Namaku Ismi Farah Diba, aku seorang gadis yatim piatu yang sedari kecil dirawat dan dibesarkan oleh Tante Mayang dan Oom Dodi yang merupakan adik kandung ibuku. Kedua orang tua meninggal karena tragedi kecelakaan lalu lintas pada saat usiaku baru menginjak enam tahun. Mobil yang dikendarai mereka tertabrak mobil dump truck yang melaju kencang di sebuah turunan curam disaat hujan turun dengan derasnya.Ayahku seorang pengusaha sukses di bidang tekstil. Beliau mempunyai beberapa pabrik yang mempekerjakan ratusan karyawan. Sejak aku lahir hidup serba berkecukupan, disamping itu aku merupakan anak tunggal dikeluarga. Kedua orangtua begitu menyayangiku, terlebih ayah. Dia begitu memanjakanku. Oleh sebab itu saat ayah meninggal dunia, aku seperti kehilangan separuh jiwaku. Di usia enam tahun, aku sudah mengerti arti sebuah kehilangan. Sepeninggal ayahku, semua pabriknya di jual untuk menutupi hutang yang baru diketahui setelah selesai pemakamannya. Ayah tidak meninggalkan warisan sama seka
Mas Dito berjalan ke arah kami. Degup jantungku bertalu-talu mengiriringi langkah Mas Dito. Aku menundukkan wajah, tidak berani menatap Mas Dito."Maaf, kalian ini siapa?" tanya Mas Dito begitu sampai di tempat kami berada."Kami debt colector dari aplikasi pinjaman online, Pak!" jawab salah seorang dari mereka."Apa, pinjaman online? Siapa yang meminjam?" tanya Mas Dito seraya duduk diantara kami."Mbak Dinar Nurhasanah mengajukan pinjaman online dua bulan yang lalu kepada aplikasi kami!" jelas salah seorang lagi.Aku mendengar dengan jelas hembusan nafas kasar Mas Dito. Aku semakin menenggelamkan wajah, bertambah takut untuk menatap Mas Dito."Dinar, apa benar kamu berhutang pada mereka?" tanya Mas Dito tegas.Lututku terasa lemas dan mulut seakan terkunci. Akhirnya tiba juga waktu hal yang paling aku takutkan, Mas Dito tahu masalahku."Dinar, ayo jawab!" bentak Mas Dito kepadaku.Bentakan Mas Dito berhasil membuat tubuhku gemetaran menahan takut. Dengan sekuat tenaga mengumpulkan s
"Kamu tidak usah ikut. Biarkan Mas saja yang berangkat. Mas tidak mau seandainya ada kemungkinan terburuk mereka belum berubah, kamu dan anak-anak menjadi sasaran kemarahan mereka!" Mas Dito menolak permintaanku."Baik Mas, terimakasih sudah mau berusaha membantuku!" ucapku seraya memeluk Mas Dito dengan erat. Walaupun sebenarnya sedikit kecewa karena tidak diperbolehkan bertemu dengan kedua mertuaku, tetapi harus mengikuti saran Mas Dito. Jika hanya aku yang mereka usir tidak masalah, tetapi pasti tidak tega jika mereka juga mengusir anak-anak. Masih teringat jelas, terakhir mendatangi mereka dengan membawa serta Dani dengan harapan mereka mau menerimaku sebagai menantunya. Akan tetapi aku malah diusir padahal kala itu sedang turun hujan begitu derasnya. Mereka tidak menaruh belas kasihan sedikit pun kepadaku dan Dani kecil yang kebasahan diguyur air hujan. Sejak saat itu Mas Dani melarangku untuk mendatangi mereka dan bersumpah tidak akan pernah menemui kedua orangtuanya lagi. Ak
Di sepanjang perjalanan, aku menitikkan air mata. Aku tidak mempedulikan tatapan aneh para penumpang lainnya. Dita mengusap pipiku yang dialiri alir mata, seolah dia mengerti kesedihan yang sedang menimpa ibunya.Harus bagaimana lagi aku berusaha? "Kenapa Allah masih belum membukakan jalan untuk menyelesaikan masalahku? tanyaku dalam hati."Aku memberikan kode berhenti kepada sopir angkot yang diumpangi. Dengan sedikit membungkukan tubuh, aku turun dari angkot dan memberikan ongkos kepada sopir. Mobil Angkot kembali melaju ketika Aku sudah turun dari mobil.Sebelum melanjutkan langkah, aku berhenti sejenak untuk menghapus sisa air mata. Tidak ingin para tetangga melihat keadaanku yang sedang bersedih. Aku menyeka air mata menggunakan ujung gendongan batik panjang yang dikenakan untuk menggendong Dita. Setelah meyakini sudah tidak ada yang tersisa, ujung gendongan kembali digunakan untuk menutupi kepala Dita agar terhindar dari matahari yang bersinar terik. Setelah sampai di rumah, ak
"Mas tidak setuju jika kita melibatkan LSM dalam masalah kita. Mereka hanya pihak ketiga yang tidak ada sangkut pautnya dengan dalam masalah kita. Dalam masalah ini, hanya melibatkan kedua belah pihak saja. Pihak pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Hutang itu wajib dibayar walaupun bukan kita yang menggunakannya, karena pada saat pengajuan menggunakan data kamu dan semuanya dilakukan dengan penuh kesadaran. Seharusnya dari awal lamu tahu, kalau itu perbuatan yang salah. Sekarang, kamu harus menerima konsekuensinya!" ucap Mas Dito memberikan penjelasan panjang lebar. Intinya dia tidak menyetujui saranku.Aku kembali menundukkan wajah. Perasaan bersalah kepada Mas Dito kembali muncul. Aku yang telah menyeretnya masuk kedalam masalah saat ini. Seandainya dulu aku mendengarkan nasihat Mas Dito, mungkin masalah ini tidak akan pernah terjadi."Ya, lalu kita harus bagaimana, Mas? Sudah tidak ada harapan lagi kita keluar dari masalah ini. Aku tidak mau masuk penjara!" ucapku dengan terisa
"Mas, apa sudah dipikirkan dengan matang keputusan Mas? Kalau rumah ini dijual, kita mau tinggal dimana?" tanyaku masih tidak percaya dengan keputusan Mas Dito."Mas sudah memikirkannya dengan matang. Ini adalah satu-satunya cara agar kita keluar dari masalah, tanpa harus melibatkan orang lain!" jawab Mas Dito dengan penuh keyakinan.Aku tahu maksud dari Mas Dito. Dia bilang keputusannya adalah satu-satunya cara untuk keluar dari masalah tanpa melibatkan orang lain, yaitu orang tua Mas Dito, ibuku atau LSM. Ya, Mas Dito benar Kita tidak boleh melibatkan orang lain dalam masalah kita."Lalu kita mau tinggal dimana, Mas?" tanyaku lagi, sebenarnya masih kurang menyetujui keputusan Mas Dito."Kita tinggal di kontrakan, tetapi bukan disini. Kita akan cari kontrakan yang dekat dengan tempat Mas mengojek. Supaya Mas bisa pulang dan pergi dengan cepat!" ucap Mas Dito tanpa beban, dia melemparkan senyum padaku.Aku tahu, tugas sebagai imam sekaligus kepala rumah tangga itu berat. Pastinya Mas
Setelah mengucapkan terimakasih kepada Bang Beni, aku segera bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Aku segera berganti pakaian dan membawa uang sisa penjualan rumah. Aku meminta bantuan Mbak Neni tetangga sebelah kontrakan untuk memesan ojek online karena ingin sampai di rumah sakit dengan cepat. Dani dan Dita tidak ikut serta, aku menitipkannya kepada Mbak Neni.Hatiku terasa tidak karuan, karena didera rasa cemas dan takut yang bercampur aduk menjadi satu. Mungkin karena terlalu panik, aku sampai tidak sempat bertanya krpada Bang Beni tentang penyebab Mas Dito masuk rumah sakit. Apakah Mas Dito mengalami kecelakaan, sakit atau ada sebab lain, aku tidak tahu? Seingatku Mas Dito baik-baik saja ketika berpamitan tadi pagi.Motor ojek online yang aku tumpangi berhenti tepat di depan rumah sakit. Setelah membayar tarif ojek online sesuai aplikasi, aku melangkah tergesa masuk ke dalam rumah sakit. Tujuanku adalah bagian informasi untuk mengetahui keberadaan Mas Dito."Mbak maaf saya mau tan
Aku tersadar dan mendapati diri sudah berada di dalam kamar. Samar-samar tampak Mbak Neni ada bersmaku. Dia sedang memijit kakiku yang tidak terasa pegal. Aku mencoba mengumpulkan ingatan kembali dan menerka apa yang telah terjadi. Aku kembali berteriak histeris ketika sudah mengingat kejadian sebelumnya. Aku harus menerima kenyataan jika Mas Dito telah pergi meninggal kami semua untuk selama-lamanya."Mas Dito, jangan pergi tinggalkan aku, Mas!" Aku berteriak sambil berlari keluar dari kamar, sementara Mbak Neni terlihat panik dan berusaha mengejar. Namun usahanya tidak berhasil karena kalah cepat.Aku berlari menuju ruang tengah, yang kini telah ramai dikerubungi oleh orang-orang. Di tengah ruangan, aku melihat Mas Dito sudah terbujur kaku dengan kain kafan yang membalut tubuhnya. Aku kembali tidak bisa menguasai diri, tubuhku lemas dan pandangan terlihat gelap. Akhirnya aku luruh ke lantai."Mbak Dinar, eling Mbak. Kasihan sama anak-anak!" samar-samar terdengar ada yang memanggilku
"M-bak-Di-nar" lirihnya, nyaris tak terdengar.Aku mendekatkan wajah pada Bu Ustadzah yang menatap dengan sayu."Ibu Ustazah yang sabar dan kuat ya," ucapku seraya tersenyum kepadanya, berusaha memberikan motivasi agar beliau kuat melewati musibah yang di alaminya."Ma-af-kan-sa-ya." Bu Ustazah kembali berucap seraya menggerakkan jemarinya, seolah ingin menjabat tanganku.Aku meraih jemarinya dan mengusapnya dengan lembut."Tidak ada yang perlu dimaafkan Bu Ustazah, karena tidak ada yang salah. Sekarang yang terpenting Bu Ustazah sehat seperti sedia kala!" timpalku.Bu Ustazah menatapku lekat dan tiba-tiba keluar cairan bening dari kedua sudut matanya. Sementara itu, bibirnya seolah menyunggingkan senyum kearahku lalu kemudian kedua mata beliau terpejam. Aku mendekatkan wajah dan memanggil namanya, tetapi tidak ada respon sama sekali. Aku kembali memanggil di telinga kirinya, tetapi sama saja tidak ada sahutan dari bibirnya."Suster, Ibu Ustazah kenapa? Beliau diam saja, tidak menjaw
"Maaf, mengabari apa, Pak?" tanyaku penasaran.Jantungku berdetak tidak karuan. Aku khawatir ada kabar buruk yang menimpa ibu mertua yang hingga kini belum pulang ke rumah."Kami dari Rumah Sakit Husada ingin mengabari bahwa Ibu Khodijah binti Al Fajri telah mengalami kecelakaan bersama rombongan lainnya!" lanjutnya lagi.'Khodijah Al Fajri, bukankah itu nama lengkap ibu Ustazah? Tetapi kenapa pihak rumah sakit malah mengabariku? Bukankah ada Mas Syaiful yang jelas-jelas keluarganya?' bermacam pertanyaan muncul dalam benakku."Maaf Bu, kenapa tidak menghubungi pihak keluarganya langsung? Saya bukan keluarganya!" sanggahku.Aku bukannya tidak mau mengakui Bu Ustazah dan menganggapnya sebagai saudara atas kebaikannya selama ini. Akan tetapi aku merasa ada pihak keluarganya yang lebih berhak mendapatkan kabar kurang baik ini."Sudah, tetapi nomornya tidak aktif. Maaf Bu, sebaiknya Anda segera datang ke rumah sakit karena kondisi pasien saat ini sedang kritis. Dokter sedang melakukan pena
Kami menegok ke arah Dani secara bersamaan."Dani, sini Nak. Ini ada Nenekmu dari keluarga Ayah Dito!" ucapku melambaikan tangan padanya.Dani menghampiriku, menatap ragu ke arah ibu mertua dan meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takzim."I-ni cucuku?" tanya ibu mertua dengan sedikit gugup serta tatapan penuh haru."Iya, Bu. Ini Dani, cucu pertama Ibu!" jawabku."Ya Allah, kamu sudah sebesar ini sekarang. Maafkan Nenek yang tidak pernah mengunjungimu cucuku," ucap ibu mertua seraya mengelus wajah Dani, kemudian perlahan beliau mulai terisak."Nenek kenapa menangis?" tanya Dani heran."Wajahmu mirip sekali dengan Ayahmu. Andaikan saja Dito masih ada, dia pasti bahagia melihat kita bisa berkumpul seperti ini!" ucapnya lagi.Aku menghampiri ibu mertua dan mengusap lembut punggung tangannya."Mas Dito pasti bahagia melihat kebersamaan kita, Bu. Sebaiknya hari ini Ibu menginap saja di rumah kami. Dani juga sepertinya masih kangen sama Neneknya" ujarku seraya tersenyum pada i
"Mbak Dinar, aku boleh minta tanda tangan di novelmu nggak?" tanya Mbak Sherli di suatu siang kala sepulang sekolah menjemput Kevin. Semenjak kepindahan ke rumah lamaku, hubungan kami semakin dekat. Kini bahasa yang kami gunakan juga menjadi aku dan kamu. "Mbak Sherli ada-ada aja nih, pakai minta tanda tangan segala. Aku bukan artis lho," sanggahku seraya tersenyum."Lho, Mbak Dinar ini suka merendah. Jadi penulis terkenal itu sama saja kayak artis karena udah diundang ke stasiun televisi, bahkan karyanya sudah diangkat menjadi sebuah karya film." Mbak Sherli mengerlingkan matanya menggoda. Aku tersenyum melihatnya."Sini aku kasih tanda tangan, apa mau sekalian minta photo bareng?" ledekku."Lho, Mbak Dinar ini seperti dukun saja. Memang itu yang mau saya minta selain tanda tangan," Mbak Sherli terbahak. Kami akhirnya tertawa bersama-sama.Begitulah, setelah aku diundang menjadi nara sumber di salah satu stasiun televisi dan karyaku diangkat menjadi sebuah film ada saja yang ingi
"Bu Ustadzah, apa kabar?" tanyaku sedikit kikuk, seraya mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangannya.Akan tetapi sekilas tampak Bu Ustadzah menyembunyikan tangannya, seolah itu pertanda jika beliau tidak berkenan ada yang mencium tangannya. Akhirnya terpaksa mengurungkan niatku "Kabar saya baik," jawabnya singkat."Maaf Bu Ustazah, ini ada sedikit oleh-oleh semoga berkenan," ucapku tak kenal lelah berusaha mengambil hati Bu Ustazah seraya menyodorkan rantang yang dibawa."Maaf, saya sedang shaum. Kebetulan juga hari ini mau pergi untuk mengisi acara tausiyah di desa yang jaraknya cukup jauh dan kemungkinan pulangnya agak malam. Sebaiknya dibawa saja masakannya, khawatir tidak sempat dimakan malah jadi mubadzir," tolak Bu Ustadzah dengan suara pelan, tetapi terasa menusuk hatiku.Betapa tidak? Aku sudah berusaha memperbaiki hubungan dengan beliau yang kurang baik karena penolakan kepada Mas Syaiful. Akan tetapi sikap beliau masih saja dingin bahkan terang-terangan menolak pem
Aku terkejut membaca pesan di aplikasi hijau tersebut, terlebih saat tahu siapa pengirimnya. Mas Syaiful. Aku tidak tahu, apa maksudnya mengirim pesan menyakitkan itu. Niat hati ingin mengabaikan pesan itu, tetapi pasti dia akan terus mengirimkan pesan dengan penilaian buruknya sendiri kepadaku. Jari tangan mulai mengetikkan balasan pesan untuk laki-laki yang pernah meminangku."Maaf, apa maksud Mas Syaiful berkata demikian? Siapa yang tidak tahu berterima kasih, siapa yang sombong? Jangan pernah menilai seseorang dari satu sudut pandang saja. Jika Mas kecewa dengan penolakan tempo hari, tetapi bukan berarti seenaknya Mas bisa menghina saya!" satu pesan balasan kukirimkan melalui aplikasi hijau di ponsel. Tidak membutuhkan waktu lama, tanda pada pesan yang dikirimkan sudah berubah warna. Terlihat Mas Syaiful sedang mengetikkan balasannya. "Siapa bilang saya kecewa dengan penolakan seorang janda sepertimu? Aku hanya tidak terima kamu meninggalkan Bibik sendirian setelah apa yang sud
"Maafkan saya Bu Ustadzah," ucapku lirih. Beliau terlihat memijit kening menggunakan jari jemarinya."Tidak perlu minta maaf. Syaiful hanya perlu waktu untuk menerima penolakan yang membuatnya kecewa," sahut Bu Ustadzah seraya beranjak dari tempat duduknya dan berlalu masuk ke kamarnya tanpa berpamitan terlebih dahulu.Aku masih terdiam di sofa ruang tengah. Sedikit merasa bersalah dengan keputusan yang diambil. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin menjadi orang munafik yang berpura-pura menerima Mas Syaiful, tetapi dalam hati menolak. Terlebih karena permintaan Dani yang tidak ingin memiliki ayah baru. Lebih baik jujur dan merasa kecewa di awal, daripada menyesal kemudian.Tidak terasa, satu minggu sudah telah berlalu dari malam penolakanku kepada Mas Syaiful. Sejak malam itu, sikap Bu Ustadzah berubah kepadaku dan Dani. Beliau terlihat acuh tak acuh, bahkan kami jarang bertegur sapa walaupun saling berhadapan. Sepertinya perubahan sikap Bu Ustadzah ada hubungannya denga
"Innalillahi wainna ilaihi rojiun," Bu Ustadzah mengucap kalimat tarji.Beliau menghela nafas dan menghembuskannya perlahan lalu menatapku dengan penuh rasa iba."Mbak Dinar yang sabar, ya. Semua makhluk akan kembali kepada-Nya jika memang sudah datang waktunya. Insya Allah Kakak Mbak Dinar akan di tempatkan di tempat terbaiknya." Ucap Bu Ustadzah mencoba menghiburku."Amiin. Terimakasih Bu Ustadzah," jawabku."Pemakaman dilaksanakan di mana? di rumah sakit kah?" tanya Bu Ustadzah kemudian."Iya Bu, pemakaman di laksanakan di rumah sakit tempat Kakak Saya di rawat, karena almarhum sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi," jawabku lirih."Pemakaman sebaiknya dilaksanakan secepatnya jangan ditunda-tunda. Tidak masalah di makamkan dimana saja, asal sudah ada persetujuan dari pihak keluarga, Mbak," sambung Bu Ustadzah lagi.Aku kemudian berpamitan kepada Bu Ustadzah untuk beristirahat. Sementara Dani sejak tadi sudah masuk ke kamarnya. Setelah membersihkan diri, aku membaringkan tubuh d
Petugas tersebut mengakhiri pembicaraan di telepon. Aku mengatur napas dan ritme jantung yang tidak beraturan setelah mendapatkan kabar yang kurang baik dari rumah sakit jiwa yang merawat kak Disti."Dani, ayo kita berangkat sekarang ke rumah sakit. Tadi Ibu mendapatkan kabar jika kondisi Tante Disti memburuk" ajakku kepada Dani dengan sedikit panik."I-iya Bu. Ayo kita berangkat sekarang!" jawab Dani.Setelah berpamitan kepada Bu Ustadzah, aku segera melajukan motor menuju rumah sakit jiwa tempat ak Disti di rawat. Di sepanjang perjalanan, aku berdoa semoga kak Disti baik-baik saja. Meskipun dia pernah berbuat tidak baik kepadaku, tetapi melihat kondisinya saat ini jadi merasa tidak tega.Kak Disti telah kehilangan semua yang di milikinya, jangan sampai dia juga kehilangan saudara satu-satunya. Aku berharap kak Disti kembali sehat seperti sedia kala dan bisa hidup rukun berdampingan denganku. Arus lalu lintas hari ini cukup padat, karena sekarang adalah wekend. Banyak kendaraan luar