Aku tidak melanjutkan ucapan. Rasanya sungkan ingin mengatakan yang sebenarnya."Sebenarnya saya apa Mbak Dinar? Kalau ngomong jangan setengah-setengah, bikin orang penasaran saja!" ketus Bu Ida."Sebenarnya saya belum punya uang, Bu. Ibu kan tahu kalau saya baru saja ditinggal meninggal suami . Tolong beri saya waktu lagi ya, Bu. Semoga secepatnya saya bisa mendapatkan uang untuk membayar kontrakan Ibu," ucapku hati-hati. Semoga Bu Ida mau berbijaksana dan mengerti dengan keadaanku."Terserah ya, itu urusan Mbak Dinar saya gak mau tahu. Yang menjadi urusan saya, Mbak Dinar tetap harus bayar kontrakan. Saya kasih waktu satu minggu, kalau masih belum bisa bayar juga terpaksa Mbak Dinar harus angkat kaki dari kontrakan saya!" Bu Ida mengancamku dengan tatapan bengisnya.Dugaanku salah. Aku pikir Bu Ida akan berbelas kasih karena kini telah menjadi seorang janda dan memiliki dua anak yatim. Dia tetap meminta haknya dan hanya memberiku waktu satu minggu untuk membayarnya."Baik Bu, saya u
Aku menengok ke arah suara yang memanggil, ternyata Mbak Neni. Dia berjalan menghampiri dan menatapku dengan tatapan iba."Mbak Dinar yang sabar, ya. Bu Ida memang begitu orangnya. Makanya banyak yang tidak betah ngontrak disini, karena dia orangnya kejam, tidak punya rasa empati dan toleransi sama sekali. Maafin saya juga gak bisa bantu Mbak Dinar, karena kehidupan sendiri juga pas-pasan, Mbak!" ucap Mbak Neni mencoba membesarkan hatiku.Aku mengerti dengan keadaan Mbak Neni. Suaminya Bang Beni seprofesi dengan almarhum Mas Dito, jadi sedikit banyak tahu berapa pendapatan setiap harinya. Akan tetapi walaupun hidup pas-pasan, Mbak Neni salah satu tetangga yang perhatian dengan hampir setiap harinya mengirimkan keluargaku makanan."Iya gak apa-apa Mbak Nen. Selama ini Mbak sudah sangat baik pada keluarga saya. Terimakasih atas semuanya. Semoga Allah membalas semua kebaikan Mbak Neni dan keluarga!" sahutku dengan tatapan yang mengungkapkan rasa terima kasih kepadanya."Sama-sama Mbak, s
"Iya Bu, Pak Sujiwo sudah meninggal beberapa bulan yang lalu karena terkena serangan jantung," jawab security itu dengan wajah serius.Aku terdiam mendengar jawabannya. Jika ayah dan ibu mertua tidak ada, kami harus pergi kemana? ke rumah Kak Disti? Aku tidak yakin Kak Disti mau membantu. Namun disana ada ibu, aku akan coba meminta bantuannya."Bapak tahu tidak, kemana Bu Tantri pindah?" tanyaku penuh harap mendapatkan informasinya."Waah, kalau itu saya tidak tahu Bu" jawabnya datar."Ya sudah, terimakasih atas informasinya Pak, Saya permisi dulu!" Aku berpamitan pada security itu. Dia menjawab dengan anggukkan lalu kembali asyik menonton televisi.Aku kembali melangkahkan kaki, menuju rumah ayah dan ibu mertua yang sudah kosong, karena ada Dani yang sedang menunggu disana. Langkahku kembali terasa berat. Kemana kami harus pergi? Aku sudah tidak mempunyai rumah untuk berteduh. Tidak mungkin jika kami tidur di jalanan malam ini. Kalau aku sendiri, tidak masalah. Namun yang menjadi mas
"Enak sekali kamu mau minta warisan buat bayar hutang, sementara Ibu masih sehat wal a'fiat. Itu sama saja kamu mendoakan Ibu supaya cepet mati!" bentakku pada Dinar, adik yang menjadi benalu di keluarga. Ya benalu, karena kerjaannya mengemis meminta bantuan."Iya, aku tahu salah. Namun tidak tahu lagi harus mencari kemana untuk membayar hutangku. Mas Dito juga sedang berusaha, tetapi belum ada hasil," jawabnya.Aku kembali teringat dengan kedatangan Dinar yang berpura-pura menanyakan kabar ibu, tetapi ujungnya dia meminta bantuan kepadaku. Susah kalau berurusan dengan mental orang miskin, maunya minta bantuan terus. Tentu saja aku menolaknya, seperti yang sudah-sudah. Salahnya sendiri menikah dengan laki-laki kere 'madesu' alias masa depan suram. Tidak sepertiku, mempunyai suami berpendidikan dan berkarir cemerlang. Hidupku bergelimang harta dan kemewahan. Aku bisa mendapatkan semua yang diinginkan. Namun satu yang tidak bisa aku dapatkan, yaitu kebahagiaan. Ya, aku tidak bahagia de
"Iya, Kak. Mas Dito sudah meninggal dunia ...." jawabku lirih.Kak Disti terlihat sedikit terkejut, tetapi dia kembali terlihat biasa saja. Wajahnya tidak memperlihatkan rasa iba atau empati atas musibah yang menimpaku."Ya terus, kalau si Dito meninggal dunia kenapa? Memang udah takdirnya kali. Jangan bilang kamu kesini mau minta tolong padaku!" sinis Kak Disti."Iya, aku mau minta bantuan Kak Disti. Tolong izinkan aku dan anak-anak tinggal disini untuk sementara waktu, karena kami sudah tidak mempunyai tempat tinggal. Aku akan mencoba mencari pekerjaan di dekat sini, Mbak!" jawabku lirih.Hatiku berdebar menantikan jawaban dari kak Disti. Apakah dia akan terenyuh dengan nasibku atau kah malah sebaliknya?"Tidak bisa. Mas Rudi pasti tidak akan mengizinkan orang lain tinggal di rumahnya, karena ini rumah Mas Rudi bukan rumahku!" ucap Kak Disti tegas."Aku kan bukan orang lain. Aku adikmu satu-satunya, Kak. Aku yakin Mas Rudi pasti mengizinkan. Kalau perlu, aku yang akan meminta izin l
"Perkenalkan, saya Khodijah. Panggil saja Ibu Khodijah," ucap wanita berjilbab itu sembari mengulurkan tangan memperkenalkan dirinya.Aku membalas uluran tangannya dan juga memperkenalkan diri."Saya Dinar, Bu," ucapku singkat."Kalau boleh tahu, tujuan Mbak Dinar mau kemana? Kok bisa sampai hujan-hujanan begini?" Bu Khodijah bertanya seraya menatap wajahku dengan tatapan yang menyejukan.Entah kenapa, walaupun baru pertama kali bertemu dengannya, aku menemukan sosok ibu di dalam dirinya."Saya tidak punya tujuan Bu, karena sudah tidak mempunyai tempat tinggal, " jawabku seraya menundukkan wajah."Ya Allah ... pantas saja kalian sampai hujan-hujanan seperti ini. Kamu yang sabar ya Mbak, ini semua ujian dari Allah," ucap Bu Khodijah kembali memberikanku nasihatnya.Aku hanya menggangguk, seraya tidak hentinya memandangi pintu ruang IGD yang tidak kunjung terbuka. Hati rasanya tidak karuan. Aku benar-benar di landa kecemasan tingkat tinggi. Bagaimana kalau sampai Dita tidak bangun lagi?
Bu Khodijah memeluk tubuh dari samping dan memapahku menuju kamar pemulasaran. Sementara Dani, menggenggam tangan kiriku dengan erat.Jantungku terasa turun naik seperti roler coaster. Kemarin saat kepergian Mas Dito, aku tidak sempat melihat untuk yang terakhir kalinya karena tidak kuat menerima kenyataan sehingga tidak sadarkan diri hingga kembali ke rumah.Namun untuk saat ini, aku tidak mau melewatkan saat terakhir untuk melihat putri kesayangan yang sudah tutup usia, tepat dihari ulang tahunnya yang kedua.Masih melekat dalam ingatan, ketika kami sekeluarga merayakan hari jadi Dita yang pertama. Bukan memotong cake lezat seperti pada umumnya, tetapi kami merayakannya dengan memotong singkong rebus yang dihiasi sebatang lilin yang aku beli di warung Bu Leli. Dita begitu bahagia merayakan hari jadinya walaupun dengan sangat sederhana.Tingkahnya begitu lucu, ketika dia berjalan dengan tertatih menuruti perintah Dani yang memintanya menyuapkan singkong rebus kepadaku dan juga Mas Di
Akhirnya aku tiba di ruang dapur Bu Ustadzah yang berukuran cukup luas. Mataku berpendar mencari akses untuk melancarkan aksi. Mataku tertuju pada kusen pintu penyekat antara ruang keluarga dan ruang dapur. Aku berusaha mencari tangga, kursi atau yang lainnya untuk mencapai ventilasi udara di atas kusen pintu yang nantinya akan diikatkan kain panjang untuk menjerat leher.Setelah mencari, akhirnya aku menemukan sebuah kursi plastik yang teronggok di ujung dapur. Tanpa membuang waktu, aku segera menaiki kursi plastik dan mengikatkan kain panjang di ventilasi udara. Walaupun sedikit kesusahan karena letak ventilasi tingginya melebihi tubuhku, tetapi akhirnya bisa mengikatkan kain panjang itu dengan kuat. Kini hanya tinggal selangkah lagi untukku mengakhiri semua penderitaan di dunia. Meninggalkan semua duka dan kesedihan yang menghujam seperti pisau belati yang menembus jantungku.Saat aku ingin mengikat leher dengan kain panjang yang sudah terikat di ventilasi, terdengar sebuah teriaka
"M-bak-Di-nar" lirihnya, nyaris tak terdengar.Aku mendekatkan wajah pada Bu Ustadzah yang menatap dengan sayu."Ibu Ustazah yang sabar dan kuat ya," ucapku seraya tersenyum kepadanya, berusaha memberikan motivasi agar beliau kuat melewati musibah yang di alaminya."Ma-af-kan-sa-ya." Bu Ustazah kembali berucap seraya menggerakkan jemarinya, seolah ingin menjabat tanganku.Aku meraih jemarinya dan mengusapnya dengan lembut."Tidak ada yang perlu dimaafkan Bu Ustazah, karena tidak ada yang salah. Sekarang yang terpenting Bu Ustazah sehat seperti sedia kala!" timpalku.Bu Ustazah menatapku lekat dan tiba-tiba keluar cairan bening dari kedua sudut matanya. Sementara itu, bibirnya seolah menyunggingkan senyum kearahku lalu kemudian kedua mata beliau terpejam. Aku mendekatkan wajah dan memanggil namanya, tetapi tidak ada respon sama sekali. Aku kembali memanggil di telinga kirinya, tetapi sama saja tidak ada sahutan dari bibirnya."Suster, Ibu Ustazah kenapa? Beliau diam saja, tidak menjaw
"Maaf, mengabari apa, Pak?" tanyaku penasaran.Jantungku berdetak tidak karuan. Aku khawatir ada kabar buruk yang menimpa ibu mertua yang hingga kini belum pulang ke rumah."Kami dari Rumah Sakit Husada ingin mengabari bahwa Ibu Khodijah binti Al Fajri telah mengalami kecelakaan bersama rombongan lainnya!" lanjutnya lagi.'Khodijah Al Fajri, bukankah itu nama lengkap ibu Ustazah? Tetapi kenapa pihak rumah sakit malah mengabariku? Bukankah ada Mas Syaiful yang jelas-jelas keluarganya?' bermacam pertanyaan muncul dalam benakku."Maaf Bu, kenapa tidak menghubungi pihak keluarganya langsung? Saya bukan keluarganya!" sanggahku.Aku bukannya tidak mau mengakui Bu Ustazah dan menganggapnya sebagai saudara atas kebaikannya selama ini. Akan tetapi aku merasa ada pihak keluarganya yang lebih berhak mendapatkan kabar kurang baik ini."Sudah, tetapi nomornya tidak aktif. Maaf Bu, sebaiknya Anda segera datang ke rumah sakit karena kondisi pasien saat ini sedang kritis. Dokter sedang melakukan pena
Kami menegok ke arah Dani secara bersamaan."Dani, sini Nak. Ini ada Nenekmu dari keluarga Ayah Dito!" ucapku melambaikan tangan padanya.Dani menghampiriku, menatap ragu ke arah ibu mertua dan meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takzim."I-ni cucuku?" tanya ibu mertua dengan sedikit gugup serta tatapan penuh haru."Iya, Bu. Ini Dani, cucu pertama Ibu!" jawabku."Ya Allah, kamu sudah sebesar ini sekarang. Maafkan Nenek yang tidak pernah mengunjungimu cucuku," ucap ibu mertua seraya mengelus wajah Dani, kemudian perlahan beliau mulai terisak."Nenek kenapa menangis?" tanya Dani heran."Wajahmu mirip sekali dengan Ayahmu. Andaikan saja Dito masih ada, dia pasti bahagia melihat kita bisa berkumpul seperti ini!" ucapnya lagi.Aku menghampiri ibu mertua dan mengusap lembut punggung tangannya."Mas Dito pasti bahagia melihat kebersamaan kita, Bu. Sebaiknya hari ini Ibu menginap saja di rumah kami. Dani juga sepertinya masih kangen sama Neneknya" ujarku seraya tersenyum pada i
"Mbak Dinar, aku boleh minta tanda tangan di novelmu nggak?" tanya Mbak Sherli di suatu siang kala sepulang sekolah menjemput Kevin. Semenjak kepindahan ke rumah lamaku, hubungan kami semakin dekat. Kini bahasa yang kami gunakan juga menjadi aku dan kamu. "Mbak Sherli ada-ada aja nih, pakai minta tanda tangan segala. Aku bukan artis lho," sanggahku seraya tersenyum."Lho, Mbak Dinar ini suka merendah. Jadi penulis terkenal itu sama saja kayak artis karena udah diundang ke stasiun televisi, bahkan karyanya sudah diangkat menjadi sebuah karya film." Mbak Sherli mengerlingkan matanya menggoda. Aku tersenyum melihatnya."Sini aku kasih tanda tangan, apa mau sekalian minta photo bareng?" ledekku."Lho, Mbak Dinar ini seperti dukun saja. Memang itu yang mau saya minta selain tanda tangan," Mbak Sherli terbahak. Kami akhirnya tertawa bersama-sama.Begitulah, setelah aku diundang menjadi nara sumber di salah satu stasiun televisi dan karyaku diangkat menjadi sebuah film ada saja yang ingi
"Bu Ustadzah, apa kabar?" tanyaku sedikit kikuk, seraya mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangannya.Akan tetapi sekilas tampak Bu Ustadzah menyembunyikan tangannya, seolah itu pertanda jika beliau tidak berkenan ada yang mencium tangannya. Akhirnya terpaksa mengurungkan niatku "Kabar saya baik," jawabnya singkat."Maaf Bu Ustazah, ini ada sedikit oleh-oleh semoga berkenan," ucapku tak kenal lelah berusaha mengambil hati Bu Ustazah seraya menyodorkan rantang yang dibawa."Maaf, saya sedang shaum. Kebetulan juga hari ini mau pergi untuk mengisi acara tausiyah di desa yang jaraknya cukup jauh dan kemungkinan pulangnya agak malam. Sebaiknya dibawa saja masakannya, khawatir tidak sempat dimakan malah jadi mubadzir," tolak Bu Ustadzah dengan suara pelan, tetapi terasa menusuk hatiku.Betapa tidak? Aku sudah berusaha memperbaiki hubungan dengan beliau yang kurang baik karena penolakan kepada Mas Syaiful. Akan tetapi sikap beliau masih saja dingin bahkan terang-terangan menolak pem
Aku terkejut membaca pesan di aplikasi hijau tersebut, terlebih saat tahu siapa pengirimnya. Mas Syaiful. Aku tidak tahu, apa maksudnya mengirim pesan menyakitkan itu. Niat hati ingin mengabaikan pesan itu, tetapi pasti dia akan terus mengirimkan pesan dengan penilaian buruknya sendiri kepadaku. Jari tangan mulai mengetikkan balasan pesan untuk laki-laki yang pernah meminangku."Maaf, apa maksud Mas Syaiful berkata demikian? Siapa yang tidak tahu berterima kasih, siapa yang sombong? Jangan pernah menilai seseorang dari satu sudut pandang saja. Jika Mas kecewa dengan penolakan tempo hari, tetapi bukan berarti seenaknya Mas bisa menghina saya!" satu pesan balasan kukirimkan melalui aplikasi hijau di ponsel. Tidak membutuhkan waktu lama, tanda pada pesan yang dikirimkan sudah berubah warna. Terlihat Mas Syaiful sedang mengetikkan balasannya. "Siapa bilang saya kecewa dengan penolakan seorang janda sepertimu? Aku hanya tidak terima kamu meninggalkan Bibik sendirian setelah apa yang sud
"Maafkan saya Bu Ustadzah," ucapku lirih. Beliau terlihat memijit kening menggunakan jari jemarinya."Tidak perlu minta maaf. Syaiful hanya perlu waktu untuk menerima penolakan yang membuatnya kecewa," sahut Bu Ustadzah seraya beranjak dari tempat duduknya dan berlalu masuk ke kamarnya tanpa berpamitan terlebih dahulu.Aku masih terdiam di sofa ruang tengah. Sedikit merasa bersalah dengan keputusan yang diambil. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin menjadi orang munafik yang berpura-pura menerima Mas Syaiful, tetapi dalam hati menolak. Terlebih karena permintaan Dani yang tidak ingin memiliki ayah baru. Lebih baik jujur dan merasa kecewa di awal, daripada menyesal kemudian.Tidak terasa, satu minggu sudah telah berlalu dari malam penolakanku kepada Mas Syaiful. Sejak malam itu, sikap Bu Ustadzah berubah kepadaku dan Dani. Beliau terlihat acuh tak acuh, bahkan kami jarang bertegur sapa walaupun saling berhadapan. Sepertinya perubahan sikap Bu Ustadzah ada hubungannya denga
"Innalillahi wainna ilaihi rojiun," Bu Ustadzah mengucap kalimat tarji.Beliau menghela nafas dan menghembuskannya perlahan lalu menatapku dengan penuh rasa iba."Mbak Dinar yang sabar, ya. Semua makhluk akan kembali kepada-Nya jika memang sudah datang waktunya. Insya Allah Kakak Mbak Dinar akan di tempatkan di tempat terbaiknya." Ucap Bu Ustadzah mencoba menghiburku."Amiin. Terimakasih Bu Ustadzah," jawabku."Pemakaman dilaksanakan di mana? di rumah sakit kah?" tanya Bu Ustadzah kemudian."Iya Bu, pemakaman di laksanakan di rumah sakit tempat Kakak Saya di rawat, karena almarhum sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi," jawabku lirih."Pemakaman sebaiknya dilaksanakan secepatnya jangan ditunda-tunda. Tidak masalah di makamkan dimana saja, asal sudah ada persetujuan dari pihak keluarga, Mbak," sambung Bu Ustadzah lagi.Aku kemudian berpamitan kepada Bu Ustadzah untuk beristirahat. Sementara Dani sejak tadi sudah masuk ke kamarnya. Setelah membersihkan diri, aku membaringkan tubuh d
Petugas tersebut mengakhiri pembicaraan di telepon. Aku mengatur napas dan ritme jantung yang tidak beraturan setelah mendapatkan kabar yang kurang baik dari rumah sakit jiwa yang merawat kak Disti."Dani, ayo kita berangkat sekarang ke rumah sakit. Tadi Ibu mendapatkan kabar jika kondisi Tante Disti memburuk" ajakku kepada Dani dengan sedikit panik."I-iya Bu. Ayo kita berangkat sekarang!" jawab Dani.Setelah berpamitan kepada Bu Ustadzah, aku segera melajukan motor menuju rumah sakit jiwa tempat ak Disti di rawat. Di sepanjang perjalanan, aku berdoa semoga kak Disti baik-baik saja. Meskipun dia pernah berbuat tidak baik kepadaku, tetapi melihat kondisinya saat ini jadi merasa tidak tega.Kak Disti telah kehilangan semua yang di milikinya, jangan sampai dia juga kehilangan saudara satu-satunya. Aku berharap kak Disti kembali sehat seperti sedia kala dan bisa hidup rukun berdampingan denganku. Arus lalu lintas hari ini cukup padat, karena sekarang adalah wekend. Banyak kendaraan luar