Alfie menyandarkan punggung di sofa. Sesekali ia membasahi bibirnya yang kering. Ia masih heran dengan istilah "batu loncatan" yang dikatakan Airel.
"Bukankah Anggi sudah jelas menjadi korban dalam permainan Dokter itu? Anggi benar-benar telah ditargetkan. Dokter itu telah membuat rencana dalam buku merah, lalu mengeksekusi sesuai apa yang telah ia tuliskan," protes Alfie.
"Apa yang Paman katakan tidaklah salah. Ada sebuah pepatah yang berbunyi 'sekali dayung maka dua tiga pulau terlampaui'. Begitu juga yang dilakukan oleh Dokter Hardian," balas Airel seraya menangkupkan tangan kanannya di dagu dengan sikut tertumpu di pinggir sofa.
Alfie mengerjap sekali. Ia masih belum mengerti maksud Airel.
Airel tak melepas tatapannya dari Alfie yang masih dengan wajah kebingungan. "Sasaran utamanya adalah Edi. Dokter Hardian memiliki dendam terhadap lelaki itu atas kematian Claudia. Ia merasa Edi harus bertanggung jawab atas kasus bunuh diri yang dilakukan oleh w
Halaman buku merah yang dimaksud dalam chapter ini bisa teman-teman check di chapter 9 ya :) Happy Reading! Biar lebih paham sama ceritanya.
Airel tersenyum hambar menyambut kedatangan Mira yang telah berdiri di hadapannya. Ada rasa tak enak hati dalam dirinya. Ia tahu salah satu alasan Mira datang pasti berhubungan dengan Airen. Semenjak Airen ditemukan, ia atau Airen belum memberikan kabar apa pun pada Mira."Kemana saja kalian?" Mira langsung melontar tanya dengan wajah cemberut.Kalian? Kata itu mampu membuat Airel menyengir. Itu artinya Mira memang sudah mengetahui tentang Airen yang telah kembali."Sebaiknya kita masuk dulu," ajak Airel. Mira pun menyetujuinya dan berjalan mengekori Airel.Sesampai di ruang tamu, Mira tak mampu lagi menahan dirinya saat melihat Airen yang duduk di samping Alfie. Ia langsung menghamburkan pelukan untuk melepas rindu karena sudah sangat lama tidak berjumpa. Meskipun merasa senang telah bertemu Airen, tetap saja ia tak bisa menutupi kesedihannya saat melihat bekas luka yang masih kentara di tubuh sahabatnya itu."Kenapa kalian tidak ada yang memberit
Sebilah pisau melesat cepat ke papan sasaran. Suara tancapannya begitu nyata memecah keheningan. Sekitar dua meter dari papan itu, terlihat Dokter Hardian dengan air muka yang mengerikan, napasnya memburu dengan rahang yang mengeras. Tatapan mata elangnya enggan berpindah dari papan sasaran tersebut. Bukan bentuk bundar papan itu yang membuatnya tidak mau berpaling, tetapi gambar si Kembar yang melapisi papan itulah yang membuatnya murka. Ia pun mengambil lagi pisau yang lain dan kembali melesatkannya.Bunyi yang serupa kembali terdengar untuk kedua kalinya. Lemparan yang sempurna dan sesuai harapan. Ujung pisau itu mampu menancap tepat di bagian gambar mata si Kembar. Meski begitu, ia tahu bahwa dirinya tidak akan merasa puas sebelum mengeksekusi si Kembar secara langsung.Ia pun bergerak menuju meja kecil dan meminum satu shot alkohol yang terletak di atasnya. Kemudian menghempaskan tubuh ke sofa tunggal, membiarkan rasa getir dan panas melewati batang keron
"Wah, kalian cantik sekali," ujar Mira sambil memeluk singkat Airel dan Airen secara bergantian. Tidak biasa memang ia melihat si Kembar memberikan sentuhan make-up pada wajah mereka. Keduanya terlihat sangat anggun dengan balutan gaun berwarna kelabu. "Terima kasih sudah mau datang."Si Kembar tersenyum pada Mira yang mengenakan jepit rambut berwarna biru muda senada dengan warna kacamatanya. Temannya itu terlihat sangat manis dan lucu sekali."Kami yang seharusnya berterima kasih padamu," balas Airel."Benar," imbuh Airen. "Semoga saja Sukma mau memberikan keterangan yang sangat membantu.""Semoga," balas Mira dengan senyuman tipis. "Selesai acara ini kita bisa langsung berbicara dengannya. Dia juga sudah setuju.""Ternyata pergerakanmu cepat juga ya. Dan kali ini, itu bukan hal yang gegabah," kata Airen.Mira memutar malas bola matanya lalu sedikit mencebik. Ia tahu Airen sedang mencandainya."Tapi aku harus minta maaf pad
Acara peresmian hotel ayah Mira telah selesai. Acara itu menjadi buah bibir tamu undangan karena kemegahannya. Banyak yang menggadang-gadangkan hotel itu akan terkenal. Selain karena tempat yang strategis, hotel itu juga memberikan penawaran fasilitas yang banyak dan tentu saja memanjakan pengunjungnya.Setelah mengikuti acara peresmian sampai usai, si Kembar dan Alfie berpisah. Alfie diajak oleh ayah Mira untuk berbincang dengan teman-teman mereka yang lain di lounge bar hotel, sedangkan si Kembar berjalan menuju salah satu koridor untuk mencari sebuah kamar. Sebelumnya Mira telah memberikan mereka sebuah kartu akses untuk masuk ke kamar tersebut. Akhirnya mereka pun sampai di kamar nomor 705, sesuai dengan yang diminta Mira. Sebuah kamar yang tak jauh dari pusat acara. Mira meminta mereka untuk menunggu dirinya dan Sukma di kamar."Hey, tunggu!" Terdengar teriakan laki-laki dari arah belakang si Kembar. Teriakan itu mampu menahan mereka agar tetap b
Melihat sikap angkuh Sukma pada Johan, membuat Airen sedikit kesal pada pantomimer wanita itu. Ia tak menyangka Sukma memiliki sikap yang buruk. Padahal saat menampilkan pertunjukan di acara peresmian, Airen sangat kagum dengan kepiawaian Sukma memainkan perannya. Dari pertunjukan itu, ia mengira Sukma adalah wanita yang lemah lembut dan ramah. Ternyata dugaannya salah. Mungkin ia harus setuju dengan istilah panggung pertunjukan bisa mengubah kepribadian para pelakon. Mereka hanya tinggal memakai topeng karakter yang ingin mereka tontonkan.Kini mereka berlima telah masuk ke dalam kamar dan duduk di kursi beludru yang melingkari meja kaca. Meski begitu tatapan Airen pada Sukma sedikit tidak bersahabat. Kalau bisa memilih, ia merasa lebih baik pulang daripada berbicara dengan orang yang sombong. Lagi pula untuk sebatas keterangan, mungkin ia bisa menemukan jawaban di tempat yang lain. Tetapi mengingat kembali tujuan awal dirinya dan Airel yang ingin mencari informasi sendiri d
Setelah perbincangan dengan Sukma selesai, si Kembar diminta Alfie untuk segera menemuinya di basemen hotel. Katanya ada hal penting yang ingin ia sampaikan."Sudah berapa lama Paman menunggu?" tanya Airel setelah memasuki mobil.Alfie yang duduk di kursi depan tak langsung menjawab. Ia masih fokus dengan tablet di tangannya. "Belum terlalu lama," katanya setelah merasa cukup lama menunda jawaban."Kita akan kemana lagi?" timpal Airen ragu-ragu."Paman rasa kita harus pulang," balas Alfie tanpa memalingkan pandangan dari benda pipih berbentuk persegi panjang yang masih dipegangnya.Si Kembar hanya memilih diam dan menuruti Alfie. Setelah beberapa menit membisu, Alfie pun menyerahkan tablet tadi pada Airen yang duduk di sebelahnya. Ia pun mulai mengendarai mobil."Tadi Paman mendapatkan informasi dari Ethereal mengenai beberapa orang yang sedang mereka selidiki, dan di antaranya termasuk orang- orang yang sedang kalian cari.""Apakah P
Airen merapikan rambutnya yang mulai jatuh dari telinga. Menyelipkannya kembali agar tidak menutupi sebagian wajah.Ia pun menggeser lagi layar tablet yang ada di tangannya. "Data ketiga ini berisi informasi detail seorang gadis yang sedikit membuatku kaget. Namanya Kanaya," ujarnya sambil menatap Airel sekilas. "Awalnya kumengira usianya di atas kepala dua karena fotonya terlihat lebih dewasa. Ternyata aku salah. Usia aslinya baru saja menginjak enam belas pada tahun ini. Selain itu yang membuat menarik adalah kembarannya. Kanaya memiliki kembaran berbeda gender yang bernama Frans.""Apa yang menarik? Bukankah kembar fraternal itu sudah biasa terjadi, bahkan persentasenya lebih tinggi dari kembar identik seperti kita," sanggah Airel."Ya, kau benar soal itu," kata Airen, "tetapi yang kumaksudkan dengan menarik di diri Frans bukanlah tentang dirinya sebagai kembar, melainkan bakat yang ia miliki."
Sebuah fakta tentang dua pasang kembar yang memiliki kegemaran serupa memanglah jarang sekali. Namun itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Contohnya Sukma dan kembarannya serta Kanaya dan Frans, keempatnya menyukai karakter Arsene Lupin. Walaupun mereka tumbuh menjadi karakter yang berbeda-beda, tetapi karakter fiksi Maurice Leblanc itu mampu menyatukan mereka.Airel yang baru menyadari fakta itu masih tersenyum tipis. "Aku semakin mengerti permainan ini dan bagaimana ia memainkannya," ujarnya santai tapi penuh penekanan."Apa yang kau tangkap?" selidik Alfie.Airel memasang tampang penuh percaya diri. "Bisa jadi Paman Yofi dan Anggi bukanlah target Dokter Hardian sebenarnya. Mereka hanya sebatas figuran yang pas untuk mengisi alur cerita yang dibuat oleh si penulis dalam pertunjukannya.""Kenapa kau bisa menyimpulkan demikian?""Di dalam buku merah terdapat berbagai cerita atau tulisan yang merujuk pada beberapa orang. Namun