“Kami ingin memulai ronde kedua apa kakek tetap akan berdiri dan menganggu kami?” Ucapan pria yang ternyata namanya Damian ini sukses membuat Elena melotot tajam.
Sudah ketahuan tapi pria ini malah menantang lagi?
“KAU! Mau sampai kapan kau akan terus bermain main seperti ini Damian?” Pria dengan pakaian rapi dan beberapa pengawal di belakangnya itu terlihat sangat marah. “Kau benar benar mencoreng nama baik keluarga kita!”
Dia sudah lama tahu kalau Damian memang suka mengunjungi tempat ini dan sudah selama itu pula dia menahan amarahnya karena awalnya dia mengira Damian hanya sakit hati sementara. Saat dia sudah bisa melupakan mantan tunangannya itu maka dia akan kembali normal namun semuanya salah besar.
“Sebelum mencoreng, aku sudah memberikan banyak untuk keluarga jadi impas.” Damian menjawab tanpa ragu. Sementara Elena yang masih diangkat oleh pria itu hanya bisa menyembunyikan seluruh wajahnya di ceruk leher Damian. Dia sungguh sangat malu saat ini.
Melihat keadaan yang memang tidak kondusif. Kakek Damian langsung berbalik. “Kakek harap ini yang terakhir kalinya kau melakukan tindakan tidak terpuji seperti ini. Jika sekali lagi terjadi, jangan harap kau bisa menjadi pewaris.”
Setelah mengucapkan itu kakek Damian langsung melenggang pergi dengan pengawalnya. Pintunya ditutup dengan kasar.
“Tuan Damian!” Rico, asisten pribadi sekaligus sekretaris damian yang memang menunggu diluar sejak tadi masuk dengan wajah horor. “Tuan Falcone tidak bercanda, dia benar benar mar—
Ucapan Rico terhenti saat dia melihat wanita disamping Damian. Ketika Elena menunjukkan wajahnya Rico langsung berhenti berbicara. “B-bagaimana bisa?” lirihnya dengan wajah yang syok.
Damian menyadari dan tahu betul keterkejutan Rico karena apa. Elena, sangat mirip denga Thalia, mantan tunangan Damian yang pergi. Bahkan dari bentuk tubuh hingga kecantikannya.
“Panggil Lily ke sini, aku akan membeli wanita ini.” Ucapan Damian sontak membuat Elena terkejut. Dia ke sini hanya untuk melakukannya sekali saja karena bayarannya cukup mahal, Elena bisa membayar semua bunga dari hutang papanya sementara dia akan berusaha mencari pekerjaan yang baik.
Elena benar benar tidak punya rencana untuk terus menjual tubuhnya seperti pelacur.
“T-tunggu Tuan, aku tidak bisa,” lirih Elena memberanikan dirinya. Walau dia ketakutan, tapi dia tetap tidak bisa diam saja saat hidupnya menjadi taruhan.
Bagi orang berkuasa seperti Damian ini, membeli seseorang pasti sangat mudah baginya apalagi hanya wanita tidak berharga seperti Elena. Akan tetapi Elena tidak punya siapapun selain dirinya sediri untuk menyelamatkan hidupnya.
“Apa aku sedang meminta pendapatmu?” Suara dingin Damian membuat Elena mematung sepenuhnya. Pria ini benar benar dingin, arogan, dan kejam.
“T-tapi Tuan, aku hanya pekerja sementara Mami Lily, aku bukan bagian dari wanita yang bisa dijual,” jawab Elena lagi lagi menyulut emosi Damian.
Pria itu berbalik menatap Elena sembari memberikan titah dengan kepalanya kepada Rico untuk pergi mencari Mami Lily untuk bertanya berapa harga Elena. “Katakan saja berapa, kau baru punya harga diri sekarang? Tadi kemana saja haraga dirimu hm?” sinis Damian membuat Elena tertohok.
Apa yang haus dia lakukan sekarang?
Sebelum semuanya menjadi runyam, dengan keberanian yang Elena kumpulkan wanita itu berlari sekuat tenaganya keluar ruangan dan kabur dari radar Damian secepat kilat.
Melihat itu Damian tidak panik, juga tidak mengejar. Dia malah terkekeh melihat Elena yang memilih kabur karena sampai di ujung duniapun Damian pasti akan bisa menemukannya.
Rico dan Mami Lily datang sekejap kemudian hanya untuk melihat Elena sudah menghilang. “Siapkan mobil dan lacak keberadaan wanita kecil itu,” titah Damian sembari berjalan melewati Rico dan menghidupkan rokoknya dengan santai.
**
Elena berlari menerobos hujan, napasnya tersengal. Kakinya beradu dengan aspal basah, tetapi dia tak peduli. Yang penting adalah menjauh dari pria itu—pria dengan mata gelap yang penuh obsesi.
Begitu sampai di depan rumah, dia merogoh tasnya dengan tangan gemetar. Kosong. Saat itu juga, jantungnya seakan berhenti—dia lupa mengambil uangnya dari Mami Lily.
Apa yang telah dia lakukan? Keapa Elena bisa seceroboh ini? Papanya pasti sudah menunggu-nunggu uang yang akan dia bawa tetapi Elena melupakannya. Tidak mungkin dia kembali ke sana dan mempertaruhkan hidupnya.
Tiba-tiba, pintu rumah terbuka dengan keras, menampakkan sosok Pram, papa Elena yang berdiri dengan botol minuman di tangan. "Mana uangnya?" suaranya berat, penuh ancaman. Elena menelan ludah, mencoba mencari kata-kata, tetapi semua lenyap saat tangan Pram melayang ke wajahnya.
Tamparan keras itu membuatnya terhuyung, pipinya terasa panas dan perih. "Papa… aku—aku akan memberikan uangnya besok" ucapnya lirih, berharap pria itu mau mendengar.
"BESOK?! Apa kau pikir rentenir itu mau menunggu?!" Pram mencengkeram rambut Elena dan menariknya mendekat. "Karena kelalaianmu, aku bisa mati malam ini!"
Sebelum Elena sempat menjawab, suara gedoran pintu membuatnya membeku. Seorang pria berbadan besar dengan setelan serba hitam masuk tanpa permisi, diikuti beberapa anak buahnya. "Pram, waktunya untuk membayar bunga hutangmu atau nyawamu yang kami ambil."
"Aku... aku butuh waktu!" Pram jatuh bersimpuh, tangannya gemetar. Tetapi preman itu tidak peduli, sebuah pukulan mendarat di perutnya, membuatnya tersungkur.
"Papa!" Elena menjerit, berusaha melindunginya, tetapi seseorang mendorongnya hingga jatuh ke lantai. Elena menyaksikan sendiri bagaiaman papanya dikroyok oleh preman itu.
Dengan tangisan di wajahnya, Elena berteriak meminta tolong namun tidak ada yang berani menolongnya karena preman ini sangat ditakuti di lingkungan ini.
Tetangga hanya mengintip dari balik jendela tanpa ada yang berani menolong. Elena menoleh ke sekitar, putus asa, lalu suara deru mobil terdengar di luar. Sebuah mobil hitam berhenti, lampunya menyinari tubuhnya yang tergeletak.
Dengan panik, dia bangkit dan berlari ke tengah jalan, menyetop kendaraan itu. Jendela turun perlahan, memperlihatkan wajah Damian yang begitu tenang, seolah menikmati pemandangan ini.
Mata kelamnya menatap Elena yang basah kuyup, napasnya yang tersengal, dan air mata yang mengalir di pipinya.
"Tuan tolong... Aku mohon..." suaranya bergetar, hampir tak terdengar. “Papaku dikroyok oleh orang-orang itu dia bisa celaka,” lirih Elena.
Damian menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapannya dingin dan penuh perhitungan. "Ck! Disaat genting baru mau meminta tolong, hm?” sindir Damian.
Elena menegang, tubuhnya bergetar. "Aku... aku akan melakukan apa pun..." ucapnya pasrah. Elena sudah buntu, salah langkah papanya bisa dihabisi detik ini juga dan Elena rasanya tidak mampu kehilangan papanya setelah mamanya pergi, hanya dia satu satunya yang Elena miliki.
Senyum tipis terukir di bibir Damian, tetapi matanya tetap tajam, menelanjangi Elena dengan tatapannya. "Satu tahun. Kau jadi milikku. Tanpa syarat, tanpa pengecualian."
Elena membeku. Walau itu harga yang sangat mahal tetapi tidak ada yang lebih penting dari nyawa papanya saat ini. “M-maksud tuan….
“Jadi wanita simpananku selama 1 tahun, aku akan membayarmu dengan harga yang fantastis tergantung kinerjamu,” tawar Damian sepertinya dia sudah melupakan untuk membeli Elena seperti yang dia katakan sebelumnya karena memang benar Elena tidak ada kontrak apapun dengan Mami Lily jadi dia tidak berhak menjual Elena seenaknya.
Di belakangnya, Pram memekik kesakitan saat pukulan lain mendarat di tubuhnya. Itu seakan dorongan bagi Elena untuk menyetujui permintaan pria angkuh ini tanpa berpikir panjang.
Elena menatap ayahnya yang babak belur. Tidak ada pilihan lain. Dengan bibir bergetar, dia mengangguk. "Baik... Aku setuju."
Damian tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya menjentikkan jarinya.
Secepat kilat, anak buahnya keluar dari mobil, bergerak dengan keahlian mematikan. Dalam hitungan detik, preman-preman yang tadi menindas Pram kini terkapar di tanah, tak berdaya.
Damian turun dari mobil, melangkah mendekati Elena yang masih berdiri kaku. Dengan tenang, dia mengangkat dagunya, memaksa matanya bertemu dengan miliknya. "Mulai sekarang, kau milikku, Elena. Jangan pernah mencoba lari."
Dan tanpa menunggu jawaban, dia menariknya masuk ke dalam mobil, mengunci gadis itu dalam genggamannya.
Elena, Damian dan Rico sampai di apartement sementara Damian, tempatnya biasanya tidur sementara karena dekat dengan perusahaannya.Elena berjalan mengikuti kedua pria itu dengan wajah pucat. Saat sampai di ruangan, Elena memberanikan dirinya membuka suara. “T-tuan, bagaimana dengan papaku apa dia akan dilindungi?” tanya Elena.Damian bersandar sambil menyilangkan kakinya. Tatapan matanya sangat intens mentap Elena dari ujung kepala sampai ujung kaki seakan dia bisa menelanjangi Elena hanya dari tatapannya itu.Elena menelan ludahnya, merasa gugup karena dia tahu betul makna dari tatapan pria itu. “Anak buahku sudah mengurus itu semua, yang perlu kau pikirkan sekarang hanya aku, Elena,” ujar Damian dengan santainya.Elena bahkan tidak tahu sejak kapan pria ini tahu namanya tapi mengingat semua hal ini mulai dari pengawal, asistem pribadi, pelanggang utama di club dan semuanya sepertinya Damian ini memang bukan orang sembarangan.Elena tak membalas setelah itu, dia hanya duduk kaku men
Aneh! Tapi nyata itulah yang terjadi saat ini.Elena menerima sebuah surat panggilan karena dia sudah lolos tahap administrasi untuk menjadi maid di mansion Keluarga Falcone. Jatungnya berdebar dengan kencang. Walau memang tujuannya kesana adalah untuk memuaskan hasrat tuan muda keluarga itu tetapi ini sungguh pengalaman yang sangat berkesan di hidupnya.Pagi ini Elena sudah bisa ke mansion utama untuk menjalani tes keterampilan dan menunggu pengumuman penerimaan disana.Beberapa orang terlihat sudah berkumpul di bagian belakang mansion karena bagian utama hanya boleh dilalui oleh penghuni mansion sementara maid dan pengawal harus masuk lewat belakang atau samping.Elena tak henti hentinya berdecak kagum ketika melihat betapa besarnya mansion ini. Dengan taman yang sangat luas dan rumah utama bak istana terlihat sangat megah dan berkilau dari kejauhan.Elena sekarang paham kenapa Damian bisa mengatakan ingin membeli seseorang dengan mudahnya. Dia terlahir sebagai pangeran disini mungk
“Aku tidak memakan makanan pembuka, apa kau maid baru?” Seorang pria yang wajahnya persis seperti Damian namun versi lebih tuanya itu berbicara kepada Elena dengan wajah datar.Elion Alexander Falcone, cucu pertama dari Tuan Falcone dan kakak dari Damian sendiri. Elena tahu semua itu karena orientasi yang diberikan tadi namun karena gugup dengan perilaku Damian tadi dia melupakan ini.Elena mengambil makannnya sembari membungkuk, “Iya, Tuan saya maid baru mohon maafkan saya,” ucap Elena.Elion tidak membalas tetapi dia menatap Elena dengan tatapan yang cukup dalam, entah kenapa suara dan caranya berbicara mengingatkannya pada seseorang namun Elion tidak yakin siapa.“Aku tidak perlu maafmu jika kau melakukan ini lagi keluar dari mansion ini,” ucap Elion tegas membuat Elena merutuki dirinya sendiri.Mila tidak berani ikut campur karena temperamen Elion yang paling buruk disini. Dia hanya bisa menasehati Elena ketika ada di dapur nanti tidak didepan majikan.“Elion, sudahlah jangan mena
Terhitung sudah 1 minggu lebih Damian pergi entah kemana semenjak kejadian itu. Elena tahu betul pria itu kesal namun apa boleh buat? Elena benar benar datang bulan saat itu.“Lena, gelas dan sendok di meja utama kurang tolong hitung dengan benar!” Suara Mila membuyarkan lamunan Elena yang tengah mencari gelas dan piring kecil.“Iya, akan aku bawa segera,” jawab Elena. Buru-buru dia berjalan ke arah luar namun seseorang sengaja menabraknya dengan cukup keras hingga piring kecil itu hampir jatuh.“Tuan muda tiba hari ini, awas jika kau berani menggodanya kau pikir kau penguasa disini hanya karena kau adik dari Rico?” sinis Miranda sembari mencengkeram pundak Elena dengan sangat keras.Semenjak kejadian minggu lalu saat Elena membawakan Damian makan ke ruangan kerjanya, Miranda mulai menunjukkan sifat aslinya.Karena Elena cukup lama ada disana untuk berbicara dengan Damian karena pria itu terus menggodanya, Mira menuduh Elena berusaha mencari perhatian Damian, apalagi saat itu Damian s
Elena baru saja meletakkan nampan kopi di meja saat Damian menarik tangannya. Tanpa peringatan, tubuhnya jatuh ke pangkuan pria itu, kedua tangannya terperangkap dalam genggaman erat. Ia menegang, tetapi tatapan Damian yang gelap membuatnya tak bisa bergerak."Tuan—""Ssst," Damian menempelkan jari di bibir Elena. "Aku sudah cukup bersabar. Hari ini, kau tidak akan pergi sebelum aku puas."Elena sebenarnya ingin menolak dengan mentah mentah pria ini namun apa hak yang dia punya? Damian sudah berhasil memegang kendali atas semuanya termasuk tubuhnya dari perjanjian itu. Datang bulan kemarin saja sudah cukup membuat Damian mendiaminya selama hampir seminggu dan Elena tahu cepat atau lambat dia harus melakukan pekerjaan utamanya walau dia sudah sangat terbiasa dan nyaman menjadi maid di mansion ini. “Ah…T-tuan bagaimana kalau ada yang masuk ke sini? Bukankah ini ruangan kerja?” cicit Elena dengan wajah yang sudah bersemu merah karena posisi intim keduanya. Damian menikmati melihat waja
“Ahh…Euhh.” Elena terus meloloskan desahan tanpa ia sadari. Tangannya bergetar saat dia berusaha berpegangan erat tetapi saking kerasnya gerakan Damian, Elena hampir tidak bisa berdiri dengan kedua kakinya. Damian akhirnya melepaskan tautan keduanya hingga bisa memberikan waktu bagi Elena untuk bernapas sebentar. Keringat mengucur di pelipisnya dan Elena samasekali tidak berani melihat ke belakang dimana ada Damian. Dia merasa sangat malu melihat milik Damian dicahaya seterang ini. Entah kenapa rasanya sangat canggung walau mereka sudah pernah melakukannya sebelumnya. Damian, pria itu selalu membuat Elena merasa terintimidasi hanya dengan kehadiran pria itu saja. Elena mengatur deru napasnya yang tidak beraturan dan dia segera menurunkan rok dan hendak mengancingkan kembali bajunya namun Damian tiba tiba menekan tubuh Elena hingga wanita itu menempel di tembok.Kedua tangan Elena menempel di tembok dan dikunci oleh Damian hingga Elena benar benar terhimpit oleh tubuh pria itu, sam
Elena bergegas merapikan pakaiannya dan mengambil tisu untuk mengelap wajahnya yang berkeringat. Penampilannya sudah berubah menjadi kacau seperti ini jika dia keluar langsung pasti ada maid lain yang curiga dengannya, terutama Miranda. Elena mengambil napas dalam dalam lalu berjalan menuju ke dekat meja Damian dimana sepatunya berada. Elena memakainya dengan cepat karena sebentar lagi waktu istirahat makan siang akan berakhir. Sebelum pergi, Elena melihat foto-foto wanita yang berjejer diatas meja itu. Semuanya adalah foto-foto wanita dari Kalangan atas yang sebanding dengan Keluarga Falcone. Bahkan, diantaranya ada model, artis, dan anak pejabat politik. Semuanya terlihat sangat serasi jika bersanding dengan seorang Damian Alexander Falcone dan Elena hanya bisa tersenyum miris melihat semudah itu Damian men
Grand opening cabang baru Falcone Fashion di pinggir kota digelar dengan penuh kemewahan. Gedung megah berarsitektur modern berdiri tegak dengan dinding kaca yang memantulkan cahaya sore, menciptakan kilauan yang nyaris menyerupai berlian. Para tamu undangan dari kalangan pebisnis, selebriti, dan sosialita hadir mengenakan busana terbaik mereka, berharap bisa mencuri perhatian pria yang menjadi pusat acara ini—Damian Alexander Falcone.Sebenarnya sesuai rumor, Thomas Falcone yang akan menghadiri acara ini namun h-3 jam sebelum acara rumor sudah tersebar kalau Damianlah yang akan hadir jadi semua orang berbondong-bondong untuk melihat tuan muda yang dirumorkan menjadi yang tertampan di Keluarga Falcone. Saat Damian tiba, suasana seakan berubah. Setelan jas hitam rancangan desainer ternama membalut tubuh t
Cahaya lembut menembus tirai apartemen saat kelopak mata Elena perlahan terbuka. Kepalanya terasa berat, tenggorokannya kering, dan tubuhnya terasa sangat lemas.Begitu pandangannya mulai jelas, ia melihat langit-langit serba putih. Elena belum bisa mengingat apapun kecuali fakta bahwa dia hampir diperkosa oleh Evan.Tapi dimana dia sedang berada sekarang?Matanya sayunya perlahan turun untuk melihat sekelilingnya dimana ada infus yang terpasang dari telapak tangannya. Ketika Elena melihat ke arah lain, dia melihat seseorang. Damian duduk di sofa panjang dengan kaki bersilang, kacamata tipis bertengger di batang hidungnya, dan sebuah tablet menyala di tangannya. Tatapannya fokus, tapi bahunya sedikit tegang, seolah dia sudah duduk di sana sejak semalam.Elena mengerjapkan mata, mencoba duduk tapi meringis karena perih di pinggangnya. Ia menahan napas, menatap Damian dari tempat tidur, lalu memberanikan diri bersuara. “Tuan…”Damian menoleh perlahan, tatapannya tajam namun tetap tenan
Kesadaran Elena perlahan kembali, tubuhnya terasa remuk dan nyeri ketika digerakkan. Kelopak matanya berat, dan begitu terbuka, ia melihat langit-langit kusam dengan bau lembap menusuk hidung.Matanya mulai menyesuaikan, dan saat itu, matanya membelalak sempurna saking terekejutnya melihat keadaan sekitarnya, tempat dimana dia berada.Bagaimana tidak?Dinding ruangan itu penuh dengan foto dirinya. Ada yang saat remaja, saat sekolah, bahkan ada yang diambil diam-diam saat ia berada di mansion—di dapur, taman, bahkan di kamarnya. Lebih mengerikan lagi, beberapa foto menunjukkan dirinya saat tidur dengan baju tidur yang terangkat, atau saat mandi dengan pantulan samar di cermin.Tubuhnya gemetar. Elena sadar kedua tangan dan kakinya terikat erat pada kursi dengan tali kasar, dan mulutnya dibekap kain kotor yang membuatnya nyaris muntah. Ia mengerang, mencoba berteriak, tapi hanya suara kecil yang keluar dari tenggorokannya.Matanya mulai berkaca-kaca saat rasa takut menggerogoti kewarasa
Taksi melaju di jalanan kota yang perlahan mulai lengang, membawa Elena dan Evan menuju tempat yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Di dalam sebuab taksi, Elena menggenggam tas besar berisi uang tunai lima puluh juta yang baru saja ia tarik dari bank terdekat. Detak jantungnya berdebar tak karuan, lebih karena rasa takut daripada perjalanan itu sendiri. Evan duduk di sampingnya dalam diam, sesekali meringis seperti menahan sakit pada tubuhnya yang lebam-lebam. Elena terus meliriknya dengan khawatir, merasa bersalah karena telah menyebabkan pria itu kehilangan pekerjaan. Andai saja ia tak membela Evan tidak berbaik hati membawakan makan malam padanya waktu itu semua ini tidak akan terjadi. Oh! Tidak pernah Elena bayangkan semuanya akan menjadi runyam seperti ini. Hingga nyawa seseroang menjadi taruhannya. “Berapa lama lagi kita akan sampai?” tanya Elena, suaranya parau karena cemas. Evan melirik menimang-nimang sebentar menjawab, “Sekitar satu jam dari pusat kota, tempatnya agak
“Nona, apa ada yang perlu dibeli lagi? Mumpung kita masih di area kota?” suara berat Pak Karno—supir setia keluarga Falcone—mengisi kabin sunyi mobil hitam itu.Lelaki paruh baya itu melirik Elena lewat cermin spion, menyadari nona muda yang duduk di belakang sejak tadi hanya diam membisu sambil memandangi ponselnya. Suaranya membuyarkan lamunan panjang Elena yang tak henti berputar soal seseorang yang tak kunjung pulang.“Tidak, Pak Karno. Semua sudah lengkap, tinggal dicek kepala maid saja nanti di mansion,” sahut Elena pelan, suaranya nyaris tak terdengar, seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri.Mobil meluncur perlahan melewati jalanan kota yang mulai redup, menyisakan bayang-bayang lampu pertokoan yang memantul samar di jendela. Sinar oranye senja menggurat langit, memberi warna hangat yang kontras dengan dinginnya hati Elena.AC yang terus mengalir pelan, suara mesin yang stabil, dan suasana hening membuat pikirannya melayang jauh… menuju tempat yang bahkan tak bisa ia dat
“Ahhh Tuan!” Elena meringis dengan sangat keras ketika Damian melepas asal ikat pinggang yang mengikat tangannya dan langsung membalik tubuhnya cepat.Di depan meja kerja Damian yang bagian ujungnya ada kaca besar menjadi saksi perbuatan Damian. Pria itu langsung menyingkap rok Elena dan menggeser celana dalamnya dengan gerakan cepat dan langsung memasukkan pusakanya yang sudah mengeras sepenuhnya.Elena bahkan tidak mendapatkan kesempatan untuk menolak tetapi Damian, pria itu langsung melakukan permainannya dengan sangat kasar dan menuntut seakan semua kemarahannya tersalur disana.“T-tuan…aku…ahh…aku tidak kuat berdiri lagi,” lirih Elena dengan tangan yang sekuat tenaga memegang ujung meja kerja Damian karena pria itu memompa dari belakang dengan sangat perkasa.Plak!Elena menutup matanya rapat-rapat ketika Damian menampar pantat bulat sempurna yang selalu menguji gairah Damian itu. Pria itu sangat marah, kesal dan semuanya bercampur menjadi satu dan melihat seberapa seksi Elena di
Rico menatap Damian yang berdiri di ambang pintu dengan tatapan dingin. Tanpa menunggu perintah kedua, dia menunduk sedikit sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Pintu tertutup dengan suara berat, menyisakan hanya Damian dan Elena di dalam sana.Elena menelan ludah, jantungnya berdebar kencang saat tatapan tajam pria itu mengunci dirinya di tempat. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang gelap—sesuatu yang berbahaya."Ada masalah apa, hm?" Damian membuka suara, suaranya rendah dan penuh ketenangan yang justru semakin mengintimidasi.Elena menggigit bibir bawahnya, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ada banyak sekali yang ingin dia katakana sebelumnya di depan wajah Damian tetapi saat pria ini muncul nyalinya seketika menciut. "Aku... Aku hanya ingin tahu kenapa Tuan bertindak sejauh ini..."Elena memberanikan dirinya mengucapkan itu walau suaranya sepenuhnya bergetar, membuat Damian semakin gencar mengintimidasi Elena.Pria dengan tinggi hampir 190 cm itu menyipitkan matanya saat
Suasana ruang makan para pelayan siang itu terasa lebih ramai dari biasanya. Aroma sup lobster kental, steak wagyu panggang, serta truffle pasta memenuhi udara, menciptakan kontras mencolok dengan makanan sederhana yang biasanya tersaji di meja mereka.Semua mata langsung tertuju pada satu orang—Elena, yang menatap hidangan mahal di hadapannya dengan ekspresi bingung."Silakan dinikmati," ucap Chef Matteo dengan senyum tipis sambil membawa menu makanan yang jauh lebih mahak dari sebelumnya.Elena benar-benar kebingungan, tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Kemarin dia seharian tidak makan tapi hari ini malah dapat makanan sebanyak ini?Apalagi keberadaan Chef Matteo di ruang makan maid adalah sebuah keajaiban. Chef Matteo adalah koki khusus untuk anggota keluarga inti Falcone tidak untuk memasak makanan pelayan tetapi dia ada disini sekarang hingga menimbulkan pertanyaan besar.Chef Matteo tersenyum manis menatap Elena sebelum akhirnya berucap, "Selamat menikmati Nona Elena,
Prang!“TUAN!” Elena terkejut bukan main saat Damian melempar kasar nampan makanan yang diberikan Evan tadi hingga seluruh isinya berserakan di lantai.Elena menatap makanannya dengan wajah nanar. Tidak menyangka itu akan terbuang sia-sia hanya karena kemarahan tak berdasar pria ini.Dengan gerakan cepat, Elena berjongkok untuk mengambil makanan itu yang belum sepenuhnya kotor semuanya. Damian yang melihat itu semakin membuatnya tersulut emosi.Bayangkan saja siapa yang tidak akan marah jika wanita yang sudah dia claim kepemilikannya malah berhubungan dengan pria lain bahkan sampai membawakan makanan semalam ini.Bukankah Damian berhak marah?“Ahhh….” Elena memekik ketika Damian menarik tangannya, mecegahnya untuk mengambil makanan itu. Wajah Damian benar-benar memerah. “Apa makanan dari pria sialan itu begitu penting bagimu hah? Kau tidak pernah makan?” bentak Damian tanpa tahu kalau Elena samasekali tidak makan seharian ini karena dia dimusuhi seniornya.Elena terdiam menatap Damian
“Tuan bagaimana ini?” pekik Elena dengan wajah yang panik. Itu suara Evan, kenapa pria itu datang secara tibaa-tiba malam-malam seperti ini?Sungguh sangat tidak biasa.Damian terlihat sangat kesal karena ada yang menganggu aktivitasnya. Pria itu duduk di sisi ranjang sambil mengusap kasar rambutnya ke belakang.“Siapa itu?” tanya Damian dengan nada yang sarat akan kekesalan. Dia menatap Elena yang sudah panik bukan main dengan wajah datarnya.“Tuan! Bersembunyilah! Sembunyi di lemari atau di kamar mandi dimana saja!” pekik Elena sambil megambil jaket untuk menutupi pakaiannya yang sangat terbuka itu.Damian meraih tangan Elena dengan cepat hingga mmebuat Elena menatap Damian secara tiba tiba. Tangan Damian mencengkeram tangan kiri Elena. “Kenapa aku harus sembunyi?”Elena melotot tak percaya. Keadaan sangat genting seperti ini tapi Damian masih punya waktu untuk bertanya? “Ada orang yang