Tidak, Gio tak ingin menyerah. Kesempatan itu masih ada, tak mengapa, jika Vania bersedia kembali padanya. Gio juga tak akan keberatan menerima anaknya. "Kau sangat ingin menghukum diriku, Vania. Baiklah, aku akan menerimanya, asal kau tahu, bahwa aku sangat menyesal karena pernah meninggalkan dan mencampakkan dirimu dulu," ucap Gio begitu lirih, lalu kembali masuk ke dalam mobilnya.***"Bi, bilang sama mama, aku ke rumahnya Mbak Karin ya," pamit Vania pada Sumi."Lho, sudah rapi? Mbak Vania pergi sendiri? Kan ibu besar bilang, Mbak Vania nggak boleh pergi sendiri," Sumi mengingatkan."Aku hanya sebentar saja, mumpung mama tidak ada di rumah," ujar Vania sambil mengedipkan mata lalu melangkah meninggalkan Sumi yang masih melongo.Sejak seminggu yang lalu Vania memang berencana mengunjungi Karin sebentar ke rumahnya untuk mengucapkan selamat atas ulang tahun pernikahan mereka yang ke-enam. Sebenarnya ia bisa saja menelpon kakak madunya itu untuk sekedar memberinya ucapan selamat. Nam
Untuk beberapa saat, Vania bersandar di dinding sambil menutup mulutnya. Ucapan Karin benar-benar menyentak pikirannya, sungguh Vania tidak menyangka jika ada niatan seperti itu dalam benak Karin. Tak lama, ia melangkah pelan meninggalkan tempat itu dan keluar dari rumah megah bertingkat dua itu kembali menuju ke mobilnya."Cepat jalan dan pergi dari tempat ini pak," perintah Vania pada sopirnya.***Rendi keluar dari ruang kerjanya dengan perasaan kesal. Pembicaraannya dengan Karin membuat suasana hatinya memburuk, meski sudah berulang kali dirinya menjelaskan bahwa ketakutan Karin tidak beralasan, istri pertamanya itu seakan tak peduli, keinginan Karin untuk memiliki dan merawat anak pertama Vania seolah tak terbendung.Nafas Rendi naik turun, dengan dada yang masih berselimut emosi. Untuk sekian detik matanya terpejam, mencoba menenangkan dirinya. Tak lama, kakinya kini kembali melanjutkan langkah, menuruni tangga, berniat hendak keluar dari rumah."Lho kok tidak ada?" Suara Lina
"Ma-mama!" Sapa Rendi terkejut. Tak ayal kedatangan Helena membuatnya gugup. Sama halnya dengan Rendi, Sumi pun tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. "Iya, ada apa dengan kalian berdua. Mengapa melihat mama dengan ekspresi seperti itu?" Tanya Helena sambil memiringkan sedikit kepalanya.**Lidah Rendi terasa kelu ketika mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Helena. Apa yang harus ia jawab sekarang?Rendi menunduk mencoba menghindari pandangan mata ibunya. Tak lama, suara Helena terdengar kembali. Menyentaknya dan Sumi yang masih belum sepenuhnya menguasai rasa gugup mereka."Apa ada masalah? Kalian terlihat tegang?" Pandangan mata Helena tampak menelisik tajam wajah kedua orang yang kini tengah berdiri dihadapannya secara bergantian. Hingga akhirnya membuat Sumi yang sudah cukup tertekan terpaksa bicara."I-itu bu. M-mbak Vania. Dia ... belum pulang ke rumah, ponselnya juga tidak aktif.""Vania? Belum pulang? Apa maksud ucapanmu, Sumi? Lagipula, Ada apa dengan Vania?" Cecar He
[Kabari aku jika Vania menghubungimu]Karin meletakkan ponselnya di atas nakas, tak lama ia mengalihkan pandangannya cukup lama ke arah foto pernikahannya dengan Rendi."Sepertinya kita memang harus bicara banyak hal, Vania. Kau berkata benar, dalam satu istana tak akan mungkin ada dua ratu yang berkuasa. Kurasa ini saatnya salah satu dari kita harus menyingkir," ucap Karin dengan mata menyipit dan seringai sinis di wajahnya.***Mobil yang di tumpangi Rendi akhirnya berhenti di Mall Senayan, tempat terakhir keberadaan Vania. Bergegas ia melangkah masuk ke bangunan tersebut dengan wajah cemas.Sepanjang perjalanan menuju Mall Senayan, pikirannya bercabang. Perasaan gelisah masih terus mengikatnya. Membuat lelaki itu sedari tadi menghela nafas panjang demi menenangkan diri.Dengan langkah yang lebar, lelaki muda itu akhirnya memasuki bangunan mall yang megah tersebut, nafasnya tampak naik turun, menandakan bahwa dirinya tak cukup mampu mengendalikan rasa cemasnya saat ini.Ekor mata Re
Rendi mematung beberapa saat, lalu menghela nafas panjang beberapa kali, mencoba mengumpulkan keberanian, tak lama ia kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah.Tatapan tajam Helena langsung menyambutnya, membuat Rendi seketika menelan ludah. Tak lama sebuah pertanyaan sederhana keluar dari bibir Helena namun terasa begitu menusuk dan mengerikan di telinganya."Mana Vania? Jangan bilang pada mama jika kau tidak menemukannya?" ***Kerongkongan Rendi tercekat kala mendengarnya, meskipun pertanyaan itu sudah bisa diperkirakannya, tetap saja membuatnya gemetar. Dengan langkah gontai, Rendi berjalan hingga berhenti sejenak di hadapan Helena memperlihatkan wajahnya tidak bersemangat.Bibir Rendi kini mulai terasa kaku, lelaki itu akhirnya diam beberapa saat, hanya kakinya saja yang masih sedikit bertenaga untuk membawa tubuh lelahnya menuju sofa.Ekor mata Rendi masih menyadari jika ibunya masih tengah menatapnya. Di hempaskannya tubuhnya ke sofa, lalu menyandarkan punggungnya se
"Karin menginginkan anak yang sekarang di kandung Vania ma, Karin memohon dan memaksa agar aku menyerahkan anak pertama Vania untuk ia rawat sendiri," jelas Rendi gugup. Ia pasrah jika nanti nya Helena akan memarahinya, atau memaki dirinya.***Wajah Helena sontak memerah mendengar perkataan putranya. Kalimat itu seperti sebuah palu besi yang seakan menghantam kepalanya. Bayi itu bahkan belum lahir, bayi yang selama ini mereka tunggu selama bertahun- tahun, bayi yang kelak akan meneruskan nama besar besar Atmaja kini sedang di perebutkan? Seakan dijadikan sebuah objek.Dada Helena bergemuruh keras, nafasnya terlihat naik turun, tak di pedulikannya Rendi yang kini tertunduk lesu di hadapannya, wanita berdarah Belanda itu terlihat mengepalkan tangannya.Menyerahkan katanya? Kepala Helena menggeleng, sungguh ia tak habis pikir, apa yang ada dalam pikiran Karin hingga meminta anak pertama Vania. Tidakkah wanita itu memikirkan bagaimana perasaan Vania saat mengetahuinya? Atau memikirkan
"Mama akan suruh orang mencari Vania. Mencoba menghubungi teman-temannya, siapa tahu ada diantara mereka yang mengetahui keberadaannya. Kuharap kau cukup pintar untuk tidak memberi tahu keluarga Vania. Mama tidak mau mereka sampai berpikir bahwa kau tidak mampu mengurus putrinya."Lanjut Helena lalu kemudian mengeluarkan ponselnya, tak lama ia berjalan menuju ke ruang kerja suaminya. Tanpa mereka berdua sadari jika sedari tadi Karin tengah berdiri di balik pintu masuk dan mendengar semua pembicaraan mereka.***Karin termenung beberapa saat seakan tak percaya dengan semua yang baru saja didengarnya tadi. Bibirnya kaku meski untuk sekedar membuka mulutnya. Wajah wanita itu tampak begitu sayu dan pias.Ingin sekali rasanya ia berteriak, menumpahkan segala bebannya. Namun, apa daya. Tak mungkin hal itu dilakukannya di sini. Yang dilakukannya hanyalah menahan tangis agar tidak pecah.Tubuhnya kini bersandar di pintu, lalu perlahan merosot jatuh. Karin terduduk lalu menutup matanya beberap
Flashback Karin 2Tubuh Karin seketika membeku mendengarnya, tatapan matanya tampak kosong. Melihat putrinya tampak tak baik-baik saja dan terpaku diam cukup lama, membuat Yuna akhirnya berinisiatif mengambil ponsel tersebut dari tangan Karin."Maaf, boleh tahu dengan siapa saya bicara?" Sapa Yuna ramah, tak lama terdengar suara seorang lelaki di ujung sambungan telepon itu membalasnya dan kembali menjelaskan maksud dan tujuannya.***Karin terpaku melihat sosok tubuh yang terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit itu, jangan ditanya betapa hancur hati dan perasaannya saat ini. Wajahnya begitu pilu tanpa air mata yang keluar. Entah sudah berapa kali ia jatuh pingsan.Yah, air mata Karin sudah mengering menangisi kepergian calon suaminya yang tak terduga ini. Sungguh, dalam mimpi pun tak pernah terbayangkan olehnya akan mengalami nasib yang menyedihkan seperti ini.Jodoh, maut, rejeki memang sudah menjadi rahasia tuhan. Tak akan ada seorang pun yang bisa mengubah ataupun menolaknya. Na
Beberapa bulan kemudian."Mas, boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Vania sambil menggendong Arjuna, putra mereka."Kau bebas bertanya apapun padaku," jawab Rendi sambil menjawil pipi Arjuna yang menggemaskan."Apa kau pernah merindukan Mbak Karin?" Mendengarnya, Rendi tersenyum lalu mengambil Arjuna dari gendongan Vania." Mengapa bertanya seperti itu?" Balasnya."Aku hanya ingin tahu saja," sahut Vania cemberut."Terkadang aku masih merindukannya," goda Rendi sambil melirik Vania yang semakin cemberut."Begitukah, kau menyesal bercerai dengannya?" Cecar Vania kemudian.Kali ini Rendi menghela nafas panjang, lalu menarik lembut tangan Vania, mengajaknya duduk di gazebo yang ada di sudut halaman rumah mereka."Aku tidak menyesali apapun, princess. Bagiku Karin tetaplah seorang istri yang baik hanya saja jodoh kami sudah selesai. Karena saat ini dan selamanya hanya ada kau saja di hatiku. Apa jawaban itu sudah cukup?" Vania memalingkan wajahnya, melihat sikap istrinya yang terlihat sedan
Karin tertawa getir mendengarnya." Apa kau tahu jika aku sengaja melakukannya, karena rasa cemburu ku padamu, Vania?" Ucap Karin mengakuinya.Mendengarnya Vania seolah kehilangan kata-kata, meski sebelumnya ia sudah dapat mengira namun tak menyangka jika kakak madunya ternyata melakukan hal ini padanya.Suasana ruangan itu hening sesaat, entah mengapa diantara mereka kini saling membuang pandangan seakan ingin menyembunyikan perasaan mereka masing-masing."Tapi kau tak harus bercerai dari Mas Rendi, mbak. Kau adalah isteri pertamanya, seseorang yang telah lebih dulu berada disisinya, jika hanya karena seorang keturunan memaksamu untuk menjauh dari Mas Rendi, mengapa tidak aku saja yang melakukannya?""Princess," sebut Rendi spontan, lelaki itu seperti tak suka dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Vania.Karin kembali mengulas senyum getir saat melihat perubahan sikap Rendi. "Mas Rendi mencintaimu, Vania. Tidakkah kau sadari itu? Apa kau masih tidak ingin mengerti jika kehadiranku
""Mengapa kau bersikeras ingin berpisah, Karin?"Mendengarnya, Karin tersenyum getir. "Aku sudah yakin bahwa kau adalah orang pertama yang akan bertanya padaku, mas." Jawabnya pelan.***Pandangan mata semua orang kini tertuju pada Karin, seakan menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir wanita itu, namun Karin bergeming sesaat, seolah-olah mengabaikan pertanyaan yang baru saja dilontarkan suaminya tersebut padanya. Tak lama akhirnya suaranya terdengar."Sebelum itu, aku ingin minta maaf pada kalian semua karena telah mencemaskanku. Sungguh, aku tak bermaksud untuk menghindar ataupun lari. Beberapa hal yang terjadi belakangan ini cukup menguras emosi, hingga kuputuskan untuk menenangkan diri sejenak," tutur Karin memulai penjelasannya."Apa harus dengan melayangkan gugatan cerai, mbak?" Vania memprotes keputusan Karin.Mendengarnya Karin tersenyum getir lalu memalingkan wajahnya dari sorot pandang mata Vania yang tajam. Helaan nafas panjang terdengar dari bibirnya, seakan sedang
"Entah mengapa aku merasa jika kau terpaksa mengambil keputusan ini, mbak. Aku tahu dari dalam hatimu, kau sangat mencintai Mas Rendi," lirih Vania mengucapkannya, lalu kembali melempar pandangan ke luar jendela. Menatap bayinya yang tengah tertidur dalam gendongan Sumi.***Sidang pertama perceraian Rendi dan Karin akhirnya selesai digelar. Namun Karin tak juga terlihat di persidangan tersebut, membuat kesal Rendi yang sedari tadi menunggu kehadirannya.Sejak gugatan hingga masuk ke tahap persidangan, Karin masih belum menampakkan dirinya, meski beberapa kali Rendi berusaha menelpon dan berkirim pesan padanya, tetap saja tidak mampu membuat Karin pulang ke rumah mereka.Karin juga tidak terlihat saat gelaran aqiqah bayi Vania, hanya kiriman kado darinya saja yang datang menghampiri, kelihatannya Karin sengaja menghindari bertemu dengan semua orang yang berhubungan dengannya. Wanita itu seolah sengaja menjauh dari mereka.Keputusan Karin untuk bercerai sepertinya sudah tak terbendung
"Istirahatlah princess, karena aku akan menjaga kalian berdua," lirih Rendi dengan pandangan matanya yang terlihat berkaca-kaca menatap Vania dan bayi mereka secara bergantian.***Karin menyeka air matanya yang menetes, hatinya begitu nyeri saat ini. Keputusannya untuk bercerai dari Rendi membuat perasaan hancur.Tak dapat dipungkiri, untuk kedua kalinya ia harus patah hati. Baik Hans maupun Rendi, kedua lelaki itu tak bisa dimilikinya, membuat Karin harus berlapang dada untuk menerima guratan nasibnya.Matanya kini memerah sebab air matanya. Beberapa kali ia mengutuk dirinya karena bisa terjebak dalam situasi seperti ini. Entah mengapa ia harus kembali mengalami rasa sakit ini. Membuat bibirnya kini merutuki nasibnya sendiri.Tangan Karin masih memutar kemudi mobilnya. Panggilan telepon dari Rendi beberapa saat lalu kini membuat suasana hatinya semakin nyeri. Ingin sekali ia berharap bahwa semua ini adalah mimpi agar ia tak perlu terbangun dan merasakan semua hal yang menyakitkan ini
"Kau terlihat gelisah, mas. Apa ada masalah?" Mendengarnya, Rendi lalu menghela nafas berat."Iya, pengacara Karin baru saja menelponku, beliau bilang bahwa Karin telah mendaftarkan gugatan cerainya ke pengadilan agama," jawab Rendi, nada suaranya terdengar parau.***"Gugatan cerai?" Ucap Vania seakan tak percaya. Terlihat keningnya seketika berkerut."Benar, pengacaranya berkata seperti itu padaku," tegas Rendi sambil menganggukkan kepalanya."Mustahil?""Rasanya aku tak bisa mempercayainya? Bukankah sebelumnya ia begitu sangat menginginkan bayiku agar bisa terus bersamamu, mas. Lalu kenapa sekarang ingin bercerai?" Vania mendesis seolah tak yakin jika Karin benar-benar melakukannya."Entahlah, aku juga tak tahu alasannya, kurasa aku harus mengajak Karin bicara. Aku ingin tahu apa alasannya kali ini setelah sebelumnya begitu sangat menginginkan bayimu," pungkas Rendi.Untuk beberapa saat, diantara mereka tak ada yang bicara seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga akhirny
Pernyataan Vania sontak membuat Lelaki itu memandangnya tanpa berkedip. "Iya, aku masih ingat, kenapa?" Balasnya bertanya."Talak aku mas," ujar Vania dengan suaranya yang bergetar.***Untuk beberapa saat Rendi tampak tak percaya dengan apa yang baru saja Vania katakan. Matanya tampak mendelik marah karena tak suka dengan permintaan istri keduanya itu.Tangan Rendi mengepal, seolah menahan emosinya. Lelaki itu tak menduga jika Vania berniat untuk berpisah darinya."Apa kau sedang bercanda?" Tanya Rendi sambil menatap tajam pada istri keduanya itu. Sungguh ia tak suka dengan permintaan Vania kali ini.Vania menggeleng. "Tidak mas, aku serius. Tolong segera urus perceraian kita.""Kenapa? Apa ada kesalahan yang kubuat? Ataukah ada hal lain yang membuatmu ingin berpisah dariku?" Cecar Rendi.Vania menggeleng." Tidak mas, kau tidak berbuat kesalahan apapun. Hanya saja aku sudah tak ingin lagi menjadi orang ketiga dalam pernikahanmu dan Mbak Karin," jawab Vania menunduk. Bahunya tampak se
"Lalu Gio, di mana dia? Apakah dia juga pergi setelah mengantarku ke rumah sakit, sama seperti Karin?" Bisik Vania teramat pelan, karena tak mungkin baginya untuk bertanya tentang lelaki itu pada ibu mertuanya.***Gio menyetir mobilnya dengan pikiran yang berkecamuk, lelaki itu tampak murung, sambil sesekali berdecak kesal.Setelah memastikan Vania ada yang menjaga, tepatnya setelah ia melihat kedatangan Rendi ke rumah sakit, lelaki itu perlahan mundur dan memutuskan untuk pergi dari rumah sakit. Tak hanya dirinya, karena beberapa saat kemudian, ia juga melihat Karin pergi meninggalkan rumah sakit, setelah berbicara sebentar dengan Rendi."Apa yang sebenarnya terjadi, Vania? Mengapa aku merasa sangat cemas seperti ini?" Lirih Gio tertahan.Dari kejauhan, ekor mata Gio menangkap mobil berwarna silver metalik yang dikendarai Karin. Entah mengapa mendadak ia memutuskan untuk mengikuti mobil Karin dan ingin mengajaknya bicara.Setengah jam telah berlalu, namun Gio masih belum melepaskan
Ujar Gio sambil menatap Karin, seakan meminta izin pada wanita itu agar bisa membantu, begitu melihat Karin menganggukkan kepalanya, dengan cepat tangan kekar Gio meraih tubuh Vania dan menggendongnya keluar dari cafe.***Wajah Karin terlihat begitu cemas sambil mengikuti langkah Gio yang menggendong tubuh Vania dari belakang. Meskipun tak mengerti mengapa laki laki itu bisa ada di tempat yang sama dengan mereka, namun ia bersyukur dengan kebetulan ini.Erangan halus Vania terdengar saat tubuhnya diletakan dengan sangat hati-hati di jok depan mobil Karin, setelah memastikan sabuk pengamannya sudah terpasang dengan baik, Gio pun menutup pintu mobil Karin."Tolong hati hati bawa mobilnya, Mbak. Jika kau berkenan biar aku saja yang menyetir," cemas Gio sambil melirik Vania yang mengerang."Terima kasih, tapi aku bisa menyetir sendiri. Aku akan berhati-hati," tolak Karin."Baiklah," ujar Gio menyerah. lalu menggeser tubuhnya agar Karin bisa lewat.Selagi Karin sibuk mengeluarkan mobilnya