Selang beberapa menit.
Lara dikejutkan dengan dering telepon kabel yang terletak di atas meja kerjanya. Lantas wanita cantik itu gegas meraih gagang telepon."Nona, seseorang mengirim makanan atas nama Anda," ucap seseorang dari seberang telepon."Bisa minta tolong antarkan makanannya ke atas?""Baik."Lara segera meletakkan kembali gagang telepon. Melirik sang atasan yang terlihat beranjak dari tempat duduknya setelah menutup layar laptop."Tutup laptopmu! Waktunya istirahat makan siang," ujar Abian dingin sebelum keluar dari dalam ruangan."Baik, Pak."Namun langkah pria itu terhenti di ambang pintu, setelah resepsionis wanita yang hendak masuk ke dalam ruangan menghalangi jalannya."Ma-maaf, Pak. Saya ingin mengantar ini untuk Nona Lea." Resepsionis wanita nampak beberapa kali membungkukkan tubuh sebagai tanda penyesalan."Apa itu?" Abian melirik sekilas kotak kardus dalam kantung keresek dengan tatapan tajamnya."Ma-makanan, Pak.""Berikan padaku!" Abian merebut paksa kotak makanan dari tangan bawahannya sebelum kembali menutup pintu dan memasuki ruangannya.Abian berjalan gontai menghampiri meja kerja sang istri, sebelum menjatuhkan kasar kotak makanan itu di atas meja.Lara yang tersentak gegas menatap sang atasan heran."Sejak kapan kamu makan makanan seperti ini?" tanya Abian dengan nada menginterogasi."Sejak kapan? Apakah sebelumnya aku tidak pernah makan nasi?" tanya Lara bingung.Abian diam membisu. Matanya menatap wajah Lara penuh selidik, seolah tengah menaruh curiga."Siapa yang memesankannya untukmu?" tanya Abian kembali.Kini giliran Lara yang terdiam. Tak mungkin baginya berkata jujur, jika makanan itu dipesankan oleh Prasetya yang saat ini berstatus sebagai selingkuhannya.Bagaimana pun, Abian adalah suami sah dari pemilik raga yang kini Lara tempati. Sudah sewajarnya untuk menghormati pria itu sebagai seorang suami."Temanku," jawab Lara singkat.Kejanggalan kembali terjadi. Lea adalah sosok wanita yang anti sosial. Bahkan semasa kecilnya, ia tak seperti kebanyakan anak lain yang belajar di sekolah. Lea menuntut ilmu di rumah dengan guru privat. Tak jarang, segelintir teman pun Lea tak punya. Lantas, bagaimana bisa seorang teman memesankan makanan untuknya?Pernah suatu ketika, Abian mendapati Lea yang membuang makanan yang dijual di restoran ternama dengan alasan tak higienis. Lantas, bagaimana cara menjelaskan makanan di atas meja itu?Abian menghela nafas berat sebelum melengos pergi. Ia tak ingin dibebankan dengan pikiran janggal atau kebingungan terhadap apa pun."Lupakan! Nanti malam ada pertemuan dengan Klien di Caffe Hallyu," pungkasnya sebelum meninggalkan ruangan."Baik, Pak."Ting!Notifikasi satu pesan singkat terlihat muncul dari layar ponsel milik Lara.[Apakah makanannya enak?]Lara memandangi layar ponsel itu untuk sekilas, sebelum memutuskan untuk mengetik sebuah balasan.[Iya, seandainya Suamiku seperhatian ini, mungkin hidupku lebih bahagia dari seorang bidadari]Ting!Detik berikutnya, balasan pesan singkat kembali masuk.[Aku akan menggantikannya untuk membahagiakanmu hehehe]Lara gegas meletakkan kembali ponselnya, tatkala melihat emot menyungging malu di akhir balasan. Sungguh menjijikkan.****Malam harinya. Cafe hallyu. Pukul sepuluh malam."Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk kami, Pak Abian," ujar ramah seorang pria paruh baya yang gegas bangkit dari tempat duduknya. Mengulurkan tangan guna menjabat tangan Abian Mahendra."Sama-sama, Pak." Abian tersenyum tipis seraya menerima jabat tangan.Setelah berpamitan, para klien yang turut hadir segera pergi meninggalkan cafe. Gegas Lara dan Abian bangkit untuk mengikuti."Apakah ada jadwal lagi untuk hari ini, Pak?" tanya Lara."Ada.""Pertemuan dengan Klien?""Tidur," jawab Abian singkat tanpa ekspresi.Lara diam-diam menggertakkan gigi menahan rasa dongkol. Lantas gegas menyusul Abian yang telah memasuki mobilnya.Kebingungan perlahan menghantam Lara, tatkala ia tak mendapati suara deru mesin mobil dan sang atasan yang tak kunjung memacu mobilnya.Abian terlihat kebingungan dengan mengutak-atik kunci mobil dan beberapa kali mencoba menghidupkan mesinnya, namun mesin mobil tak kunjung hidup. 'Tck! Kenapa lagi mobil ini?!'"Turun!" titah Abian membuat Lara semakin kebingungan.Wanita itu hanya menatap sang atasan dengan penuh tanda tanya dan tak kunjung beranjak.Abian yang mulai terlihat geram, kembali melayangkan tatapan tajamnya ke arah sang istri tanpa bergeming.Sontak Lara segera turun dari dalam mobil."Mobilnya mogok, aku akan pesan taksi online," ujar Abian mengeluarkan benda pipih dari saku celananya.Nahasnya, ponsel yang ia keluarkan kala itu tak dapat menyala. Gegas Abian letakkan kembali ponsel itu ke dalam saku."Kita cari halte terdekat, pulangnya naik bus saja," pungkasnya seraya berjalan cepat ke arah jalan besar."Eh?" Lara gelagapan, kala tak sepenuhnya paham maksud sang atasan. Ia pun gegas berlari menyusul langkah Abian yang semakin menjauh dari tempatnya semula.Hampir setengah jam menunggu, akhirnya sebuah bus berwarna biru datang dari arah utara.Suasana sesak dan panas langsung menyambut keduanya, kala Lara dan Abian mulai memasuki pintu bus.Sesekali Abian melirik sang istri yang tak pernah menaiki angkutan umum sebelumnya.Dan kejanggalan pun kembali terjadi. Lea tak terlihat panik dan gelisah. Justru wanita itu segera mencari tempat duduk yang tersisa di balik kerumunan orang asing. Layaknya seorang wanita yang terbiasa menaiki angkutan umum.Abian tak berniat mendekat dan memilih untuk mengawasi sang istri dari kejauhan.Tak lama, bus kembali berhenti dan menurunkan beberapa orang.Nampak seorang pria tua tengah jalan membungkuk memasuki lorong bus dan berhenti tepat di depan Lara.Lara gegas bangkit dari tempat duduknya. "Silakan, Kek. Biar saya saja yang berdiri," ujar Lara ramah. Mempersilakan pria tua untuk duduk di tempatnya."Terima kasih, Nak," ujar kakek dengan suara bergetar halus.Abian diam tak bergeming. Merasa aneh dengan sikap angkuh sang istri yang seolah menghilang dalam sekejap mata.Sang kakek nampak diam mematung seraya menatap lekat ke arah leher Lara. Bergumam lirih seolah tengah menghitung sesuatu."Hanya tersisa dua puluh enam hari. Pergunakan waktumu sebaik mungkin, Nak."Kalimat sang kakek membuat Lara tertegun sejenak. "Kakek bicara dengan saya?" Lara menunjuk dirinya sendiri."Ada beberapa orang yang bernasib sama sepertimu di dunia ini. Jika ingin mengetahuinya, cukup lakukan ini." Kakek tua menutup mata bagian kanannya dengan satu telapak tangan, dan membiarkan mata sebelah kirinya terbuka.Lara tercengang. Tubuhnya mendadak membeku ketika menyadari akan maksud ucapan sang kakek. 'Di-dia ... mengetahui identitas ku?'Detik berikutnya, bus kembali berhenti di sebuah halte yang tak jauh dari halte sebelumnya.Lara tak menyadari. Ketika suasana semakin sesak sebab beberapa orang yang mulai memasuki bus, sang kakek tua yang duduk berhadapan dengannya tiba-tiba menghilang.Lara gegas mengedarkan pandangan matanya ke seluruh penjuru, dan berhasil menemukan sang kakek tua yang telah berjalan membungkuk melewati bus yang perlahan kembali melaju.Nampaknya sang kakek telah turun dan tak disadari oleh Lara sebelumnya.Banyak pertanyaan yang kini menghantui Lara. Membuat wanita itu pada akhirnya berteriak kencang pada pengemudi bus, "Berhenti!"Sontak pengemudi bus yang terkejut menginjak rem kuat, hingga mengakibatkan para penumpang hampir terpental ke depan.Abian menatap heran ke arah sang istri yang terlihat panik dan gegas turun dari dalam bus. Sontak ia pun mengejar dan menarik kasar tangan sang istri di ambang pintu masuk. "Apa yang sedang kamu lakukan?!" bentaknya lirih namun penuh penekanan. Matanya
"Seperti Ibuku," jawab Abian singkat.Meski terkesan lambat, namun jawaban itu mampu membuat Lara diam mematung. Sebab tak ia dapati intonasi tinggi yang tak enak didengar pada kalimat itu.Detik berikutnya, sebuah alphard berwarna hitam berhenti di bahu jalan. Tepat di depan Lara dan Abian yang gegas berdiri.Pintu mobil itu terbuka dengan sendirinya, seolah mempersilakan sang pemilik untuk segera beranjak masuk.Gegas Lara dan Abian memasuki pintu belakang dan duduk berjejer.Keheningan kembali menyelimuti perjalanan itu. Hingga hampir setengah jam berlalu, mobil mewah itu berhenti di halaman rumah.Setelah memasuki kediaman dan membersihkan diri, Lara yang kala itu ingin mengambil minuman di dapur, dikejutkan dengan kehadiran sang ibu mertua."Lea? Kenapa pulangnya malam sekali? Apa Abian menyuruhmu lembur? Anak ini benar-benar! Mama akan memarahinya nanti," ujar Sita ketika menyadari kehadiran Lara di belakangnya."Ti-tidak kok, Ma. Mobil Pak Abian tadi mogok, jadi harus menunggu
Meski tak dihiraukan, Lara tak menyerah begitu saja. Wanita itu gegas menuju dapur untuk membuat sarapan berupa nasi goreng seafood.Namun langkah Lara dihentikan kepala pelayan yang merupakan seorang pelayan wanita bertubuh tambun di ambang pintu dapur."Selamat pagi, Nona muda," sapa kepala pelayan sopan seraya merundukkan tubuhnya sejenak."Pagi. Bisa beri saya jalan? Saya ingin memasak sesuatu," ujar Lara sopan, tatkala akses masuk ke dalam dapur tertutup tubuh tambun kepala pelayan tersebut.Entah mengapa, namun seluruh pasang mata menatap aneh ke arah Lara setelah mendengar kalimat yang ia ucapkan.Bahkan kepala pelayan nampak saling bertukar pandang dengan rekannya seraya menampakkan wajah bingung."Apa yang Anda butuhkan, Nona? Saya akan memasaknya untuk Anda.""Tidak perlu, saya ingin memasaknya sendiri," jawab Lara lugas. Tetap pada pendiriannya."Ta-tapi, sebelumnya Anda tidak pernah menyentuh peralatan dapur. Saya takut jika nanti Anda akan terlu--""Ini perintah! Minggir!
Setelah menerima kotak bekal dari pelayan, Lara gegas berangkat ke perusahaan menggunakan taksi online langganannya.Selang satu jam perjalanan, akhirnya taksi berhenti di halaman perusahaan.Lara gegas turun dan berlari memasuki gedung, setelah menyerahkan selembar uang kertas berwarna merah pada pengemudi taksi."Selamat pagi, Nyonya," sapa beberapa security yang berjaga di depan pintu perusahaan.Lara mengangguk sekilas seraya tersenyum ramah, sembari terus berjalan melewati mereka.Tentunya, sapaan ramah dari para pekerja merupakan hal yang tak pernah Lara rasakan sebelumnya selama bekerja di perusahaan tersebut. Secara tidak sadar, hal positif itu membuatnya semakin bersemangat di pagi hari.Setelah keluar dari dalam elevator yang ia naiki, Lara berjalan cepat ke arah ruangan dengan pintu kaca."Selamat pagi, Pak Abian," sapa Lara seraya mengangguk sejenak setelah melewati pintu."Hmm." Namun Abian hanya bergeming sebagai jawaban. Mata lelaki itu tetap fokus pada layar laptopnya.
Lara melebarkan mata mendengar ucapan Prasetya yang seakan akan ingin menuruti segala keinginannya tanpa ragu.Keduanya pun mulai melangkahkan kaki memasuki toko perhiasan tersebut.Kilau benderang dari benda-benda dalam etalase sungguh terasa menyilaukan mata. Namun pandangan mata Lara langsung tertuju pada deretan cincin yang sempat ia pilih sebelum kecelakaan maut itu terjadi padanya."Permisi, Mas. Saya mau mengambil jam tangan pesanan Pak Bakhtiar," ujar Prasetya memanggil salah seorang pekerja toko yang berdiri membelakangi mereka.Salah satu pemuda nampak mendekat dan mengambil secarik kertas sebagai tanda bukti pembayaran yang diulurkan tangan Prasetya.Sang pemuda nampak menelisik tulisan pada kertas itu sejenak."Baik, Pak. Mohon tunggu sebentar."Prasetya mengangguk sekilas sebelum pemuda itu menjauhi etalase kaca, dan beralih ke sebuah ruangan.Pandangan mata Prasetya teralih ke arah sang kekasih yang tengah berdiri di sampingnya. Diam mematung seraya menatap deretan cinci
Setelah mengantarkan sang kekasih pulang ke rumah suaminya, Prasetya pun bergegas untuk pulang.Rasa cemasnya semakin besar ketika ia sendirian mengendara di dalam mobil menembus kegelapan malam. Apa yang harus ia katakan jika Medina meminta penjelasan darinya nanti?Dalam kebingungannya itu, pandangan mata Prasetya menangkap dua kerumunan orang yang berdiri di tepian jalan besar. Sempat ada tanda tanya besar memenuhi kepala Prasetya, hingga dua buah mobil ringsek yang terletak tak jauh dari tempat kerumunan orang menjawab pertanyaannya.'Ternyata sebuah kecelakaan' batin Prasetya.Entah kebetulan atau sebuah keberuntungan, namun dari apa yang berhasil ia lihat di detik itu, sebuah alasan brilian muncul begitu saja dalam kepalanya. "Apa aku berpura-pura kecelakaan saja? Mungkin dengan begini, Medina tidak akan marah padaku."Prasetya gegas memutar arah kemudi mobilnya dan memutuskan untuk menitipkan mobil yang ia kendarai di rumah rekan kerjanya untuk beberapa hari.Awalnya sang rekan
Denting jam telah menunjukkan pukul sebelas malam.Suara deru mesin mobil yang mulai memasuki halaman rumah terasa memecah keheningan malam.Abian yang baru menyelesaikan meeting mendadak dengan beberapa klien hari ini gegas pulang ke rumah.Rasa lelah membuat tubuhnya terasa hampir tak bertenaga.Namun baru selangkah Abian melewati garis pintu masuk utama, ia dikejutkan dengan kehadiran sang istri yang tiba-tiba muncul dari balik pintu."Sudah pulang?" tanya Lara berbasa-basi. Ia ingin mempraktekkan penjelasan sang mertua tentang sebuah perhatian yang Abian butuhkan. Dan beginilah caranya memberi perhatian pada mantan suaminya sepulang dari tempat kerjanya dulu.Setengah tersentak membuat tubuh Abian menegang. Pria itu lantas menajamkan pandangan matanya ke arah Lara seolah menunjukkan rasa kesal.Namun itu hanya berlangsung sesaat, sebelum Abian beranjak melewati tubuh sang istri begitu saja. "Sudah tau ngapain tanya?" ketus Abian seraya pergi berlalu.Lara membulatkan mata tak perc
Keesokan paginya.Abian yang telah bersiap dengan pakaian dinasnya, gegas berjalan gontai menuju meja makan.Pemandangan pertama yang Abian saksikan kala itu adalah sang istri yang sedang sibuk menyajikan berbagai hidangan di atas meja.Suatu pemandangan yang mampu menghentikan langkah kaki Abian dan membuatnya seketika berdiri mematung."Lihat Istrimu! Pagi-pagi sekali dia bangun untuk memasak sarapan untukmu. Rajin sekali, kan?" Celetukan Sita yang muncul tiba-tiba berhasil membuat sang putra tersentak.Abian lantas buru-buru mengalihkan pandangan matanya dari meja makan. "Rajin apanya? Ini sudah hampir jam sembilan," timpal Abian mengetuk arlojinya.Raut wajah bahagia Sita seketika dibuat luntur oleh sang putra. Wanita paruh baya itu lantas mencubit keras lengan Abian untuk menyadarkan putranya dari sebuah kesalahan."Akh! Sakit, Ma.""Kamu ini benar-benar! Kamu pikir memasak tidak membutuhkan waktu? Apa kamu pikir memasak itu sama halnya dengan sulap? Sekali cling! Bahan makanan s
"Pak, Nyonya masuk ke sebuah ruangan bersama wartawan itu." Kris yang bisa melihat dengan jelas dari balik kaca kemudi melapor pada atasannya, sontak Abian segera menepis tubuh Kris karena menutupi pandangannya, dan mendekatkan wajahnya ke arah jendela.Kris terkejut hingga terjepit di antara Abian dan senderan kursi kemudi, namun dia tidak bisa protes atau pun menunjukkan reaksi yang menonjol, sebab tak ingin menjadi sasaran kemarahan atasannya. Akhirnya, Kris hanya diam, bahkan untuk bernapas saja dia berusaha sepelan mungkin."Tck! Wanita itu!" decak Abian hampir tak terdengar, kedua tangannya mengepal erat menahan rasa geram.Setelah itu, Abian buru-buru mengambil ponselnya dan berinisiatif menelpon istrinya, dia ingin melihat apakah istrinya akan berkata jujur atau malah berbohong padanya.Setelah berdengung beberapa kali, akhirnya Lara mengangkat teleponnya, namun Abian hanya mendapati keheningan dari sana.Abian mengatur napasnya berulang kali, dia mencoba menahan diri dan bers
"Apa?" Prasetya tertegun dengan mata melebar, dia hampir tidak percaya dengan apa yang baru keluar dari mulut kekasihnya itu."Aku tidak memaksamu, hanya saja ... jika aku membawa mobil dengan nama orang lain, mungkin keluargaku, atau bahkan suamiku akan curiga," timpal Lara berkilah. Sejak kematiannya hari itu, Lara menjadi seorang wanita yang pandai bersilat lidah, bahkan dia sendiri pun hampir tidak mengenali dirinya sendiri."Memang ada benarnya." Prasetya terdiam sambil berpikir. 'Jika aku membeli mobil atas nama Lea, bagaimana aku menjelaskan tagihan kartu kredit yang akan datang pada Medina?'Di detik berikutnya, Prasetya dikejutkan dengan kedatangan pemilik showroom yang hendak melayaninya secara eksklusif."Pak Ronald." Prasetya buru-buru menjabat tangan pria paruh baya yang tengah tersenyum ramah ke arahnya, setelan jas hitam yang dia kenakan menunjukkan statusnya yang bukanlah orang biasa."Apakah Anda sudah memilih model yang Anda sukai, Pak Pras?" tanyanya."Belum, pacar
Mobil sedan tua itu mulai meninggalkan halaman parkir restoran, Abian dan Kris bergegas mengikuti dari belakang."Pak, saya tahu ini urusan pribadi Anda, saya juga tahu jika sebenarnya saya tidak berhak untuk ikut campur, tapi saya sudah ikut terjebak dalam situasi ini. Bisakah Anda menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi?" Dalam kebingungan itu, Kris berusaha berkonsentrasi pada jalan raya dan mobil sedan Prasetya yang melaju semakin cepat.Dalam situasi tegang itu Abian terdiam sejenak. "Singkatnya, Lea menanggapi ajakan makan wartawan itu dengan serius, mungkinkah Lea memiliki perasaan padanya?" Abian menatap Kris dengan wajah penasaran seakan menunggu jawaban.Kris tercengang, hingga kemudi mobil yang sedang dia pegang hampir memutar 60 derajat dari posisi semula. Beruntungnya, Kris dapat dengan cepat mengendalikan kemudi dan menyelamatkan dua nyawa yang hampir melayang.Plak!Abian menepuk keras bagian kepala belakang asistennya, sembari mendengus kesal. "Apa kau sudah gila?! Kit
Plak!Lara menepis kasar kedua lengan kekar yang hendak merengkuhnya."Jaga tingkah lakumu! Di sini banyak orang," bisik Lara memperingati dengan tatapan sengit.Namun alih-alih merasa bersalah, pria yang akrab disapa Prasetya itu hanya tersenyum tipis tanpa rasa malu.Abian melonggarkan simpul dasinya kasar. Berusaha menghilangkan sesaknya dada akibat pemandangan yang membuatnya kepanasan itu.Ternyata ajakan makan sebagai rasa terima kasih yang pernah jurnalis itu ucapkan ditanggapi sungguh-sungguh oleh sang istri.Sempat terbesit rasa bingung. Apa sebenarnya yang terlihat lebih baik dari wartawan itu jika dibandingkan dengan Abian? Mungkinkah selera sang istri sungguh rendahan?Melihat dua pasangan sejoli yang tengah berjalan memasuki cafe, membuat Abian memutuskan menghubungi sang asisten dengan ponselnya."Kris, sekarang temui aku di Cafe Hallyu. Bawa topi dan masker hitam. Aku menunggumu di parkiran," pungkas Abian sebelum memutus sambungan telepon tanpa menunggu jawaban.Hampir
Dengan cepat, Abian menyuapkan satu sendok sup ayam buatan Lara ke dalam mulutnya.Sup ayam adalah satu-satunya makanan berkuah favorit Abian. Ia tak tahu dari mana sang istri mengetahui makanan kesukaannya. Mungkinkah sang ibu yang memberitahunya sebelum ini?Daging ayam yang lembut berpadu dengan kuah kental itu terasa menyatu dalam mulut. Memberikan sensasi rasa yang berbeda pada lidah. Sebuah kenikmatan yang belum pernah Abian rasakan dalam setiap makanan yang pernah ia nikmati selama ini.Setelah suapan pertamanya, tanpa sadar tangan Abian terus menyuap tanpa henti. Ia bahkan hampir tak percaya jika hidangan ini dibuat oleh tangan seorang putri bangsawan manja yang bahkan tak pernah menginjakkan kaki di dapur sekali pun.Penyesalan seakan mulai menghantam. Rasanya ia telah menyia-nyiakan makanan enak selama ini dengan mengabaikan bahkan membuangnya ke tempat sampah."Pak, makannya pelan-pelan. Di dapur masih ada semangkuk lagi jika Anda masih mau." Ucapan Lara seakan menyadarkan
Lara membeku dengan mata melebar. Dia tak percaya jika Abian berani mengatakan hal itu di depannya.Akhirnya, Lara pasrah. Membiarkan Abian bertingkah sesukanya, termasuk mengompres perutnya hingga rasa nyeri perlahan mereda."Apa sudah mendingan?" Abian bertanya sebelum mengambil handuk yang sudah beberapa kali ia basahi dengan air hangat di atas perut sang istri.Namun Lara hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, lantas kembali menunduk. Sekedar menatap wajah Abian pun ia terlalu malu.Abian tersenyum tipis, pertanda mengerti, sebelum bangkit dan beranjak pergi membawa baskom dan handuk basah di tangannya.****Keesokan harinya.Bunyi denting peralatan dapur terdengar saling beradu. Dimainkan dengan lihai oleh kedua tangan pemiliknya.Para pelayan hanya mampu menyaksikan dengan rasa was-was dari kejauhan. Mengingat peringatan yang diberikan majikannya kemarin, jika sang nona muda dilarang menginjakkan kaki di dapur. Namun sang nona muda seakan tak menggubris larangan mereka. Sementa
"Baiklah, hari ini aku memaafkanmu, Abian. Tapi jika sampai Lea terluka lagi karenamu, aku akan langsung membawanya ke pengadilan agama," terang Calista memperingati."Baik, Ma. Aku berjanji hal seperti ini tidak akan terulang lagi."Sita memandang heran ke arah Abian. Sikap sopan dan janjinya hari ini benar-benar membuatnya takjub. Tanpa Sita sadari, seulas senyum mengembang sempurna di bibirnya."Permisi," sela salah seorang perawat yang tengah memasuki bangsal dengan mendorong sebuah troli.Sontak seluruh kaki yang menghalangi jalan gegas berjalan menepi.Setelah mendekati tempat tidur pasien, perawat wanita itu nampak meletakkan sebuah makanan di atas piring bersekat. Tak lupa beberapa tablet vitamin sesuai anjuran dokter diletakkan perawat itu di sampingnya.Pelayan wanita mengangguk sekilas sebelum beranjak pergi mendorong troli keluar dari dalam bangsal.Sita menatap tajam ke arah sang putra dan memberi isyarat dengan anggukan dagu.Sedangkan Abian yang langsung mengerti segera
Ini jelas bukan gaya bicara Lea. Jangankan perihal agama, membaca basmalah saja dia tidak bisa.Abiam membeku dengan mata melebar. Ini aneh, sungguh aneh.Abian tanpa sadar gegas bangkit dan mundur beberapa langkah. Kepanikannya membuat sebaskom air hangat yang semula ia letakkan di atas meja terjatuh ke lantai.Dengan tubuh gemetaran, Abian menatap Lara penuh waspada. "Si-siapa kamu sebenarnya?"Lagi. Pertanyaan itu membuat nyeri hebat perlahan menjalar ke sekujur tubuh. Lara tercekat hingga tak mampu bersuara, sebab nyeri itu tak lagi menyerang dada dan tenggorokannya, tapi mulai menyerang kepala.Entah efek demam tinggi yang ia derita, atau efek dari Abian yang telah menaruh curiga?Pandangan Lara terasa berkunang-kunang. Perlahan kabur dan mulai gelap. Dalam rasa sakit itu, akhirnya Lara kehilangan kesadaran.***Suara alat pendeteksi detak jantung terdengar berirama. Dan akhirnya berhasil membuat Lara terjaga."Detak jantung Pasien sangat lemah. Untungnya, Pasien segera dibawa ke
Tanpa aba-aba, Lara gegas berdiri tegak di hadapan Abian. Tentunya bagian intim dari wanita itu terkespos sempurna.Meski merasa malu awalnya, namun Lara berusaha meredam rasa itu. Sebab jika dirinya terus jual mahal, tak menutup kemungkinan jika dirinya hanya bisa menunggu liontin kelopak bunga habis tanpa bisa berbuat banyak."Sentuhlah di bagian mana pun yang Anda mau," ujar Lara meyakinkan.Abian diam mematung dengan wajah terperangah. Menghindar pun rasanya sulit, sebab bak mandi yang mereka tempati terlalu sempit.Nafsu Abian terasa bergejolak, namun hati nuraninya terus menolak.Seraya mengatur nafas yang tersengal, Abian memutar cepat kepalanya ke arah lain. Ia tak ingin pemandangan indah itu membutakan nuraninya. "Jangan gila! Cepat pakai pakaianmu!" titah Abian lantang.Mendengar penolakan itu seketika membuat hati Lara sesak. Wanita itu menundukkan wajah tak berdaya, sebelum kembali bertekad kuat dengan semakin berani mendekatkan dirinya pada sang suami.Seakan tak memiliki