“Kamu pasti mau kan?” Aliya meraih pergelangan tangan Rubi dan mencengkeramnya dengan kuat. Sehingga Rubi yang terkejut pun sontak melangkahkan satu kakinya ke belakang.
“Jangan membuatku takut! Ada apa dengan kamu sebenarnya?” Rubi benar-benar tidak mengerti dengan sikap Aliya kali ini. Apa benar wanita itu serius ingin mencarikan istri untuk suaminya? Tapi kenapa?
Berbagai pertanyaan itu terus bersarang di kepala Rubi saat ini. Dia dapat melihat tatapan mata Aliya yang tampak memohon padanya.
“Tolong kamu terima tawaran aku ini. Aku janji aku akan melunasi semua hutang kamu, dan memberikanmu hidup yang lebih layak dari pada kehidupanmu saat ini.”
Perkataan dari Aliya membuat Rubi teringat dengan pekerjaan kotornya selama ini. Selama dia bekerja sebagai wanita malam dia selalu menangisi nasibnya setelah selesai melayani pelanggan hidung belang yang datang padanya.
Dia bukannya tak ingin mencari pekerjaan lainnya. Rubi sudah pernah mencobanya, namun dia selalu gagal karena latar belakangnya yang tidak jelas.
“Kamu serius Al?” tanya Rubi yang mulai tertarik dengan penawaran yang diberikan oleh Aliya. Meski Rubi masih merasa aneh dengan sikap Aliya yang tiba-tiba seperti ini padanya, namun Rubi tetaplah manusia biasa.
Rubi ingin berhenti dari pekerjaan hinanya ini. Dia sudah bertahun-tahun menjadi tempat sampah bagi pria yang ingin bersenang-senang sambil menghianati istri dan keluarganya di rumah. Dan lagi, Rubi bisa membalas dendam atas apa yang pernah dilakukan Aliya padanya dulu. Lagi pula wanita itu sudah tidak waras sekarang. Mana ada seorang istri yang menginginkan suaminya menikahi wanita seperti dirinya.
“Bagaimana?” tanya Aliya penuh harap.
“Baiklah. Aku terima tawaran kamu. Kapan aku harus menjadi istri kedua suami kamu?”
“Nanti malam aku akan bawa kamu makan malam di rumahku. Sekaligus memperkenalkan kamu dengan suami dan mertuaku. Tapi sebelum itu kamu harus merubah penampilanmu.” Aliya mengeluarkan salah satu kartu kreditnya dan memberikannya pada Rubi.
“Ambilah. Cat rambutmu menjadi hitam dan beli baju yang mahal. Kamu boleh habiskan berapapun untuk merubah penampilan norakmu ini.”
Rubi mengepalkan tangannya begitu kesal. Dia benar-benar merasa terhina dengan perkataan yang keluar dari mulut wanita itu. Jika bukan karena ia menginginkan uangnya, Rubi tentu tidak mau lagi berurusan lagi dengannya.
Diambilnya kartu kredit itu dari tangan Aliya oleh Rubi. Setelah itu Aliya pamit untuk pergi bahkan sebelum dia sempat duduk di sana.
“Pinnya 232629. Aku harus ke kantor sekarang. Aku akan menjemputmu pukul setengah tujuh nanti. Jadi sebaiknya kamu sudah siap sebelum aku datang. Karena aku benci menunggu orang lain.” Setelah mengatakan itu, Aliya melangkah pergi meninggalkan rumah kumuh tersebut.
Rubi menatap kartu kredit yang ada di tangannya saat ini, “Aku akan buat kamu menyesal sudah melakukan hal ini Aliya,” desis Rubi sambil tersenyum miring.
Sebelum melakukan tugasnya, Rubi mencari tahu tentang suami Aliya dari internet. Dan betapa terkejutnya dia ketika mengetahui jika suami Aliya bukanlah orang biasa. Dia laki-laki sukses yang terlihat begitu mencintai istrinya. Lalu kenapa Aliya menginginkan suaminya menikah lagi?
“Apa ada maksud tersembunyi yang tidak Aliya katakan padaku?” gumam Rubi berpikir keras. Dia merasa harus berhati-hati dengan wanita rubah itu. Rubi tahu betapa liciknya Aliya yang bisa melakukan segalanya agar berjalan sesuai dengan keinginannya.
“Apa keputusanku buat menerima tawarannya ini tepat?”
Malam harinya Aliya sudah sampai di depan rumah Ruby pukul tujuh malam kurang lima menit. Dia menatap jam tangan mahal yang melingkar di tangannya. Jari-jarinya yang lentik ia ketukkan berkali-kali di kemudi setirnya, menunggu waktu yang tepat untuk keluar agar ia tak perlu membuang-buang waktunya menunggu di rumah kumuh itu.Dan setelah waktu sudah menunjukkan pukul tujuh tepat, Aliya keluar dari dalam mobilnya. Ia menurunkan satu persatu kakinya yang mengenakan sepatu heels edisi terbatas yang hanya ada lima di Indonesia. Aliya melakukannya bukan tanpa alasan. Ia ingin dirinya tetap menjadi pusat perhatian meskipun akan ada dua wanita dalam rumahnya nanti.Belum sempat Aliya mengetuk pintu rumah Ruby, pintu sudah lebih dulu terbuka. Ruby keluar dengan penampilan barunya. Rambutnya yang sebelumnya berwarna terang kini sudah ia cat menjadi warna hitam kecokelatan. Ruby juga mengenakan dress berwarna hitam di bawah lutut dan sepatu berwarna senada.Aliya menatap wanita di yang berdiri
“Kamu harus tahu ini Ruby. Kepiting saus tiram ini adalah makanan kesukaan Reza. Apa kamu bisa memasaknya untuk suami kamu nanti?” tanya ibu Reza yang sudah mulai akrab dengan Ruby setelah mengobrol beberapa saat.“Bisa nyonya,” jawab Ruby menambah poin tambahan Ruby di mata ibu Reza saat ini.“Aliya juga bisa bu. Kenapa ibu menanyakan hal itu pada Ruby?” sahut Aliya yang tidak mau kalah.“Ibu tahu. Tapi kan kamu jarang memasakannya untuk Reza. Kamu terlalu sibuk, apa kamu lupa itu Aliya?” “Bu…” Reza kali ini berbicara. Melihat istrinya tampak kecewa untuk kedua kalinya membuat perasaanya juga menjadi tidak enak.“Kenapa Za? Benar kan apa yang ibu katakan?”Reza menghela napasnya. Dia tak bisa menyangkalnya memang Aliya lebih sering melakukan kesibukannya sendiri dari pada melakukan tugasnya menjadi seorang istri. Namun Reza mengerti itu semua. Dia sangat tahu apa yang membuat istrinya bahagia, yaitu dengan membiarkannya menjadi wanita karir.“Tidak apa-apa Za. Memang benar apa yang
“Ya?!” Aliya terkejut bukan main ketika atasannya memberikannya tugas untuk mengunjungi dan melakukan wawancara untuk korban bencana alam yang berada di tempat pengungsian. Ia tak bisa menerimanya karena itu bukanlah pekerjaannya. Dia sudah sekian lama berada di di balik meja studio dan tidak mungkin ia kembali ke pekerjaan seperti itu. Lagipula dia sudah lama menjadi pembawa program acara fashion.“Bagaimana bisa kamu memintaku untuk melakukan hal itu?” tanya Aliya tak mengerti.“Ini perintah langsung dari direktur. Aku tak bisa menolaknya.”“Lalu bagaimana dengan program acaraku?”“Itu—“ Atasan Aliya bernama Damar tersebut matanya lantas bergetar dan melirik ke suatu sudut. Aliya yang menyadari hal itu lalu mengikuti pandangan Damar dan melihat seroang wanita muda cantik sedang memegang kertas berisi scrip untuk acara program miliknya selama ini.“Kamu menggantikanku dengan anak muda itu?!” tanya Aliya yang marah karena ia tak diberitahu apa-apa mengenai hal tersebut.“Ini juga buka
“Ada Aliya di rumah, dan kamu tidak akan merasa kesepian lagi,” lanjut Reza membuat Ruby benar-benar kecewa saat ini. Dia pikir Reza mengatakan itu dengan maksud jika orang yang akan membuatnya tidak kesepian adalah dirinya. Namun ternyata Ruby salah besar.“Sebenarnya aku cukup lega ketika mendengar jika kamu dan Aliya adalah teman dekat dulu. Jadi kamu dan Aliya bisa bernostalgia tentang masa lalu kalian yang indah,” kata Reza dengan senyum yang merekah. Namun tidak dengan Ruby. Dia sama sekali tak bisa tersenyum setipis apapun.“Masa lalu yang indah setan! Bagiku itu adalah masa-masa yang buruk. Penyesalanku karena aku pernah begitu mempercayai wanita itu,” umpat Ruby dalam hati.Ponsel Reza tiba tiba berdering, dan itu adalah panggilan dari ibunya. Reza pun segera mengangkatnya.“Iya bu?” ucap laki-laki itu begitu dia mengangkat telepon dari ibunya.“Apa kamu sudah sampai di rumah Ruby?”“Oh, iya sudah bu.”pergi dan kunci rumahmu ibu bawa. “Baguslah kalau begitu. Ibu cuma mau bi
Setelah membeli dua buah bohlam Reza kembali ke rumah Ruby dan hari sudah malam. Ketika ia akan keluar dari mobilnya, ponselnya kembali berdering dan itu adalah telepon dari Aliya.“Aliya? Apa dia sudah pulang?” gumam Reza. Dia pun mengangkat telepon dari istrinya tersebut setelah seharian ini tak bisa menghubunginya.“Halo Aliya?”“Kamu di mana sekarang?” tanya Aliya cepat.“Aku—“ Reza ragu untuk menjawabnya. Dia takut mungkin Aliya akan salah paham padanya jika ia mengatakan yang sebenarnya. “Di rumah Ruby?” Reza terkejut ketika Aliya menanyakan hal itu. Mungkinkah Aliya menngetahuinya dari ibunya? Dia lalu berpikir mungkin tak apa jujur pada Aliya, karena toh dia yang sudah menjodohkan Ruby padanya.“Iya. Aku baru mau mengganti—”“Cepat pulang sekarang,” potong Aliya. Dia tak mau jika Reza berlama-lama berada di dekat Ruby. Bukan karena dia tak percaya diri. Namun mendengar hal itu rasanya sangat mengesalkan baginya.“Baiklah.” Reza menghela napas pelan. Dia tak mau membuat istri
“Aku akan pulang larut,” kata Aliya ketika ia berpamitan pada Reza untuk melakukan pekerjaannya. Karena pekerjaannya kali ini di daerah yang cukup jauh,“Menginaplah di hotel, kamu bisa kembali keesokkan harinya.” Reza yang merasa khawatir Aliya akan kelelahan memintanya untuk tidak pulang. Karena jika Aliya memaksakan diri untuk pulang, sudah pasti Aliya akan sampai di rumah sangat larut.“Kenapa? Agar kamu bisa bertemu dengan Ruby? Atau mengajaknya menginap di sini?” Reza mengerutkan keningnya ketika mendengar Aliya mencurigainya lagi seperti itu. Padahal saat ini Reza sama sekali tidak memikirkan Ruby sama sekali. “Aku tidak mengerti dengan kamu Aliya,” ungkap Reza pelan.“Tidak mengerti apa?”“Kamu yang menyuruhku untuk menikahi Ruby. Dan sekarang kamu cemas jika aku bertemu dengannya. Kalaupun aku dan Ruby bertemu, bukankah itu tidak masalah karena kamu menyuruhku untuk memiliki anak darinya?”“Za!!” Aliya benar-benar kesal ketika Reza mengatakan hal itu. Dia merasa jika Reza
Ternyata langkah kaki Reza lebih cepat dari pikirannya. Kini dia bahkan sudah berdiri di depan Ruby yang bingung dengan kedatangan Reza yang tidak ia sangka.“Maaf, aku tiba-tiba datang,” ucap Reza ketika Ruby terlihat bingung melihat kedatangannya.“Oh, tidak apa-apa. Duduklah.” Ruby mempersilahkan Reza untuk duduk di teras, dan karena ia masih tak menyangka Ruby justru bingung dengan apa yang harus dilakukannya saat ini.“Ah, mau minum apa?” tanya Ruby pada akhirnya setelah dia cukup lama berpikir.“Apa saja,” jawab Reza. Dia sudah duduk dan juga bingung apa yang akan dikatakannya pada wanita itu setelah ini.“Tunggu sebentar.” Ruby segera masuk ke dalam rumahnya untuk membuatkan minum untuk Reza.Di dapur Ruby masih merasa tidak percaya jika Reza benar-benar datang ke rumahnya. Dia lalu berpikir mungkin Reza datang karena ada urusan penting dengannya. Karena tak mungkin laki-laki itu tiba-tiba datang hanya untuk bertemu dengannya.Setelah selesai membuat teh Ruby meletakkan cangki
Setelah berdebat cukup lama, Aliya akhirnya menyerah dan membiarkan Sean mengambil alih kemudi. Tak seperti biasanya, selama ini Aliya bahkan tak pernah memperbolehkan orang lain menyentuh barang pribadinya. Namun kali ini Sean justru memakai mobilnya. Yang mana ia tidak tahu Sean adalah tipe pengemudi yang seperti apa.“Awas saja kalau sampai mobilku tergores sedikitpun,” ancam Aliya ketika mobil sudah mulai berjalan. Dia sangat cemas meski Sean merasa mobil Aliya tak begitu spesial.“Tenang saja nona, percaya padaku. Aku ini pengemudi yang sangat baik,” ucap Sean menenangkan Aliya yang masih terlihat tegang.“Bagaimana aku bisa tenang. Kita tidak sedekat itu sampai aku membiarkanmu mengemudikan mobilku.”Sean keluar dari daerah zona bencana dengan lihai dan masuk ke jalan raya yang lengang.“Bagaimana?” tanya Sean yang ingin menyombong.“Hmm, lumayan,” sahut Aliya terpaksa.Percakapan di antara keduanya berakhir dan membuat situasi di dalam mobil itu menjadi sunyi. Sean yang penasar
Aliya duduk di dalam mobilnya, menatap jalanan panjang yang membentang di hadapannya. Kota ini, yang telah menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya selama bertahun-tahun, kini akan ia tinggalkan. Semua sudah berakhir, dan inilah waktunya untuk memulai lembaran baru.Teleponnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ruby. Aliya sempat ragu sebelum akhirnya membukanya. Sebuah foto muncul di layar, memperlihatkan bayi mungil yang baru lahir, sedang digendong oleh Reza.Terima kasih, Aliya. Karena dirimu, aku pernah merasakan dicintai oleh laki-laki sebaik Reza. Aku tahu kita punya masa lalu yang rumit, tapi aku tidak pernah benar-benar membencimu. Kau tetap sahabat baikku.Aliya merasakan dadanya menghangat. Ia tak menyangka Ruby akan mengirim pesan seperti ini. Kenangan lama kembali bermunculan—masa-masa ketika mereka masih bisa tertawa bersama, sebelum semuanya menjadi begitu rumit. Ia menghela napas panjang dan mengetik balasan singkat.Selamat atas kelahiran anakmu, Ruby. Aku harap kalian b
Aliya menyesap kopinya pelan, menatap keluar jendela kafe yang memperlihatkan lalu lalang orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Di hadapannya, Sean duduk dengan ekspresi tenang, menunggunya untuk berbicara lebih dulu. Sudah lama mereka tidak bertemu, dan sekarang, setelah semua yang terjadi, Aliya merasa ini adalah waktu yang tepat untuk membuka diri."Kau kelihatan lebih kurus," komentar Sean akhirnya, memecah keheningan di antara mereka.Aliya tersenyum tipis. "Mungkin karena akhir-akhir ini banyak hal yang harus kupikirkan."Sean mengangguk, memahami maksud di balik kata-katanya. "Jadi, kau benar-benar sudah memutuskan?"Aliya menghela napas. "Ya. Aku sudah bicara dengan Reza. Aku membawa surat cerai, tapi dia masih menolak menandatanganinya. Aku bisa melihat dia berusaha membuatku berubah pikiran, tapi aku tidak bisa. Aku sudah terlalu jauh melangkah untuk kembali lagi."Sean menatapnya lekat-lekat, lalu berkata dengan suara lebih lembut, "Dan kau baik-baik saja deng
Aliya melangkah memasuki rumah dengan hati yang telah bulat. Setelah berminggu-minggu menghindar, akhirnya ia kembali, membawa sesuatu yang akan mengubah hidupnya dan Reza selamanya. Dalam genggamannya, ada sebuah map cokelat berisi surat cerai yang sudah ia siapkan sejak lama. Tak ada amarah dalam hatinya saat ini, hanya keinginan untuk menebus segalanya dan melanjutkan hidup.Reza yang sedang duduk di ruang tamu terdiam saat melihat Aliya masuk. Mata mereka bertemu, dan dalam sepersekian detik, Reza tahu bahwa ini bukanlah kunjungan biasa. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Aliya—keteguhan yang selama ini ia hindari untuk dihadapi."Kamu sudah pulang," ujar Reza, mencoba menekan debaran jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat.Aliya mengangguk kecil, lalu tanpa banyak basa-basi, ia meletakkan map itu di atas meja. "Aku sudah memikirkan ini matang-matang, Reza. Ini surat perceraian kita. Aku harap kamu bisa menandatanganinya."Reza menatap map itu seolah-olah isinya adalah
Reza duduk diam di tepi ranjang rumah sakit, menatap Ruby yang tampak pucat di bawah sorotan lampu ruangan. Sejak beberapa hari terakhir, kondisi istrinya semakin memburuk. Stres, kecemasan, dan ketakutan yang terus menghantuinya telah membuat Ruby berkali-kali pingsan, bahkan sempat mengalami pendarahan ringan. Dokter mengatakan kondisi ini bisa berbahaya bagi janin jika terus berlanjut.Namun, yang paling menghantam Reza bukanlah kekhawatiran akan kesehatan Ruby saja, melainkan pengakuan yang akhirnya keluar dari bibir istrinya."Aku... aku diperkosa, Reza... oleh Satria... sebelum aku bersamamu."Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya. Reza tidak mengenal siapa Satria, tetapi dari kepanikan Ruby yang begitu nyata, dari ketakutannya yang tak bisa disembunyikan, ia tahu bahwa pria itu adalah ancaman besar bagi istrinya.Ruby yang berbaring di ranjang masih menolak menatap Reza. Matanya berkaca-kaca, tangannya mencengkeram selimut seolah berusaha menahan guncangan yang terus mener
Esok harinya, Sean baru saja sampai di kota K tempat kerja barunya selama satu tahun ke depan. Dia menatap pintu masuk studio yang tak begitu besar, namun tak juga terbilang kecil. Setelah menarik napas panjang, lelaki itu mendorong pintu berfilter hitam itu dan masuk untuk menyapa penyiar yang akan bekerja dengannya hari ini.Sean masuk dan melihat studio radio yang menyala. Seorang wanita duduk di sana dan sedang membicarakan sesuatu dengan salah satu staff. Rasanya tak percaya, Sean membeku di tempatnya dan menatap lama Aliya yang belum menyadari kehadiran Sean di sana. Aliya sendiri tidak tahu jika Sean lah yang akan menjadi kameramennya selama di sana.Aliya tanpa sengaja menatap ke depan dan melihat Sean yang masih berdiri di tempatnya. Wanita itu tersenyum dan melambaikan tangannya, membuat jantung Sean tiba-tiba berdesir. Dia salah tingkah hingga tak membalas sapaan dari Aliya.“Takdir macam apa ini?” gumam Sean seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Entah har
“Baiklah, aku akan mencarikan rumah sakit lain. Bagaimanapun juga kenyamanmu lebih penting dari apapun saat ini.” Untungnya jawaban dari Reza membuat Ruby bernapas lega. Dia sudah berpikir jika Reza akan berpikir yang tidak-tidak padanya. Yang terpenting dia bisa terbebas dari Satria untuk sementara waktu.Sesampainya di rumah Reza tak mendapati Aliya berada di rumah. Dia tak mengerti kenapa istrinya itu begitu sibuk dan semakin sulit untuk ditemui. Dan hal itu membuatnya sedikit kesal pada Aliya.“Ada apa?” tanya Ruby ketika dia melihat Reza yang terlihat gusar ketika baru sampai di rumah.“Aliya tidak ada di rumah. Dan dia sering begini sekarang. Pergi tanpa bilang, dan sekarang tidak jelas dia ada di mana.”“Mungkin masalah pekerjaan. Bukankah Aliya memang selalu sibuk?”“Tidak. Dia jadi semakin parah akhir-akhir ini.”Melihat Ruby yang tampak ikut cemas, membuat Reza tak tega. Sepertinya sudah cukup bagi Ruby dengan masalah kehamilannya. Reza tak ingin menambah beban wanita itu de
“Aku akan cepat kembali.” Setelah mengatakan itu, Ruby bergegas meninggalkan Reza yang masih membeku di tempatnya berdiri. Dia sangat penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh istri keduanya itu saat ini. Namun, ia kemudian langsung membuang jauh-jauh pikiran tak pentingnya tersebut. Lagipula, tak ada alasan juga untuk ia curiga terhadap Ruby.Sementara itu, Ruby mulai mencari sosok yang ia pikir sebagai Satria sebelumnya. Dia yakin jika laki-laki itu mengarah tangga menuju loby. Tanpa memedulikan hal lain, Ruby pun menuruni tangga yang menuju ke loby di lantai bawah tersebut.Dan benar saja, ketika ia baru menuruni beberapa anak tangga, dia melihat Satria yang berdiri bersandar pada tembok di dekat tangga yang dituruninya. Laki-laki itu menoleh saat ia menyadari kehadiran Ruby yang memang sudah ditunggunya sejak tadi. Dia tersenyum miring, seolah tahu apa maksud Ruby mengejarnya saat ini.“Ternyata benar kamu Satria. Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kamu terus
“Jangan bertindak bodoh!” teriak Sean sembari membuka pintu atap gedung kantornya.Aliya yang sedang berdiri di atap tersebut menoleh ketika ia mendengar teriakan Sean. “Apa kamu bilang?” tanyanya sedikit bingung.Dengan langkah lebar-lebar, Sean berjalan menghampiri Aliya dan meraih tangan wanita itu. Membuat wajah Alia menjadi terlihat semakin bingung.“Kamu tidak sendirian. Masih ada aku di sini,” kata Sean kembali tanpa ragu. Dia tak peduli dengan apa kata Alia nanti. Yang Sean inginkan hanyalah Alia tidak bertindak bodoh dengan cara mengakhiri hidupnya seperti ini.Alia terdiam untuk beberapa saat. Dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi, karena sikap Sean saat ini sangatlah aneh.“Emm, baiklah aku tersanjung,” sahut wanita itu pada akhirnya. Membuat situasi mendadak menjadi canggung. Apalagi ketika Sean menyadari kesalahpahamannya.“Huh?”“Huh?”Melihat reaksi Alia yang kebingungan, dengan cepat Sean melepaskan tangan wanita itu. Dia lalu memalingkan wajahnya yang memerah karena
Hari minggu pagi.Aliya bangun dari tidurnya dan melihat selimut dan bantal yang berada di sisinya sudah rapi. Dia tak menemukan Reza berada di sebelahnya lagi. Entah sudah kesekian kalinya Reza melakukan hal ini padanya.Padahal semalam Aliya memastikan jika suaminya itu berada di dalam kamarnya. Namun sepertinya hal itu bahkan tak berlangsung sampai pagi datang. Reza sudah pergi ke kamar Ruby ketika Aliya sudah lelap dalam tidurnya.Dengan malas Aliya bangkit dari tempat tidurnya untuk menyiapkan sarapan untuk Reza. Setidaknya dia tak boleh membiarkan Ruby merebut rutinitasnya selama ia menjadi istri Reza selama ini. Namun ketika dia sampai di dapur, dia sudah melihat Ruby telah selesai melakukan semua hal yang biasa ia lakukan.“Eh, Alia. Aku sudah selesai menyiapkan sarapan. Kamu mau makan bersama? Reza sebentar lagi turun,” ucap wanita itu tanpa merasa bersalah sama sekali.“Tidak. Aku ada urusan pekerjaan,” jawab Aliya singkat.“Kenapa?”“Tidak apa-apa.” Aliya lantas kembali ma