Saat kedua orang tuanya dan kedua kakaknya sibuk dengan harta yang selangkah lagi akan menjadi milik bank itu, Siska justru menerapkan gaya hidupnya yang lebih bar-bar dari sebelumnya bersama teman-temannya di luar rumah.
Berawal dari luka hati yang terus digores oleh perlakuan sang keluarga, Siska lebih memilih untuk merusak hidupnya dan masa depannya sendiri.
Siska justru membuat dirinya seakan-akan bodoh dan tak memiliki ilmu apa-apa di sekolah, nilai semua mata pelajaran turun dengan pesat, ia berpikir bahwa semua biaya yang dikeluarkan oleh kedua orang tuanya selama ini bukanlah dari pekerjaan yang tulus dan jujur.
Melainkan dari sebuah permainan semu di meja judi, yang pastinya perbuatan itu dianggap salah besar di mata semua orang bahkan agama.
Semua rasa sakit hatinya justru ia lampiaskan kepada pergaulan bebas dan semua hal yang buruk ia lakukan, meskipun hanya bersama dengan ketiga sahabatnya.
Sudah hampir satu bulan Bu Tuti memperhatikan Siska yang tampil begitu terbuka, dan seksi. Dilengkapi dengan warna rambut yang berubah kemerah-merahan membuat Bu Tuti berniat untuk menegur Siska.
Setelah mata pelajaran kedua usai, Siska dan ketiga sahabatnya yang langsung pergi ke sebuah taman tidak jauh dari sekolahan. Bu Sri memanggil Siska yang sedang asik berbincang-bincang dengan ketiga Sahabatnya.
"Siska, Ibu mau bicara," kata Bu Tuti dengan wajah serius dan menatap Siska tajam.
Wajah Siska pun berubah menjadi masam, dan senyum yang sejak tadi menghiasi wajahnya kini redup dengan kesal.
Bu Tuti berjalan lebih dulu dan memilih untuk menunggu di ruangannya, sementara Siska masih tetap berdiri mematung dengan sejuta kekesalan.
"Udah Kia, Lo ikutin dulu panggilan Bu Tuti, mungkin ada yang ingin dia bicarakan," kata Runi yang dengan wajah ikut kesal, karena acara pesta yang mereka rencanakan harus terhenti dengan panggilan itu.
"Gue tahu, kalau Bu Tuti bakal negur Gue, ya nggak salah lagi! Tapi kenapa si hidup Gue lagi-lagi dihadapkan dengan masalah yang ujung-ujungnya memojokkan Gue lagi?!" omel Siska dengan nada khasnya saat merasa kesal dan marah.
Siska selalu menyalahkan bahkan kerap kali menolak dengan garis takdir kehidupannya, dengan kesal Siska melangkah maju mendekati ruangan Bu Tuti dengan tatapan mata para siswa dan siswi yang seakan memandang dirinya sangat buruk.
Saat tiba di depan pintu, tanpa basa basi, Siska membuka pintu ruangan kepala sekolahnya itu dengan kasar. Beruntunglah bahwa kepala sekolah di tempatnya mengenyam pendidikan itu seorang wanita, masih bisa dengan santai dan melawan saat murid-muridnya melakukan kesalahan, terlebih lagi sikap lemah lembut yang selalu ditunjukkan oleh Bu Tuti. Membuat para murid terkadang salah dalam mengartikan sikap itu.
Ada yang mencontoh sikap baiknya, namun tak sedikit juga yang justru memberontak dengan semua aturan yang diberikan oleh Bu Tuti.
Siska duduk berhadapan dengan Bu Tuti, setelah sikapnya yang membuka pintu tanpa permisi.
"Ada apa Ibu memanggil saya?" tanya Siska dengan wajah tidak suka.
"Siska, apa kamu sudah tidak merasa ada yang berubah dengan penampilan kamu dan sikap kamu belakangan ini? Lalu bagaimana dengan sikap sopan santun kamu yang Ibu terapkan sehari-hari di sekolah ini? Kenapa untuk mengetuk pintu ruangan saya saja, kamu tidak melakukannya?!"
Bu Tuti melemparkan semua pertanyaan yang memang sudah sangat banyak ia pendam, perihal semua sikap yang dikeluarkan oleh Siska akhir-akhir ini.
"Maaf Bu. Saya lupa dan saya juga tidak ingin berbasa basi karena masih ada pekerjaan yang mau saya selesaikan." jawab Siska dengan santai dan tanpa merasa itu sebuah kesalahan.
"Pekerjaan? Pekerjaan apa yang kamu ingin kerjakan? Bukankah di sekolah ini yang perlu kamu kerjakan adalah belajar dan mengikuti setiap pelajaran yang Ibu bagikan kepada kamu?!" tanya Bu Tuti yang sedikit meninggikan suaranya karena kesal.
Mendengar sebuah pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan Bu Tuti kepadanya, membuat Siska murka dan bangkit dari tempat duduknya.
"Kalau Ibu tidak menerima sikap saya seperti ini, saya akan keluar dari sekolah ini!" Pungkas Siska yang menatap kedua mata Bu Tuti dengan tajam.
Bu Tuti yang awalnya duduk dengan santai, kini ikut bangkit berdiri sejajar dengan Siska yang sudah diselimuti kemarahan.
"Siska, kalau kamu keluar dari sekolah ini, lalu kegiatan apa yang akan kamu lakukan di luar sana, kamu tahu? Di luar sana banyak sekali yang ingin merasakan bangku pendidikan, tapi kamu justru ingin meninggalkannya begitu saja!"
Bu Tuti masih dengan sabar dan tenang menghadapi pemberontakan Siska yang jelas-jelas sudah sangat melampui batas, bahkan untuk sedikit sopan dengan gurunya sendiri, tidak ia lakukan.
"Bu, saya tidak perduli dengan pendidikan ini! Bahkan saya sama sekali tidak berniat untuk belajar lagi, saya ingin menghabiskan waktu saya untuk bersenang-senang, karena saya tahu bahwa takdir buruk ternyata memihak saya, bahkan tak mau enyah dari hidup saya!" hardik Siska kepadanya dirinya sendiri.
"Tapi sikap kamu ini justru akan membuat teman-teman kamu mengikuti, Siska! Mereka akan menilai bahwa sikap dan tindakan kamu ini sebuah kebenaran, saya minta kamu untuk jangan bawa-bawa mereka!" protes Bu Tuti dengan nada tidak suka dengan jawaban Siska
Meskipun Bu Tuti sebenarnya tidak ingin mengatakan hal itu, namun ia merasa bahwa Siska sudah tidak bisa lagi diajak bicara dengan cara baik-baik.
"Kalau Ibu merasa bahwa kehadiran saya hanya untuk membawa mereka ke jalan yang salah, saya akan pergi dan keluar dari sekolah ini sekarang juga!" lanjut Siska yang langsung memilih untuk pergi meninggalkan ruangan Bu Tuti.
Dengan kasar, Siska pun membanting pintu ruangan Bu Tuti dengan berani, langkah kakinya begitu membara penuh dengan kemarahan menuju ruang kelas dan mengambil tas yang berisi dengan buku-buku pelajarannya.
Ketiga sahabatnya yang mengetahui tindakan Siska pun, berlari menghampiri Siska yang sudah tak mampu menahan air mata.
"Kia, Lo kenapa?" tanya Anggun mengusap pucuk kepala sahabatnya itu.
"Iya Kia, Lo mau kemana bawa tas, Lo?" timpal Runi dengan wajah kasihan.
Dengan kasar, Siska menyeka air matanya yang tak mampu ia bendung lagi.
"Gue mau keluar dari sekolah ini! Kalau Gue masih sekolah di sini, Gue akan membawa pengaruh buruk untuk kalian dan temen-temen semua di sini, jadi lebih baik Gue keluar!" jelas Siska dengan suara serak karena menangis.
"Kata siapa si, Kia? Lo melakukan ini bukan sengaja kan? Karena hati Lo aja yang sedang terluka dan Lo mutusin melakukan ini untuk menghibur jiwa Lo." jawab Runi yang senasib dengan dirinya.
Siska terdiam saat sahabatnya saling memberi pembelaan, bagi Siska hanya mereka lah yang mengerti apa yang ia rasakan.
Merasa bahwa Siska sudah tidak bisa lagi diberi nasehat, Bu Tuti memutuskan untuk memanggil orang tua Siska via pesan yang dikirimkan kepada Mami Salwa. Sementara Siska yang memang tak ingin berangkat sekolah lagi, memutuskan untuk menghabiskan waktunya di dalam kamar, bermain musik, karaokean, bahkan makan dan minum pun ia lakukan di dalam kamar. Di meja makan, Mami Salwa mengatakan kepada Papi Hardi bahwa pagi ini ia harus menemui kepala sekolah terlebih dahulu, sebelum berangkat ke kantor untuk menyelesaikan sebagaian masalah yang tak kunjung selesai. "Pi, Mami mau ke sekolah Siska dulu, Mami diminta untuk menemui kepala sekolah," kata Mami Salwa sambil memasukkan makanan kedalam mulutnya."Tumben? Ada apa, Mi?" tanya Papi Hardi menatap istrinya dan mengambil air minum yang ada di sebelah kanannya. "Mami juga nggak faham si, tapi pagi ini Mami har
Karena merasa sangat tertekan di dalam rumah, yang sama sekali tak mendukung pertumbuhannya dan pola pikirnya, membuat Siska memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah tanpa diketahui oleh siapapun yang tengah sibuk dengan urusan mereka masing-masing itu. Siska pun memilih malam hari untuk bisa keluar dari rumah, menunggu sampai keadaan terasa hening dan sepi. Setelah merasa aman Siska pun mengendap-endap menuruni anak tangga dengan perlahan berharap tak akan ada orang yang mengetahuinya.Berbekalkan tas kecil yang ia bawa dan beberapa lembar uang, membuat Siska benar-benar nekat memutuskan untuk pergi dari rumah meninggalkan keluarga yang selama ini menjadi pelindung dan penaungnya di rumah. Namun, meskipun begitu Siska sama sekali tidak merasa bahwa mereka benar-benar melindungi dirinya, justru yang Siska rasakan hanyalah kesibukan dan waktu terbuang dengan sia-sia di luar rumah, ta
#Beberapa Minggu Kemudian#Kepergian Siska dari rumah membawanya kedunia baru yang lebih bebas dari sebelumnya, Runi yang memang sudah menjadi wanita malam tanpa sepengetahuan Siska itu pun memberikan makan dan tempat tinggal untuk Siksa dari hasilnya bekerja di salah satu bar yang tidak jauh dari kontrakan mereka. Sementara kebebasan Siska tidak sebanding dengan kebebasan Runi, Runi masih merahasiakan pekerjaannya sebagai wanita malam, Siska hanya bermain-main di malam hari bersama beberapa anak kontrakan yang bernasib sama seperti dirinya. Sementara saat itulah, Runi pergi meninggalkan Siska dan mulai bekerja sebagai wanita penghibur sampai pukul dua belas malam. Kegiatan Runi yang masih baru beberapa hari itu berjalan dengan lancar, Runi pun sudah mendapatkan uang muka dari atasannya karena sudah berhasil menggait beberapa laki-laki hidung belang dalam waktu semalam.
Setelah selesai mengerjakan tugasnya, Runi pun memutuskan untuk segera pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi dini hari, rasa kantuk dan lelahnya membuat Runi tak mampu menyeimbangi tubuhnya yang berjalan menyusuri jalan.Runi tak menyadari bahwa Dimas yang sejak tadi menunggunya di persimpangan jalan, saat melihat Runi melintas di hadapannya, Dimas pun berlari menghampiri dan menyapa Runi."Dimas, kok Lo masih di sini, si?" tanya Runi yang membuka kedua matanya lebih lebar. "Ya, Gue sengaja nungguin Lo di sini," sahut Dimas melempar senyum. "Untuk apa Lo nungguin Gue, eh ini tu udah malam kali, harusnya Lo itu bobok cantik di rumah!" sahut Runi yang melempar senyum kepada Dimas. "Hahaha, Lo lucu ya, Lo bilang jam segini waktunya bobok cantik di rumah, sementara Lo sendiri baru keluar tu dari tem
Karena merasa bahwa mentari pagi cukup membuat Runi dan Siska merasa ingin keluar untuk berolahraga, mereka pun akhirnya memutuskan untuk mengganti baju tidur mereka dengan pakaian olahraga. "Sis, ayo kita berangkat. Mumpung masih pagi, nih," ajak Runi yang sudah merasa siap dan menunggu di depan pintu kontrakan. "Iya, tunggu sebentar! Gue lagi ngiket rambut, nih." jawab Siska yang masih berdiri di depan cermin. Runi tak menghiraukan ucapan Siska, ia memilih untuk berjalan lebih dulu karena sudah tidak sabar menikmati pagi yang baru pertama kali ia rasakan. "Coba aja, Gue nggak terjebak di pekerjaan malam seperti ini, mungkin hari-hari Gue masih bisa Gue nikmatin dengan lebih indah dari pada mentari pagi ini." Ungkap Runi dengan gerakan langkah kakinya yang ia ayunkan, tak lama kemudian Siksa pun menyusul Runi yang sudah berjalan lebih dulu
Kedua wanita cantik yang memiliki karismatik tinggi itu, dengan senang hati berjalan kaki menyusuri jalan raya yang dipadati kendaraan yang simpang siur. Siska dan Runi berusaha untuk menjadi manusia baru di tengah padatnya penduduk kota, niat mereka tidak hanya membeli sepatu untuk Siska yang sudah tidak bisa ia pakai.Mereka ingin menghabiskan waktu dengan bersantai menikmati hari mereka di luar kontrakan, karena pada malam hari Runi tidak akan ada waktu, maka Runi memanfaatkan waktu siang harinya untuk menemani Siska yang kesepian."Ni, kita mau beli sepatu di mana, si?" tanya Siska yang mulai lelah dengan langkah kakinya."Udah, Lo ikuti Gue aja. Nggak lama lagu sampai, kok." jawab Runi yang membawa Runi pergi ke tempat yang belum pernah ia tuju.Runi sengaja mengajak Siska jalan-jalan menyusuri kota, meskipun terlihat wajah Siska yang terlihat masam karena harus berjalan kaki sejauh ma
Setelah menikmati harinya dengan jalan-jalan bersama, Siska dan Runi pun memilih untuk menghabiskan waktunya di rumah, di tengah panasnya sengatan matahari membuat mereka memilih untuk tidur di kamar. Karena hanya siang hari yang bisa membuat Runi tidur, ia pun tak menunggu waktu lama saat merebahkan tubuhnya di atas kasur, Runi terlelap dengan cepat sementara Siska yang tidak bisa tidur secepat itu hanya bisa ke sana ke sini untuk memfokuskan pusat pikirannya. Siska masih sangat penasaran dengan baju-baju yang dibeli oleh sahabatnya itu, begitu seksi dan terbuka, Siska terfokus dengan pekerjaan malam yang Runi lakukan. Karena tak ingin ketinggalan informasi, Siska pun memilih untu tidak tidur. 'Lebih baik Gue nggak usah tidur, karena beberaja jam lagi hari sudah gelap, malam ini Gue harus ikuti Runi.' kata Siska yang memutuskan untuk memilih beberes rumah dan mencucui pakaian yang baru saja ia beli itu. Peralatan seadanya membuat Siska harus terbiasa
Dimas menatap ke arah Siska yang menatapnya marah, ia menyadari bahwa wanita yang ia lihat adalah wanita yang pernah bersama Runi beberapa hari yang lalu."Lo, Lo kan...?" Dimas merasa bahwa ia benar-benar mengenal Siska.Siska yang juga tak merasa asing dengan laki-laki yang ada di hadapannya itu menarik pakaian Dimas hingga jarak anatara bibir Dimas dan bibir Siska sangat dekat.Siska menyadari hal itu dan mendorong tubuh Dimas hingga tubuh Dimas terhempas jatuh."Aduh! Lo kasar banget, si?!" hardik Dimas merasa kesakitan di bagian pinggangnya."Sukurin! Lo sengaja kan cari kesempatan dalam kesempitan, ngaku Lo?" sahut Siska menuduh Dimas dengan prasangkanya.Dimas bangkit dan mendekat ke arah Siska dan menatapnya dengan tajam, Dimas merasa tersinggung dengan perkataan Siska yang menuduhnya."Eh, Lo jangan nuduh dong! Gue tu nggak sengaja nambrak Lo!" sahut Dimas tak terima."Alah, jangan bohong Lo! Laki-laki kayak Lo i
Beberapa Hari KemudianDimas berniat untuk menemui Siska yang sudah beberapa hari tidak ia temui, rasa rindu yang dirasakan oleh Dimas semakin besar karena semakin ia pendam perasaan itu semakin dalam.Dengan menyemprotkan beberapa parfum di pakaiannya, Dimas pun keluar untuk menemui Siska."Semoga saja Siska ada di rumah." harap Dimas yang sudah terlihat rapi.Sampainya di depan rumah kontrakan Siska, Dimas pun memberhentikan sepeda motornya dan segera berjalan mendekati pintu rumah.Tok... Tok... Tok....Ketukan pintu Dimas pun membangunkan Siska dan Runi yang baru saja menikmati istirahatnya, setelah semalaman begadang mencari uang."Kia, buka pintunya," pinta Runi yang masih memejamkan kedua matanya."Lo saja, Ni. Gue masih ngantuk, nih!" protes Siska tak kalah merasakan kantuk."Ih, Kia. Kok lo gitu si."Runi merasa kesal, namun ia tetap bangkit untu
Karena ketidakbisaan Dimas menjaga Siska, akhirnya Siska sudah tidak ada harapan lagi untuk mempertahankan Kesuciannya, Siska menerima orderan manapun yang bisa menghasilakan uang dan ia tidak perduli dengan ucapan Dimas yang melarangnya melakukan pekerjaan itu. Siska dengan brutal merusak dirinya sendiri dan lebih sering bersama dengan Kalvin, seiring berjalannya waktu Siska pun mulai melupakan perasaannya dengan Dimas. Laki-laki yang dianggap misterius namun memiliki jiwa yang baik dan tulus. "Siska, apa lo akan selamannya bekerja sebagai wanita penghibur seperti ini?" tanya Kalvin yang sedang asik menikmati minuman yang tersedia. "Gue nggak tahu, yang jelas gue harus mencukupi kehidupan gue melalui pekerjaan ini." jawab Siska yang tidak memiliki alasan lain. Kalvin pun melempar senyum saat mendengar jawaban ringan namun mencakup semua kebutuhan sehari-hari Siska, menjadi par penikmat mata laki-laki yang datang menggoda bukan
"Tapi sayangnya gue nggak mau lagi bertemu dengan lo!" jawab Siska yang memilih untuk segera masuk ke dalam rumah.Dimas pun berusaha untuk membuka pintu dan terjadi saling tarik ulur diantara Dimas dan Siska, Siska yang masih merasakan sakit akibat permainan Kalvin itu akhirnya menyerah dan memilih untuk mengalah.Dengan lunglai Siska terduduk di lantai dan membiarkan Dimas masuk dengan melihat keadaan Siska yang sudah dibanjiri dengan air mata."Kia, lo kenapa?" tanya Dimas membelai pundak Siska pelan."Jangan sentuh gue! Lo jahat, lo tega, lo bilang kalau lo mau lindungi gue agar gue tidak disentuh oleh laki-laki, tapi nyatanya lo biarkan gue tidur bersama laki-laki lain!" omel Siska yang benar-benar merasa kecewa."Gue minta maaf, Kia. Bukan keinginan gue untuk sakit seperti ini," ucap Dimas yang masih menutup wajahnya dengan masker."Itu hanya alasan lo aja kan, mulai sekarang lo pergi dari sini karena lo tidak ada tempat lagi di sini!"
Karena merasa Siska cukup lama di dalam kamar mandi, membuat Kalvin yang sudah melepaskan kemejanya itu memilih untuk segera menyusul Siska dan memanggilnya. Tok... Tok... Tok.... Suara ketukan pintu pun terdengar dari dalam kamar mandi Siska, dengan cepat Siska pun membalikkan tubuhnya dan mengatur napasnya kembali. 'Ya ampun, laki-laki itu pasti sudah sangat tidak sabar menunggu gue!' batin Siska yang tak bisa lagi mengelak. Ketukan itu terdengar kembali, karena Siska tak kunjung keluar dari kamar mandi. "Siska, lo nggak papa kan?" tanya Kalvin memastikan keadaan Siska. Siska yang mendengar itu akhirnya pasrah dengan apa yang akan terjadi malam ini, karena Dimas memang tak ada kabar sampai saat ini. Ceklek Siska membukakan pintu dan menatap ke arah Kalvin yang sudah bertelankang dada, dengan cepat Siska menutup kedua mata menggunakan kedua tangannya. "Kok l
Setelah merasa aman dari sekelompok orang yang ingin menghajar Syam habis-habisan, Runi segera memberikan obat yang telah ia beli untuk Syam. Dengan pasrah Syam menerima perlakuan baik dari wanita yang baru saja ia kenal itu.Tatapan mata Runi yang begitu tulus mengobati Syam membuatnya merasa sangat bersyukur karena telah ditolong oleh Runi yang sebelumnya tidak dikenalnya."Thanks ya, lo udah nolongin gue," ucap Syam yang menatap wajah Runi tajam."Sama-sama, lagian lo kenapa sampai dikeroyok begitu si?" tanya Runi penasaran."Gue nggak sengaja nimpuk salah satu dari mereka dengan botol bekas, dan mereka marah besar." jelas Syam masih menahan sakit.Runi yang ingin berangkat bekerja itu akhirnya menyadari bahwa dirinya sudah terlalu lama bersama Syam, dan harus segera pergi karena Siska sudah lebih dulu berangkat."Lo nggak papa kan, kalau gitu gue mau pergi dulu!"Runi pun segera beranjak hendak mening
Mendengar suara wanita yang mengira bahwa dirinya akan bunuh diri membuat Syam bangkit dan menghadap Runi, Runi yang tidak mneyadari bahwa laki-laki yang ada di hadapannya itu adalah kakak Siska membuatnya bersikap sangat asing dengan Syam. "Enak saja lo, siapa juga yang bunuh diri, memangnya gue gila!" celetuk Syam yang merasa kesal. "Ya gue kira lo duduk di sini sendiri karena mau bunuh diri, lagian untuk apa lo duduk-duduk nggak jelas begitu?" sahut Runi yang merasa kepo. "Ya urusan gue lah, kenapa lo yang repot si." jawab Syam memilih untuk segera pergi. Syam meninggalkan Runi yang masaih memandangi Syam dengan pandangan yang aneh. 'Dasar aneh, berjalan saja tidak bersemangat seperti itu, seperti sedang menanggung beban hidup yang cukup berat.' batin Runi. Karena tidak ingin mengambil pusing, akhirnya Runi pun kembali meneruskan perjalannya menuju rumah kontaran. Siska yang sedang asik menikmati kesendiriannya di dala
"Syukurlah, meskipun tidak terlalu besar setidaknya kontrakan ini bisa kita gunakan untuk istirahat," kata Sandy yang langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang."Tapi San, tempat ini terlalu kecil dan sempit!" protes Syam yang masih berdiri dengan memangku tangannya."Sudahlah Syam, tempat ini adalah tempat terakhir kita. Setelah sekian kali memilih kontrakan." jawab Sandy yang merasa lelah.Syam yang sudah beberapa kali menolak kontrakan yang mereka datangi itu membuat Sandy akhirnya memilih menyerah dan menerima kontrakan seadanya, karena permintaan Syam tidak mencukupi pembayaran yang harus mereka berikan setiap bulannya.Syam pun dengan raut wajah kesal ikut duduk di ujung bibir ranjang mencoba untuk menerima apa yang telah Sandy pilih."Pokoknya setelah kita mendapatkan pekerjaan, gue mau kita pindah kontrakan yang lebih besar dari ini!" kata Syam menatap Sandy tajam."Iya, besok pagi kita mulai me
Satu Bulan kemudian Sejak Siska memutuskan untuk pergi, dan setelah berpindah dari rumah bak istana menuju rumah sederhana membuat mami Salwa berpikir untuk bisa menemukan Siska yang selama ini tidak terlalu mereka pikirkan. Kesibukan melunasi hutang-hutang membuat mami Salwa dan papi Hardi sama sekali tidak memikirkan Siksa, karena bagi mereka Siska selama ini tidak pernah bisa membantu apa-apa dengan segudang masalah yang mereka menghadapi . Kini mereka tersadar bahwa mereka sudah kehilangan satu keluarga yang membuat mereka tergerak untuk mencari di mana Siska saat ini berada. "Pi, kapan si kita bisa bertemu dengan Siska. Sudah berbulan-bulan Siska pergi tanpa kabar?" tanya mami Salwa saat menikmati sarapan pagi bersama. "Papi juga tidak tahu, Mi. Kita mau mulai mencari di mana, selama ini kan kita sama sekali tidak memikirkan Siska karena sibuk melunasi hutang yang begitu banyak." jawab papi Hardi merasa putus
Pukul 03:00 pagiSiska terbangun dari tidurnya dan memperhatikan ruangan yang terasa asing baginya, ia pun tersadar bahwa ia masih berada di kamar bersama laki-laki yang baru saja ia kenal itu.'Kok dia tidurnya di sofa, ya?' batin Siska melirik Dimas.Saat Dimas sedang tidur dengan pulas Siska pun menggunakan kesempatan itu untuk membuka topi dan penutup wajah Dimas, dengan berjalan sangat pelan Siska pun mencoba untuk membuka perlahan topi Dimas. Namun, saat tangan Siska hampir sampai di pucuk kepala Dimas hendak membuka topi.Tiba-tiba Dimas terbangun dan menyadari keberadaan Siska, Siska yang terkejut itu tiba-tiba tak mampu menyeimbangkan tubuhnya hingga terjatuh dalam pelukan Dimas.Tatapan antara Dimas dan Siska pun tak terelakkan, mereka saling menyelami samudera pandangan yang membuat mereka terdiam sejenak, sampai akhirnya mereka pun akhirnya saling menyadari."Eh, lo apa-apaan si?!" omel Dimas yang seketika