“Ibu udah berencana jauh-jauh hari buat nemenin Mara ke rumah sakit, Ann,” ujar Pramam sambil bergelanyut manja di lengan Anne. “Apa nggak sebaiknya kamu mengalah aja?”Suara berat itu terkesan lembut. Seakan sengaja membujuk, tapi sayangnya Anne menolak. Dapat Pramam rasakan tangannya ditepis pelan saat Anne mengambil jarak dan menatapnya tajam.“Memang kamu pikir selama ini aku nggak ngalah?” keluh Anne. “Bukannya dari awal, Ibu nggak pernah menyetujui program sewa rahim ini? Terus kenapa sekarang jadi berubah dan bersikap seolah-oleh Mara itu seseorang yang berharga karena mengandung cucunya sekali sekaligus darah daging kamu, Mas?”Punggung Pramam menegak seketika. Ia sedikit gelagapan mendengar penuturan sang istri yang merujuk pada janin yang dikandung Mara adalah anaknya sendiri. Alih-alih menyebut istilah ‘anak kita’.“Ann, itu juga anak kamu.”Anne mengangguk. “Aku tahu, maka dari itu, aku punya hak juga merawat dan memantau kandungan Mara sampai bayi itu lahir ke dunia,” tan
Anne sadar betul ucapannya terdengar jahat pada Mara. Namun, ia hanya berlagak seperti seharusnya. Memberi pengingat agar wanita muda itu sadar jika bayi yang dikandungnya lahir nanti, hanya Anne yang berhak atasnya.Pandangannya kini mengarah pada ranjang yang akan ditempati Mara ketika proses USG nanti. Sayup-sayup ia mendengar penjelasan dari Dokter Mega yang memperingatkan agar Mara tak melewatkan minum vitamin dan lainnya. Anne terdiam di tempat duduknya sekarang, hingga si dokter meminta Mara naik ke ranjang.“Kita cek dulu bayinya ya, Nyonya,” kata dokter pada Anne.Mengangguk pelan, Anne ikut bangkit dan mengikuti jalannya Mara yang hendak menaiki ranjang. Perawat membantunya pelan-pelan. Dari pemandangan itu, Anne mengernyit. Kehamilan Mara ini baru menginjak usia empat bulan, tapi mengapa perawat begitu berhati-hati seakan sikapnya itu sedang menghadapi ibu hamil trimester tengah.Berusaha mengalihkan pikiran dari kecurigaan, Anne memilih menatap layar monitor dan sesekali m
“Aku nggak tahu harus ngomong apa ke kamu selain ucapan terima kasih. Karena rasanya itu nggak cukup.” Anne membasahi bibir ketika di tangan sudah ada kontak pengacara kondang yang akan membantunya nanti.Varen mengulas senyum, tangannya menggapai puncak kepala Anne pelan. Lalu membelainya begitu lembut, bahkan jemari panjang itu sesekali menyelipkan helaian rambut Anne yang beterbangan dibawa angin. Tak ada penolakan yang terjadi, tapi debaran dalam dada masih terasa jelas.“Itu udah cukup bagiku, Ann,” bisiknya. “Aku, kan, sempat bilang kalau apa pun itu, kapan pun kamu butuh bantuan, aku siap membantu.”Anne menganggut paham. Ia meraih gelas berisi lemon tea dan meminumnya menggunakan sedotan. Sesekali tangannya mengusap lengan, mengingat pakaian yang dikenakannya hanya sebatas blouse tipis. Tak akan bisa menghalau angin sepoi-sepoi yang menerpa kulitnya sekarang.“Kita pindah ke ruang VIP yang lain, kamu keberatan?”Anne mengalihkan pandangan, menatap Varen yang sejak tadi rupanya
“Saya udah dengar masalah kamu sekilas dari Varen, jadi apa yang sebenarnya kamu inginkan dari Pramam, Anne?”Detak jantung Anne bergerak dua kali lipat dari biasanya. Sebelum mendatangi Eman, pengacara muda yang top dari kenalan sekaligus senior Varen di kampusnya dulu, ada banyak hal yang Anne pikirkan juga pertimbangkan. Salah satunya adalah nasib pernikahannya nanti.Ditambah pendapat-pendapat dari orang sekitar jika putri sulung dari Keluarga Gumelar mengakhiri pernikahan dengan putra semata wayang Basuki. Berita itu pasti akan jadi kecaman banyak pihak, tapi ia percaya jika Mama dan Papa pasti akan selalu mendukung keputusannya. Kini Anne mengaduk tas miliknya dan mengambil berkas untuk diserahkan pada Eman.“Bayi yang ada dalam kandungan Mara Cikal,” katanya tegas. “Pak Eman bisa bantu saya mendapatkan hak atas bayi itu jika sudah lahir nanti?”Eman menatap berkas di meja. Tak segera menyetujui permintaan Anne, tapi mempelajari dulu dokumen tersebut. Setelah beberapa lembar dil
“Setelah apa yang saya minta beberapa hari lalu, sekarang sudah ada hasilnya, belum?” Pertanyaan itu dilontarkan Pramam pada sekretarisnya. Erin baru saja menyerahkan proposal dari tim marketing dan keuangan di meja atasan. Gadis itu pun mengangguk pelan. “Oke, kerja bagus.” Pramam mengulas senyum cerah nan puas. “Apa yang kamu dapatkan?” “Foto-foto yang teman saya ambil selama mengikuti Pak Varen sudah saya kirim ke email Pak Pramam pagi tadi,” ungkap Erin sambil menunduk ragu. “Tapi ….” Pramam menaikkan sebelah alis, menatap lurus sekretarisnya. “Apa maksud kamu sampai ada tapi, Er?” Gadis itu duduk di kursi seberang Pramam. Lalu mencondongkan tubuh ke depan. Tampak berantisipasi barangkali seseorang mencuri dengar obrolannya bersama Pramam. “Mungkin ada beberapa di foto itu yang kurang Pak Pramam sukai. Jadi, saya hanya memperingatkan lebih dulu,” jelasnya pelan. “Apa itu? Kamu menemukan kejanggalan dari Varen?” Pramam mulai tertarik pada pembahasan ini, ia ikut menggerakka
“Apa kamu bilang?” Jantung Pramam melonjak, tatapannya nanar saat tertuju pada paras ayu Anne yang tampak malas itu. “Dia investor kamu?”Sejauh ini, Pramam tak pernah menanyakan perkembangan di butik Anne. Ia hanya kerap mengeluhkannya. Bahkan saat istrinya itu berencana membuka beberapa cabang baru di lain tempat pun, kabar itu ia ketahui dari Sonya. Selebihnya, Pramam tak tahu apa pun.Anne memalingkan wajah. Kepalanya mengangguk pelan sebelum ia bangkit menuju lemari es mini di sudut ruang. Anne mengambil minuman kaleng dan menyerahkannya pada Pramam.“Sejak awal, dia yang bantu aku kembangkan butik yang nyaris bangkrut ini,” ungkap Anne. “Jujur aku nggak tahu tujuan Ibu sebenarnya apa, kenapa dia kasih butik begini ke mantunya yang jelas-jelas lagi sibuk mengurus orang lain di rumah?” Ia mengangkat bahu sambil tersenyum tipis. “Nggak berhenti di situ, Ibu juga kasih syarat yang terkesan kayak tantangan. Aku nggak bisa cari orang yang tepat selain Varen. Kalau minta ke kamu pun pe
Anne tidak tahu harus merasa bersyukur atau bingung karena orang yang menyebabkan Pramam geram adalah Eman. Pria itu datang mendadak ke butiknya. Di saat momen krusial begini, tentu Pramam memiliki segudang pertanyaan untuk Anne karena kedatangan tamu laki-laki.“Kamu kenal laki-laki itu?” tanya Pramam sebelum membiarkan Anne pergi. “Apa dia investor atau klienmu juga?”Anne menelan ludah. lantas menggeleng tanpa berpikir panjang. “Dia pelanggan VIP di sini,” terangnya jelas berbohong.“Oke.” Pramam menyambar jas yang sempat disampirkannya tadi. Ia juga membenahi resleting celana yang sudah diturunkan. “Aku balik ke kantor aja, urusan kita yang sempat tertunda tadi, akan aku tagih di rumah malam ini.” Pramam mendekati Anne, lalu melabuhkan kecupan ringan di kening. “Jangan pulang terlalu malam, aku tunggu di rumah.”Mengangguk dan tersenyum kaku, Anne menatap punggung Pramam hingga tak lagi terlihat. Seketika kedua kakinya lemas, ia kontan duduk di sofa sambil mengatur napasnya.“Bu A
Anne menuangkan air mineral ke gelas kosongnya. Ia membasahi kerongkongan dengan menenggak cukup banyak, mengingat pengarnya yang menyiksa di pagi hari. Belum lagi mata bengkak karena habis menangis semalam.“Main sembunyi-sembunyinya udahan?”Suara barithone merasuk ke rungu Anne. Tanpa menoleh, ia sudah tahu siapa orang yang ada di hadapannya. Tengah menduduki salah satu stool di sana sambil memandanginya lurus.“Aku masih pusing, jangan ajak berantem,” jawabnya sambil lalu.“Siapa yang mau ajak berantem?” Pramam turun dari duduknya, lalu berdiri seakan sengaja menghadang si wanita. “Aku nanya kamu kenapa harus tidur di ruangan depan?”Anne menahan napas saat jalannya harus diblok Pramam. Meski seperti itu, ia tetap tak ingin menatap suaminya yang tampak menyebalkan.“Aku ketiduran.”Jawaban Anne tak sepenuhnya berbohong. Ia memang jatuh tidur akibat minuman keras yang dikonsumsinya semalam. Belum lagi tubuhnya kelewat lelah setelah berteriak dan menangis sejadinya.Sementara itu Pr
“Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.
“Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men
Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika
Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men
Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da
Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu
Anne sudah menemukan nama yang tepat untuk bayinya. Maknanya indah dan cukup menggambarkan ketampanan si bayi. Siapa tahu jika sudah besar nanti, tak hanya penampilannya yang baik, tapi juga sifatnya. Menjadi sosok kuat dan pelindung bagi orang sekelilingnya.Itulah harapan yang terus digaungkan Anne sepanjang perjalanannya menuju kediaman Papa-Mama. Ia masih diantar supir pribadi yang dipekerjakan Papa untuknya. Di usia sedewasa ini, Anne masih dianggap sebagai putri kecil Papa yang harus mendapat pemantauan ekstra. Begitulah kira-kira alasan Papa ketika membujuknya beberapa waktu lalu.“Non, mau mampir dulu atau langsung ke rumah Bapak?”“Langsung aja ke rumah,” balasnya pada si supir.Jalanan saat itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mengingat jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah pasti jalanan tak padat merayap seperti pagi tadi atau sore ketika jam pulang kantor.Setengah jam berlalu, kendaraan yang ditumpanginya sudah tiba di pelataran rumah mewah ora
“Pram! Pramam!”Teriakan Ina yang terus memanggil satu nama itu membuat Pramam mengangkat wajah. Tubuhnya ikut bangkit bersama langkah yang diseret menuju sumber suara. Begitu berhasil membuka pintu, ia melihat ibunya sedang memapah Mara yang tampaknya lemas—entah karena apa.“Ada apa ini, Bu?” tanyanya langsung membantu menggendong Mara ke sofa. “Dia sakit?”Ina menggeleng panik. “Waktu di teras, Pak Yon udah lihat dia jalan lemas kayak gini,” terangnya. “Apa dia mabuk?”Pramam langsung memastikan keadaan Mara, tapi tak ada aroma minuman keras dari wanita itu. Hanya saja, tatapnya teralih pada pakaian Mara yang basah. Terlebih dari dadanya. Aneh, mengingat waktu itu belum memasuki musim penghujan dan keadaan di luar pun masih terang benderang.“Ra?” panggilnya pelan. “Kamu kenapa sebenarnya?”Wanita itu tak bereaksi. Tatapannya kosong dan makin membuat Pramam serta Ina bingung. Lantas Pramam mengangkat tubuh itu ke kamar agar Mara bisa istirahat lebih leluasa di sana.Setelah membar
Anne terhenyak. Batinnya bagai ditusuk tombak sewaktu menangkap presensi Mara tengah bersimpuh di hadapannya. Ia sempat melirik Sonya, asisten sekaligus sekretarisnya yang kini menunduk. Mungkin gadis itu juga tak bisa menyelesaikan masalah ini sebelum atasannya datang ke butik setelah beberapa waktu.“Sudah saya paksa, Bu, tapi dia tetap bersikeras menunggu di sini. Saya nggak bisa berbuat macam-macam, mengingat pelanggan sudah banyak yang datang.”Akhirnya Sonya membuka suara. Anne mengangguk setelah melepaskan napas panjangnya. Ia meminta anak buahnya untuk kembali ke kegiatannya masing-masing, lalu membiarkan Mara.“Apa mau kamu ke sini?”Dingin. Kesan Anne pada Mara sudah berubah drastis. Tak lagi ramah atau dipenuhi kehangatan saat bertutur kata. Setiap orang, bisa mengubah kepribadiannya setelah momen besar terjadi. Terlebih bagi Anne sendiri, ia sudah mengalami kejadian yang membuat hatinya pecah akibat pengkhianatan suami.“Mbak ….” Mara merangkak mendekati kedua kaki Anne ya