“Apa?! Masa cuma begini sampai tiga hari?” Aliya meradang, ketika karyawan service ponsel tersebut mengatakan jika butuh waktu tiga hari untuk memperbaiki ponselnya.
“Kalau ibu tidak mau silahkan ke service center lain. Pasti sama kok, paling cepat tiga hari pengerjaanya. Karena ponsel ini keluaran terbaru, dan belum banyak yang memiliki alatnya untuk mengganti layarnya.”
“Sudahlah Al, tidak apa-apa. Cuma retak layarnya, masih bisa dipakai kan?” Vanya yang saat itu menemani temannya tersebut untuk memperbaiki ponselnya merasa kesal juga dengan sikap Aliya yang berlebihan.
“Kamu seperti baru mengenalku saja Van, aku tidak mau melihat sesuatu yang tidak sempurna seperti ini.”
Aliya berpikir sejenak. Sepertinya tidak apa-apa dia menaruh ponselnya di sana selama tiga hari. Toh kantornya akan menghubunginya melalui Vanya.
“Ya sudah. Tolong perbaiki ya. Saya akan datang lagi setelah tiga hari.”
“Baik bu.” Karyawan service center itu menerima ponsel milik Aliya dan memberikan nota untuk wanita itu.
“Al! Kamu serius? Kamu bukan manusia ya? Di mana-mana tidak ada orang yang betah berjauhan dengan ponselnya. Apalagi tiga hari.”
“Kenapa tidak bisa?” tanya Aliya. Dia memang lain dari pada yang lain.
“Lalu bagaiman kamu menghubungi Reza? Kamu mau pinjam ponselku?” Vanya memberikan ponselnya untuk Aliya. Dan memintanya untuk memberi tahu Reza mengenai apa yang terjadi dengan ponselnya.
“Tidak usah. Reza tahu kalau aku sedang bekerja. Justru bagus, jadi dia tak bisa menganggu waktu kerjaku. Dan aku bisa istirahat setelah selesai.”
“Apa?” Vanya menatap Aliya dengan pandangan yang aneh. Bagaimana bisa ada manusia seperti Aliya di dunia ini? Kenapa dia begitu santainya saat tidak bisa saling menghubungi dengan suaminya selama tiga hari?
Aliya berjalan mendahului Vanya yang masih menatapnya heran. Dan tidak lama Vanya langsung menyusulnya.
“Aku tahu, kamu begini karena kamu yakin suami kamu tidak akan macam-macam di belakangmu kan? Kamu yakin dia sangat mencintaimu dan tidak akan pernah meninggalkanmu kan?”
“Ding dong deng!” Aliya masih sempat-sempatnya tertawa dan membuat gurauan dengan hal tersebut.
“Wah, aku tahu kamu cantik dan pintar. Tapi ku rasa kamu jangan terlalu sombong Al. Karena suatu kejahatan terjadi bukan karena niat, tapi karena ada kesempatan.”
“Apa sih? Memangnya iklan berita?” Aliya terkekeh mendengarnya.
“Terakhir aku mau menawarkanmu ponselku. Setidaknya kamu harus memberi tahu suami kamu agar dia tidak khawatir.”
Aliya akhirnya berhenti dan menatap ke arah Vanya. Temannya itu kelihatan lebih khawatir ketimbang dirinya sendiri.
“Iya. Nanti,” jawab Aliya seperti niat tak niat. Dia kemudian kembali berjalan untuk kembali ke hotel, karena pekerjaanya akan dimulai besok.
***
Sementara itu Reza yang saat ini berada di kantornya gelisah karena tak bisa menghubungi nomor istrinya.
“Kenapa nomornya tidak aktif?” gumam Reza.
“Apa dia sedang sibuk sekarang?” lanjutnya lagi. Dia akhirnya mengurungkan niatnya untuk terus berusaha menghubungi Aliya, karena mungkin wanita itu sedang tak ingin diganggu.
Tiba-tiba saja pintu ruangan Reza terbuka dan ibunya datang dengan kemarahan di wajahnya.
“Ibu? Ada apa?” tanya Reza terkejut.
“Kamu tidak jadi mengajak Aliya untuk memeriksakan kesuburannya ke dokter?” tanya Yulia langsung pada intinya.
“Bu, Reza pikir itu tidak perlu. Kalau Aliya mendengarnya dia pasti akan tersinggung.”
“Kenapa dia harus tersinggung? Ibu memberi saran kan demi kebaikan kalian. Seharusnya kalian senang karena ibu mendukung kalian untuk berusaha cepat punya anak. Kecuali kalau kalian memang tidak berniat untuk punya anak.”
Ekspresi wajah Reza tiba-tiba berubah ketika ibunya mengatakan hal tersebut. Dia jadi teringat dengan keinginan Aliya yang memang tidak ingin memiliki anak.
“Kenapa wajah kamu seperti itu? Jangan-jangan benar apa yang ibu katakan tadi. Iya Reza? Jawab ibu!”
“Bu—bukan bu—”
“Jangan berbohong. Kamu itu anak ibu. Jadi ibu tahu kalau kamu menyembunyikan sesuatu dari ibu. Katakan yang sebenarnya apa benar apa yang ibu katakan tadi?”
Reza menunduk. Dia bingung harus menjawab apa. Jika jujur, dia tak tahu bagaimana nasib Aliya nantinya. Namun jika ia berbohong, sudah pasti ibunya akan mengetahuinya.
“Jawab Za!” bentak Yulia pada anaknya tersebut.
“I—Iya bu. Kami memutuskan untuk tidak memiliki anak,” jawab Reza dengan suara yang bergetar.
“Reza kamu membunuh ibumu ini?!”
“Maaf bu. Ini sudah keputusan kami. Ibu harus menghargainya.” Reza meraih tangan ibunya untuk meminta maaf padanya.
“Hubungi istri kamu sekarang.”
“Aliya sedang bekerja di luar kota bu, sampai lima hari ke depan.”
“Suruh dia pulang sekarang juga. Urusan rumah tangga lebih penting dari pekerjaanya.”
“Tidak bisa begitu bu. Kita bicarakan nanti setelah dia pulang saja.”
“Kalau kamu tidak mau biar ibu yang menghubunginya.” Yulia mengambil ponselnya dan mencoba untuk menghubungi Aliya. Dan Reza yang melihat hal itu menjadi gugup, karena baru saja dia tak bisa menghubungi nomor Aliya.
“Kenapa nomornya tidak aktif?” Yulia bertanya pada anaknya setelah dia tak bisa menghubungi menantunya.
“Mungkin dia sedang bekerja sekarang bu.”
“Apa pekerjaanya sehebat itu sampai dia harus mematikan ponselnya?”
Reza hanya diam menanggapinya. Dia takut salah menjawabnya dan mengakibatkan keadaan menjadi semakin runyam.
“Pokoknya kamu bilang padanya kalau ibu mau bicara dengannya secepat mungkin. Kamu itu anak ibu satu-satunya Za. Siapa yang jadi penerus keluarga kita kalau kamu tidak punya anak?”
“Maaf bu.” Reza hanya menunduk dan terus menerus meminta maaf pada ibunya.
Setelah ibunya pergi, Reza kembali duduk di kursinya. Dia mengusap wajahnya dengan frustasi. Dia sadar masalah iini tidak akan berakhir sampai di sini. Ibunya pasti akan memperjuangkan keinginannya untuk memiliki seorang cucu.
“Bagaimana aku bisa memberikan cucu untuk ibu jika Aliya saja tidak mau memiliki anak?” gumam Reza.
“Aku harus berusaha membujuk Aliya lagi.” Reza mencoba menghubungi istrinya lagi, namun tetap tak bisa.
“Kamu sedang apa sih Al? kenapa nomormu tidak aktif?” Reza terus gelisah. Dia takut jika sampai terjadi sesuatu pada istrinya tersebut.
Saat ini Yulia baru keluar dari kantor anaknya. Ketika dia mau menaiki taksi yang sudah berhenti di depannya dia tak sengaja melihat gambar menantunya berada di tabloid yang sedang dibaca oleh satpam di sana.
Di artikel itu tertulis rahasia kecantikan dan kesuksesan Aliya Puspa. Yulia langsung merebut tabloid itu untuk membacanya.
“Eh, ibu Yulia.” Satpam yang terkejut melihat keberadaan Yulia langsung berdiri dan beriskap sopan padanya.
“Ini punya kamu?”
“Iya bu.”
“Saya bawa ya.”
Satpam tersebut bengong. Dia belum sempat menjawabnya namun Yulia sudah membawa tabloidnya pergi dan masuk ke dalam taksi.
Di dalam taksi Yulia membaca artikel tentang menantunya tersebut. Setelah lama membaca dia terkejut dengan akhir dari kalimat artilel yang menyatakan jika Aliya memang berencana untuk tidak memiliki anak karena itu hanya akan menghambat karirnya.
Yulia meremat tabloid tersebut dengan kesal.
“Jadi kamu mau membunuhku pelan-pelan Aliya,” desisnya.
Aliya sedang membaca naskahnya untuk event hari pertama yang diselenggaran hari ini. Ketika dia sedang duduk sendiri, tiba-tiba seorang lelaki berdiri di depannya. Meskipun ia tak menatapnya, namun Aliya yakin jika orang tersebut adalah laki-laki, tercium dari aroma parfume maskulinnya sama dengan yang Reza pakai.“Selamat siang, saya Sean Ravindra kameramen yang baru bergabung hari ini. Salam kenal dan mohon bantuannya.” Laki-laki itu menyapa dengan sopan dan semangat. Mungkin karena ini adalah pekerjaan pertamanya.“Hmm,” sahut Aliya tanpa menoleh. Dia masih fokus dengan naskah yang dia baca.Sean masih berdiri di depan Aliya. Dia ingin mengatakan sesuatu tapi ragu karena sepertinya wanita tersebut tidak menyambutnya dengan baik.Sampai akhirnya Aliya menoleh ke arah Sean, karena laki-laki itu tak kunjung pergi setelah menyapanya.“Apa lagi?&
“Aliya!” Ini adalah suara tertinggi yang pernah Reza keluarkan untuk istrinya, “Apa-apaan kamu ini?”Aliya sama sekali tak menghiraukan suaminya yang terus mengatakan rasa keberatannya akan keputusan istrinta tersebut. Fokus Aliya masih menatap ibu mertuanya yang tak bisa berhenti menatapnya dengan tegang.“Ibu cukup, lebih baik ibu pulang dulu sekarang. Biar Reza bicara berdua sama Aliya.” Tanpa menunggu persetujuan dari ibunya, Reza membawa istrinya masuk ke dalam kamar.Apa yang baru saja dikatakan oleh Aliya, sama sekali tak bisa ia terima dengan akal sehatnya. Bagiamana mungkin istri yang sangat dicintainya selama ini tega mengatakan hal seperti itu di depannya sendiri.“Lepasin Za, sakit!” Aliya melepaskan cengkeraman tangan Reza pada pergelangan tangannya.“Bilang padaku kalau apa yang kamu katakan tadi cuma bercanda.&r
“Kamu pasti mau kan?” Aliya meraih pergelangan tangan Rubi dan mencengkeramnya dengan kuat. Sehingga Rubi yang terkejut pun sontak melangkahkan satu kakinya ke belakang.“Jangan membuatku takut! Ada apa dengan kamu sebenarnya?” Rubi benar-benar tidak mengerti dengan sikap Aliya kali ini. Apa benar wanita itu serius ingin mencarikan istri untuk suaminya? Tapi kenapa?Berbagai pertanyaan itu terus bersarang di kepala Rubi saat ini. Dia dapat melihat tatapan mata Aliya yang tampak memohon padanya.“Tolong kamu terima tawaran aku ini. Aku janji aku akan melunasi semua hutang kamu, dan memberikanmu hidup yang lebih layak dari pada kehidupanmu saat ini.”Perkataan dari Aliya membuat Rubi teringat dengan pekerjaan kotornya selama ini. Selama dia bekerja sebagai wanita malam dia selalu menangisi nasibnya setelah selesai melayani pelanggan hidung belang yang datang padanya.Dia bukannya tak ingin mencari pekerjaan lainnya. Rubi sudah pernah mencobanya, namun dia selalu gagal karena latar belak
Malam harinya Aliya sudah sampai di depan rumah Ruby pukul tujuh malam kurang lima menit. Dia menatap jam tangan mahal yang melingkar di tangannya. Jari-jarinya yang lentik ia ketukkan berkali-kali di kemudi setirnya, menunggu waktu yang tepat untuk keluar agar ia tak perlu membuang-buang waktunya menunggu di rumah kumuh itu.Dan setelah waktu sudah menunjukkan pukul tujuh tepat, Aliya keluar dari dalam mobilnya. Ia menurunkan satu persatu kakinya yang mengenakan sepatu heels edisi terbatas yang hanya ada lima di Indonesia. Aliya melakukannya bukan tanpa alasan. Ia ingin dirinya tetap menjadi pusat perhatian meskipun akan ada dua wanita dalam rumahnya nanti.Belum sempat Aliya mengetuk pintu rumah Ruby, pintu sudah lebih dulu terbuka. Ruby keluar dengan penampilan barunya. Rambutnya yang sebelumnya berwarna terang kini sudah ia cat menjadi warna hitam kecokelatan. Ruby juga mengenakan dress berwarna hitam di bawah lutut dan sepatu berwarna senada.Aliya menatap wanita di yang berdiri
“Kamu harus tahu ini Ruby. Kepiting saus tiram ini adalah makanan kesukaan Reza. Apa kamu bisa memasaknya untuk suami kamu nanti?” tanya ibu Reza yang sudah mulai akrab dengan Ruby setelah mengobrol beberapa saat.“Bisa nyonya,” jawab Ruby menambah poin tambahan Ruby di mata ibu Reza saat ini.“Aliya juga bisa bu. Kenapa ibu menanyakan hal itu pada Ruby?” sahut Aliya yang tidak mau kalah.“Ibu tahu. Tapi kan kamu jarang memasakannya untuk Reza. Kamu terlalu sibuk, apa kamu lupa itu Aliya?” “Bu…” Reza kali ini berbicara. Melihat istrinya tampak kecewa untuk kedua kalinya membuat perasaanya juga menjadi tidak enak.“Kenapa Za? Benar kan apa yang ibu katakan?”Reza menghela napasnya. Dia tak bisa menyangkalnya memang Aliya lebih sering melakukan kesibukannya sendiri dari pada melakukan tugasnya menjadi seorang istri. Namun Reza mengerti itu semua. Dia sangat tahu apa yang membuat istrinya bahagia, yaitu dengan membiarkannya menjadi wanita karir.“Tidak apa-apa Za. Memang benar apa yang
“Ya?!” Aliya terkejut bukan main ketika atasannya memberikannya tugas untuk mengunjungi dan melakukan wawancara untuk korban bencana alam yang berada di tempat pengungsian. Ia tak bisa menerimanya karena itu bukanlah pekerjaannya. Dia sudah sekian lama berada di di balik meja studio dan tidak mungkin ia kembali ke pekerjaan seperti itu. Lagipula dia sudah lama menjadi pembawa program acara fashion.“Bagaimana bisa kamu memintaku untuk melakukan hal itu?” tanya Aliya tak mengerti.“Ini perintah langsung dari direktur. Aku tak bisa menolaknya.”“Lalu bagaimana dengan program acaraku?”“Itu—“ Atasan Aliya bernama Damar tersebut matanya lantas bergetar dan melirik ke suatu sudut. Aliya yang menyadari hal itu lalu mengikuti pandangan Damar dan melihat seroang wanita muda cantik sedang memegang kertas berisi scrip untuk acara program miliknya selama ini.“Kamu menggantikanku dengan anak muda itu?!” tanya Aliya yang marah karena ia tak diberitahu apa-apa mengenai hal tersebut.“Ini juga buka
“Ada Aliya di rumah, dan kamu tidak akan merasa kesepian lagi,” lanjut Reza membuat Ruby benar-benar kecewa saat ini. Dia pikir Reza mengatakan itu dengan maksud jika orang yang akan membuatnya tidak kesepian adalah dirinya. Namun ternyata Ruby salah besar.“Sebenarnya aku cukup lega ketika mendengar jika kamu dan Aliya adalah teman dekat dulu. Jadi kamu dan Aliya bisa bernostalgia tentang masa lalu kalian yang indah,” kata Reza dengan senyum yang merekah. Namun tidak dengan Ruby. Dia sama sekali tak bisa tersenyum setipis apapun.“Masa lalu yang indah setan! Bagiku itu adalah masa-masa yang buruk. Penyesalanku karena aku pernah begitu mempercayai wanita itu,” umpat Ruby dalam hati.Ponsel Reza tiba tiba berdering, dan itu adalah panggilan dari ibunya. Reza pun segera mengangkatnya.“Iya bu?” ucap laki-laki itu begitu dia mengangkat telepon dari ibunya.“Apa kamu sudah sampai di rumah Ruby?”“Oh, iya sudah bu.”pergi dan kunci rumahmu ibu bawa. “Baguslah kalau begitu. Ibu cuma mau bi
Setelah membeli dua buah bohlam Reza kembali ke rumah Ruby dan hari sudah malam. Ketika ia akan keluar dari mobilnya, ponselnya kembali berdering dan itu adalah telepon dari Aliya.“Aliya? Apa dia sudah pulang?” gumam Reza. Dia pun mengangkat telepon dari istrinya tersebut setelah seharian ini tak bisa menghubunginya.“Halo Aliya?”“Kamu di mana sekarang?” tanya Aliya cepat.“Aku—“ Reza ragu untuk menjawabnya. Dia takut mungkin Aliya akan salah paham padanya jika ia mengatakan yang sebenarnya. “Di rumah Ruby?” Reza terkejut ketika Aliya menanyakan hal itu. Mungkinkah Aliya menngetahuinya dari ibunya? Dia lalu berpikir mungkin tak apa jujur pada Aliya, karena toh dia yang sudah menjodohkan Ruby padanya.“Iya. Aku baru mau mengganti—”“Cepat pulang sekarang,” potong Aliya. Dia tak mau jika Reza berlama-lama berada di dekat Ruby. Bukan karena dia tak percaya diri. Namun mendengar hal itu rasanya sangat mengesalkan baginya.“Baiklah.” Reza menghela napas pelan. Dia tak mau membuat istri
Esok harinya, Sean baru saja sampai di kota K tempat kerja barunya selama satu tahun ke depan. Dia menatap pintu masuk studio yang tak begitu besar, namun tak juga terbilang kecil. Setelah menarik napas panjang, lelaki itu mendorong pintu berfilter hitam itu dan masuk untuk menyapa penyiar yang akan bekerja dengannya hari ini.Sean masuk dan melihat studio radio yang menyala. Seorang wanita duduk di sana dan sedang membicarakan sesuatu dengan salah satu staff. Rasanya tak percaya, Sean membeku di tempatnya dan menatap lama Aliya yang belum menyadari kehadiran Sean di sana. Aliya sendiri tidak tahu jika Sean lah yang akan menjadi kameramennya selama di sana.Aliya tanpa sengaja menatap ke depan dan melihat Sean yang masih berdiri di tempatnya. Wanita itu tersenyum dan melambaikan tangannya, membuat jantung Sean tiba-tiba berdesir. Dia salah tingkah hingga tak membalas sapaan dari Aliya.“Takdir macam apa ini?” gumam Sean seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Entah har
“Baiklah, aku akan mencarikan rumah sakit lain. Bagaimanapun juga kenyamanmu lebih penting dari apapun saat ini.” Untungnya jawaban dari Reza membuat Ruby bernapas lega. Dia sudah berpikir jika Reza akan berpikir yang tidak-tidak padanya. Yang terpenting dia bisa terbebas dari Satria untuk sementara waktu.Sesampainya di rumah Reza tak mendapati Aliya berada di rumah. Dia tak mengerti kenapa istrinya itu begitu sibuk dan semakin sulit untuk ditemui. Dan hal itu membuatnya sedikit kesal pada Aliya.“Ada apa?” tanya Ruby ketika dia melihat Reza yang terlihat gusar ketika baru sampai di rumah.“Aliya tidak ada di rumah. Dan dia sering begini sekarang. Pergi tanpa bilang, dan sekarang tidak jelas dia ada di mana.”“Mungkin masalah pekerjaan. Bukankah Aliya memang selalu sibuk?”“Tidak. Dia jadi semakin parah akhir-akhir ini.”Melihat Ruby yang tampak ikut cemas, membuat Reza tak tega. Sepertinya sudah cukup bagi Ruby dengan masalah kehamilannya. Reza tak ingin menambah beban wanita itu de
“Aku akan cepat kembali.” Setelah mengatakan itu, Ruby bergegas meninggalkan Reza yang masih membeku di tempatnya berdiri. Dia sangat penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh istri keduanya itu saat ini. Namun, ia kemudian langsung membuang jauh-jauh pikiran tak pentingnya tersebut. Lagipula, tak ada alasan juga untuk ia curiga terhadap Ruby.Sementara itu, Ruby mulai mencari sosok yang ia pikir sebagai Satria sebelumnya. Dia yakin jika laki-laki itu mengarah tangga menuju loby. Tanpa memedulikan hal lain, Ruby pun menuruni tangga yang menuju ke loby di lantai bawah tersebut.Dan benar saja, ketika ia baru menuruni beberapa anak tangga, dia melihat Satria yang berdiri bersandar pada tembok di dekat tangga yang dituruninya. Laki-laki itu menoleh saat ia menyadari kehadiran Ruby yang memang sudah ditunggunya sejak tadi. Dia tersenyum miring, seolah tahu apa maksud Ruby mengejarnya saat ini.“Ternyata benar kamu Satria. Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kamu terus
“Jangan bertindak bodoh!” teriak Sean sembari membuka pintu atap gedung kantornya.Aliya yang sedang berdiri di atap tersebut menoleh ketika ia mendengar teriakan Sean. “Apa kamu bilang?” tanyanya sedikit bingung.Dengan langkah lebar-lebar, Sean berjalan menghampiri Aliya dan meraih tangan wanita itu. Membuat wajah Alia menjadi terlihat semakin bingung.“Kamu tidak sendirian. Masih ada aku di sini,” kata Sean kembali tanpa ragu. Dia tak peduli dengan apa kata Alia nanti. Yang Sean inginkan hanyalah Alia tidak bertindak bodoh dengan cara mengakhiri hidupnya seperti ini.Alia terdiam untuk beberapa saat. Dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi, karena sikap Sean saat ini sangatlah aneh.“Emm, baiklah aku tersanjung,” sahut wanita itu pada akhirnya. Membuat situasi mendadak menjadi canggung. Apalagi ketika Sean menyadari kesalahpahamannya.“Huh?”“Huh?”Melihat reaksi Alia yang kebingungan, dengan cepat Sean melepaskan tangan wanita itu. Dia lalu memalingkan wajahnya yang memerah karena
Hari minggu pagi.Aliya bangun dari tidurnya dan melihat selimut dan bantal yang berada di sisinya sudah rapi. Dia tak menemukan Reza berada di sebelahnya lagi. Entah sudah kesekian kalinya Reza melakukan hal ini padanya.Padahal semalam Aliya memastikan jika suaminya itu berada di dalam kamarnya. Namun sepertinya hal itu bahkan tak berlangsung sampai pagi datang. Reza sudah pergi ke kamar Ruby ketika Aliya sudah lelap dalam tidurnya.Dengan malas Aliya bangkit dari tempat tidurnya untuk menyiapkan sarapan untuk Reza. Setidaknya dia tak boleh membiarkan Ruby merebut rutinitasnya selama ia menjadi istri Reza selama ini. Namun ketika dia sampai di dapur, dia sudah melihat Ruby telah selesai melakukan semua hal yang biasa ia lakukan.“Eh, Alia. Aku sudah selesai menyiapkan sarapan. Kamu mau makan bersama? Reza sebentar lagi turun,” ucap wanita itu tanpa merasa bersalah sama sekali.“Tidak. Aku ada urusan pekerjaan,” jawab Aliya singkat.“Kenapa?”“Tidak apa-apa.” Aliya lantas kembali ma
“Haruskah kamu berkata seperti itu? Sekarang? Di depan Ruby?” Wajah Aliya tampak serius saat ini. Sepertinya dia lebih sensitif dari Ruby yang sedang hamil.“Aliya, aku tidak bermaksud begitu…”“Alah, kamu memang sengaja mau mempermalukan aku kan di depan Ruby?” Aliya yang merasa malu lantas keluar dari ruangan Reza saat itu juga. Dia mengabaikan beberapa karyawan yang dengan sopan menyapanya, membuat orang-orang itu semakin berbicara buruk di belakangnya.“Pantas saja pak Reza menikah lagi, ternyata sifat istri pertamanya memang buruk.” Samar terdengar ucapan seperti itu di belakangnya. Jika saja Aliya tak sedang merasa buruk hari ini, dia akan membuat para karyawan itu bungkam saat itu juga.“Menyebalkan!” Aliya memukul setir mobilnya setelah ia berhasil keluar dari kantor Reza. Dia lantas meninggalkan perusahaan itu dengan emosi yang ia tahan. Sampai sekarang dia tak habis pikir, mengapa Reza berkata seperti itu di hadapan Ruby.“Apa hanya Ruby istrinya? Apa hanya dia yang boleh ke
“Aku tidak bermaksud melakukannya,” sahut Aliya.“Kamu hanya ingin menyelamatkan hidupmu sendiri,” lanjut Ruby lagi. Jika ia mengingat saat itu, sungguh membuat hatinya kembali terluka. Padahal dulu ia sangat mempercayai Aliya lebih dari apapun. Namun wanita itu benar-benar tak datang untuknya. Bahkan rasa sakit Ruby semakin besar ketika ia melihat Aliya berada di layar televisi. Wanita itu berhasil sukses dengan mengorbakan sahabatnya sendiri.“Lalu apa lagi yang kamu inginkan? Aku membuat hidupmu lebih baik saat ini. Apa lagi yang kurang?”“Jadi menurutmu ini sudah cukup Al? Baiklah, anggap saja begitu.” Ruby berlalu meninggalkan Aliya. Dia tak ada niat untuk mengenang masa persahabatan mereka di sana. Baginya Aliya melakukan hal untuk menunjukkan padanya jika ia tak melupakannya.Ruby berjalan keluar untuk kembali ke mobil. Tak ada kenangan yang ingin ia ingat di sana. Ruby yang dulu bukanlah dirinya yang sekarang. Tempat itu dipenuhi dengan kenangannya dengan Aliya dulu. Dan itu m
“Tentu saja, aku selalu percaya padamu.” Ruby berdiri dan meraih kedua tangan Aliya. Berharap lebih pada sahabatnya yang telah lama dikenalnya itu.Aliya memperhatikan sekitar kamar itu. Dan jendela di sebelah kanannya sepertinya langsung mengarah ke halaman yang dekat dengan pintu mereka masuk tadi.“Kamu bertahanlah di sini, dan aku akan pergi lewat jendela untuk memanggil polisi atau bantuan siapapun.”Ruby diam untuk beberapa saat. Berada di tempat itu bersama dengan Aliya saja sudah terasa mengerikan, bagaimana bisa ia bertahan seorang diri?“Tapi Al… aku takut,” lirih Ruby. Dia semakin erat mengenggam kedua tangan Aliya.“Aku akan berlari secepatya. Kamu tahu kan? Aku ini jaura satu lomva lari marathon selama sekolah. Jadi aku akan segera menyelamatkanmu. Atau kalau tidak, kamu saja yang pergi. Panggil siapa saja untuk bantuan?”Ruby tampak ragu-ragu. Dia terlalu penakut untuk melakukan semua itu. Dan ia pun tahu sendiri jika Aliya orang yang sangat berani dan kuat. Dan mungkin
“Duduklah,” ucap Dani. Dia memberikan jalan untuk Aliya dan juga Ruby untuk duduk dan menunggu proses perekrutan.“Ini surat lamaran kami. Sudah ada berkas-berkasnya di dalam.” Aliya memberikan dua amplop cokelat berisi lamaran kerjanya dan juga Ruby pada Dani.“Oh iya.” Dani membukanya sekilas lalu menumpukknya bersama kertas-kertas lamaran lainnya.“Jadi pekerjaan macam apa yang akan kami berdua dapatkan?” tanya Aliya penasaran. Keduanya sama-sama masih polos dan tak tahu jika laki-laki yang ada di depannya adalah penipu yang sudah banyak menipu gadis-gadis yang baru lulus sekolah, dengan kedok penyalur kerja.“Ada berita bagus. Karena perusahaan ini sedang mencari karyawan baru yang mau cepat bekerja, jadi aku akan mengantar kalian langsung ke sana.”Senyum Aliya merekah mendengarnya. Dia berpikir jika inilah keberuntungan mereka saat ini.“Mari ikut denganku ke mobil.” Dani mengambil kunci mobilnya dan berjalan keluar. Aliya dengan perasaan yang baik bangkit dari duduknya untuk me