Prasetya mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku celananya. "Nah! Kalungmu terjatuh di depan pintu saat masuk tadi." Prasetya mengulurkan tangan.
Lara bernapas lega. Ternyata pikirannya terlalu berlebihan. "Terima kasih," ucapnya mengambil kembali kalung itu."Hanya ucapan terima kasih? Bagaimana jika lain kali makan bersama? Anggap sebagai ucapan terima kasihmu padaku?" Prasetya tersenyum tipis dengan memasang wajah penuh harap.'Pria ini memang benar-benar tidak tahu malu. Baru kemarin menikah, sekarang ingin mencari mangsa baru' geram Lara dalam batinnya."Ehem!" Abian berdehem keras guna menyudahi obrolan antara Prasetya dengan sekretarisnya.Sontak Prasetya gegas menghampiri Abian untuk melangsungkan sesi wawancara.Tatapan sengit yang terkesan mengintimidasi membuat Prasetya tak berani menatap langsung ke arah mata petinggi perusahaan itu, dan berakhir merundukan wajah selama sesi wawancara berlangsung.Setelah selesai melakukan sesi wawancara, Prasetya segera menyimpan kembali perekam suaranya."Terima kasih atas kerja samanya, Pak. Kalau begitu saya permisi," pamit Prasetya hendak bangkit dari tempat duduknya."Serahkan alat perekam itu ke Sekretaris saya! Dia yang akan menulis artikel dan beritanya," titah Abian."Apa?" Prasetya berdiri mematung sebab tak paham."Saya tidak percaya dengan siapa pun untuk menulis berita tentang saya," jawab Abian lugas. Bersender pada senderan kursi seraya menyilangkan kaki."Tidak bisa begitu, Pak. Ini sudah menjadi tugas saya sebagai seorang Wartawan. Jika perusahaan tahu, saya akan dipecat.""Saya tidak peduli. Serahkan atau tidak ada berita sama sekali."Prasetya terdiam. Kebingungan terasa berkecamuk dalam kepala.Ini adalah momen yang langka. Tak mungkin baginya memiliki kesempatan kedua untuk kembali mewawancarai seorang Abian Mahendra atas kesuksesannya di usia muda.Prasetya menatap Lara yang masih diam mematung di samping pintu untuk sekilas. "Kalau begitu, baiklah. Saya serahkan alat perekam suara ini." Prasetya berjalan ke arah meja sekretaris dan meletakkan sebuah benda berbentuk persegi panjang di atas sana."Ini nomor saya, Nona. Jika ada kendala dalam hal kepenulisan, Anda bisa langsung hubungi saya secepatnya." Prasetya meletakkan selembar kertas yang baru ia bubuhi nomor ponsel di atas alat perekam.Lara hanya mengangguk sebagai jawaban. Siapa sangka, sang atasan justru memberi celah untuknya agar bisa berkomunikasi lebih intens dengan Prasetya. Mungkin inilah salah satu alasan Tuhan memilih raga ini untuk Lara.Akan Lara gunakan kesempatan ini dengan sebaik mungkin.Setelah kembali berpamitan, Prasetya gegas keluar dari dalam ruangan."Salin berkas ini dan kerjakan berita itu! Kedua tugas itu harus selesai hari ini!" tegas Abian memberi perintah.Lara tertegun. Jangankan untuk pemula, bahkan dirinya yang dulunya merupakan sekretaris lama perusahaan pun, tak yakin bisa melakukan keduanya sekaligus dalam kurun waktu dua puluh empat jam.Sadar perintah sang atasan tak dapat dibantah, akhirnya Lara duduk di kursi kerjanya dengan wajah tak berdaya.Waktu berjalan dengan cepat. Denting jam menunjukkan pukul tujuh malam. Namun salinan berkas masih tersisa tiga lembar lagi. Belum lagi tentang berita itu. Benar-benar frustasi Lara dibuatnya.'Kapan selesainya ...?!' keluh Lara dalam hati. Menyenderkan punggungnya yang terasa patah ke senderan kursi untuk sejenak."Jangan pulang sebelum pekerjaanmu selesai!" titah Abian seraya pergi berlalu. Wajah dinginnya kembali bersikap acuh.Mata Lara yang terbelalak mengikuti langkah Abian yang mulai hilang setelah melewati pintu."Di-dia benar-benar meninggalkanku sendirian di kantor ini? Tega sekali," gumam Lara menangis dalam hati.Suasana sunyi di sekitarnya membuat bulu kuduk Lara meremang. Namun sebisa mungkin Lara abaikan. "Aku sudah pernah mati. Untuk apa takut hantu? Seharusnya hantu yang akan takut padaku!" terangnya meredam rasa takutnya sendiri.Setelah selesai menyalin seluruh berkas, Lara gegas memutar alat perekam suara milik Prasetya yang dipercayakan padanya, selagi tangannya mengetik biodata Abian Mahendra di laptop. Kedua aktivitas itu ia lakukan dalam satu waktu, agar waktu yang ia gunakan tak terbuang sia-sia.Meski tak pernah menulis sebuah artikel, namun kurang lebih Lara mengerti bagaimana bahasa dan tata cara kepenulisannya lewat artikel-artikel artis yang pernah ia baca."Mas! Bagaimana ini? Kalau kita tidak bisa menjual rumahmu, bagaimana caraku melunasi hutang perusahaan Papa?"Lara tertegun dengan tubuh membeku, tatkala suara dari alat perekam itu berubah menjadi suara seorang wanita."Kita susul dia sekarang! Aku punya rencana." Dalam rekaman suara itu, muncul sahutan dari suara seorang pria.Lara semakin menajamkan telinga, saat terdengar suara hentakan kaki dan deru mesin mobil dari alat perekam itu."Apa rencanamu, Mas?""Bukankah Lara meminta kita untuk melangkahi mayatnya sebelum menjual rumah? Kita akan lakukan sekarang!""Kamu gila, Mas! Aku tidak mau. Turunkan aku sekarang! Aku tidak mau menjadi buronan Polisi.""Tidak! Kita sudah setengah jalan! Jangan tanggung-tanggung untuk melakukan sesuatu."Brak!Suara benturan keras membuat Lara menyudahi suara rekaman itu dengan tangan gemetaran hebat.Suara benturan keras seakan mengembalikan ingatannya saat kecelakaan maut itu terjadi. Bahkan rasa sakitnya kembali terasa.Lara memegangi kepalanya yang terasa nyeri, bagai tertusuk tombak tak kasat mata. Bulir bening berjatuhan deras tanpa suara.Bisa Lara simpulkan, jika itu adalah sebuah rekaman yang tak sengaja terekam sebelum kecelakaan itu terjadi."Aku tak bisa tinggal diam. Ini adalah bukti pembunuhan berencana. Aku harus menyimpannya lebih dulu." Lara menyalin rekaman itu ke dalam ponselnya dan menghapus rekaman yang asli."Ini akan berguna suatu saat nanti. Tenang saja, Mas. Aku tidak akan menyerahkan rekaman ini ke Polisi sekarang. Karena balasanmu harus lebih berat dari hanya mendekam di dalam jeruji besi."Setelah mengetik seluruh biodata lengkap milik sang Atasan, terbesit pikiran jahat yang mulai menguasai kepala Lara. "Bagaimana jika seluruh dunia tahu kebusukanmu selama ini, Mas? Aku sungguh penasaran, bagaimana reaksi orang-orang di sekitarmu," gumam Lara menyeringai.Dengan tangan gemetaran menahan gejolak amarah yang menyesakkan dada, Lara kembali melanjutkan tulisannya. Namun alih-alih menulis tanya jawab yang terekam selama sesi wawancara, Lara justru menyelipkan kebusukan sang suami dalam artikel tersebut.Setelah menjadikan tulisannya sebagai file dokumen , Lara gegas menghubungi nomor ponsel Prasetya."Halo," sapa suara berat dari seberang telepon."Selamat malam, Pak Prasetya. Saya Lea Faranisa, Sekretaris Pak Abian Mahendra. Saya sudah selesaikan tulisan saya, apakah saya bisa langsung kirimkan filenya sekarang? Barangkali Anda ingin mengeceknya terlebih dahulu sebelum diterbitkan.""Ah, iya-iya, bisa kirimkan langsung ke nomor ini. Tidak perlu pengecekan lagi. Sekelas Sek
Suasana huruk pikuk di dalam kantor seketika hening. Seluruh pasang mata nampak mengamati ke arah satu titik.Prasetya menatap wajah sengit sang atasan dengan kertas yang bercecer di bawah tubuhnya secara bergantian. Tanda tanya besar seketika terlintas dalam benak pria itu.Perlahan, Prasetya ambil beberapa lembar kertas dan mulai membacanya dengan seksama.Betapa terkejutnya ia, mendapati tulisan yang menunjukkan kebusukannya dan sang istri. "A-apa ini?""Seharusnya aku yang tanya begitu padamu!" Atasan Prasetya kembali mengambil beberapa lembar kertas dan melemparnya kasar sebagai tanda kekesalan."Karena tulisanmu ini, saham perusahaan anjlok! Secara tidak langsung kamu mengatakan pada dunia, jika Alpha News memiliki hutang yang dilunasi dengan cara merampas harta milik pekerjanya! Lebih parahnya kamu tulis jika harta itu hasil rampasan dari Putri pemilik yang merayu karyawan kaya!" terang sang atasan dengan intonasi yang semakin meningkat."Ta-tapi saya--""Cukup! Sekarang kamu h
Prasetya kembali melayangkan tatapan penuh selidik. Rasa penasaran seakan mengganggunya sedari awal sejak tak sengaja mengetahui identitas suami dari kekasihnya itu."Benar," jawab Lara datar."Lantas mengapa?"Lara mengerinyitkan dahi ketika tak sepenuhnya mengerti pertanyaan yang diajukan padanya. "Kenapa apanya?""Kenapa mau menjalin hubungan denganku secara diam-diam? Sementara Suamimu adalah seorang pria yang begitu luar biasa di kalangan wanita. Bahkan kekayaannya sungguh tak dapat ku tandingi."Lara terdiam sejenak guna memikirkan jawaban. Ia harus bersikap seolah tak diinginkan, yang mana akan membuat Prasetya iba dan menuruti seluruh permintaannya dengan mudah."Memangnya kenapa jika dia tampan dan populer di mata wanita? Toh dia juga tidak menyukaiku. Lantas, banyak harta juga buat apa? Kalau untuk kebutuhan pribadiku saja aku harus banting tulang sendiri mencari uang?" Lara menjelaskan dengan lugas tanpa terselip sedikit pun keraguan di dalam sana. Ia tak ingin membuat Prase
Selang beberapa menit.Lara dikejutkan dengan dering telepon kabel yang terletak di atas meja kerjanya. Lantas wanita cantik itu gegas meraih gagang telepon."Nona, seseorang mengirim makanan atas nama Anda," ucap seseorang dari seberang telepon."Bisa minta tolong antarkan makanannya ke atas?""Baik."Lara segera meletakkan kembali gagang telepon. Melirik sang atasan yang terlihat beranjak dari tempat duduknya setelah menutup layar laptop."Tutup laptopmu! Waktunya istirahat makan siang," ujar Abian dingin sebelum keluar dari dalam ruangan."Baik, Pak."Namun langkah pria itu terhenti di ambang pintu, setelah resepsionis wanita yang hendak masuk ke dalam ruangan menghalangi jalannya."Ma-maaf, Pak. Saya ingin mengantar ini untuk Nona Lea." Resepsionis wanita nampak beberapa kali membungkukkan tubuh sebagai tanda penyesalan."Apa itu?" Abian melirik sekilas kotak kardus dalam kantung keresek dengan tatapan tajamnya."Ma-makanan, Pak.""Berikan padaku!" Abian merebut paksa kotak makana
Detik berikutnya, bus kembali berhenti di sebuah halte yang tak jauh dari halte sebelumnya.Lara tak menyadari. Ketika suasana semakin sesak sebab beberapa orang yang mulai memasuki bus, sang kakek tua yang duduk berhadapan dengannya tiba-tiba menghilang.Lara gegas mengedarkan pandangan matanya ke seluruh penjuru, dan berhasil menemukan sang kakek tua yang telah berjalan membungkuk melewati bus yang perlahan kembali melaju.Nampaknya sang kakek telah turun dan tak disadari oleh Lara sebelumnya.Banyak pertanyaan yang kini menghantui Lara. Membuat wanita itu pada akhirnya berteriak kencang pada pengemudi bus, "Berhenti!"Sontak pengemudi bus yang terkejut menginjak rem kuat, hingga mengakibatkan para penumpang hampir terpental ke depan.Abian menatap heran ke arah sang istri yang terlihat panik dan gegas turun dari dalam bus. Sontak ia pun mengejar dan menarik kasar tangan sang istri di ambang pintu masuk. "Apa yang sedang kamu lakukan?!" bentaknya lirih namun penuh penekanan. Matanya
"Seperti Ibuku," jawab Abian singkat.Meski terkesan lambat, namun jawaban itu mampu membuat Lara diam mematung. Sebab tak ia dapati intonasi tinggi yang tak enak didengar pada kalimat itu.Detik berikutnya, sebuah alphard berwarna hitam berhenti di bahu jalan. Tepat di depan Lara dan Abian yang gegas berdiri.Pintu mobil itu terbuka dengan sendirinya, seolah mempersilakan sang pemilik untuk segera beranjak masuk.Gegas Lara dan Abian memasuki pintu belakang dan duduk berjejer.Keheningan kembali menyelimuti perjalanan itu. Hingga hampir setengah jam berlalu, mobil mewah itu berhenti di halaman rumah.Setelah memasuki kediaman dan membersihkan diri, Lara yang kala itu ingin mengambil minuman di dapur, dikejutkan dengan kehadiran sang ibu mertua."Lea? Kenapa pulangnya malam sekali? Apa Abian menyuruhmu lembur? Anak ini benar-benar! Mama akan memarahinya nanti," ujar Sita ketika menyadari kehadiran Lara di belakangnya."Ti-tidak kok, Ma. Mobil Pak Abian tadi mogok, jadi harus menunggu
Meski tak dihiraukan, Lara tak menyerah begitu saja. Wanita itu gegas menuju dapur untuk membuat sarapan berupa nasi goreng seafood.Namun langkah Lara dihentikan kepala pelayan yang merupakan seorang pelayan wanita bertubuh tambun di ambang pintu dapur."Selamat pagi, Nona muda," sapa kepala pelayan sopan seraya merundukkan tubuhnya sejenak."Pagi. Bisa beri saya jalan? Saya ingin memasak sesuatu," ujar Lara sopan, tatkala akses masuk ke dalam dapur tertutup tubuh tambun kepala pelayan tersebut.Entah mengapa, namun seluruh pasang mata menatap aneh ke arah Lara setelah mendengar kalimat yang ia ucapkan.Bahkan kepala pelayan nampak saling bertukar pandang dengan rekannya seraya menampakkan wajah bingung."Apa yang Anda butuhkan, Nona? Saya akan memasaknya untuk Anda.""Tidak perlu, saya ingin memasaknya sendiri," jawab Lara lugas. Tetap pada pendiriannya."Ta-tapi, sebelumnya Anda tidak pernah menyentuh peralatan dapur. Saya takut jika nanti Anda akan terlu--""Ini perintah! Minggir!
Setelah menerima kotak bekal dari pelayan, Lara gegas berangkat ke perusahaan menggunakan taksi online langganannya.Selang satu jam perjalanan, akhirnya taksi berhenti di halaman perusahaan.Lara gegas turun dan berlari memasuki gedung, setelah menyerahkan selembar uang kertas berwarna merah pada pengemudi taksi."Selamat pagi, Nyonya," sapa beberapa security yang berjaga di depan pintu perusahaan.Lara mengangguk sekilas seraya tersenyum ramah, sembari terus berjalan melewati mereka.Tentunya, sapaan ramah dari para pekerja merupakan hal yang tak pernah Lara rasakan sebelumnya selama bekerja di perusahaan tersebut. Secara tidak sadar, hal positif itu membuatnya semakin bersemangat di pagi hari.Setelah keluar dari dalam elevator yang ia naiki, Lara berjalan cepat ke arah ruangan dengan pintu kaca."Selamat pagi, Pak Abian," sapa Lara seraya mengangguk sejenak setelah melewati pintu."Hmm." Namun Abian hanya bergeming sebagai jawaban. Mata lelaki itu tetap fokus pada layar laptopnya.
"Pak, Nyonya masuk ke sebuah ruangan bersama wartawan itu." Kris yang bisa melihat dengan jelas dari balik kaca kemudi melapor pada atasannya, sontak Abian segera menepis tubuh Kris karena menutupi pandangannya, dan mendekatkan wajahnya ke arah jendela.Kris terkejut hingga terjepit di antara Abian dan senderan kursi kemudi, namun dia tidak bisa protes atau pun menunjukkan reaksi yang menonjol, sebab tak ingin menjadi sasaran kemarahan atasannya. Akhirnya, Kris hanya diam, bahkan untuk bernapas saja dia berusaha sepelan mungkin."Tck! Wanita itu!" decak Abian hampir tak terdengar, kedua tangannya mengepal erat menahan rasa geram.Setelah itu, Abian buru-buru mengambil ponselnya dan berinisiatif menelpon istrinya, dia ingin melihat apakah istrinya akan berkata jujur atau malah berbohong padanya.Setelah berdengung beberapa kali, akhirnya Lara mengangkat teleponnya, namun Abian hanya mendapati keheningan dari sana.Abian mengatur napasnya berulang kali, dia mencoba menahan diri dan bers
"Apa?" Prasetya tertegun dengan mata melebar, dia hampir tidak percaya dengan apa yang baru keluar dari mulut kekasihnya itu."Aku tidak memaksamu, hanya saja ... jika aku membawa mobil dengan nama orang lain, mungkin keluargaku, atau bahkan suamiku akan curiga," timpal Lara berkilah. Sejak kematiannya hari itu, Lara menjadi seorang wanita yang pandai bersilat lidah, bahkan dia sendiri pun hampir tidak mengenali dirinya sendiri."Memang ada benarnya." Prasetya terdiam sambil berpikir. 'Jika aku membeli mobil atas nama Lea, bagaimana aku menjelaskan tagihan kartu kredit yang akan datang pada Medina?'Di detik berikutnya, Prasetya dikejutkan dengan kedatangan pemilik showroom yang hendak melayaninya secara eksklusif."Pak Ronald." Prasetya buru-buru menjabat tangan pria paruh baya yang tengah tersenyum ramah ke arahnya, setelan jas hitam yang dia kenakan menunjukkan statusnya yang bukanlah orang biasa."Apakah Anda sudah memilih model yang Anda sukai, Pak Pras?" tanyanya."Belum, pacar
Mobil sedan tua itu mulai meninggalkan halaman parkir restoran, Abian dan Kris bergegas mengikuti dari belakang."Pak, saya tahu ini urusan pribadi Anda, saya juga tahu jika sebenarnya saya tidak berhak untuk ikut campur, tapi saya sudah ikut terjebak dalam situasi ini. Bisakah Anda menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi?" Dalam kebingungan itu, Kris berusaha berkonsentrasi pada jalan raya dan mobil sedan Prasetya yang melaju semakin cepat.Dalam situasi tegang itu Abian terdiam sejenak. "Singkatnya, Lea menanggapi ajakan makan wartawan itu dengan serius, mungkinkah Lea memiliki perasaan padanya?" Abian menatap Kris dengan wajah penasaran seakan menunggu jawaban.Kris tercengang, hingga kemudi mobil yang sedang dia pegang hampir memutar 60 derajat dari posisi semula. Beruntungnya, Kris dapat dengan cepat mengendalikan kemudi dan menyelamatkan dua nyawa yang hampir melayang.Plak!Abian menepuk keras bagian kepala belakang asistennya, sembari mendengus kesal. "Apa kau sudah gila?! Kit
Plak!Lara menepis kasar kedua lengan kekar yang hendak merengkuhnya."Jaga tingkah lakumu! Di sini banyak orang," bisik Lara memperingati dengan tatapan sengit.Namun alih-alih merasa bersalah, pria yang akrab disapa Prasetya itu hanya tersenyum tipis tanpa rasa malu.Abian melonggarkan simpul dasinya kasar. Berusaha menghilangkan sesaknya dada akibat pemandangan yang membuatnya kepanasan itu.Ternyata ajakan makan sebagai rasa terima kasih yang pernah jurnalis itu ucapkan ditanggapi sungguh-sungguh oleh sang istri.Sempat terbesit rasa bingung. Apa sebenarnya yang terlihat lebih baik dari wartawan itu jika dibandingkan dengan Abian? Mungkinkah selera sang istri sungguh rendahan?Melihat dua pasangan sejoli yang tengah berjalan memasuki cafe, membuat Abian memutuskan menghubungi sang asisten dengan ponselnya."Kris, sekarang temui aku di Cafe Hallyu. Bawa topi dan masker hitam. Aku menunggumu di parkiran," pungkas Abian sebelum memutus sambungan telepon tanpa menunggu jawaban.Hampir
Dengan cepat, Abian menyuapkan satu sendok sup ayam buatan Lara ke dalam mulutnya.Sup ayam adalah satu-satunya makanan berkuah favorit Abian. Ia tak tahu dari mana sang istri mengetahui makanan kesukaannya. Mungkinkah sang ibu yang memberitahunya sebelum ini?Daging ayam yang lembut berpadu dengan kuah kental itu terasa menyatu dalam mulut. Memberikan sensasi rasa yang berbeda pada lidah. Sebuah kenikmatan yang belum pernah Abian rasakan dalam setiap makanan yang pernah ia nikmati selama ini.Setelah suapan pertamanya, tanpa sadar tangan Abian terus menyuap tanpa henti. Ia bahkan hampir tak percaya jika hidangan ini dibuat oleh tangan seorang putri bangsawan manja yang bahkan tak pernah menginjakkan kaki di dapur sekali pun.Penyesalan seakan mulai menghantam. Rasanya ia telah menyia-nyiakan makanan enak selama ini dengan mengabaikan bahkan membuangnya ke tempat sampah."Pak, makannya pelan-pelan. Di dapur masih ada semangkuk lagi jika Anda masih mau." Ucapan Lara seakan menyadarkan
Lara membeku dengan mata melebar. Dia tak percaya jika Abian berani mengatakan hal itu di depannya.Akhirnya, Lara pasrah. Membiarkan Abian bertingkah sesukanya, termasuk mengompres perutnya hingga rasa nyeri perlahan mereda."Apa sudah mendingan?" Abian bertanya sebelum mengambil handuk yang sudah beberapa kali ia basahi dengan air hangat di atas perut sang istri.Namun Lara hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, lantas kembali menunduk. Sekedar menatap wajah Abian pun ia terlalu malu.Abian tersenyum tipis, pertanda mengerti, sebelum bangkit dan beranjak pergi membawa baskom dan handuk basah di tangannya.****Keesokan harinya.Bunyi denting peralatan dapur terdengar saling beradu. Dimainkan dengan lihai oleh kedua tangan pemiliknya.Para pelayan hanya mampu menyaksikan dengan rasa was-was dari kejauhan. Mengingat peringatan yang diberikan majikannya kemarin, jika sang nona muda dilarang menginjakkan kaki di dapur. Namun sang nona muda seakan tak menggubris larangan mereka. Sementa
"Baiklah, hari ini aku memaafkanmu, Abian. Tapi jika sampai Lea terluka lagi karenamu, aku akan langsung membawanya ke pengadilan agama," terang Calista memperingati."Baik, Ma. Aku berjanji hal seperti ini tidak akan terulang lagi."Sita memandang heran ke arah Abian. Sikap sopan dan janjinya hari ini benar-benar membuatnya takjub. Tanpa Sita sadari, seulas senyum mengembang sempurna di bibirnya."Permisi," sela salah seorang perawat yang tengah memasuki bangsal dengan mendorong sebuah troli.Sontak seluruh kaki yang menghalangi jalan gegas berjalan menepi.Setelah mendekati tempat tidur pasien, perawat wanita itu nampak meletakkan sebuah makanan di atas piring bersekat. Tak lupa beberapa tablet vitamin sesuai anjuran dokter diletakkan perawat itu di sampingnya.Pelayan wanita mengangguk sekilas sebelum beranjak pergi mendorong troli keluar dari dalam bangsal.Sita menatap tajam ke arah sang putra dan memberi isyarat dengan anggukan dagu.Sedangkan Abian yang langsung mengerti segera
Ini jelas bukan gaya bicara Lea. Jangankan perihal agama, membaca basmalah saja dia tidak bisa.Abiam membeku dengan mata melebar. Ini aneh, sungguh aneh.Abian tanpa sadar gegas bangkit dan mundur beberapa langkah. Kepanikannya membuat sebaskom air hangat yang semula ia letakkan di atas meja terjatuh ke lantai.Dengan tubuh gemetaran, Abian menatap Lara penuh waspada. "Si-siapa kamu sebenarnya?"Lagi. Pertanyaan itu membuat nyeri hebat perlahan menjalar ke sekujur tubuh. Lara tercekat hingga tak mampu bersuara, sebab nyeri itu tak lagi menyerang dada dan tenggorokannya, tapi mulai menyerang kepala.Entah efek demam tinggi yang ia derita, atau efek dari Abian yang telah menaruh curiga?Pandangan Lara terasa berkunang-kunang. Perlahan kabur dan mulai gelap. Dalam rasa sakit itu, akhirnya Lara kehilangan kesadaran.***Suara alat pendeteksi detak jantung terdengar berirama. Dan akhirnya berhasil membuat Lara terjaga."Detak jantung Pasien sangat lemah. Untungnya, Pasien segera dibawa ke
Tanpa aba-aba, Lara gegas berdiri tegak di hadapan Abian. Tentunya bagian intim dari wanita itu terkespos sempurna.Meski merasa malu awalnya, namun Lara berusaha meredam rasa itu. Sebab jika dirinya terus jual mahal, tak menutup kemungkinan jika dirinya hanya bisa menunggu liontin kelopak bunga habis tanpa bisa berbuat banyak."Sentuhlah di bagian mana pun yang Anda mau," ujar Lara meyakinkan.Abian diam mematung dengan wajah terperangah. Menghindar pun rasanya sulit, sebab bak mandi yang mereka tempati terlalu sempit.Nafsu Abian terasa bergejolak, namun hati nuraninya terus menolak.Seraya mengatur nafas yang tersengal, Abian memutar cepat kepalanya ke arah lain. Ia tak ingin pemandangan indah itu membutakan nuraninya. "Jangan gila! Cepat pakai pakaianmu!" titah Abian lantang.Mendengar penolakan itu seketika membuat hati Lara sesak. Wanita itu menundukkan wajah tak berdaya, sebelum kembali bertekad kuat dengan semakin berani mendekatkan dirinya pada sang suami.Seakan tak memiliki