Viona berjalan menuju kafe yang berada di depan Universitasnya dengan langkah lelah setelah menyelesaikan bimbingan belajar yang cukup melelahkan sepanjang hari ini.
Ketika sampai di kafe, ia melihat Clinton dan Hendri sudah duduk di meja yang biasa mereka tempati."Maaf aku terlambat..." ucap Viona dengan napas tersengal-sengal, namun suaranya tercekat saat melihat piring-piring makanan menumpuk di depan Clinton."Astaga Clinton! Apa kau tidak tahu namanya menahan diri?!" tegurnya dengan nada terkejut dan kesal.Clinton yang sedang asyik melahap makanan dengan mulut penuh, mendongak dan melihat Viona yang sudah berdiri di samping meja mereka. Dengan sisa makanan yang masih terlihat di sudut mulutnya, ia tersenyum lebar pada Viona, seolah-olah tidak merasa bersalah sama sekali.Sementara itu, Hendri yang duduk di sebelah Clinton hanya menggelengkan kepalanya dengan senyum getir, seolah meminta maaf pada Viona atas tingkah laku Clinton yanKe esokan harinya, langit cerah dan matahari mulai menyinari permukaan bumi. Viona mengenakan atasan kaos berwarna pastel dan celana jeans pendek, sementara Alagar mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Di depan rumah, Alagar membuka pintu mobilnya, siap untuk pergi. Viona menghampirinya dan memeluknya erat. "Jangan lupa hubungi aku, saat sudah sampai," ucapnya dengan suara manja, matanya berbinar.Alagar tersenyum hangat, menatap mata Viona yang memancarkan rasa sayang. "Tentu, aku pasti akan menghubungimu," jawabnya lembut. Dengan lembut, ia menarik tubuh Viona mendekat dan mengecup puncak kepalanya, membuat Viona merasa hangat dan aman dalam pelukannya.Dari kejauhan, kedua orang tua Alagar mengamati adegan mesra antara anak mereka dan Viona. Mereka tersenyum bahagia, melihat betapa dekatnya hubungan kedua anak muda itu. Meskipun mereka belum menikah, namun karena sering tinggal bersama, Alagar dan Viona telah membina ikatan yang kuat dan harmonis.Setelah berpisah dar
Saat melihat Alagar telah meninggalkan medan pertempuran, bawahan Tigras saling pandang dan mengangguk tanpa suara. Dalam sekejap, mereka bergerak cepat meninggalkan tempat tersebut, seolah tak ingin berlama-lama lagi."Hei, kalian mau kemana? Lawan kalian kami!" seru Indra dengan penuh semangat, berniat mengejar bawahan Tigras yang berlalu pergi.Namun, sebelum Indra berhasil mengejar mereka, Bikely menghentakkannya, dengan wajah yang tenang, ia berkata, "Indra, biarkan saja mereka, yang penting Alagar sudah sampai di tempat Dewa agung."Indra menghela napas dan mengangguk. "Baiklah, kamu benar. Yang terpenting Alagar menemui Dewa Agung," ujarnya, merelakan bawahan Tigras pergi begitu saja.Bikely dan Indra terbang beriringan menuju tempat Dewa Agung, untuk menyusul Alagar yang telah lebih duku pergi ke sana melalui sihir pemanggilan. Keduanya terbang dengan cepat, melewati gerbang Istana langit begitu saja, tak peduli dengan para penjaga gerbang yang tampak memperhatikan mereka. Ka
Alagar berdiri di tengah aula kediaman Dewa Agung, bingung dan cemas menghadapi pilihan yang diberikan padanya. Dia menghela napas panjang, merasakan beban yang kian menghimpit dadanya. Tak lama, Dewa Agung pergi meninggalkan Alagar sendirian, memberinya kesempatan untuk merenungi pilihan yang harus diambil.Langkah gontai Alagar membawanya keluar dari aula, berada di bawah langit yang luas. Dia merasa begitu kecil, terhimpit di antara dua dunia yang sangat berbeda. Alagar mendongak, menatap langit dengan tatapan yang mencari jawaban."Apa ENGKAU begitu membenciku, sehingga memberikan pilihan yang sulit ini?" ucap Alagar dengan suara parau, seraya mengepalkan tangannya. Dia merasa seperti terkurung di antara keputusan yang sangat berat, apakah akan menerima menjadi Dewa Agung dan meninggalkan keluarga serta wanita yang dicintainya, atau memilih untuk tetap di Bumi dan mendapatkan hukuman dari Sang Pencipta.Angin sepoi-sepoi menerpa wajah Alagar, membuat rambutnya bergerak pelan. Se
Sejak saat itu, Alagar yang berada di langit terus diawasi oleh bawahan Tigras yang tidak henti-hentinya mencoba mencelakakannya. Mereka mengintai setiap gerak-gerik Alagar, menunggu kesempatan yang tepat untuk melukai pria itu saat lengah.Namun, Dewa Agung yang selalu melindungi Alagar secara pribadi, berhasil menggagalkan segala rencana jahat bawahan Tigras. Tidak ada satu pun upaya mereka yang berhasil mencapai tujuan, berkat perlindungan Dewa Agung yang tak pernah lepas dari Alagar.Alagar sendiri mencoba untuk mengabaikan kehadiran bawahan Tigras yang mengganggu. Fokus utamanya kini adalah pertarungan untuk merebut tahta Dewa Agung. Dia mengekang amarahnya, tidak ingin terprovokasi oleh ulah bawahan Tigras yang hanya akan mengalihkan perhatiannya dari tujuan sebenarnya.Terlihat Alagar duduk santai di taman depan kediaman Dewa Agung, menikmati angin sepoi-sepoi yang mengelus wajahnya. Indra yang belakangan ini sering datang ke sana, duduk di sebelahnya sambil menatap tajam ke a
Alagar dan ketiga peserta calon Dewa Agung berdiri tegak di tengah arena pertarungan yang luas. Mereka mengangkat tinju mereka ke dada, menangkupkan tangan sebagai tanda salam dan penghormatan kepada para Dewa yang hadir di kursi penonton.Wajah mereka penuh dengan rasa hormat dan keteguhan hati, menunjukkan kesungguhan mereka untuk menjadi penerus Dewa Agung.Di depan mereka, Dewa Agung yang akan turun tahta berdiri dengan gagah. Dalam sekejap, ia menggerakkan tangannya, menciptakan segel sihir yang seketika mengubah arena pertarungan menjadi semakin luas.Udara di sekitar arena terasa berdenyut dengan energi magis yang kuat dan memancarkan aura yang menakjubkan.Kursi penonton yang semula berdekatan dengan arena, kini terdorong menjauh, memberikan ruang yang cukup untuk pertarungan sengit yang akan terjadi.Mereka yang hadir di kursi penonton, para Dewa dari beberapa tingkat menahan napas sejenak, menunggu dengan antisipasi.Sementara itu, perisai sihir berwarna emas muncul di sekel
Para Dewa yang menyaksikan pertandingan di arena, terpana melihat sihir Pedang penghancur yang dikeluarkan oleh Alagar. Seolah waktu terhenti sejenak, mereka menatap sisa-sisa reruntuhan arena yang hancur akibat kekuatan dahsyat dari sihir tersebut. Wajah mereka tampak terkejut dan takjub."Astaga, dia benar-benar sangat kuat, bahkan sihir tingkat tinggi dapat dilakukannya," ujar salah satu Dewa yang menggenggam jubahnya erat-erat, seolah mencoba menenangkan diri."Pantas saja Dewa Agung sangat mempercayainya, ternyata dia memang kuat!" timpal Dewa lainnya dengan mata terbelalak menatap reruntuhan arena.Sementara itu, Furats yang menyaksikan kejadian tersebut, terdiam kagum. Dia tak menyangka sihir yang dikeluarkan Alagar begitu dahsyat dan menghancurkan. Furats merasa ngeri, namun juga penasaran dengan kekuatan yang dimiliki Alagar. Apakah ini sudah batas kemampuannya, atau masih ada sihir yang lebih dahsyat lagi?Para Dewa dan penonton lainnya mulai berbisik-bisik, membahas tenta
Furats merasa putus asa dan frustasi, napasnya memburu karena serangannya yang bertubi-tubi tak mampu menyentuh Alagar sekalipun. Keringat mengucur deras di wajahnya sambil memegangi lutut yang lemas. Ia terpojok di sudut arena yang telah hancur berantakan akibat pertempuran sengit yang telah berlangsung. "Aku rasa sudah waktunya mengakhiri pertarungan ini, Furats!" ujar Alagar dengan suara tegas dan angkuh, sambil mengangkat tangannya yang memancarkan aura menakutkan. Ia tampak melayang di atas arena dengan wibawa dan percaya diri. Tanpa diduga, tiba-tiba Belzebub membelah dirinya menjadi ratusan sosok kecil yang menakutkan. Sosok-sosok tersebut segera mengepung Furats, lalu menyerangnya secara serentak dari segala arah. Mata Furats membelalak lebar, tidak menyangka serangan yang akan datang. Ia menggertakkan giginya, berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan yang tersisa di tubuhnya. Kini ia tahu, pertempuran ini mungkin akan berakhir dengan kekalahan yang pahit dan menyakitkan
Tigras berjalan keluar dari arena pertandingan dengan cepat, meninggalkan kerumunan yang masih terdiam terkejut. Sementara Dewa Agung menatap kepergian Tigras dengan ekspresi khawatir. Ia menghela nafas panjang, lalu menoleh pada Dewa Penyembuhan yang sedang menangani luka Helius di arena."Apa dia tidak apa-apa?" tanya Dewa Agung menghampirinya, dengan suaranya bergetar sedikit.Dewa Penyembuhan mengangkat wajahnya, menatap Dewa Agung dengan mata yang lelah. "Dia sudah tidak apa-apa, tapi begitu dekat... Jika sedikit saja serangan kristal cahaya mengenai pusat energi sihirnya, kemungkinan Helius akan kehilangan kekuatannya."Dewa Agung menunduk, merasakan beban tanggung jawab yang berat di pundaknya. Ia tahu, di balik semua kekuatan dan kemampuan para dewa, mereka tetaplah makhluk yang rentan terhadap kesalahan dan kelemahan."Pemenangnya Tigras! Pertarungan akan dilanjutkan besok!" seru Dewa Agung di tengah arena, suaranya menggema seolah membangkitkan semangat para penonton.Para p