Galen menatap amplop di tangannya, jari-jarinya mencengkeram kertas itu begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Udara di ruangan seolah menipis, sementara waktu melambat di sekeliling mereka.Maiza, yang sejak tadi memperhatikan perubahan ekspresi Galen, merasakan dadanya mencengkeram ketakutan. Kedua tangannya bertaut erat di pangkuan, jemarinya saling memilin tanpa sadar. Ia tidak tahu apa yang membuat wajah pria itu begitu tegang—begitu … hancur.“Galen …?”Suara Maiza hampir berbisik, ragu-ragu. Namun Galen tidak menjawab. Ia hanya mengangkat amplop itu, membukanya dengan gerakan kaku, lalu menarik lembaran kertas di dalamnya.Tatapan abu-abu itu menyapu isi laporan. Matanya yang semula dipenuhi kebimbangan kini membelalak, rahangnya mengeras, dan napasnya tertahan.Tidak mungkin.Galen menelan ludah. Ia membaca ulang angka-angka yang tertera, berharap ada kesalahan.“Hubungan darah: 30% …”Angka itu m
Galen merasakan punggungnya menegang seketika. Jemari Maiza yang masih dalam genggamannya terasa membeku, dan dia tahu perempuan itu kini menatapnya dengan sorot yang penuh tanda tanya.Anak kecil yang memanggilnya "Ayah" itu kini menatapnya dengan mata berbinar, penuh harapan yang menyayat hati."Ayah lama sekali tidak menemui Galang," bocah itu mengulangi, suaranya terdengar manja tapi juga sedikit bergetar, seolah takut Galen benar-benar lupa.Galen menoleh perlahan, pandangannya jatuh pada anak itu—bocah lelaki dengan rambut hitam berantakan dan mata yang mengingatkannya pada seseorang."Apa yang kalian lakukan di sini?" Suaranya terdengar lebih dingin dari yang ia maksudkan, tapi dia benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Anak itu mengerutkan dahi, bibir mungilnya sedikit mengerucut, lalu berbalik ke arah gadis muda yang menggandeng tangannya. "Kak, kenapa Ayah bersikap aneh?" tanyanya polos.Maiza tercekat. Ma
Teman-temannya segera menghampiri, tawa mereka pecah saat tubuh Maiza yang tak berdaya diangkat ke atas meja bundar tempat mereka bermain kartu. Salah satu dari mereka mulai melucuti pakaian terluar Maiza, namun gerakannya langsung dihentikan oleh dorongan kasar dari rekannya."Gue yang punya ide! Gue duluan!" bentaknya, mendorong pria lain mundur."Lu pikir siapa? Gue paling senior di sini!" balas yang lain, tak mau kalah.Perdebatan sengit terjadi. Suara mereka meninggi, saling menuding dan mengklaim hak atas tubuh perempuan yang tak berdaya di hadapan mereka. Namun akhirnya, kesadaran bahwa waktu terus berjalan dan mereka membuang-buang kesempatan membuat mereka memilih solusi lain. Salah satu dari mereka mengambil botol kaca bekas minuman dan memutarnya di tanah. Saat botol itu berhenti, ujungnya menunjuk pada seorang pria bertubuh kekar yang langsung menyeringai lebar.Dengan rakus, dia mulai membuka kancing kemejanya, bersiap melampiaskan ni
"Lepaskan! Menjauh dariku! Aku pasti cuma berhalusinasi—SIAPA KAMU SEBENARNYA?!" teriak Maiza, tubuhnya gemetar hebat, isakan lolos dari bibir yang pucat. Galen tertegun. Napasnya tercekat mendengar suara istrinya yang terdengar begitu asing. "Mai… please, jangan begini. Ini aku, Galen. Galen, suami kamu, Sayaaang," ucapnya memohon, mencoba mendekap tubuh Maiza lagi, tapi perempuan itu menepis dengan kasar. Akhirnya, dengan berat hati, Galen merengkuh tubuh itu ke dalam dekapannya. Tak ada kata yang diucap. Hanya pelukan erat yang menjadi penahan bagi tangan-tangan yang sempat memberontak. "Aku ingat... waktu itu Ayah dan Bunda mau ajak aku naik bianglala raksasa," Maiza mulai meracau di antara tangisnya. "Tapi... kami nggak pernah sampai. Ada darah... banyak darah... dan Bunda memelukku... Aku takut... aku nggak mau naik bianglala raksasa! Aku nggak mau...!" Kalimat itu terulang lagi dan lagi, seperti kaset
“Aaarrrgh!?” Suara letusan memecah malam, bersamaan dengan jeritan Galen yang menyayat. Namun, tubuhnya tetap meluncur masuk ke dalam pipa pembuangan yang sudah dirusaknya lebih dulu—pelarian terakhir yang ia punya.Pintu kamar mandi didobrak paksa. Tiga pria berpakaian serba hitam menyerbu masuk dan langsung menghujani ruangan dengan tembakan brutal. Cipratan darah membekas di dinding dan lantai, menyisakan jejak yang mengerikan.“Dia nggak akan bertahan lama dengan peluru beracun kita! Cari barangnya di setiap sudut!” bentak pemimpin mereka dengan suara dingin dan menakutkan.Sementara itu, di dalam mobil yang melaju tak tentu arah, Maiza menatap pria yang duduk di balik kemudi dengan pandangan terpaku. Ketakutan makin menyesakkan dadanya.“Ka–kamu bukan Galen?” suaranya nyaris tak terdengar, tercekat oleh rasa ngeri.Dia mencuri pandang, berharap sang penolong hanyalah Galen yang menyamar—tapi tidak. Sosok itu menoleh sekilas, wajahnya
Senyum Kalingga memudar kala mendengar suara gaduh dari ruang tamu.Di sana, berdiri tiga orang pria berbadan besar yang wajahnya seperti ditorehkan amarah. Salah satu dari mereka sedang menunjuk-nunjuk ayahnya—Pak Kasno, yang berdiri gemetaran dengan tongkat kayunya. "Pak Kasno, kita dah kasih banyak waktu buat Bapak! Dan kita sudah cukup bersabar untuk ini! Kalau nggak bisa bayar sekarang, keluarkan semua barang-barang dan keluar dari rumah ini!" bentak salah satu pria, wajahnya memerah. "Bapak belum bisa kalo hari ini, Bang. Beri Bapak waktu lagi," Suara Pak Kasno serak dan lemah. "Berapa lama lagi? Tahun depan? Atau sampai kamu terbujur kaku?" Melihat itu, Kalingga segera berlari ke dalam rumah, menyelipkan tubuhnya di antara ayahnya dan para penagih utang. "Pak, ini ada apa?!" Pria bertubuh kekar menatap Kalingga dari ujung kepala sampai kaki. "Kamu anaknya? Bagus. Bapak kamu utang, harus dibayar lunas hari ini!" "Jangan bawa-bawa anak saya!" Pak Kasno berseru, meski
"Tunggu!" Seorang pria muda berpakaian rapi datang tergesa. Wajahnya serius, tatapannya langsung tertuju pada Juragan Sagara. "Saya tidak bisa membiarkan ini terjadi begitu saja," katanya tegas. Kalingga yang tengah memandangi jemarinya yang saling memilin mendongak dengan mata membesar. Harapan terselip di hatinya, tetapi sirna ketika pria itu berhenti di hadapan Juragan Sagara, dan bukan dirinya. “Ini tidak benar,” lanjut pria itu dengan nada tegas, menatap tajam ke arah sang Juragan. Juragan Sagara tersenyum tipis, santai, seakan protes itu angin lalu. Namun, sebelum ia menjawab, langkah lain terdengar di belakang pria itu. Seorang laki-laki tinggi dengan wajah dingin dan sorot mata tajam muncul di lorong. Gala Sagara. “Kenapa Papa memanggilku ke sini?” tanya Gala langsung, tanpa basa-basi. Tatapannya menusuk sang ayah, tanpa memperhatikan siapa pun di sekitarnya. Juragan Sagara melipat tangan di dada, wajahnya serius. “Aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar. I
Di tengah tangis, Kalingga mendongak dan menatap suaminya dengan mata yang basah. "Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri," bisiknya lemah. "Semua ini salahku. Ayah pergi karena aku terlalu sibuk mengejar mimpiku." Gala terdiam. Ia bukan tipe pria yang mudah menenangkan orang lain. Tetapi pandangannya terhadap Kalingga berubah, tidak lagi hanya melihat gadis lugu yang menjadi istri keduanya, tetapi seseorang yang benar-benar kehilangan. Di sudut ruangan, Ilman berdiri dengan ekspresi penuh perhatian, tetapi tanpa sepatah kata pun. Ada ketulusan dalam tatapannya, membuat suasana menjadi semakin hening. Beberapa jam kemudian, dokter keluar membawa kabar buruk, Pak Kasno tidak dapat diselamatkan. Keadaan tubuhnya terlalu lemah untuk bertahan lebih lama. Jenazah Pak Kasno segera dikebumikan dini hari itu juga, sesuai tradisi setempat. Gala yang terbiasa dengan kehidupan mewah, merasa canggung berada di lingkungan sederhana rumah Kalingga. Ia sempat berniat kembali ke hotel
“Aaarrrgh!?” Suara letusan memecah malam, bersamaan dengan jeritan Galen yang menyayat. Namun, tubuhnya tetap meluncur masuk ke dalam pipa pembuangan yang sudah dirusaknya lebih dulu—pelarian terakhir yang ia punya.Pintu kamar mandi didobrak paksa. Tiga pria berpakaian serba hitam menyerbu masuk dan langsung menghujani ruangan dengan tembakan brutal. Cipratan darah membekas di dinding dan lantai, menyisakan jejak yang mengerikan.“Dia nggak akan bertahan lama dengan peluru beracun kita! Cari barangnya di setiap sudut!” bentak pemimpin mereka dengan suara dingin dan menakutkan.Sementara itu, di dalam mobil yang melaju tak tentu arah, Maiza menatap pria yang duduk di balik kemudi dengan pandangan terpaku. Ketakutan makin menyesakkan dadanya.“Ka–kamu bukan Galen?” suaranya nyaris tak terdengar, tercekat oleh rasa ngeri.Dia mencuri pandang, berharap sang penolong hanyalah Galen yang menyamar—tapi tidak. Sosok itu menoleh sekilas, wajahnya
"Lepaskan! Menjauh dariku! Aku pasti cuma berhalusinasi—SIAPA KAMU SEBENARNYA?!" teriak Maiza, tubuhnya gemetar hebat, isakan lolos dari bibir yang pucat. Galen tertegun. Napasnya tercekat mendengar suara istrinya yang terdengar begitu asing. "Mai… please, jangan begini. Ini aku, Galen. Galen, suami kamu, Sayaaang," ucapnya memohon, mencoba mendekap tubuh Maiza lagi, tapi perempuan itu menepis dengan kasar. Akhirnya, dengan berat hati, Galen merengkuh tubuh itu ke dalam dekapannya. Tak ada kata yang diucap. Hanya pelukan erat yang menjadi penahan bagi tangan-tangan yang sempat memberontak. "Aku ingat... waktu itu Ayah dan Bunda mau ajak aku naik bianglala raksasa," Maiza mulai meracau di antara tangisnya. "Tapi... kami nggak pernah sampai. Ada darah... banyak darah... dan Bunda memelukku... Aku takut... aku nggak mau naik bianglala raksasa! Aku nggak mau...!" Kalimat itu terulang lagi dan lagi, seperti kaset
Teman-temannya segera menghampiri, tawa mereka pecah saat tubuh Maiza yang tak berdaya diangkat ke atas meja bundar tempat mereka bermain kartu. Salah satu dari mereka mulai melucuti pakaian terluar Maiza, namun gerakannya langsung dihentikan oleh dorongan kasar dari rekannya."Gue yang punya ide! Gue duluan!" bentaknya, mendorong pria lain mundur."Lu pikir siapa? Gue paling senior di sini!" balas yang lain, tak mau kalah.Perdebatan sengit terjadi. Suara mereka meninggi, saling menuding dan mengklaim hak atas tubuh perempuan yang tak berdaya di hadapan mereka. Namun akhirnya, kesadaran bahwa waktu terus berjalan dan mereka membuang-buang kesempatan membuat mereka memilih solusi lain. Salah satu dari mereka mengambil botol kaca bekas minuman dan memutarnya di tanah. Saat botol itu berhenti, ujungnya menunjuk pada seorang pria bertubuh kekar yang langsung menyeringai lebar.Dengan rakus, dia mulai membuka kancing kemejanya, bersiap melampiaskan ni
Galen merasakan punggungnya menegang seketika. Jemari Maiza yang masih dalam genggamannya terasa membeku, dan dia tahu perempuan itu kini menatapnya dengan sorot yang penuh tanda tanya.Anak kecil yang memanggilnya "Ayah" itu kini menatapnya dengan mata berbinar, penuh harapan yang menyayat hati."Ayah lama sekali tidak menemui Galang," bocah itu mengulangi, suaranya terdengar manja tapi juga sedikit bergetar, seolah takut Galen benar-benar lupa.Galen menoleh perlahan, pandangannya jatuh pada anak itu—bocah lelaki dengan rambut hitam berantakan dan mata yang mengingatkannya pada seseorang."Apa yang kalian lakukan di sini?" Suaranya terdengar lebih dingin dari yang ia maksudkan, tapi dia benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Anak itu mengerutkan dahi, bibir mungilnya sedikit mengerucut, lalu berbalik ke arah gadis muda yang menggandeng tangannya. "Kak, kenapa Ayah bersikap aneh?" tanyanya polos.Maiza tercekat. Ma
Galen menatap amplop di tangannya, jari-jarinya mencengkeram kertas itu begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Udara di ruangan seolah menipis, sementara waktu melambat di sekeliling mereka.Maiza, yang sejak tadi memperhatikan perubahan ekspresi Galen, merasakan dadanya mencengkeram ketakutan. Kedua tangannya bertaut erat di pangkuan, jemarinya saling memilin tanpa sadar. Ia tidak tahu apa yang membuat wajah pria itu begitu tegang—begitu … hancur.“Galen …?”Suara Maiza hampir berbisik, ragu-ragu. Namun Galen tidak menjawab. Ia hanya mengangkat amplop itu, membukanya dengan gerakan kaku, lalu menarik lembaran kertas di dalamnya.Tatapan abu-abu itu menyapu isi laporan. Matanya yang semula dipenuhi kebimbangan kini membelalak, rahangnya mengeras, dan napasnya tertahan.Tidak mungkin.Galen menelan ludah. Ia membaca ulang angka-angka yang tertera, berharap ada kesalahan.“Hubungan darah: 30% …”Angka itu m
Setengah berlari, Galen membopong Maiza masuk ke dalam lift."Apa yang terjadi padamu, Mai? Maaf ... buka matamu!" isaknya, menyandarkan tubuhnya ke dinding lift. Penyesalan merayap dalam setiap tarikan napasnya, menggerogoti hati hingga terasa sesak.Dia menatap wajah Maiza yang terpejam, pipinya masih terasa hangat menempel di dadanya. Mata Galen mulai berembun. Kilasan kejadian barusan berputar di benaknya seperti film yang diputar ulang tanpa henti.'Kamu bo-doh, Galen! I–diot! To–lol! Jika sesuatu terjadi pada Maiza, lepaskan dia!'Sumpah serapah membanjiri pikirannya. Tanpa suara, air matanya menetes, jatuh ke pipi Maiza yang dingin. Dengan hati penuh sesal, ia mengecup kening perempuan itu.Ting!Pintu lift terbuka. Galen langsung melangkah keluar, setengah berlari menuju ambulans yang telah menunggu.Sirine meraung, mengiringi perjalanan menuju rumah sakit. Di dalam ambulans, seorang petugas medis dengan sigap berusaha menyadarkan Maiza. Selimut yang membungkus tubuhnya sediki
"Maiza?" gumam seorang pria di antara mereka, matanya terbelalak saat melihat sosok yang kini berdiri di depan.Maiza menarik napas dalam, menenangkan detak jantungnya sebelum memperkenalkan diri sebagai calon pemimpin baru yang akan mengambil alih kendali perusahaan. Sementara itu, suaminya—Galen—akan melanjutkan pendidikannya terlebih dahulu."Mohon kerja sama dan bimbingannya." Maiza menundukkan kepala dengan penuh hormat. Ruangan rapat dipenuhi tepuk tangan sebagai bentuk penerimaan.Pada sesi terakhir sebelum rapat ditutup, Maiza diperkenalkan kepada para pimpinan cabang yang kini berada di bawah wewenangnya. Satu per satu ia bersalaman, hingga tibalah ia di hadapan seseorang yang membuat langkahnya sedikit goyah."Pa—man?" gumamnya, gugup.Wishaka—mantan ayah mertuanya—tersenyum tipis, ekspresinya ramah di mata orang lain, tetapi bagi Maiza, senyum itu mengandung sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.Wishaka meninggalkan Widuri—Mama Catra karena menganggap Citra bukan dara
Satu bulan dalam persembunyian, akhirnya Galen kembali menemui Biantara dan Selena. Sesuai dengan rencana yang telah disusun matang, Biantara menyerahkan seluruh asetnya kepada Maiza, menjadikannya pimpinan tertinggi. Kemampuan Maiza sebagai dosen manajemen yang telah teruji membuatnya layak memegang kendali atas perusahaan milik Biantara.Hari ini adalah momen penting—peresmian penyerahan jabatan sekaligus pengalihan aset di hadapan dewan direksi. Di dalam ruangan kerja Biantara, Maiza dan Galen menunggu giliran mereka dipanggil ke ruang rapat.Maiza melangkah perlahan, menyusuri setiap sudut ruangan yang sebentar lagi akan menjadi kantornya. Ada perasaan asing yang menjalar di hatinya, campuran antara harapan dan ketakutan. Bayangan masa lalu berkelebat di benaknya—saat rumah tangganya hancur berantakan, saat ia kehilangan arah, saat hatinya nyaris mati.Di salah satu sudut, matanya tertumbuk pada rak buku besar yang penuh dengan berkas dan dokumen tua. Jemarinya tanpa sadar bergera
Di sebuah ruangan tersembunyi di dalam mansion mewah, Biantara duduk gelisah, jemarinya mengetuk meja kaca di depannya berulang kali. Selena berdiri di dekat jendela, memeluk tubuhnya sendiri. Suasana malam yang biasanya terasa nyaman kini terasa mencekik."Kita dalam bahaya, Biantara." Suara Selena penuh kecemasan. "Ilman … dia tahu terlalu banyak. Dan kalau Hastanta tahu siapa kamu sebenarnya, kita tamat!"Biantara mendongak, menatap Selena dengan mata tajam. "Aku tahu.""Kalau tahu, kenapa masih duduk diam?! Kita harus melakukan sesuatu sebelum semua berantakan!"Biantara menarik napas panjang. "Dan itu yang sedang kupikirkan. Masalahnya, aku belum tahu pasti siapa Ilman ini. Dari mana dia bisa mendapatkan dokumen-dokumen itu? Siapa yang ada di belakangnya?"Selena menggigit bibirnya. "Aku tidak pernah mendengar nama Ilman dalam jaringan Hastanta. Dia bukan orang dalam … tapi bagaimana dia bisa mendapatkan informasi tentang kita?"