Share

Bab 6

Author: Rira Faradina
last update Last Updated: 2022-08-11 11:06:02

Suara ketukan pintu terdengar begitu Vania keluar dari kamar mandi, harum lavender menguar di kamarnya. Untuk sesaat ia terpaku begitu mendengar suara yang terdengar bersamaan dengan ketukan pintu untuk yang kedua kalinya.

"Vania, bisakah kau buka pintunya sebentar?"

***

Masih dengan kimono mandi yang dipakainya, Vania melangkah ke arah pintu. Sesaat ia memejamkan mata, lalu menghela nafas panjang.

Aroma maskulin langsung tercium begitu pintu kamarnya terbuka. Tampak disana berdiri seorang pria yang langsung menatapnya dengan manik obsidiannya yang gelap.

"Ada apa mas?" Tanya Vania datar dengan sorot matanya yang dingin.

"Aku ingin bicara sebentar padamu, Vania?"

"Masuklah."

Tangan Vania membuka lebar pintunya Lalu membalikkan badan mencoba menghindar dari tatapan mata Rendi yang membuatnya tak nyaman.

Vania memilih duduk di kursi meja riasnya, sementara Rendi berdiri tak jauh dari ranjang. Untuk sesaat Vania merasa begitu canggung kala melihat sosok tegap dan atletis tengah berdiri di hadapannya.

Rendi memang tampan, wajah dengan rahang yang tegas, tubuh yang proporsional dan manik obsidiannya yang sekelam malam, membuat sosoknya begitu memikat. sayang, hati pria itu sudah terikat erat dengan Karin, wanita yang begitu ia cintai dan dinikahinya lima tahun lalu, membuat Vania merasa kehadirannya dalam hidup pria itu seakan menjadi seonggok pajangan saja.

Dulu, saat ia masih duduk di sekolah menengah, Vania sering mendengar bapaknya bercerita tentang para gadis yang sering menitip hadiah untuk anak lelaki majikannya ini. Bukan tanpa alasan bapaknya mengetahui semua itu, karena Tuan dan Nyonya Atmadja memang menugaskankan beliau untuk mengawasi anaknya ketika mereka sedang berpergian keluar kota ataupun keluar negeri.

Wajar saja, karena Rendi memang begitu memukau. Tak heran jika banyak gadis yang terpikat dengan pesonanya. Mungkin termasuk dirinya.

Tidak, itu tak boleh terjadi. Vania sadar ia tak mungkin bisa memiliki cinta pria itu.

Rasanya begitu sesak menahan perasaan yang tidak terbalas seperti ini. Membuat Vania seketika merasa begitu rendah diri, dan takut bila mengingat banyaknya hinaan dan hujatan yang ditujukan padanya karena status istri kedua yang disandangnya.

"Vania!" Panggil Rendi memecah lamunannya.

"Apa yang ingin dibicarakan, mas. Katakan saja karena aku ingin istirahat."

"Tadi mama meneleponku. Ia meminta kita bertiga ke rumahnya minggu depan." Ujar Rendi dengan wajah datar tanpa ekspresi.

"Lalu?"

"Apakah pertemuan ini akan membahas tentang kehamilanku?" Vania berdesis. Menekan emosinya.

Untuk sesaat hanya keheningan yang tercipta diantara mereka. Vania tidak tahu bagaimana ia harus bersikap dengan pernyataan yang baru saja di ucapkan suaminya. Haruskah ia menghindar?

Rendi masih berdiri di hadapannya dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana. Dapat Vania rasakan tatapan mata Rendi yang seakan ingin menguliti dirinya. Aura mendominasi begitu kuat dirasakan olehnya.

"Kau selalu menghindar dariku Vania." Suara Rendi terdengar rendah.

Vania menggeleng pelan.

"Aku tidak menghindar mas, aku hanya menjaga perasaanku sendiri."

"Maaf." Terdengar lirih dari bibir Rendi.

"Untuk apa?"

"Karena aku tak bisa menjadi seorang suami yang kau harapkan."

"Tak perlu. Aku tahu dimana posisiku."

"Aku ingin kita bertiga datang, mama akan sangat kecewa jika kau menghindar karena beliau sangat ingin bertemu denganmu."

"Jangan memaksaku, mas." Lirih Vania dengan suara yang terdengar bergetar.

Helaan nafas Rendi terdengar berat. Pria itu lalu melangkah mendekati Vania, tak lama, tangan kokohnya melingkar di pinggang ramping Vania, membuat gadis itu seketika gugup.

Wajah mereka kini sangat dekat, Vania bisa merasakan hangatnya nafas Rendi yang menyentuh pipinya. Tatapan mata Rendi seakan mengunci tubuh Vania, membuat gadis itu membeku.

Untuk beberapa saat tak ada yang bicara diantara mereka, hanya suara dari mesin pendingin ruangan yang terdengar. Rangkulan tangan Rendi yang lembut di pinggangnya membuat Vania masih membeku di hadapan lelaki itu

"Karin mengunci kamarnya ...." Ucap Rendi terputus.

"Lalu, mas ingin tidur di sini?" Vania menyela lalu melepas tangan Rendi yang melingkar di pinggangnya.

"Iya, jika kau perbolehkan."

"Kau bisa tidur dimana saja kau mau mas, ini rumahmu. Aku cuma menumpang di rumah kalian." Vania mendesis lalu melepas handuk yang membungkus rambutnya.

Aroma maskulin masih samar tercium, membuat Vania menggigit bibirnya. Ia tak munafik jika aroma tersebut menggelitik sisi feminimnya. Vania memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan rona pipinya yang memerah.

Rendi mengulas senyum tipis melihat sikap Vania yang masih terkesan menghindar. Sebuah senyuman yang tanpa sengaja tertangkap oleh ekor mata Vania. Gadis itu tak tahu apa yang tersembunyi dibalik senyuman itu karena begitu cepatnya pria itu mengubah raut wajahnya kembali dingin. Membuat hati Vania dirundung tanya.

Mungkinkah tadi ada hal yang aneh atau lucu hingga membuat pria yang selalu bersikap dingin padanya itu tiba-tiba tersenyum?

Entahlah, Vania sedang malas untuk berpikir.

Dengan penuh percaya diri, Rendi berjalan ke ranjang Vania. Kemeja berwarna abu-abu dengan lipatan di bagian lengan itu semakin membuat pria berusia tiga puluh tahun itu terlihat tampan, membuat Vania langsung memalingkan wajahnya karena kembali terpesona.

"Aku akan tidur disini." Ucap Rendi memutuskan sendiri. Setelah mengucap kalimat itu pria itu langsung duduk dan melipat kedua kakinya di atas ranjang.

Vania diam, tak mengajukan protes atau mendebat ucapan Rendi. gadis itu lebih memilih duduk di depan meja rias yang berada tepat di sisi kanan ranjangnya dan melakukan rangkaian perawatan wajah.

Dengan memasang wajah datar Vania sibuk dengan beberapa produk kosmetik yang ia oles di wajahnya. Tanpa gadis itu sambil sadari jika sebuah ponsel sedang mengarah padanya.

"Melihat istri sendiri berdandan, kurasa kebiasaan yang bagus," salah satu sudut bibir Rendi melengkung.

"Aku akan tidur di sofa saja." Ujar Vania begitu meletakkan pelembab wajah.

Rendi tak menjawabnya, pria itu nampak memasang wajah datar, seakan mengabaikan perkataan Vania barusan.

Sebuah bantal dan selimut di tarik paksa Vania dari atas ranjang. Wajah masam yang gadis itu perlihatkan, tak lama, Ia melangkah menuju ke sebuah sofa tunggal, yang berada tak jauh dari jendela kamarnya.

"Apa kau harus tidur disana?" Protes Rendi begitu Vania menyibak selimut ke seluruh tubuhnya.

"Tidur saja mas. jika kau merasa terganggu, jangan melihat ke arah sini." Ketus Vania kasar.

"Kita bisa tidur bersama di ranjang ini."

"Tidak." Jawab Vania cepat.

Vania memejamkan mata, ucapan Rendi barusan membuat tubuh bergidik. Entah mengapa, ia merasa suaminya bersikap sedikit aneh malam ini.

"Baiklah jika itu yang kau inginkan, selamat malam."

Vania tidak menjawabnya. Gadis itu semakin merapatkan matanya, tak lama, dengkuran halus terdengar, ia terlelap.

Rendi beranjak dari ranjang, pria itu melangkah ke arah sofa dimana Vania sedang terlelap. Gadis itu meringkuk dengan tubuh berbalut selimut hingga leher. Surai hitam yang masih setengah basah membuat istri mudanya itu terlihat begitu feminim dan cantik, membuat sudut bibir Rendi kembali melengkung.

Bersambung.

Related chapters

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 7

    Karin menatap pantulan dirinya di cermin, memandang wajahnya sambil menghela nafas panjang.Menyetujui pernikahan kedua suaminya mungkin adalah keputusan yang sangat bodoh dan konyol dalam pandangan orang lain. Berbagi raga suami dengan wanita lain bukanlah hal yang mudah. Banyak yang harus dikorbankan. Itulah yang sedang dirasakannya sekarang.Tak ada yang bisa ia lakukan selain menerima keadaan ini. Karin juga menyadari ketidak-sempurnaan dirinya. Berkali kali ia menekan perasaan cinta dan harga dirinya, namun, hal itu tak semudah membalik telapak tangan untuk dilakukan. Air mata rasanya sudah habis tercurah dan mengering. Memiliki seorang madu yang begitu cantik dengan menarik, tak pelak membuat Karin selalu menekan rasa cemburu dan ego. Ia sadar karena cepat atau lambat hal ini akan terjadi.Karin menarik perlahan sebuah buku bersampul kulit sintetis dari laci meja riasnya yang paling bawah. Sebuah foto yang berada dalam buku itu terjatuh ketika ia memiringkan lembaran kertas dal

    Last Updated : 2022-08-11
  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 8

    Karin tersenyum tipis mendengar ucapan Vania. Membuat Vania semakin sulit mengartikan sikap kakak madunya itu."Kau salah Vania. Aku tidak sebaik yang kau kira."***"Apa maksudnya?" Mata Vania menyipit."Kau akan tahu suatu saat nanti, jika kau ingin bertanya apakah aku cemburu atau sakit hati. Maka jawabannya adalah iya. Aku begitu cemburu denganmu Vania. Bahkan rasanya ingin mencekik leher atau mencakar wajahmu." Tatapan mata yang menghujam dapat dirasakan Vania. Membuat gadis itu menaikkan salah satu sudut bibirnya. "Ada lagi yang ingin kau katakan?" Pertanyaan Karin hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh Vania. Melihat Vania bungkam, Karin membalikkan badan bermaksud meninggalkan kamar Vania."Aku tahu apa yang kulakukan, Vania." Ucap Karin sebelum menutup pintunya.Vania masih berdiri terpaku. Helaan nafas panjang terdengar, ia berusaha mencerna sikap dan ucapan Karin barusan. Vania bisa melihat ada kesakitan yang tak terlihat dari setiap kalimat yang diucapkannya tadi.Se

    Last Updated : 2022-08-11
  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 9

    "Vania, apa kabar?"Seorang lelaki dengan senyum terbaiknya telah berdiri sambil mengulurkan tangannya di hadapan mereka. Seketika membuat Vania gugup. Kekhawatirannya menjadi kenyataan karena mantan kekasih yang ingin dihindarinya kini telah berdiri dihadapannya.Sambil mengulas senyum tipis, Vania menjawabnya, tanpa ia sadari jika ada sepasang mata dengan sorot mata yang dingin kini tengah mengawasinya****"Kudengar kau sudah menikah?" Gio berbasa-basi."Iya, aku sudah menikah." Jawab Vania cepat.Pandangan mata Gio begitu intens memandang gadis yang berdiri dihadapannya. Membuat Vania seketika mengalihkankan pandangannya.Untuk sesaat Vania merasa sesak dan tidak nyaman, karena pandangan mata Gio yang seakan ingin mengulitinya. Untung saja, Lila membuka suara, membicarakan hal lain dan mengalihkan tatapan Gio yang sedari tadi menatap intens ke wajah Vania.Suasana canggung menyelimuti. Meski dulu mereka berdua pernah memiliki hubungan asmara, entah mengapa malam ini Vania merasa s

    Last Updated : 2022-08-11
  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 10

    "Vania, kau ada masalah?" Kembali Karin bertanya."Yah, aku memang ada masalah, mbak. Dan masalahku ada pada kalian berdua!" Ketus Vania lalu menggeser kursinya. ***Delikan tajam diterima Vania dari Rendi, namun tak begitu ia pedulikan. Vania menegakkan punggung dan kepalanya seakan ingin menantang.Vania tahu sikapnya di meja makan ini akan berakhir dengan pertengkaran. Bukan maksudnya untuk memancing keributan atau mengundang kemarahan pasangan suami istri dihadapannya itu. Tapi, ia lelah melihat hal yang sama setiap pagi, berulang-ulang. Ditambah dengan kekesalannya semalam.Sebenarnya, Vania juga tidak mengerti. Mengapa beberapa hari ini emosinya seakan tidak stabil. Harusnya ia senang dengan sikap Rendi yang acuh, itu artinya memudahkan dirinya untuk bisa segera melupakan lelaki itu jika kelak mereka berpisah.Mungkin saja karena rasa cemburu dihatinya, itulah yang dipikirkan Vania saat ini.Sekuat tenaga ia berusaha menepis perasaan cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Sudah

    Last Updated : 2022-08-11
  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 11

    "Kau tahu mbak? aku bahkan lebih suka melihatmu membanting piring dan mengajakku ribut daripada berwajah penuh drama seperti itu." Tuding Vania kemudian."Vania!" Teriak Rendi ketika baru saja melihat istri keduanya itu menyelesaikan kalimatnya."Sudah cukup kau mendesak Karin seperti itu. Tidakkah kau tahu jika ia sendiri yang memintamu tinggal disini?" Bentak Rendi tahan lagi, seakan tak terima dengan pernyataan yang diungkapkan Vania."Kenapa? Bukankah harusnya seperti itu? Aku yakin tak ada seorang istri yang bahagia melihat suaminya menikah lagi, tak mungkin hatinya tidak sakit ketika mengetahui suaminya berbagi ranjang atau menghabiskan malam dengan wanita lain. Ucapanku benar kan, Mbak?" Sinis Vania bicara."Jaga sikapmu Vania! bagaimanapun dia adalah kakak madumu, hormati dia sebagai istri pertamaku." Hardik Rendi kemudian."Oh ya!? Kalau begitu, tolong minta padanya untuk tidak melakukannya lagi. Tak perlu bersikap manis dan memintaku untuk tinggal bersama kalian, itu seperti

    Last Updated : 2022-08-11
  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 12

    Vania menghela nafas panjang. Mengontrol kembali perasaan emosionalnya yang masih kuat. Cukup lama ia terdiam. Hingga sebuah kalimat akhirnya meluncur bebas dari bibirnya."Jika kau begitu memikirkan ucapan orang dan menjaga perasaan orang kedua orang tuamu ataupun orang disekitarmu. Lalu bagaimana dengan perasaanku? pernahkah sekali saja kau memikirkannya?" Tanya Vania lirih dengan salah satu ekor mata yang mulai basah.****Dengan cepat, Vania menepis air mata yang hendak jatuh. Memalingkan wajahnya sejenak demi menutupi kedua manik matanya yang ingin berderai.Menghela nafas panjang demi memenuhi rongga dadanya yang seakan kehabisan oksigen, adalah hal yang sekarang dilakukannya, tak lama, tatapan mata yang begitu menghujam kembali di lempar Vania pada suaminya, ia begitu geram mendengar alasan yang dikemukakan lelaki itu. Hatinya terluka karena keberadaan dan perasaannya seakan tak berarti apa-apa.Menikahi pria yang telah menikah memang berbeda. Ada perasaan dan harga diri yang d

    Last Updated : 2022-08-11
  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 13

    "Bisakah kau bertahan setahun saja. Jika memang nantinya kau memang masih tak bisa menerima pernikahan kita, aku berjanji akan membebaskanmu. Setidaknya, kita sudah berusaha dan alasan perpisahan kita nantinya bisa diterima oleh kedua orang tua kita."***Vania mematung, mengatup bibirnya. Mencoba mencerna ucapan Rendi dengan seksama."Anggap saja ini sebuah permohonan dariku." Lanjut Rendi.Sebuah kecupan mendarat di pucuk kepala Vania. Senyum yang mengulas wajah tampan lelaki itu, membuat Vania diselimuti kebimbangan. Kedua sisi hatinya kini mulai berlawanan. Antara menerima atau menolak tegas permintaan suaminya."Kau tidak sedang memanipulasi pikiranku kan? Atau berusaha mencari keuntungan dari perkataanmu?" Mata Vania menyipit, mencari celah kemungkinan lelaki di hadapannya ini berbohong."Tidak, aku tidak mengambil keuntungan apapun, percayalah padaku.""Baiklah. Aku percaya padamu," Vania menyerah."Tapi, aku juga punya permintaan." "Katakan saja.""Jangan mengatur apa pun yan

    Last Updated : 2022-08-11
  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 14

    "Kau tahu, Vania. Aku cemburu, aku sakit hati, dan aku juga membenci keadaan ini. Haruskah aku melakukan apa yang kau katakan? Menjadi seorang ratu drama dan berbuat hal yang buruk demi bisa mencelakaimu hanya agar kau terdepak dari sisi Rendi?" Lirih Karin hampir tak terdengar.***Vania menggigit kukunya sambil memandang lurus ke luar jendela. Sofa tunggal yang diletakkan dekat jendela kamarnya kini menjadi bagian favoritnya. Bulu mata lentiknya sesekali nampak mengipas wajah. Seakan mengekspresikan rasa bosan yang mendera.Awan mendung sudah menggelayut sejak pagi. Rasa malas begitu anggun menyelimutinya. bahkan untuk sekedar pergi ke minimarket yang ada di ujung kompleks pun kakinya terasa berat seperti di gantungi berkilo-kilo batu.Sudah hampir dua minggu sejak kepindahannya dari rumah Rendi dan menghuni rumah baru hadiah pernikahan yang diberikan ibu mertuanya. Rumah berlantai dua yang kini dihuni berdua dengan Bi Sumi, seorang asisten rumah tangga yang baru seminggu yang lal

    Last Updated : 2022-08-11

Latest chapter

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 90 / Ending

    Beberapa bulan kemudian."Mas, boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Vania sambil menggendong Arjuna, putra mereka."Kau bebas bertanya apapun padaku," jawab Rendi sambil menjawil pipi Arjuna yang menggemaskan."Apa kau pernah merindukan Mbak Karin?" Mendengarnya, Rendi tersenyum lalu mengambil Arjuna dari gendongan Vania." Mengapa bertanya seperti itu?" Balasnya."Aku hanya ingin tahu saja," sahut Vania cemberut."Terkadang aku masih merindukannya," goda Rendi sambil melirik Vania yang semakin cemberut."Begitukah, kau menyesal bercerai dengannya?" Cecar Vania kemudian.Kali ini Rendi menghela nafas panjang, lalu menarik lembut tangan Vania, mengajaknya duduk di gazebo yang ada di sudut halaman rumah mereka."Aku tidak menyesali apapun, princess. Bagiku Karin tetaplah seorang istri yang baik hanya saja jodoh kami sudah selesai. Karena saat ini dan selamanya hanya ada kau saja di hatiku. Apa jawaban itu sudah cukup?" Vania memalingkan wajahnya, melihat sikap istrinya yang terlihat sedan

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 89

    Karin tertawa getir mendengarnya." Apa kau tahu jika aku sengaja melakukannya, karena rasa cemburu ku padamu, Vania?" Ucap Karin mengakuinya.Mendengarnya Vania seolah kehilangan kata-kata, meski sebelumnya ia sudah dapat mengira namun tak menyangka jika kakak madunya ternyata melakukan hal ini padanya.Suasana ruangan itu hening sesaat, entah mengapa diantara mereka kini saling membuang pandangan seakan ingin menyembunyikan perasaan mereka masing-masing."Tapi kau tak harus bercerai dari Mas Rendi, mbak. Kau adalah isteri pertamanya, seseorang yang telah lebih dulu berada disisinya, jika hanya karena seorang keturunan memaksamu untuk menjauh dari Mas Rendi, mengapa tidak aku saja yang melakukannya?""Princess," sebut Rendi spontan, lelaki itu seperti tak suka dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Vania.Karin kembali mengulas senyum getir saat melihat perubahan sikap Rendi. "Mas Rendi mencintaimu, Vania. Tidakkah kau sadari itu? Apa kau masih tidak ingin mengerti jika kehadiranku

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 88

    ""Mengapa kau bersikeras ingin berpisah, Karin?"Mendengarnya, Karin tersenyum getir. "Aku sudah yakin bahwa kau adalah orang pertama yang akan bertanya padaku, mas." Jawabnya pelan.***Pandangan mata semua orang kini tertuju pada Karin, seakan menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir wanita itu, namun Karin bergeming sesaat, seolah-olah mengabaikan pertanyaan yang baru saja dilontarkan suaminya tersebut padanya. Tak lama akhirnya suaranya terdengar."Sebelum itu, aku ingin minta maaf pada kalian semua karena telah mencemaskanku. Sungguh, aku tak bermaksud untuk menghindar ataupun lari. Beberapa hal yang terjadi belakangan ini cukup menguras emosi, hingga kuputuskan untuk menenangkan diri sejenak," tutur Karin memulai penjelasannya."Apa harus dengan melayangkan gugatan cerai, mbak?" Vania memprotes keputusan Karin.Mendengarnya Karin tersenyum getir lalu memalingkan wajahnya dari sorot pandang mata Vania yang tajam. Helaan nafas panjang terdengar dari bibirnya, seakan sedang

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 87

    "Entah mengapa aku merasa jika kau terpaksa mengambil keputusan ini, mbak. Aku tahu dari dalam hatimu, kau sangat mencintai Mas Rendi," lirih Vania mengucapkannya, lalu kembali melempar pandangan ke luar jendela. Menatap bayinya yang tengah tertidur dalam gendongan Sumi.***Sidang pertama perceraian Rendi dan Karin akhirnya selesai digelar. Namun Karin tak juga terlihat di persidangan tersebut, membuat kesal Rendi yang sedari tadi menunggu kehadirannya.Sejak gugatan hingga masuk ke tahap persidangan, Karin masih belum menampakkan dirinya, meski beberapa kali Rendi berusaha menelpon dan berkirim pesan padanya, tetap saja tidak mampu membuat Karin pulang ke rumah mereka.Karin juga tidak terlihat saat gelaran aqiqah bayi Vania, hanya kiriman kado darinya saja yang datang menghampiri, kelihatannya Karin sengaja menghindari bertemu dengan semua orang yang berhubungan dengannya. Wanita itu seolah sengaja menjauh dari mereka.Keputusan Karin untuk bercerai sepertinya sudah tak terbendung

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 86

    "Istirahatlah princess, karena aku akan menjaga kalian berdua," lirih Rendi dengan pandangan matanya yang terlihat berkaca-kaca menatap Vania dan bayi mereka secara bergantian.***Karin menyeka air matanya yang menetes, hatinya begitu nyeri saat ini. Keputusannya untuk bercerai dari Rendi membuat perasaan hancur.Tak dapat dipungkiri, untuk kedua kalinya ia harus patah hati. Baik Hans maupun Rendi, kedua lelaki itu tak bisa dimilikinya, membuat Karin harus berlapang dada untuk menerima guratan nasibnya.Matanya kini memerah sebab air matanya. Beberapa kali ia mengutuk dirinya karena bisa terjebak dalam situasi seperti ini. Entah mengapa ia harus kembali mengalami rasa sakit ini. Membuat bibirnya kini merutuki nasibnya sendiri.Tangan Karin masih memutar kemudi mobilnya. Panggilan telepon dari Rendi beberapa saat lalu kini membuat suasana hatinya semakin nyeri. Ingin sekali ia berharap bahwa semua ini adalah mimpi agar ia tak perlu terbangun dan merasakan semua hal yang menyakitkan ini

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 85

    "Kau terlihat gelisah, mas. Apa ada masalah?" Mendengarnya, Rendi lalu menghela nafas berat."Iya, pengacara Karin baru saja menelponku, beliau bilang bahwa Karin telah mendaftarkan gugatan cerainya ke pengadilan agama," jawab Rendi, nada suaranya terdengar parau.***"Gugatan cerai?" Ucap Vania seakan tak percaya. Terlihat keningnya seketika berkerut."Benar, pengacaranya berkata seperti itu padaku," tegas Rendi sambil menganggukkan kepalanya."Mustahil?""Rasanya aku tak bisa mempercayainya? Bukankah sebelumnya ia begitu sangat menginginkan bayiku agar bisa terus bersamamu, mas. Lalu kenapa sekarang ingin bercerai?" Vania mendesis seolah tak yakin jika Karin benar-benar melakukannya."Entahlah, aku juga tak tahu alasannya, kurasa aku harus mengajak Karin bicara. Aku ingin tahu apa alasannya kali ini setelah sebelumnya begitu sangat menginginkan bayimu," pungkas Rendi.Untuk beberapa saat, diantara mereka tak ada yang bicara seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga akhirny

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 84

    Pernyataan Vania sontak membuat Lelaki itu memandangnya tanpa berkedip. "Iya, aku masih ingat, kenapa?" Balasnya bertanya."Talak aku mas," ujar Vania dengan suaranya yang bergetar.***Untuk beberapa saat Rendi tampak tak percaya dengan apa yang baru saja Vania katakan. Matanya tampak mendelik marah karena tak suka dengan permintaan istri keduanya itu.Tangan Rendi mengepal, seolah menahan emosinya. Lelaki itu tak menduga jika Vania berniat untuk berpisah darinya."Apa kau sedang bercanda?" Tanya Rendi sambil menatap tajam pada istri keduanya itu. Sungguh ia tak suka dengan permintaan Vania kali ini.Vania menggeleng. "Tidak mas, aku serius. Tolong segera urus perceraian kita.""Kenapa? Apa ada kesalahan yang kubuat? Ataukah ada hal lain yang membuatmu ingin berpisah dariku?" Cecar Rendi.Vania menggeleng." Tidak mas, kau tidak berbuat kesalahan apapun. Hanya saja aku sudah tak ingin lagi menjadi orang ketiga dalam pernikahanmu dan Mbak Karin," jawab Vania menunduk. Bahunya tampak se

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 83

    "Lalu Gio, di mana dia? Apakah dia juga pergi setelah mengantarku ke rumah sakit, sama seperti Karin?" Bisik Vania teramat pelan, karena tak mungkin baginya untuk bertanya tentang lelaki itu pada ibu mertuanya.***Gio menyetir mobilnya dengan pikiran yang berkecamuk, lelaki itu tampak murung, sambil sesekali berdecak kesal.Setelah memastikan Vania ada yang menjaga, tepatnya setelah ia melihat kedatangan Rendi ke rumah sakit, lelaki itu perlahan mundur dan memutuskan untuk pergi dari rumah sakit. Tak hanya dirinya, karena beberapa saat kemudian, ia juga melihat Karin pergi meninggalkan rumah sakit, setelah berbicara sebentar dengan Rendi."Apa yang sebenarnya terjadi, Vania? Mengapa aku merasa sangat cemas seperti ini?" Lirih Gio tertahan.Dari kejauhan, ekor mata Gio menangkap mobil berwarna silver metalik yang dikendarai Karin. Entah mengapa mendadak ia memutuskan untuk mengikuti mobil Karin dan ingin mengajaknya bicara.Setengah jam telah berlalu, namun Gio masih belum melepaskan

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 82

    Ujar Gio sambil menatap Karin, seakan meminta izin pada wanita itu agar bisa membantu, begitu melihat Karin menganggukkan kepalanya, dengan cepat tangan kekar Gio meraih tubuh Vania dan menggendongnya keluar dari cafe.***Wajah Karin terlihat begitu cemas sambil mengikuti langkah Gio yang menggendong tubuh Vania dari belakang. Meskipun tak mengerti mengapa laki laki itu bisa ada di tempat yang sama dengan mereka, namun ia bersyukur dengan kebetulan ini.Erangan halus Vania terdengar saat tubuhnya diletakan dengan sangat hati-hati di jok depan mobil Karin, setelah memastikan sabuk pengamannya sudah terpasang dengan baik, Gio pun menutup pintu mobil Karin."Tolong hati hati bawa mobilnya, Mbak. Jika kau berkenan biar aku saja yang menyetir," cemas Gio sambil melirik Vania yang mengerang."Terima kasih, tapi aku bisa menyetir sendiri. Aku akan berhati-hati," tolak Karin."Baiklah," ujar Gio menyerah. lalu menggeser tubuhnya agar Karin bisa lewat.Selagi Karin sibuk mengeluarkan mobilnya

DMCA.com Protection Status