Malam menjelang, alat dapur sudah saling bersahutan. Diikuti aroma sedap yang menguar dan menusuk hidung. Biasanya Anne melihat Mara yang bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perut, tapi kali ini gadis itu justru tetap bertahan dan sesekali membantunya di dapur.Lelehan gula aren yang menyatu dengan minyak panas bercampur bumbu rempah itu sungguh menarik selera. Siapa pun yang melihat dan menciumnya, air liur di mulut menjadi penuh. Dapat Anne saksikan bagaimana Mara mati-matian menahan diri untuk tidak mencomot barang sedikit.“Sebentar lagi matang, Mar,” kata Anne yang sedari tadi menyadari ada seseorang menanti makanan terhidang di meja. “Kamu tunggu aja di meja makan, aku siapkan, ya.”Mara berjengkit, merasa tidak enak kalau-kalau si nyonya rumah meladeninya. Bahkan tatapan Rina di sana cukup mengganggunya jika terus bertopang dagu seperti ini.Lantas ia menggeleng pelan. “Nggak usah, Mbak, aku mau ikut bantu-bantu juga.”“Hei, kalau kamu nggak enak badan, apalagi nah
“Ngapain kamu sebut-sebut nama bajingan itu, Ann?”Pramam menyembul dari balik pintu kamar Mara yang entah sejak kapan sudah terbuka. Anne berjengkit kala menangkap presensi suaminya itu. Ia lantas menatap Mara sebelum akhirnya melihat ke arah Pramam lagi.“Kenapa kamu nggak jawab?” tanya Pramam lagi. “Kamu nggak dengar pertanyaanku tadi, atau perlu aku ulangi?”Menahan napas, Anne menjeda beberapa saat sebelum menjawab, “Mas tenang, dong. Aku itu cuma nanya ke Mara soal Varen, emangnya salah?”“Sal—“Ucapan Pramam kontan disambar Mara. “Maaf, Mbak, tapi aku nggak punya hubungan apa pun sama Pak Varen Herlambang,” balasnya pada Anne.Mendengar itu, Anne mengedikkan dagu pada suaminya. “Tuh, aku nanya dan udah dijawab sama Mara. Lagian kenapa Mas ini sensi banget waktu denger nama Varen disebut?” tuturnya sambil melirik sebal. “Mara aja santai, kok Mas yang emosi?”Sekilas Pramam menatap Mara, lalu berdeham singkat. “Mara perlu istirahat, lebih baik kamu ambilin aku baju,” cetusnya sed
Setelah menuntaskan momen panasnya dengan Pramam semalaman. Anne cukup kelelahan dan membutuhkan banyak asupan, seperti jus di pagi hari. Kini tubuhnya hanya dibalut gaun tidur tipis dengan rambut yang dicepol.Cukup banyak jejak kemerahan yang menghias di leher. Namun, Anne tidak malu jika bawahannya melihat hasil karya Pramam yang luar biasa. Seolah hal itu kelewat biasa menjadi pandangan sedap Rina beserta asisten lain di rumah.Anne menjumpai Rina yang sedang sibuk mengambil makanan dari kulkas. Gadis itu sepertinya mulai sibuk mempersiapkan sarapan untuk tuannya. Lantas Anne mendekati Rina dengan wajah bingung karena tak mendapati sosok Mara di sana. Sebab biasanya, Mara sudah duduk manis di stool sembari membantu Rina sedikit-sedikit.“Lho Mara ke mana, Rin?” tanyanya sambil mengedarkan pandangan ke sekitar.Rina mengangkat wajah, sedikit terkejut karena aroma wangi Anne menguar cukup menusuk hidung. “Ada di kamar, Nyonya, tadi muntah-muntah lagi,” jawabnya jujur dengan menunjuk
Pramam menaikkan alis. “Maksud kamu … kamu mau?”Ia dapat menyaksikan perubahan raut Mara kala menatapnya. Kedua pipi itu bersemu merah, ditambah bibir bawah yang digigitnya pelan. Menunjukkan gelagat malu yang disukainya juga dirindukannya akhir-akhir ini.Tangannya bergerak menyentuh pundak si gadis. Lalu tubuhnya mendekat dan mendaratkan beberapa kecupan di leher jenjang Mara. Tak ada penolakan yang ia terima seperti sebelumnya, justru gadis itu melenguh keenakan.Namun, hanya beberapa waktu berselang, Pramam menghentikan kegiatannya mendadak. Mara menahan dada, malah mendorongnya pelan kemudian. Ia merangkum paras cantik itu dengan tatapan bingung. “Aku nggak seburuk itu sampai pengen dimanja sama suami orang,” tolak keras Mara, “aku masih waras, Mas.”“Biarpun suami orang, tapi aku ayah dari anak ini. Aku nggak bisa lepas tanggungjawab, Ra. Lagian aku juga masih sayang sama kamu,” ungkap Pramam tampak tulus, sorotnya menggambarkan keseriusan. “Jujur aku khawatir pas dengar kamu
Anne meraup wajah ke sekian kali karena frustasi. Tak peduli betapa sempurna riasannya kini. Wanita itu meneliti Pramam yang baru memasuki mobil dan diantar sang sopir pribadi. Sampai detik ini, ia belum mendapat jawaban atas pertanyaannya sendiri. Pria itu sudah pergi ke kantor dan sekarang, pikirannya jadi penuh akibat ucapan Varen sewaktu di rumah sakit. Bagaimana jika memang benar kalau kondisi perusahaan Pramam sedang di ambang kehancuran? Bukankah ini akan jadi malapetaka kalau-kalau anak mereka lahir? Lalu bagaimana nasib si jabang bayi seandainya Pramam bangkrut? Anne tidak mungkin meminta bantuan pada orangtuanya tanpa usaha apa pun. “Rin?” panggilnya tiba-tiba ketika mendapati asistennya melintasi teras rumah. “Iya, Nyonya?” “Soal makan siang Mara, kamu yang urus, ya.” Anne menggerakkan pergelangan tangan, menatap arloji yang melingkar. “Saya ada perlu di luar, mungkin bisa pulang sore atau malam.” Anne melangkah ke dalam rumah tanpa mendengar tanggapan Rina. Kakinya m
“Mundur atau aku teriak?”Anne tak tahu sikap Varen bisa semendadak berubah begini. Harus melontarkan ancaman lebih dulu untuk membuat pria itu sadar atas perbuatannya yang jelas kurang disenangi lawan. Anne mampu meloloskan diri begitu menarik tubuh dari kaca jendela.Varen terkekeh. “Aku nggak akan melakukan sesuatu hal yang senonoh sama kamu, Ann,” katanya. “Nggak perlu sepanik itu kali.”“Aku minta bantuan kamu, Ren, tapi kenapa sikapmu malah begitu?” Mata Anne melirik sinis. “Kalau kamu nggak bisa bantu, tinggal bilang. Biar aku cari orang lain yang bersedia bantu.”Anne sudah mengayunkan langkah. Bahunya bergerak naik-turun, menandakan emosi mulai memenuhi benaknya. Namun, lengannya ditarik paksa oleh Varen. Mau tak mau, kakinya berhenti.Sebelum ia menoleh dan melempar protes, Varen lebih dulu bergerak hingga berdiri di hadapannya. Tampang pria itu kelihatan datar, tapi detik setelahnya justru menyunggingkan senyum tipis. Anne tak mengerti maksud dari itu semua, ia memilih mele
“Just shut up!”Mendengar teriakan Pramam, Varen tak terkejut sama sekali. Ditambah si pemilik ruang itu menggebrak meja. Lalu mengambil paksa foto yang masih mengapit di jemari Varen.Varen menyeringai. “Takut banget lo, Pram?”Kesabaran Pramam mulai menipis. Ia bergerak mengitari meja dan berhadapan langsung tanpa banyak jarak dengan Varen. Jika tadi usahanya tak berhasil merampas foto USG Mara, kali ini ia tak akan gagal.“Balikin foto itu atau gue lapor polisi?” ancamnya telak.Pria itu tetap pada pendiriannya. Memasang wajah remeh dan menekan foto tersebut dala genggamannya. Sementara Pramam sudah menatap nyalang.“Yakin mau lapor polisi?” Kepala Varen meneleng. “Bukannya gue yang ditangkap, malah lo sendiri atas dugaan kasus korupsi perusahaan sendiri.”Sontak Pramam bergeming tanpa berkedip. Tubuhnya menegang seketika begitu mendengar penuturan Varen yang luar biasa mengejutkan. Bagaimana musuhnya itu tahu soal tindak korupsi yang sedang menjadi pembahasan panas akhir-akhir ini
“Bapak apa kabar?” Anne menyapa ayah mertuanya ramah.Seperti biasa, Anne dihujani kecupan setelah mendapat pelukan hangat dari Dharma Basuki. Ayah mertua yang sangat menyayanginya. Berbeda sekali dengan Ina yang kerap memberikan petuah berbentuk cibiran belaka. “Baik, Anne gimana sekarang?” balas Dharma. Kemudian menatap tubuh sang menantu yang kelihatan berbeda. “Kalau memang belum dapat rejeki, kamu bisa berusaha lagi sama Pramam.”Mendengar itu, Anne lumayan trenyuh. Perpisahan yang kembali dialaminya karena keguguran beberapa waktu lalu membuat batinnya pedih. Guna menyudahi perasaannya itu, ia menarik pundak Mara yang saat itu tak begitu jauh darinya.“Ini program yang lagi Anne jalani sama Mas Pram, Pak,” jelasnya sekilas melirik Mara dengan senyum.Dharma mengangguk paham. “Bapak tahu, dan … semua lancar?”“Janinnya sehat,” tukas Anne percaya diri. “Iya, kan Mara?”Mara pun mengiyakan melalui gerakan kepala yang naik-turun. Tak lupa gadis itu tersenyum ramah seolah sudah akra
“Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.
“Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men
Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika
Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men
Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da
Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu
Anne sudah menemukan nama yang tepat untuk bayinya. Maknanya indah dan cukup menggambarkan ketampanan si bayi. Siapa tahu jika sudah besar nanti, tak hanya penampilannya yang baik, tapi juga sifatnya. Menjadi sosok kuat dan pelindung bagi orang sekelilingnya.Itulah harapan yang terus digaungkan Anne sepanjang perjalanannya menuju kediaman Papa-Mama. Ia masih diantar supir pribadi yang dipekerjakan Papa untuknya. Di usia sedewasa ini, Anne masih dianggap sebagai putri kecil Papa yang harus mendapat pemantauan ekstra. Begitulah kira-kira alasan Papa ketika membujuknya beberapa waktu lalu.“Non, mau mampir dulu atau langsung ke rumah Bapak?”“Langsung aja ke rumah,” balasnya pada si supir.Jalanan saat itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mengingat jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah pasti jalanan tak padat merayap seperti pagi tadi atau sore ketika jam pulang kantor.Setengah jam berlalu, kendaraan yang ditumpanginya sudah tiba di pelataran rumah mewah ora
“Pram! Pramam!”Teriakan Ina yang terus memanggil satu nama itu membuat Pramam mengangkat wajah. Tubuhnya ikut bangkit bersama langkah yang diseret menuju sumber suara. Begitu berhasil membuka pintu, ia melihat ibunya sedang memapah Mara yang tampaknya lemas—entah karena apa.“Ada apa ini, Bu?” tanyanya langsung membantu menggendong Mara ke sofa. “Dia sakit?”Ina menggeleng panik. “Waktu di teras, Pak Yon udah lihat dia jalan lemas kayak gini,” terangnya. “Apa dia mabuk?”Pramam langsung memastikan keadaan Mara, tapi tak ada aroma minuman keras dari wanita itu. Hanya saja, tatapnya teralih pada pakaian Mara yang basah. Terlebih dari dadanya. Aneh, mengingat waktu itu belum memasuki musim penghujan dan keadaan di luar pun masih terang benderang.“Ra?” panggilnya pelan. “Kamu kenapa sebenarnya?”Wanita itu tak bereaksi. Tatapannya kosong dan makin membuat Pramam serta Ina bingung. Lantas Pramam mengangkat tubuh itu ke kamar agar Mara bisa istirahat lebih leluasa di sana.Setelah membar
Anne terhenyak. Batinnya bagai ditusuk tombak sewaktu menangkap presensi Mara tengah bersimpuh di hadapannya. Ia sempat melirik Sonya, asisten sekaligus sekretarisnya yang kini menunduk. Mungkin gadis itu juga tak bisa menyelesaikan masalah ini sebelum atasannya datang ke butik setelah beberapa waktu.“Sudah saya paksa, Bu, tapi dia tetap bersikeras menunggu di sini. Saya nggak bisa berbuat macam-macam, mengingat pelanggan sudah banyak yang datang.”Akhirnya Sonya membuka suara. Anne mengangguk setelah melepaskan napas panjangnya. Ia meminta anak buahnya untuk kembali ke kegiatannya masing-masing, lalu membiarkan Mara.“Apa mau kamu ke sini?”Dingin. Kesan Anne pada Mara sudah berubah drastis. Tak lagi ramah atau dipenuhi kehangatan saat bertutur kata. Setiap orang, bisa mengubah kepribadiannya setelah momen besar terjadi. Terlebih bagi Anne sendiri, ia sudah mengalami kejadian yang membuat hatinya pecah akibat pengkhianatan suami.“Mbak ….” Mara merangkak mendekati kedua kaki Anne ya