Reina tidak pernah lupa, ketika dia akhirnya mengambil keputusan untuk menikah dengan Karan. Dia harus mengurusi berkas pernikahannya seorang diri. Dia dengan Karan mengurus semua persiapan pernikahan dari mulai chatring hingga dekorasi, mahar, seserahan dan lainnya. Reina harus menutupi rasa kecewanya dengan tetap berusaha tersenyum, selama dia mampu sendiri tidak mau merepotkan orang lain.Rasanya, tidak ada seorang pun yang mau memahami dirinya. Sebagai seorang anak, dia tidak perlu mengemis untuk meminta bantuan kepada keluarga dan orang tua. Tapi, tak ada satupun yang bergerak untuk membantunya bahkan ayahnya sendiri. Namun, dia adalah Reina yang tidak mau mengeluh ataupun meratapi nasibnya.Dia berusaha melakukan semuanya sendiri, tidak peduli selama satu bulan sebelum acara pernikahan dia juga harus ikut turun tangan bekerja. Semua rasa sakit dan segala bentuk kesabaran sudah Reina lakukan, dia mengurusi semuanya seorang diri bahkan untuk membuat undangan pernikahan pun dia lak
Reina mengambil keputusan untuk pergi ke kota dan memilih indekost sementara waktu. Sambil menunggu panggilan kerja, dia tetap melanjutkan tulisannya. Reina melakukan semua itu demi menghindari banyak orang yang mempertanyakan statusnya. Dia sudah lelah harus kembali bercerita mengenai apa yang terjadi dalam pernikahannya.Semakin Reina ingat, semua itu terasa semakin sakit dan sesak. Reina yang bertarung sepanjang malam agar tidak mengingat Karan, tapi semua itu terasa sia-sia saja. Karan terus mengusiknya dan masuk ke dalam mimpinya, seolah memberikan harapan pada Reina bahwa dia akan kembali.Realita yang tidak sesuai isi dalam mimpinya. Kenyataan yang ada, Karan justru telah pergi dari hidupnya dan tidak ingin lagi mengulang pernikahan dengan dirinya. Entah mimpi itu adalah harapan Reina yang menginginkan Karan kembali. Atau justru sisi lain dari hati Karan yang tersembunyi sebenarnya bahwa memang Karan juga ingin memperbaiki pernikahannya.“Sejak tiba, Kak Re kulihat melamun saja
Reina tetap menjalani rutinitasnya. Seperti orang yang tidak punya semangat hidup, bahkan untuk melanjutkan tulisannya saja Reina tidak segigih dulu. Dia yang bisa menghasilkan beberapa buku dalam sebulan. Hanya enam puluh ribu kata saja sepele baginya, bukan hal sulit. Namun, Reina tidak percaya bahwa perpisahan ini telah merubah segala hal dalam hidupnya.Karan adalah alasanya tersenyum, semangat hidupnya. Lantas, setelah perpisahan ini Reina tidak memiliki alasan untuk bertahan hidup lagi. Dia merasa tak ada yang penting baginya, berapapun uang didapatkannya tidak membuat Reina benar-benar semangat hidup lagi. Semua terasa percuma saja tanpa adanya suami dan anak-anak.Sayang sekali, semua itu hanyalah perasaan Reina semata. Sementara Karan sudah asyik dengan dunianya dan melepaskan Reina begitu saja tanpa menoleh lagi ke belakang. Segala upaya Reina untuk mempertahankan pernikahan tidak lagi berarti apa pun untuk Karan. Dia sudah aman dan tenang dengan anak-anaknya seperti sebelum
Hari itu, tepat di hari pernikahan mereka. Acara tampak baik-baik saja, sejak pagi semua orang sudah bersiap-siap termasuk Reina. Tukang rias juga datang tepat waktu, sehingga Reina sudah siap sebelum akad nikah dilangsungkan. Begitu juga dengan keluarga Karan, mereka datang tepat waktu dengan disambut sholawat.Indah sekali hari itu, tepat di hari jum’at mereka melangsungkan akad nikah. Hari yang Reina pilih dan disetujui oleh Karan, semua persiapan pun Reina lakukan. Sejak mulai membuat undangan sendiri, menyiapkan beberapa persiapan dan juga membicarakan dana pernikahan. Semua dibicarakan berdua dengan Karan, dia menyepakatinya tanpa ada protes hingga tepat di hari pernikahan mereka.Namun, dibalik sibuknya pengantin lelaki melangsungkan akad nikah di masjid. Rupanya, chaetring belum datang, bahkan saat disusul ke tempatnya pun nasinya belum matang. Akhirnya, keluarga menurunkan makanan sisa pengajian semalam ke tempat parasmanan sebelum chaetring tiba. Mendadak semua orang ikut pa
“Re, sudah hampir satu bulan lebih kamu tidak pulang. Kapan pulang? Pekerjaanmu kemarin bagaimana?” suara sang ibu dari seberang sana menyapa Reina dengan pertanyaan.“Iya, Bu. Reina belum bisa pulang, kemarin tidak lolos ke tahap berikutnya. Nanti, Reina pikirkan kapan akan pulang.”Obrolan singkat itu tidak begitu lama, Reina akhirnya menutup panggilan setelah bertukar kabar dengan ibunya di kampung. Ah, benar. Memang sudah cukup lama, banyak hal yang belum Reina selesaikan di kampung termasuk perihal urusan pernikahannya dengan Karan. meskipun secara agama sudah sah berpisah, tapi mereka belum mengurusinya secara hukum.“Uruslah perceraianmu itu ke pengadilan, Re. Kamu masih muda, jalan hidupmu masih panjang. Kalau kamu tidak mengurusnya, akan sulit menikah lagi nantinya,” desak seseorang pada Reina.“Aku belum membutuhkannya, lagi pula kalau harus mengurus itu butuh banyak uang.” “Begini saja, kamu temui mantan suamimu itu dan ajak diskusi bagaimana perihal perceraian kalian. Dibu
Satu bulan setelah hari itu, tepat pada tanggal 31 Oktober akhirnya Reina dan Karan resmi berpisah. Tercatat dari tanggal tersebut masa iddah Reina dimulai kembali. Betapa tak adilnya Tuhan memperlakukan dirinya, begitu Reina memaki diri usai menerima akta cerai tersebut. Senyum kepalsuan itu mengembang, di belakang ibunya dia menangisi perpisahannya dengan Karan yang sudah resmi tercatat secara hukum agama dan negara.Harapan itu telah sirna, Karan tidak ingin lagi mencabut keputusannya. Dia sudah benar-benar telanjur mengubur rasa sakit dan kecewanya lewat perpisahan ini. Selembar kertas itu bisa saja disobek oleh Reina, tetapi itu tidak bisa merubah kenyataan pahit bahwa Karan dengan dirinya sudah tidak bisa lagi bersama.“Neng, jangan khawatir, meskipun sudah mendapatkan akta sekalipun kalau memang takdir Allah harus kembali, tidak ada yang mustahil. Bapak bicara begitu, sebab sudah mendapati banyak kasus suami istri yang menikah dan berpisah lalu mereka kembali,” ucap Pak Komar s
Karan masih menjalankan aktivitas seperti biasanya, mengajar maupun mengurus anak-anak. Hanya saja, sejak Reina meninggalkan rumah itu, ibu mertua Karan membawa kembali anak bungsunya. Namun, rutinitas Karan tidak sepadat dulu sebelum menikah dengan Reina. Dia yang biasa sebelum berangkat kerja harus mengurus anak-anak di rumah ibu mertuanya, kini tak lagi sebab anak sulungnya tinggal bersama di rumah baru.Bukan hal mudah memang menjadi Karan, dia harus dipukul oleh kenyataan atas kehilangan sang istri dengan meninggalkan dua orang anak, terutama anak bungsu yang saat itu masih berusia dua bulan.Namun, Karan berhasil survive dan melewati itu dalam waktu hampir satu tahun. Meskipun pernah menikah dengan Reina yang hanya berjalan satu bulan saja, tetapi peran Karan sebagai ayah sekaligus ibu bagi kedua orang anaknya sangat luar biasa.Siapa yang ingin ditinggalkan oleh seorang istri? Semua suami juga tidak mengharapkan itu terjadi.Kalimat itu kerap kali diucapkan Karan setiap kali ad
Karan yang sedang berjuang untuk kedua anaknya, sedangkan Reina juga harus berjuang untuk menyembuhkan luka dan patah hatinya usai berpisah dari Karan. Entah mengapa, bahkan hingga saat ini pun luka itu masih terasa perih untuk dikenangkan. Reina menangis setiap kali melihat akta cerainya. Sore itu, Reina mengetuk pintu rumah salah seorang temannya. Wina, membukakan pintu dan meminta Reina masuk sebelum akhirnya dia bercerita apa yang terjadi. Tidak menyangka, bahwa sosok Reina bisa melakukan hal tak terduga seperti ini. “Ada apa, Re?” “Aku kabur dari rumah.” “Astaghfirullah, kamu kenapa?” “Aku habis bertengkar dengan keluargaku, aku capek Kak Win. Selama ini aku berjuang untuk keluarga, mencoba membantu mereka, tapi apa yang mereka katakan bahwa aku tidak pernah memberikan apapun untuk keluarga. Selama ini aku mencoba tertawa, bahagia di hadapan keluarga padahal aku diam-diam menangis di dalam kamar mengingat gagalnya pernikahanku. Aku harus pergi dari sini agar hidupku lebih bai
Hari-hari dilewati Reina menjalani aktivitas sebagai seorang baby sitter sekaligus asisten rumah tangga. Hidup di tengah ibu kota tak seindah dalam bayangannya, semua pekerjaan dia lakukan agar bisa bertahan hidup. Meskipun orang lain akan menertawakan dirinya, lulusan sarjana tapi kerja seperti ini. Sebab mereka tidak pernah tahu, betapa sulitnya mencari pekerjaan di Jakarta.Setelah hampir 6 bulan, di bulan ke-6 Reina memutuskan resign dari kerjaan saat ini. Dia ingin mencoba peruntungan baru dari ijazah yang dimilikinya. Namun takdir baik belum berpihak padanya, dua bulan mencari pekerjaan ternyata tidak mudah bertahan. Hingga dia memutuskan pindah ke kosan yang lebih murah dan mendapat pekerjaan membantu jualan di Kedai Coto Makkasar. Satu bulan dia jalani pekerjaan di sana dengan gaji 1,7 juta dipertahankan. Beruntung tempat kerja dekat kosan, jadi tidak membutuhkan ongkos. Namun, di bulan kedua kejutan baru datang. Reina mendapatkan pesan dari adik iparnya.“Teh, minta doanya.
Sekali lagi, air itu kembali tumpah mengingat semuanya. Kegagalan pernikahan, masalah dan kepelikan dalam hidup, orang tua dan segala hal yang menjadi beban pikiran Reina selama ini. Tidak peduli seberapa hancur dirinya, bagi keluarga Reina sangat egois dan keras kepala.“Sudah sangat jauh perjalananmu, Re. Kapan akan menemui orang tuamu?”“When? Entahlah, aku masih belum siap menemui mereka. Aku hanya takut, jika menemui mereka dalam keadaan hati yang tidak stabil dapat memperkeruh keadaan. Kawatir emosiku tidak bisa dikendalikan seperti saat itu.”“Itu pilihanmu, tapi kamu harus ingat akan sejauh apapun langkahmu tentu saja keluarga tempat pulang sesungguhnya.”Reina hanya mengangguk ringan, dia membenarkan perkataan sahabatnya. Hanya saja, dia tidak bisa memilih untuk pulang dalam waktu dekat. Akan ada waktu yang tepat untuk pulang, meski itu tidak saat ini.Satu bulan sudah Reina bekerja dengan Winda dan Enggal, rasanya sangat baik dan nyaman. Mereka juga tidak pernah memaki Reina
Reina menjalani rutinitas dan aktivitasnya dalam keluarga Winda dan Enggal, ayah dari Tacha. Keduanya sangat baik, memberikan tempat yang nyaman untuk Reina. Rasa syukur yang tidak hentinya Reina panjatkan kepada Tuhan. Keluar dari rumah Danny ternyata sebuah pilihan terbaik, bahkan sekalipun dia memintanya untuk kembali tentu saja Reina memilih tetap berada di sini.Hari pertama, Reina diminta untuk masak oleh Winda karena hari itu suaminya, Enggal pulang dari Solo. Dia seorang engginer di sebuah perusahaan pemberdayaan satwa yang cukup terkenal di Indonesia. Sedangkan Winda sendiri bekerja sebagai supervisor di salah perusahaan telekomunikasi.“Mbak, ada ayam dan bayam di dalam kulkas. Terserah Mbak mau masak apa, yang penting ada sambalnya. Nanti minta tolong ayamnya dibuat kaldu dulu ya, Mbak untuk masak makanan Tacha.”“Baik, Bu.” Reina kembali melanjutkan masak, entah mengapa rasanya menyenangkan melakukan pekerjaan ini. Dia membuktikan kepada dirin
Dalam lapis-lapis keberkahan, ranumnya bermandikan bunga dan baunya beraroma surga. Cahayanya ibarat cakrawala, pancarannnya bak mentari di pagi hari. Manusia, selalu tidak merasa cukup atas sesuatu yang didapatkan dan dimiliki. Tidak merasa puas atas pencapaian yang diperoleh. Padahal, kita tahu bahwa tidak semua orang mendapatkan yang diinginkan dan didapatkan.Perlu sesekali, kita menoleh pada sebuah negeri. Di mana mereka tidak mendapatkan hak dan kehidupan layak. Mereka seringkali ditindas dan diperbudak. Setiap hari hanya bergelimang air mata dan rasa takut. Meskipun tidak ada yang mampu memadamkan kobaran api semangat untuk mempertaruhkan harta bahkan nyawa hanya demi tegaknya agama. Menjadikan syahid sebagai tujuan akhir dari hidupnya.Negeri Syam, Gaza, Palestina, Suriyah, dan mungkin masih banyak lagi yang tidak kita ketahui kisruhnya. Mereka yang ditindas dan diperbudak di negeri sendiri. Tidak diberikan tempat layak, kehidupan yang nyaman. Tetapi, betapa malunya kita hidup
“Bismillah…” Kalimat itu yang terucap pertama kali saat Reina melangkah meninggalkan kota Sukabumi menuju Tangerang. Memang tidak mudah mengambil keputusan, akan tetapi semua itu sudah menjadi pertimbangan serta pergulatan cukup panjang dalam munajah Reina selama dua pekan terakhir. Setelah drama semalaman di perjalanan dengan sopir travel, hari minggu pagi Reina tiba di yayasan. Langsung saja Reina diminta untuk membersihkan diri, kemudian diminta untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Usai mengerjakan rangkain test, tiba saatnya Reina mengisi data diri serta surat perjanjian dengan pihak yayasan untuk di proses mencari calon majikan. Awalnya Reina merasa minder, sebab tidak memiliki pengalaman bekerja seperti ini sebelumnya. Sementara rekan lainnya memiliki jam terbang lebih banyak, terutama beberapa diantara mereka sudah ada yang bekerja di luar negeri. Sebuah keajaiban tiba, Reina mendapatkan panggilan untuk wawancara dengan calon majikan. “Kamu bagaimana sih, masa wawancarany
Karan yang sedang berjuang untuk kedua anaknya, sedangkan Reina juga harus berjuang untuk menyembuhkan luka dan patah hatinya usai berpisah dari Karan. Entah mengapa, bahkan hingga saat ini pun luka itu masih terasa perih untuk dikenangkan. Reina menangis setiap kali melihat akta cerainya. Sore itu, Reina mengetuk pintu rumah salah seorang temannya. Wina, membukakan pintu dan meminta Reina masuk sebelum akhirnya dia bercerita apa yang terjadi. Tidak menyangka, bahwa sosok Reina bisa melakukan hal tak terduga seperti ini. “Ada apa, Re?” “Aku kabur dari rumah.” “Astaghfirullah, kamu kenapa?” “Aku habis bertengkar dengan keluargaku, aku capek Kak Win. Selama ini aku berjuang untuk keluarga, mencoba membantu mereka, tapi apa yang mereka katakan bahwa aku tidak pernah memberikan apapun untuk keluarga. Selama ini aku mencoba tertawa, bahagia di hadapan keluarga padahal aku diam-diam menangis di dalam kamar mengingat gagalnya pernikahanku. Aku harus pergi dari sini agar hidupku lebih bai
Karan masih menjalankan aktivitas seperti biasanya, mengajar maupun mengurus anak-anak. Hanya saja, sejak Reina meninggalkan rumah itu, ibu mertua Karan membawa kembali anak bungsunya. Namun, rutinitas Karan tidak sepadat dulu sebelum menikah dengan Reina. Dia yang biasa sebelum berangkat kerja harus mengurus anak-anak di rumah ibu mertuanya, kini tak lagi sebab anak sulungnya tinggal bersama di rumah baru.Bukan hal mudah memang menjadi Karan, dia harus dipukul oleh kenyataan atas kehilangan sang istri dengan meninggalkan dua orang anak, terutama anak bungsu yang saat itu masih berusia dua bulan.Namun, Karan berhasil survive dan melewati itu dalam waktu hampir satu tahun. Meskipun pernah menikah dengan Reina yang hanya berjalan satu bulan saja, tetapi peran Karan sebagai ayah sekaligus ibu bagi kedua orang anaknya sangat luar biasa.Siapa yang ingin ditinggalkan oleh seorang istri? Semua suami juga tidak mengharapkan itu terjadi.Kalimat itu kerap kali diucapkan Karan setiap kali ad
Satu bulan setelah hari itu, tepat pada tanggal 31 Oktober akhirnya Reina dan Karan resmi berpisah. Tercatat dari tanggal tersebut masa iddah Reina dimulai kembali. Betapa tak adilnya Tuhan memperlakukan dirinya, begitu Reina memaki diri usai menerima akta cerai tersebut. Senyum kepalsuan itu mengembang, di belakang ibunya dia menangisi perpisahannya dengan Karan yang sudah resmi tercatat secara hukum agama dan negara.Harapan itu telah sirna, Karan tidak ingin lagi mencabut keputusannya. Dia sudah benar-benar telanjur mengubur rasa sakit dan kecewanya lewat perpisahan ini. Selembar kertas itu bisa saja disobek oleh Reina, tetapi itu tidak bisa merubah kenyataan pahit bahwa Karan dengan dirinya sudah tidak bisa lagi bersama.“Neng, jangan khawatir, meskipun sudah mendapatkan akta sekalipun kalau memang takdir Allah harus kembali, tidak ada yang mustahil. Bapak bicara begitu, sebab sudah mendapati banyak kasus suami istri yang menikah dan berpisah lalu mereka kembali,” ucap Pak Komar s
“Re, sudah hampir satu bulan lebih kamu tidak pulang. Kapan pulang? Pekerjaanmu kemarin bagaimana?” suara sang ibu dari seberang sana menyapa Reina dengan pertanyaan.“Iya, Bu. Reina belum bisa pulang, kemarin tidak lolos ke tahap berikutnya. Nanti, Reina pikirkan kapan akan pulang.”Obrolan singkat itu tidak begitu lama, Reina akhirnya menutup panggilan setelah bertukar kabar dengan ibunya di kampung. Ah, benar. Memang sudah cukup lama, banyak hal yang belum Reina selesaikan di kampung termasuk perihal urusan pernikahannya dengan Karan. meskipun secara agama sudah sah berpisah, tapi mereka belum mengurusinya secara hukum.“Uruslah perceraianmu itu ke pengadilan, Re. Kamu masih muda, jalan hidupmu masih panjang. Kalau kamu tidak mengurusnya, akan sulit menikah lagi nantinya,” desak seseorang pada Reina.“Aku belum membutuhkannya, lagi pula kalau harus mengurus itu butuh banyak uang.” “Begini saja, kamu temui mantan suamimu itu dan ajak diskusi bagaimana perihal perceraian kalian. Dibu