Share

- 25 -

Penulis: Arsenerka
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-25 02:37:12

"Sepertinya kau begitu menguasai mengenai anatomi tubuh manusia. Walaupun masih muda, tapi kau terlihat sangat ahli dalam hal itu Bagaimana kau mempelajarinya?" tanya Bripka Adi sembari melepas baju operasi yang masih dikenakannya.

"Aku hanya belajar dari membaca dan menonton saja."

Bripka Adi mengernyitkan dahi tak percaya. Ia sangat yakin mana mungkin tanpa praktik langsung, seseorang bisa menguasai sebuah ilmu dengan mudahnya. Apa mungkin Airel adalah pengecualiannya? Atau ada jawaban lain yaitu Airel sedang menutupinya saja.

"Langsung ke ruangan Inspektur Yoga?" tanya Airel.

Bripka Adi mengangguk sebagai jawaban. Lalu mereka pun berjalan beriringan menyusuri koridor menuju ruangan Inspektur Yoga. Ruang operasi forensik sendiri memang masih satu kawasan dengan kantor kepolisian, hanya terpisah gedung namun tidak terlalu jauh.

"Kenapa Inspektur Yoga tidak ikut melihat secara langsung proses autopsi?" tanya Airel lagi sembari menyibak rambutnya.

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Ramalan Buku Merah   - 26 -

    Dokter Faiz Anhar, dokter muda yang baru bergabung di forensik kepolisian setahun terakhir. Sekilas penampilannya tidaklah seperti seorang dokter cenderung seperti selebritas Turki. Kulit yang terang dengan jambang tipis menjadi pemikat tambahan selain hidung mancungnya yang telah tertancap. Rumornya dokter muda itu memang memiliki darah keturunan arab, namun belum ada seorang pun yang memastikannya langsung.Meskipun terkenal pendiam, kinerja Dokter Faiz tak kalah mengangkat namanya. Dia bekerja sangat teliti, cepat dan hasilnya selalu memuaskan. Tak heran Dokter Doni yang terkenal perfeksionis pun sangat percaya padanya. Bahkan Dokter Doni dengan bangga pernah berkata bahwa Dokter Faiz adalah cerminan dirinya saat muda.Pagi itu Dokter Faiz melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan Inspektur Yoga. Ternyata sudah ada lima orang yang sudah menunggu kehadirannya. Ia pun langsung memberikan berkas hasil pemeriksaan forensik kepada Inspektur Yoga.Sejujurnya Dokt

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-01
  • Ramalan Buku Merah   - 27 -

    Anggi tertunduk lesu. Derai air mata mengalir deras di pipi. Sesekali ia menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit yang tengah dirasakan. Jemari tangan kanannya mengenggam sebuah benda dengan erat, sedangkan jari yang lain mencengkeram kuat ujung bajunya. Andai sanggup berteriak mungkin ia sudah melakukannya.Anggi dilema dengan apa yang tengah dirasakan. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa? Menerimakah atau menolaknya? Untuk sesaat menumpahkan air mata adalah pilihan terbaik.Seketika Anggi mendongakkan kepala dan mengusap air mata saat pintu kamarnya berderit. Tampak Mira masuk dengan wajah khawatir. Bagaimana tidak? Mira sangat cemas dengan keadaan Anggi yang sudah seharian mengurung diri di kamar. Sadar akan kedatangan Mira, Anggi langsung menyembunyikan dan menduduki benda yang tadi berada di genggamannya."Ada masalah apa, Gi?" tanya Mira pelan dan langsung duduk di samping Anggi.Anggi hanya menggeleng samar sebagai jawaban. Ia merasa mal

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-01
  • Ramalan Buku Merah   - 28 -

    Airen berjalan mondar-mandir di depan pintu. Sorot matanya terus tertuju pada lantai. Mulutnya menggigiti jari tangan kanan, sedangkan tangan kirinya terlipat ke dada menopang siku kanan. Wajah gusarnya tak bisa ia tutupi. Sesekali ia mengecek lagi ponselnya dan melakukan panggilan, namun semuanya berakhir nihil. Ia tak mendapati sesuatu yang bisa membuatnya tenang.Jarum jam terus berputar dan menunjukkan pukul dua pagi. Airel yang duduk di ruang tamu hanya bisa memperhatikan kegelisahan adiknya. Ia tahu sikap Airen menjadi demikian karena ucapannya mengenai sketsa wajah yang telah ia lihat."Kenapa sikapmu aneh, Ren?" Airel membuka suara dan memecah keheningan. "Kemarin kau keluar ruangan Inspektur Yoga sesuka hatimu, sekarang kau begitu khawatir mengenai Paman Alfie. Apa yang sebenarnya kau pikirkan?"Airen mengangkat wajahnya dan melempar pandangan ke Airel. "Bagaimana aku tidak khawatir setelah mendengar ceritamu? Apa kau lupa dengan ekspresi paman saat men

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-02
  • Ramalan Buku Merah   - 29 -

    Suasana kediaman Si Kembar tidak seperti biasanya. Pagi itu mereka harus sarapan tanpa Alfie. Biasanya mereka bertiga akan menyantap roti selai kacang dan cokelat hangat buatan Airel. Lalu membincangkan kejadian kemarin atau rencana yang akan dilakukan pada hari itu.Sesekali Airen masih mengecek ponselnya, mungkin saja ada kabar tentang Alfie. Namun terpaksa netranya lagi-lagi tidak mendapati kabar apa pun mengenai pamannya."Kita tunggu saja sampai nanti siang. Jika belum ada kabar dari paman, kita harus ambil tindakan," ujar Airel."Iya," balas Airen singkat.Airel meletakkan buku merah di meja. "Sekarang lebih baik kita pecahkan maksud dari deretan angka ini."Mata Airen tertuju pada delapan belas angka yang berderet itu. "231431512 623313936" tertera dengan jenis tulisan sancreek di sampul buku. Warnanya putih kusam namun tetap jelas terlihat pada buku yang berwarna merah darah."Apakah angka-angka ini mewakili

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-03
  • Ramalan Buku Merah   - 30 -

    "Dimana Paman Alfie? Bagaimana keadaannya sekarang?" Airel melempar tanya pada Inspektur Yoga."Ia masih tertidur di kamar," jawab Inspektur Yoga dengan suara baritonnya. "Apa yang sebenarnya terjadi? Sejak kemarin setelah selesai perbincangan kita mengenai hasil forensik, sikap Pak Alfie mendadak berubah. Dan dini hari tadi sekitar pukul tiga dia datang ke rumahku dalam keadaan mabuk. Apakah kalian sedang berselisih?"Airel mengedikkan bahunya. "Tidak sama sekali," balas Airel pelan. Ia merenungkan sikap Alfie yang tak seperti biasanya. Mulai dari tidak memberi kabar hingga mabuk berat, padahal sebelumnya Alfie tidak pernah mau meminum alkohol. "Tapi aku mungkin tahu penyebabnya," sambungnya lagi."Apa itu?" tanya Inspektur Yoga penasaran."Sketsa wajah jenazah kemarin sangat mirip dengan wajah sahabat Paman Alfie. Namun aku belum memastikan langsung padanya.""Hem, pantas saja ia terlihat bersedih.""Kita tunggu saja sampai ia sadar," usul

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-04
  • Ramalan Buku Merah   - 31 -

    Suasana di ruang tamu menjadihening. Alfie duduk di hadapan Airen dan Airel bak seorang yang sedang membuat pengakuan. Si Kembar memilih diam dan memasang wajah polos. Mereka menunggu Alfie bersuara lebih dulu.Alfie menghirup oksigen lalu mengembuskannya perlahan untuk mengatur irama pernapasannya. Meski kepalanya masih sedikit pening, tapi mengingat Yofi dan melihat wajah Si Kembar yang penuh harap membuatnya harus menguatkan diri lebih lama."Paman harap kalian bisa merahasiakan apa yang akan paman ceritakan terutama tentang diri paman sendiri," ujar Alfie memulai cerita dengan suara paraunya.Airen dan Airel mengangguk setuju.Alfie melirikkan bola matanya ke atas untuk mengingat-ingat kenangan masa lalunya. "Namanya adalah Yofi, lengkapnya Yofinus Andri. Semenjak pertemuan di pub malam itu, kami menjadi sangat akrab hingga dua tahun lamanya. Sampai suatu hari Yofi mengetahui rahasia paman."Airen mendebas kasar. "Hidup Paman terlalu bany

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-05
  • Ramalan Buku Merah   - 32 -

    "Jadi, apa alasannya menurut Paman?" ulang Airel penasaran dengan spekulasi Alfie mengenai alasan terbunuhnya Yofi.Alfie memegang dagu seolah sedang mengingat sambil berpikir. "Untuk bergabung dengan Ethereal tidaklah mudah. Kami harus melewati penilaian yang rumit. Setelah lolos pun kami juga akan diberi pelatihan tambahan dan ditempa untuk meningkatkan potensi diri sehingga tidak heran kalau beberapa anggota Ethereal memiliki kemampuan atau keahlian khusus di bidang tertentu, termasuk Yofi.""Memangnya apa keahliannya?"Alfie menerawang pandangannya ke langit-langit. Kepalanya kembali dipenuhi dengan ingatan tentang sahabatnya itu. Wajah sendu yang selalu membuatnya kagum karena dalam sekejap Yofi bisa mengubah wajahnya ke dalam bentuk paras lain. Ia juga selalu ingat ucapan Yofi saat melakukan peyamaran. "Janganlah melihat seseorang dari parasnya, karena semua itu akan menipumu. Sekarang aku sedang melakukannya." Kini ia hanya bisa tersenyum getir menerima k

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Ramalan Buku Merah   - 33 -

    Airel mengamati keadaan sekitarnya sembari menunggu seseorang. Pandangannya menyapu seisi ruangan yang luasnya tak lebih dari empat meter persegi. Pada ruangan itu terdapat meja kayu kecil yang menempel ke dinding dan sebuah telepon kabel di atasnya. Tepat di hadapan Airel juga ada ruangan lain yang ukurannya sama dengan ruangan yang sedang ditempatinya. Kedua ruangan itu hanya terpisah oleh kaca tebal yang kemudian dipagari oleh terali besi.Sosok yang ditunggu Airel pun tiba. Seorang lelaki bertubuh tegap mengenakan baju biru dongker masuk bersama seorang sipir ke dalam ruangan yang ada di depannya. Lelaki itu pun duduk tepat di hadapan Airel dengan tatapan kemarahan. Sorot matanya seakan menyuarakan apa yang ada di benaknya."Waktu kunjungannya sepuluh menit," ujar sipir itu lalu keluar dan menunggu di balik pintu kaca."Bagaimana keadaanmu, Ed?" tanya Airel pada Edi.Bukannya menjawab, Edi malah kembali mencecar dengan tanya. "Cih, aku muak dengan bas

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-09

Bab terbaru

  • Ramalan Buku Merah   - 107 -

    Ingin rasanya Hardian mengelak dari tuduhan Airel, tetapi ia tidak punya alasan untuk membantah. Membunuh Yofi memang bukan kemauannya. Itu adalah permintaan dari Juno. Seharusnya ia menargetkan Sukma terlebih dahulu. Namun, Juno memaksanya untuk merubah target dan ia pun harus melakukan hal tersebut. Saat itu Juno mengatakan bahwa Yofi akan mempersulit pergerakan mereka. Selain itu karakteristik yang dimiliki Yofi juga memiliki kemiripan dengan tulisan Hardian yang ada di buku merah—ahli menyamar dan penggemar Lupin—sehingga itu tidak akan terlihat berbeda dari rencana awal. Oleh karena itu, selain dari tekanan yang diberikan Juno, Hardian pun terpaksa setuju. Jika memang perkataan Juno benar, maka ia tidak ingin Yofi menjadi penghalang dalam eksekusi rencananya. "Kenapa kau bisa berkata demikian?" selidik Hardian sekaligus mencari celah untuk mengelak. "Karena aku tahu kau tidak bergerak sendirian.""Apa buktinya?" tantangnya lagi. "Kau bicara seperti itu seakan aku tidak mempers

  • Ramalan Buku Merah   - 106 -

    Airel mengadu pandangan Hardian tanpa gentar sedikit pun. Meskipun lelaki itu mulai terselimuti amarah, Airel berusaha tetap tenang agar bisa mengontrol keadaan. Ia pun menegakkan tubuhnya dengan duduk setengah menyandar, kemudian berkata, "Mungkin kau akan merasa puas setelah menyingkirkan mereka, tapi tidakkah kau sadar akibat dari yang telah kau lakukan? Ayah angkatmu hampir saja mendekam di penjara atas tindakan yang tidak pernah dilakukannya. Lalu apa bedanya kau dengan orang-orang yang pernah jahat padamu?" tutur Airel. Kata-kata Airel seketika membuat ingatan Hardian kembali pada masa kecilnya. Sejak kecil ia memang sudah terlihat berbeda dengan anak seusianya. Ia lebih tertarik dengan hal yang dilakukan oleh orang dewasa, bahkan sangat senang mempelajari sesuatu yang rumit. Tak heran jika ia tergolong sebagai anak yang cerdas di lingkungannya. Kurniawan—ayah angkat Hardian—bukanlah tipe orang tua yang akrab dengan anak-anaknya, tetapi ia tidak juga membenci mereka. Alasan i

  • Ramalan Buku Merah   - 105 -

    "Apa maksudmu menunjukkan gambar itu?" tanya Hardian. "Kau memang lupa atau sedang berpura-pura," sindir Airel. "Bagaimana mungkin kau tidak ingat sama sekali dengan tempat itu."Tempat yang dimaksudkan Airel adalah gambar sebuah panti asuhan yang sedang ditampilkan oleh proyektor. Panti asuhan itu pernah berdiri lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Sayangnya, tempat penampungan yatim piatu tersebut terpaksa ditutup sepuluh tahun belakangan ini dikarenakan kurangnya donatur. Berdasarkan hasil penelusuran yang didapatkan Ethereal, mereka yakin panti asuhan tersebut merupakan tempat yang pernah membesarkan Hardian. "Aku tidak paham maksudmu," elaknya lagi. "Kau yakin tidak paham?" pancing Airel. Hardian menyengir. "Usaha yang cukup bagus untuk mendesakku, tetapi aku tetap tidak mengerti arah pembicaraanmu.""Jadi, kau tidak mau mengaku?" desak Airel lagi. "Pengakuan seperti apa yang kau mau? Jangan terlalu membuang waktu dengan gambar semacam itu."Airel sadar Hardian sedang beru

  • Ramalan Buku Merah   - 104 -

    Setelah Alfie menjelaskan rencananya pada Inspektur Yoga. Akhirnya polisi muda itu pun setuju untuk melakukannya. Sebagai langkah awal, Alfie memercayakan Airel untuk melakukan interogasi kembali terhadap Hardian. Kini gadis bersurai hitam itu telah menunggu di ruangan yang ukurannya tidak lebih dari dua belas meter persegi. Ruangan itu tidak tampak seperti ruangan interogasi. Suasananya begitu hangat dan tenang yang didominasi oleh warna hijau pastel. Airel duduk di atas kursi kayu dengan kaki menyilang. Tepat di hadapannya ada sebuah meja persegi kecil dan kursi lain yang sengaja disediakan untuk Hardian. Ruangan itu terhubung dengan ruangan lain yang dipisahkan oleh cermin satu arah. Sehingga ruangan tersebut bisa diamati dari ruangan sebelahnya di mana telah ada Airen dan Alfie yang turut mengawasi.Selang beberapa menit kemudian, daun pintu di ruangan Airel terbuka. Tampak seorang sipir dan Hardian berdiri di bibir pintu. Sipir itu langsung melangkah masuk dan menuntun Hardian du

  • Ramalan Buku Merah   - 103 -

    Belum genap pukul sepuluh pagi, Alfie dan si Kembar sudah menghadap Inspektur Yoga. Kali ini suasana tidak seperti biasanya yang lebih santai. Raut Inspektur Yoga jelas sedang menuntut penjelasan. "Terima kasih sudah mau datang memenuhi permintaanku. Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, aku hanya ingin melanjutkan pembicaraan di telepon kemarin," ujar Inspektur Yoga memulai pembicaraan. "Tentu saja," timpal Alfie sambil mengangguk samar. "Memang untuk itu kami datang kemari."Inspektur Yoga menegakkan tubuh diikuti tatapan serius. Kedua tangannya tertumpu di meja. "Jujur saja aku tidak bermaksud menuduh kalian di sini. Kami—pihak kepolisian—hanya menemukan banyak ketimpangan setelah menginterogasi Hardian. Jadi, aku harap kalian bisa mengerti dan mau membantu." Kata-kata itu membuat Alfie mengukir senyuman tipis di bibir. "Sangat halus sekali pernyataanmu barusan, tetapi penuh keyakinan bahwa kami memang menyembunyikan sesuatu dari kepolisian. Aku suka cara seperti itu.""Saya tidak

  • Ramalan Buku Merah   - 102 -

    Alfie buru-buru keluar dari kamar sambil membawa laptop. Ia berjalan menuju ruang tengah dan menghampiri si Kembar yang sedang bercengkerama. "Kalian sedang sibuk?" tanyanya basa-basi sembari menatap si Kembar bergantian. "Tidak," sahut Airen dengan mulut masih mengunyah makanan. "Sepertinya Paman ingin membicarakan hal yang penting.""Ya, kurang lebih begitu."Mendengar balasan itu, Airel langsung beringsut ke samping untuk memberikan ruang agar Alfie bisa duduk di sampingnya. "Apa yang ingin Paman bicarakan?" tanyanya setelah Alfie duduk. Lelaki berambut putih itu meletakkan laptop di meja. Roman wajahnya tampak serius. "Paman sudah mendapatkan hasil pemeriksaan ponsel yang Airel berikan kemarin. Hasilnya sesuai dengan apa yang Paman perkirakan."Airen langsung menyudahi makannya. Seketika ia menjadi penasaran. Ia taruh bantal kursi ke pangkuan dan memasang kuping lebar-lebar. Tampangnya jelas sudah tidak sabar menunggu penuturan lanjutan dari Alfie. "Aku coba tebak," sela Aire

  • Ramalan Buku Merah   - 101 -

    Setelah beberapa saat, Inspektur Yoga tetap tak kunjung bicara. Bripka Adi mulai merasa terintimidasi dengan tatapan tajam itu. "Maaf, Pak. Kenapa saya dilihat seperti itu?" tanya Bripka Adi ragu-ragu. Inspektur Yoga langsung mengalihkan pandangan. "Maaf, jika membuatmu jadi tidak nyaman. Aku hanya ingin memastikan kau sudah yakin dengan seluruh deduksimu.""Yakin? Saya tidak mengerti maksud Bapak.""Begini," ucapnya sepatah seraya menarik napas dalam-dalam. "Penjelasanmu sejauh ini sudah sangat logis. Namun, coba pikirkan baik-baik tentang pernyataanmu mengenai Hardian yang memanfaatkan pelecehan Anggi untuk menjerat Edi ke penjara. Kalau memang demikian, maka bagaimana cara Hardian memunculkan kasus itu ke publik? Apa yang sudah dilakukannya?" lanjutnya lagi. Pertanyaan itu membuat Bripka Adi terdiam. Ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Memang terkesan sepele, tetapi bisa menjadi petunjuk. Seketika otaknya mulai berpikir mengapa kasus pelecehan itu bisa tersebar. Sejau

  • Ramalan Buku Merah   - 100 -

    Inspektur Yoga sudah duduk tersandar di kursi kerjanya. Ia sedang menunggu laporan dari Bripka Adi. Setelah melihat jam tangan sekilas, seharusnya Bripka Adi akan tiba dalam waktu lima menit. Entah kenapa hari itu ia tidak sabar menunggu. Padahal biasanya ia lebih santai karena merasa segala kejadian pasti akan dilaporkan. Apa mungkin karena Bripka Adi membawa laporan penyidikan tentang Hardian? Ya, mungkin memang karena itu. Sehari sebelumnya ia telah memercayakan kepada Bripka Adi untuk melakukan interogasi terhadap Hardian. Sebenarnya ia ingin melakukan itu sendiri. Namun, karena adanya pekerjaan lain yang tidak bisa ditunda, ia pun terpaksa meminta Bripka Adi menggantikannya. Belum sampai lima menit menunggu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Itu pasti Bripka Adi pikirnya. "Masuk!" titahnya tanpa melepaskan pandangan dari pintu ruangan kerja. Benar saja, Bripka Adilah yang datang. Pria itu berjalan dengan langkah tegap menghampiri meja Inspektur Yoga sembari membawa se

  • Ramalan Buku Merah   - 99 -

    Waktu telah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit saat mobil Alfie dan Airel memasuki halaman rumah. Seharusnya mereka bisa tiba lebih cepat kalau saja Alfie tidak mengajak Airel mampir ke sebuah kedai kopi. Katanya ingin bertemu dengan teman lama. Airel tentu saja tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Di kedai itu, mereka duduk di meja yang terpisah. Alfie dan temannya duduk di pinggir, sedangkan Airel duduk di sudut ruangan. Airel bisa memaklumi itu, mungkin saja ada pembicaraan yang tidak seharusnya ia boleh dengar. Saat berdiri di depan rumah, mereka bisa melihat ruangan tamu dan lantai atas tampak terang. Itu artinya Airen sudah tiba duluan. Biasanya kalau rumah itu kosong, mereka hanya menyalakan lampu teras saja. Setelah masuk ke rumah. Ternyata Airen sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya sedikit cemberut. "Kemana saja kalian?" tanyanya dengan tatapan tajam. "Inspektur Yoga bilang kalian sudah pulang sore tadi, harusnya kalian sudah sampai di rumah tidak s

DMCA.com Protection Status