongan Arena Kosmik kembali hening. Hanya gema napas Arjuna yang terdengar saat ia berdiri di tengah ruang tak berujung itu. Rasa lelah mulai menjalari tubuhnya setelah menghadapi dua elemen pertama, angin dan api. Namun, tekadnya tetap tak tergoyahkan. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, dan ujian yang lebih berat sedang menantinya. Sun Wukong berdiri di tepi arena, tongkat emasnya menciptakan suara ketukan pelan saat ia menyentuh lantai kaca hitam dengan ujung tongkatnya. Wajahnya serius, sebuah ekspresi yang jarang terlihat dari raja kera yang biasanya ceria. Pak Budi berdiri di sampingnya, tenang seperti biasa, namun sorot matanya penuh perhatian. "Elemen berikutnya akan benar-benar menguji inti jiwamu, Arjuna," kata Pak Budi, suaranya bergema lembut di dalam arena. "Ini bukan soal kekuatan fisik atau bahkan pengendalian energi semata. Ini tentang seberapa kuat hatimu menghadapi kehampaan
Bab 79: Awal Perjalanan Baru Keesokan paginya, langit di Alam Para Dewa dihiasi warna keemasan yang memukau, seperti lukisan hidup yang tak ada bandingannya di dunia fana. Sinar mentari lembut menyentuh setiap sudut istana, membawa ketenangan sekaligus kekuatan baru bagi siapa pun yang merasakannya. Arjuna berdiri di balkon kamarnya, mengenakan pakaian tempur ringan yang diberikan para dewa. Angin sejuk mengelus wajahnya, namun pikirannya jauh dari damai. Ia memikirkan kata-kata Amaterasu semalam. Bayangan Livia yang berlatih untuk menjadi lebih kuat terus menghantui benaknya. Di satu sisi, ia merasa bangga atas keberanian Livia, namun di sisi lain, ia khawatir. Livia adalah bagian terpenting dalam hidupnya, dan gagasan bahwa ia harus menghadapi bahaya membuat Arjuna tidak bisa tenang. “Sudah siap?” Suara Sun Wukong yang khas membuyarkan lamunan Arjuna. Ia menoleh dan mendapati sosok raja kera itu berdiri di depan pintu kamar, dengan tongkat emasnya yang bersandar di bahu.
Bab 78: Ketenangan Sebelum Badai Setelah pertemuan panjang dengan para dewa, Arjuna merasa tubuh dan pikirannya lelah. Langkahnya berat saat ia mengikuti Sun Wukong dan Pak Budi melalui lorong-lorong megah di istana Alam Para Dewa. Dinding-dindingnya penuh ukiran indah, menceritakan kisah-kisah kuno tentang peperangan, cinta, dan pengorbanan. “Kau butuh istirahat,” kata Pak Budi lembut. “Pikiranmu harus jernih untuk apa yang akan datang.” Arjuna hanya mengangguk, terlalu lelah untuk menjawab. Mereka akhirnya tiba di sebuah kamar besar yang disediakan untuknya. Pintu besar dari kayu berukir terbuka dengan sendirinya saat mereka mendekat. Di dalamnya, ruangan itu memancarkan aura ketenangan. Tempat tidurnya besar, dihiasi kain sutra berwarna biru dan emas. Di sudut ruangan, sebuah jendela besar menghadap ke langit ungu Alam Para Dewa, memberikan pemandangan yang memukau. “Ini tempatmu untuk malam ini,” kata Sun Wukong sambil melirik sekeliling. “Manfaatkan waktumu. Besok,
Bab 77: Perjalanan ke Alam Para Dewa Pagi itu, udara di Gunung Salak terasa lebih segar dari biasanya. Sinar matahari menembus celah dedaunan, menciptakan pola-pola cahaya yang bergerak di atas tanah. Arjuna, Sun Wukong, dan Pak Budi berdiri di sebuah dataran terbuka, memandang ke arah timur di mana lembah hijau membentang jauh hingga ke cakrawala. Namun, meski pemandangan itu memukau, pikiran mereka tertuju pada sesuatu yang jauh lebih besar. “Kita harus bergerak sekarang,” ujar Sun Wukong, tongkat emasnya bersandar di bahunya. “Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa kita sia-siakan, terutama ketika Sven mungkin sedang mempersiapkan langkah berikutnya.” Pak Budi mengangguk. Ia merapikan kain sarungnya, lalu memandang Arjuna dengan serius. “Alam para dewa bukan tempat sembarangan, Juna. Kau akan bertemu banyak entitas yang memiliki kekuatan jauh di luar nalar manusia. Tetapi, kita tidak punya pilihan. Untuk melawan Sven, kita membutuhkan aliansi yang lebih kuat.” Arjuna menat
Bab 76: Panggilan dari Puncak Kabut tebal semakin menyelimuti perjalanan mereka, membuat udara terasa berat dan mencekik. Sunyi yang mencekam hanya dipecahkan oleh langkah kaki mereka di atas tanah berbatu dan suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin. Arjuna memimpin di depan, pandangannya tertuju pada puncak yang masih samar terlihat di kejauhan. Panggilan itu semakin kuat, tidak lagi berupa bisikan tetapi menjadi gema yang berdentam di dalam dirinya. “Puncaknya tidak jauh lagi,” kata Pak Budi sambil mengamati sekitar, meskipun nada suaranya penuh kehati-hatian. “Tapi kita harus tetap waspada. Energi di sini semakin kacau.” Arjuna mengangguk tanpa berkata apa-apa. Pikirannya terus tertuju pada suara yang seakan-akan berbicara langsung ke dalam jiwanya. Ada sesuatu yang menunggunya di sana, sesuatu yang bisa mengubah segalanya. Sun Wukong, yang berjalan di belakang, tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Tunggu,” katanya tegas, mengangkat tongkatnya. Matanya menyipit, mena
Bab 75: Di Balik Bayang Gunung Salak Gunung Salak menjulang megah di kejauhan, kabutnya melingkupi puncaknya seperti selimut rahasia yang menjaga misteri. Angin pegunungan yang dingin menyapu wajah Arjuna, Pak Budi, dan Sun Wukong saat mereka akhirnya tiba di kaki gunung. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menyelimuti dunia dengan cahaya jingga yang menambah suasana menegangkan. “Di sini,” kata Pak Budi sambil berhenti di sebuah celah batu besar. “Ini pintu masuk ke jalur tersembunyi yang akan membawa kita ke tempat latihan berikutnya. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Sven telah mengirim anteknya, mereka mungkin sudah memasang jebakan.” Arjuna mengangguk, matanya memindai sekitar dengan waspada. Ia merasa udara di sekitarnya lebih berat, seolah sesuatu yang tak kasatmata sedang mengintai mereka. “Rasakan itu?” Sun Wukong tiba-tiba berkata, menghentikan langkah mereka. Ia memegang tongkat emasnya dengan erat, matanya menyipit tajam. “Apa itu?” Arjuna bertanya, men