Home / Pernikahan / Ratu Pinjol / Bab.44: Bangkit dari Keterpurukan

Share

Bab.44: Bangkit dari Keterpurukan

Author: Irma Juita
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Akhirnya aku tiba di ruang dapur Bu Ustadzah yang berukuran cukup luas. Mataku berpendar mencari akses untuk melancarkan aksi. Mataku tertuju pada kusen pintu penyekat antara ruang keluarga dan ruang dapur. Aku berusaha mencari tangga, kursi atau yang lainnya untuk mencapai ventilasi udara di atas kusen pintu yang nantinya akan diikatkan kain panjang untuk menjerat leher.

Setelah mencari, akhirnya aku menemukan sebuah kursi plastik yang teronggok di ujung dapur. Tanpa membuang waktu, aku segera menaiki kursi plastik dan mengikatkan kain panjang di ventilasi udara. Walaupun sedikit kesusahan karena letak ventilasi tingginya melebihi tubuhku, tetapi akhirnya bisa mengikatkan kain panjang itu dengan kuat. Kini hanya tinggal selangkah lagi untukku mengakhiri semua penderitaan di dunia. Meninggalkan semua duka dan kesedihan yang menghujam seperti pisau belati yang menembus jantungku.

Saat aku ingin mengikat leher dengan kain panjang yang sudah terikat di ventilasi, terdengar sebuah teriaka
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Ratu Pinjol   Bab.45: Dibalik Kesulitan ada Kemudahan

    Ternyata nominal yang aku terima sangat besar, yaitu sepuluh juta rupiah.Maasya Allah ... Aku berucap syukur kepada Allah yang telah memberikan rezeqi dengan jalan yang tidak disangka-sangka, karena tujuan awal menulis adalah untuk mengisi waktu luang dengan menyalurkan hoby menulis. Aku sama sekali tidak pernah menyangka akan mendapatkan sambutan yang begitu hangat dari para pembaca dan hingga dari hoby ini bisa menghasilkan uang. Aku menjadi semakin bersemangat untuk terus menulis dan terus belajar di dunia literasi agar bisa menghasilkan karya yang bisa menjadi motivasi dan inspirasi bagi para pembaca.Sebagai wujud syukur atas rezeqi yang telah Allah berikan, aku menginfakkan sebagian gaji pertama kepada orang yang membutuhkan. Aku menitipkan infak gaji kepada Bu Ustadzah."Alhamdulillah, Mbak Dinar adalah calon penulis hebat. Baru belajar menulis saja pendapatannya sudah lumayan. Apalagi kalau Mbak Dinar fokus dan lebih banyak belajar lagi di dunia literasi, saya yakin kelak ak

  • Ratu Pinjol   Bab.46: Bertemu Sahabat

    "Mbak Sherli?" pekikku, kepada wanita yang pernah berjasa dalam hidup.Mbak Sherli menoleh, dia tampak terkejut melihatku."Mbak Dinar!" Mbak Sherli berteriak memanggil namaku. Sontak dia berlari ke arahku."Mbak Dinar apa kabar? Habis ziarah ya? Memang siapa yang meninggal, Mbak?" tanya Mbak Sherli dengan wajah heran."Alhamdulillah, kabar saya baik-baik saja Mbak Sherli. Saya habis ziarah ke makam Mas Dito," jawabku lirih.Mbak Sherli terkejut, dua manik matanya seketika membelalak."Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Ya Allah, kapan Mas Dito meninggal, Mbak? Maaf saya tidak datang untuk melayat, karena tidak tahu," ucap Mbak Sherli dengan raut wajah sedih."Mas Dito berpulang beberapa bulan yang lalu, lalu beberapa minggu kemudian disusul Dita juga. Rencananya setelah berziarah disini, saya akan langsung ke makamnya Dita," timpalku lagi, semakin membuat Mbak Sherli terkejut dan tanpa sadar membuat mulutnya menganga cukup lebar."Astagfirullah. Sebenarnya apa yang terjadi Mbak Dinar?

  • Ratu Pinjol   Bab.47: Sebuah Keajaiban

    Taxi online yang kami naiki berhenti di depan pemakaman Dita. Langkahku sedikit terasa berat. Rasa sedih menyergapku secara tiba-tiba. Dani menatap wajah, dia terlihat heran karena aku menghentikan langkah."Ibu kenapa berhenti? Ibu sakit?" tanya Dani dengan wajah polosnya.Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku lakukan berulang-ulang, hingga merasa sedikit tenang. Dani menggenggam tanganku dengan erat dan menatap wajah. Sekarang wajahnya terlihat khawatir."Ibu tidak sakit Nak, cuma sedikit pusing aja tetapi sekarang sudah hilang. Ayo Kita masuk," aku berkata seraya kembali melangkah memasuki area pemakaman.Pusara Dita terletak di pojokan area pemakaman, tepatnya dibawah pohon bambu yang rindang. Kami tiba di pusara Dita yang terlihat sudah ditumbuhi rumput liar. Aku mencabuti bakal rumput yang akan tumbuh besar itu satu persatu. Mengumpulkannya menjadi satu, agar tidak di buang ke sembarang tempat. Dani mengikutiku mencabuti rumput liar yang tumbuh cukup subur.

  • Ratu Pinjol   Bab.48: Kedatangan Tamu

    "Ibu, Dani minggu depan ada acara jalan-jalan ke Taman Safari dari Sekolah, Dani boleh ikut ya Bu?" tanya Dani, di suatu siang sepulangnya dari sekolah.Dani anak yang mandiri, dia tidak mau di antar jemput seperti teman-teman lainnya. Aku hanya mengantar jemputnya selama satu minggu saja, pada saat awal dia masuk sekolah. "Iya boleh. Orangtuanya harus ikut juga gak, Dan?" tanyaku penasaran. Biasanya jika ada acara wisata dari sekolah, orang tua diwajibkan untuk ikut."Wajib ikut, Bu. Ini ada surat pemberitahuannya dari sekolah," jawab Dani seraya menyerahkan selembar kertas dari tangannya.Aku membaca surat pemberitahuan itu, sementara Dani masih berdiri mematung menatap yang sedang serius membaca surat pemberitahuan pemberiannya."Bagaimana Bu? Dani boleh ikut kan?" tanya Dani dengan wajah penuh harap."Iya boleh," jawabku singkat."Hore ... asyik, Dani mau jalan-jalan ke Taman Safari sama Ibu. Terimakasih ya, Bu!!" Dani bersorak kegirangan, dengan spontan dia memelukku dengan era

  • Ratu Pinjol   Bab.49: Bertemu Security

    "Maksud saya bagaimana sikap Saiful, apakah dia sopan atau jelalatan seperti kebanyakan lelaki," Bu Ustadzah menjelaskan maksud dari pertanyaannya seraya tersenyum kepadaku.Aku sebenarnya kurang paham kenapa Bu Ustadzah bertanya seperti itu. Apa beliau takut keponakannya bersikap tidak baik kepadaku?"Sikap Mas Saiful biasa saja Bu Ustadzah. Dia hanya menanyakan Bu Ustadzah dan bertanya siapa saya, setelah itu dia pergi," jawabku polos.Bu Ustadzah tiba-tiba terkekeh sendiri."Sudah, itu saja? Tidak ada yang lain?" tanya Bu Ustadzah lagi."Tidak ada," jawabku singkat."Ehhmm .. kalau menurut Mbak Dinar, wajah Syaiful bagaimana? Tampan kan?" Bu Ustadzah memberikan pertanyaan yang membuatku malu sendiri.Aku tidak melihat wajah Mas Syaiful dengan jelas, karena selama pembicaraan menunduk. Namun aku tidak memungkiri kala pertama kali melihatnya saat membukakan pintu untuknya. Aku sempat melihat wajahnya yang tampan."Emmh ... anu Bu Ustadzah saya tidak begitu memperhatikan. Selama pembi

  • Ratu Pinjol   Bab.50: Hukum Tabur Tuai

    Aku segera menepikan motor dan berusaha mencegat security itu. Dia menghentikan langkah dan menatapku. Mungkin dia mencoba mengingat siapa aku, tetapi sepertinya dia lupa."Maaf, Bapak bukannya security yang bekerja di rumah Kak Disti?" tanyaku ragu-ragu.Dalam hati sebenarnya aku takut salah orang, karena kalau sampai salah pastinya akan membuat malu setengah mati."I-iya. Saya mantan securitynya Bu Disti. Maaf, Mbak siapa ya?" tanya security itu menatapku bingung.Sepertinya dia memang lupa denganku. Terbukti dia memanggilku dengan sebutan Mbak, tidak seperti sebelumnya ketika berkunjung ke rumah jak Disti dia memanggil dengan sebutan Ibu."Pak, saya Dinar Adiknya Kak Disti. Memang Bapak sudah tidak bekerja lagi sama Kak Disti?" tanyaku penasaran. "Ooh, Mbak Adiknya Bu Disti yang pernah datang bersama anak Mbak, lalu turun hujan besar?" security itu mulai mengingatku.Dia menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuat tidak nyaman."Mbak terlihat berbeda sekali. Lebih cant

  • Ratu Pinjol   Bab.51: Pov Ibu

    "Disti, ayo bangun ini sudah jam berapa?" mamanggil anak sulungku seraya membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Disti bergeming, dia masih berbaring menggunakan selimut tebalnya. Bahkan kini selimutnya dia naikan ke atas kepala, sehingga menutupi seluruh tubuhnya.Aku memang harus bersabar menghadapi anak sulung yang satu ini. Berbeda sekali dengan adiknya Dinar, jam segini dia sudah bersiap berangkat ke sekolah menggunakan sepedanya.Tidak kunjung mendapatkan respon dari Disti, aku menarik selimutnya dan membuangnya ke lantai. Aku berkacak pinggang dan melotot ke arahnya."Bangun, ini sudah jam berapa? Nanti kqmu bisa terlambat ke sekolah. Apa kamu mau dihukum lagi oleh guru kalau sampai terlambat lagi?!!" bentakku kepada Disti.Kali ini bentakanku berhasil membuatnya terbangun dari pembaringannya. Dia mengucek kedua mata dan menatap ke arahku dengan tatapan marah."Ibu bisa nggak, banguninnya biasa aja? Kan bisa pake cara baik-baik. Kayak waktu bangunin si Dinar, Anak emas Ibu!" pro

  • Ratu Pinjol   Bab.52: Telepon dari Orang tak Terduga

    "Mbak Dinar, kok diam saja? Siapa memangnya yang tega menitipkan orang tuanya ke panti asuhan?" tanya Bu Ustadzah lagi."Kakak saya, Bu Ustadzah" jawabku lirih.Akhirnya aku menceritakan semuanya tentang kak Disti. Termasuk kebohongannya selama ini kepadaku yang tidak berterus terang tentang keberadaan ibu. Andaikan dulu dia meminta untuk merawat ibu, pasti akan kulakukan walaupun kehidupan serba kekurangan, karena sudah menjadi tanggung jawab seorang setiap anak berbakti ke pada orang tua, sampai akhir hayatnya.Bu Ustadzah menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku tidak tahu dalam hal ini bersalah atau tidak, karena telah membiarkan ibu yang telah melahirkan dititipkan ke panti jompo, dan dirawat oleh orang yang tidak ada hubungan darah sama sekali. Aku sangat mengkhawatirkan keadaan ibu. Apakah Ibu baik-baik saja selama tinggal disana? Aku pernah mendengar berita di televisi, ada oknum pengurus panti jompo yang menelantarkan pasiennya."Bu Ustadzah, apakah saya bersa

Latest chapter

  • Ratu Pinjol   Bab.71: Akhir Cerita (Tamat)

    "M-bak-Di-nar" lirihnya, nyaris tak terdengar.Aku mendekatkan wajah pada Bu Ustadzah yang menatap dengan sayu."Ibu Ustazah yang sabar dan kuat ya," ucapku seraya tersenyum kepadanya, berusaha memberikan motivasi agar beliau kuat melewati musibah yang di alaminya."Ma-af-kan-sa-ya." Bu Ustazah kembali berucap seraya menggerakkan jemarinya, seolah ingin menjabat tanganku.Aku meraih jemarinya dan mengusapnya dengan lembut."Tidak ada yang perlu dimaafkan Bu Ustazah, karena tidak ada yang salah. Sekarang yang terpenting Bu Ustazah sehat seperti sedia kala!" timpalku.Bu Ustazah menatapku lekat dan tiba-tiba keluar cairan bening dari kedua sudut matanya. Sementara itu, bibirnya seolah menyunggingkan senyum kearahku lalu kemudian kedua mata beliau terpejam. Aku mendekatkan wajah dan memanggil namanya, tetapi tidak ada respon sama sekali. Aku kembali memanggil di telinga kirinya, tetapi sama saja tidak ada sahutan dari bibirnya."Suster, Ibu Ustazah kenapa? Beliau diam saja, tidak menjaw

  • Ratu Pinjol   Bab.70: Permintaan Maaf

    "Maaf, mengabari apa, Pak?" tanyaku penasaran.Jantungku berdetak tidak karuan. Aku khawatir ada kabar buruk yang menimpa ibu mertua yang hingga kini belum pulang ke rumah."Kami dari Rumah Sakit Husada ingin mengabari bahwa Ibu Khodijah binti Al Fajri telah mengalami kecelakaan bersama rombongan lainnya!" lanjutnya lagi.'Khodijah Al Fajri, bukankah itu nama lengkap ibu Ustazah? Tetapi kenapa pihak rumah sakit malah mengabariku? Bukankah ada Mas Syaiful yang jelas-jelas keluarganya?' bermacam pertanyaan muncul dalam benakku."Maaf Bu, kenapa tidak menghubungi pihak keluarganya langsung? Saya bukan keluarganya!" sanggahku.Aku bukannya tidak mau mengakui Bu Ustazah dan menganggapnya sebagai saudara atas kebaikannya selama ini. Akan tetapi aku merasa ada pihak keluarganya yang lebih berhak mendapatkan kabar kurang baik ini."Sudah, tetapi nomornya tidak aktif. Maaf Bu, sebaiknya Anda segera datang ke rumah sakit karena kondisi pasien saat ini sedang kritis. Dokter sedang melakukan pena

  • Ratu Pinjol   Bab.69: Kabar dari Rumah Sakit

    Kami menegok ke arah Dani secara bersamaan."Dani, sini Nak. Ini ada Nenekmu dari keluarga Ayah Dito!" ucapku melambaikan tangan padanya.Dani menghampiriku, menatap ragu ke arah ibu mertua dan meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takzim."I-ni cucuku?" tanya ibu mertua dengan sedikit gugup serta tatapan penuh haru."Iya, Bu. Ini Dani, cucu pertama Ibu!" jawabku."Ya Allah, kamu sudah sebesar ini sekarang. Maafkan Nenek yang tidak pernah mengunjungimu cucuku," ucap ibu mertua seraya mengelus wajah Dani, kemudian perlahan beliau mulai terisak."Nenek kenapa menangis?" tanya Dani heran."Wajahmu mirip sekali dengan Ayahmu. Andaikan saja Dito masih ada, dia pasti bahagia melihat kita bisa berkumpul seperti ini!" ucapnya lagi.Aku menghampiri ibu mertua dan mengusap lembut punggung tangannya."Mas Dito pasti bahagia melihat kebersamaan kita, Bu. Sebaiknya hari ini Ibu menginap saja di rumah kami. Dani juga sepertinya masih kangen sama Neneknya" ujarku seraya tersenyum pada i

  • Ratu Pinjol   Bab.68: Kedatangan Tamu tak Terduga

    "Mbak Dinar, aku boleh minta tanda tangan di novelmu nggak?" tanya Mbak Sherli di suatu siang kala sepulang sekolah menjemput Kevin. Semenjak kepindahan ke rumah lamaku, hubungan kami semakin dekat. Kini bahasa yang kami gunakan juga menjadi aku dan kamu. "Mbak Sherli ada-ada aja nih, pakai minta tanda tangan segala. Aku bukan artis lho," sanggahku seraya tersenyum."Lho, Mbak Dinar ini suka merendah. Jadi penulis terkenal itu sama saja kayak artis karena udah diundang ke stasiun televisi, bahkan karyanya sudah diangkat menjadi sebuah karya film." Mbak Sherli mengerlingkan matanya menggoda. Aku tersenyum melihatnya."Sini aku kasih tanda tangan, apa mau sekalian minta photo bareng?" ledekku."Lho, Mbak Dinar ini seperti dukun saja. Memang itu yang mau saya minta selain tanda tangan," Mbak Sherli terbahak. Kami akhirnya tertawa bersama-sama.Begitulah, setelah aku diundang menjadi nara sumber di salah satu stasiun televisi dan karyaku diangkat menjadi sebuah film ada saja yang ingi

  • Ratu Pinjol   Bab.67: Perubahan Nasib

    "Bu Ustadzah, apa kabar?" tanyaku sedikit kikuk, seraya mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangannya.Akan tetapi sekilas tampak Bu Ustadzah menyembunyikan tangannya, seolah itu pertanda jika beliau tidak berkenan ada yang mencium tangannya. Akhirnya terpaksa mengurungkan niatku "Kabar saya baik," jawabnya singkat."Maaf Bu Ustazah, ini ada sedikit oleh-oleh semoga berkenan," ucapku tak kenal lelah berusaha mengambil hati Bu Ustazah seraya menyodorkan rantang yang dibawa."Maaf, saya sedang shaum. Kebetulan juga hari ini mau pergi untuk mengisi acara tausiyah di desa yang jaraknya cukup jauh dan kemungkinan pulangnya agak malam. Sebaiknya dibawa saja masakannya, khawatir tidak sempat dimakan malah jadi mubadzir," tolak Bu Ustadzah dengan suara pelan, tetapi terasa menusuk hatiku.Betapa tidak? Aku sudah berusaha memperbaiki hubungan dengan beliau yang kurang baik karena penolakan kepada Mas Syaiful. Akan tetapi sikap beliau masih saja dingin bahkan terang-terangan menolak pem

  • Ratu Pinjol   Bab.66: Masih Bersikap Dingin

    Aku terkejut membaca pesan di aplikasi hijau tersebut, terlebih saat tahu siapa pengirimnya. Mas Syaiful. Aku tidak tahu, apa maksudnya mengirim pesan menyakitkan itu. Niat hati ingin mengabaikan pesan itu, tetapi pasti dia akan terus mengirimkan pesan dengan penilaian buruknya sendiri kepadaku. Jari tangan mulai mengetikkan balasan pesan untuk laki-laki yang pernah meminangku."Maaf, apa maksud Mas Syaiful berkata demikian? Siapa yang tidak tahu berterima kasih, siapa yang sombong? Jangan pernah menilai seseorang dari satu sudut pandang saja. Jika Mas kecewa dengan penolakan tempo hari, tetapi bukan berarti seenaknya Mas bisa menghina saya!" satu pesan balasan kukirimkan melalui aplikasi hijau di ponsel. Tidak membutuhkan waktu lama, tanda pada pesan yang dikirimkan sudah berubah warna. Terlihat Mas Syaiful sedang mengetikkan balasannya. "Siapa bilang saya kecewa dengan penolakan seorang janda sepertimu? Aku hanya tidak terima kamu meninggalkan Bibik sendirian setelah apa yang sud

  • Ratu Pinjol   Bab.65: Memulai Hidup Mandiri

    "Maafkan saya Bu Ustadzah," ucapku lirih. Beliau terlihat memijit kening menggunakan jari jemarinya."Tidak perlu minta maaf. Syaiful hanya perlu waktu untuk menerima penolakan yang membuatnya kecewa," sahut Bu Ustadzah seraya beranjak dari tempat duduknya dan berlalu masuk ke kamarnya tanpa berpamitan terlebih dahulu.Aku masih terdiam di sofa ruang tengah. Sedikit merasa bersalah dengan keputusan yang diambil. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin menjadi orang munafik yang berpura-pura menerima Mas Syaiful, tetapi dalam hati menolak. Terlebih karena permintaan Dani yang tidak ingin memiliki ayah baru. Lebih baik jujur dan merasa kecewa di awal, daripada menyesal kemudian.Tidak terasa, satu minggu sudah telah berlalu dari malam penolakanku kepada Mas Syaiful. Sejak malam itu, sikap Bu Ustadzah berubah kepadaku dan Dani. Beliau terlihat acuh tak acuh, bahkan kami jarang bertegur sapa walaupun saling berhadapan. Sepertinya perubahan sikap Bu Ustadzah ada hubungannya denga

  • Ratu Pinjol   Bab.64: Jawaban Pinangan Syaiful

    "Innalillahi wainna ilaihi rojiun," Bu Ustadzah mengucap kalimat tarji.Beliau menghela nafas dan menghembuskannya perlahan lalu menatapku dengan penuh rasa iba."Mbak Dinar yang sabar, ya. Semua makhluk akan kembali kepada-Nya jika memang sudah datang waktunya. Insya Allah Kakak Mbak Dinar akan di tempatkan di tempat terbaiknya." Ucap Bu Ustadzah mencoba menghiburku."Amiin. Terimakasih Bu Ustadzah," jawabku."Pemakaman dilaksanakan di mana? di rumah sakit kah?" tanya Bu Ustadzah kemudian."Iya Bu, pemakaman di laksanakan di rumah sakit tempat Kakak Saya di rawat, karena almarhum sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi," jawabku lirih."Pemakaman sebaiknya dilaksanakan secepatnya jangan ditunda-tunda. Tidak masalah di makamkan dimana saja, asal sudah ada persetujuan dari pihak keluarga, Mbak," sambung Bu Ustadzah lagi.Aku kemudian berpamitan kepada Bu Ustadzah untuk beristirahat. Sementara Dani sejak tadi sudah masuk ke kamarnya. Setelah membersihkan diri, aku membaringkan tubuh d

  • Ratu Pinjol   Bab.63: Kak Disti Berpukang

    Petugas tersebut mengakhiri pembicaraan di telepon. Aku mengatur napas dan ritme jantung yang tidak beraturan setelah mendapatkan kabar yang kurang baik dari rumah sakit jiwa yang merawat kak Disti."Dani, ayo kita berangkat sekarang ke rumah sakit. Tadi Ibu mendapatkan kabar jika kondisi Tante Disti memburuk" ajakku kepada Dani dengan sedikit panik."I-iya Bu. Ayo kita berangkat sekarang!" jawab Dani.Setelah berpamitan kepada Bu Ustadzah, aku segera melajukan motor menuju rumah sakit jiwa tempat ak Disti di rawat. Di sepanjang perjalanan, aku berdoa semoga kak Disti baik-baik saja. Meskipun dia pernah berbuat tidak baik kepadaku, tetapi melihat kondisinya saat ini jadi merasa tidak tega.Kak Disti telah kehilangan semua yang di milikinya, jangan sampai dia juga kehilangan saudara satu-satunya. Aku berharap kak Disti kembali sehat seperti sedia kala dan bisa hidup rukun berdampingan denganku. Arus lalu lintas hari ini cukup padat, karena sekarang adalah wekend. Banyak kendaraan luar

DMCA.com Protection Status