"Enggak boleh! Kamu jangan egosi, Darren! Istrimu lagi hamil muda. Kandungannya masih rentan. Jakarta-Bali itu bukan jarak yang dekat."Tubuh Darren seketika lemas. Tangannya menggaruk kepala yang tak gatal. Darren benar-benar bimbang. Tidak mungkin sehari bolak-balik Jakarta - Bali. Menolak pun, Darren tidak akan bisa. Selama ini apapun perintah mamanya selalu dituruti. Tapi, yang dikatakan ibu Renata memang benar. Kandungan Sabrina masih sangat rentan. "Darren, kamu perbanyak puasa. Kata pak Ustad, puasa sunnah dapat menahan n4fsu," sambung ibu Renata. Berbicara sangat sungguh-sungguh. Belum sempat Darren menanggapi, Sabrina datang membawa potongan brownies yang masih mengepul. Kedua mata ibu Renata membeliak, senyumnya melebar. Hatinya begitu bahagia karena yang brownies yang diinginkan sudah ada di depan mata. "Ma, nih brownies-nya udah matang. Masih mengepul. Selamat mencicipi," kata Sabrina sumringah. Menyodorkan sepiring brownies yang sudah dipotong-potong. "Terima kasih, S
Pagi hari di kediaman keluarga Wirawan. Semua penghuni rumah itu sedang menikmati sarapan bersama. Wajah Sabrina terlihat sangat segar dan semakin cantik. Sedari tadi, diam-diam ibu Renata memerhatikan menantunya. Dalam hati, ia pun mengakui jika Sabrina memiliki kecantikan yang alami. Bukan cantik karena make up atau skincare. "Ma, aku enggak perlu ke rumah sakit, Males." Ucapan Darren menyentak lamunan Ibu Renata. Ia menoleh danberdehem, mengambil sepotong roti tawar panggang dan memberinya selai."Demi kesehatanmu, demi Sabrina, demi calon cucu Mama." Tanggapan ibu Renata singkat tapi sangat jelas, membuat Darren tak bisa berkutik lagi. "Saya temani ya, Mas? Boleh kan, Ma?" Ibu Renata dan yang lainnya menoleh pada Sabrina. Tidak biasanya Sabrina berbicara pada saat sarapan. Biasanya dia bicara ketika ditanya. "Hm ... boleh. Tapi, kalian enggak boleh keluyuran kemana-mana. Kamu mesti ingat, Darren. Jam lima harus berangkat ke Bali," tandas ibu Renata menatap lekat anak semata wa
Angelica sangat terkejut mendengar ucapan Darren. Tidak menyangka Darren mengetahui penyakit yang dideritanya. Seingatnya, dia tidak bercerita pada siapapun. Lalu, Darren tahu dari siapa?"Jangan nuduh sembarangan kamu! A-aku enggak punya penyakit itu!" elak Angelica gugup. Sikapnya berubah salah tingkah. Darren menyunggingkan senyum sinis. "Kalau enggak punya penyakit itu, ngapain kamu ke sini? Dasar tukang bohong!"Belum sempat Angelica menanggapi, nama Darren sudah dipanggil asisten dokter. Darren dan Sabrina meninggalkan Angelica yang masih mematung di tempat. 'Sialan! tau dari siapa dia kalau aku punya penyakit itu? Argh!'gumam Angelica membalikkan badan, meninggalkan poly penyakit kulit dan kelamin. Angelica ke kantin lebih dulu, menunggu Darren dan Sabrina pergi dari rumah sakit. Usai menjalani pemeriksaan dan mengetahui hasilnya, Darren dan Sabrina tersenyum bahagia. Dokter Sasti sudah dapat memberikan hasilnya dari mendengar penuturan Darren dan melihat kondisi alat v1ta
"Tadi apa kata dokter? Kamu ikut masuk juga ke ruangan dokter kan waktu Darren dipanggil?"Mertua dan menantu itu berjalan beriringan. Meski Sabrina agak sungkan, tapi sekarang dia tidak bisa menjaga jarak lagi dengan ibu Renata. Wanita yang telah melahirkan suaminya itu selalu berusaha mendekati Sabrina. Dia tampaknya mulai menyukai bahkan sudah menyayangi wanita yang berasal dari kampung itu. "Iya, Ma. Tadi saya ikut menemani Mas Darren ke dalam ruangan dokter Sasti. Hasilnya alhamdulillah negatif," jawab Sabrina, suaranya terdengar sangat lembut membuat hati ibu Renata tenang. "Syukurlah, Mama ikut senang," ucap ibu Renata mengajak Sabrina duduk di ruang keluarga. "Mbaaakk ... Mbak Tutiii ...." Panggilan ibu Renata membuat Mbak Tuti bergegas menghampiri. "Iya, Nyonya?" Setengah membungkuk Mbak Tuti bertanya. "Tolong buatin Es Jeruk peras dua. Buat saya dan buat Sabrina. Cepetan ya, Mbak!" titah ibu Renata pada salah satu asisten rumah tangganya. "Baik, Nyonya."Mbak Tuti lang
Sore hari, Darren sudah siap-siap akan berangkat ke luar kota. Pak Sugeng yang hari ini masuk kantor sudah menghubunginya, menyuruh Darren segera berangkat. "Nanti malam kliennya datang. Kalau kamu belum tiba di Bali, sedangkan Klien udah ada di sana, enggak enak Ren," jelas Pak Sugeng di ujung telepon. Kalau bukan proyek besar, Pak Sugeng tidak mungkin menyuruh anaknya keluar kota untuk menangani proyek tersebut. Klien yang berasal dari Singapore itu sudah mempercayai perusahaan Wirawan yang bergerak dalam bidang property untuk menangani. Darren yang duduk di sisi ranjang, di sampingnya ada Sabrina hanya merunduk lesu. Tidak ada semangat. Sabrina meraih telapak tangan suaminya, mencium punggung tangan Darren lembut lalu memberikan senyuman manis. "Iya, Pa. Sebentar lagi berangkat.""Hubungi Papa kalau udah tiba di sana.""Iya, Pa."Sambungan telepon terputus. Darren menoleh pada Sabrina. Mereka saling memandang sepersekian menit, lalu menghapus jarak cukup lama. "Mas, udah ya? B
Andre masih saja menelisik rekaman video dirinya dengan Jessi. Dia baru sadar kalau wajah Jessi mirip dengan istri kedua Darren. "Ya benar, wajahnya mirip Sabrina. Hanya saja, ada titik tanda lahir di atas b1bir Jessi. Apa mungkin Jessi itu adalah Sabrina? Atau mungkin sebenarnya mereka kembar?" gumam Andre mulai yakin kalau wajah Jessi memang sangat mirip dengan Sabrina. Hanya sikapnya saja yang berbeda. Andre mencari handphone, ingin memastikan kecurigaannya pada Angelica. "Hallo, Dre? Ada apa?" Suara Angelica terdengar seperti baru bangun tidur. Andre melirik jam dinding di kamar, baru jam sembilan malam tapi Angelica sudah tertidur. Tidak biasanya. "Tumben jam segini kamu udah tidur?""Tadi aku habis minum obat. Ngantuk banget. Ada apa?""Minum obat? Obat apa? Kamu sakit apa?"Mendengar rentetan pertanyaan Andre, Angelica baru sadar keceplosan. Seketika, rasa kantuknya hilang, kedua matanya membeliak, mengubah posisi jadi duduk. "Eu ... a-aku sakit kepala doang. Mungkin ... g
"Sayang, aku baru masuk mobil. Mau ke penginapan dulu. Satu jam lagi aku baru ketemu klien. Kamu lagi ngapain?" ucap Darren pada saat sambungan telepon dengan Sabrina terhubung. "Alhamdulillah, kalau Mas udah sampai. Saya lagi bantuin Mbok Darmi menyiapkan makan malam. Mas, jangan lupa makan malam, ya?"Bibir Darren tersenyum. Sangat menyukai perhatian yang terkesan perhatian kecil tapi sebetulnya sangat membuat Darren bahagia."Iya, Sayang. Paling nanti aku makan malam bersama klien. Kamu kenapa ngebantuin Mbok Darmi? Emang Mbak Tuti kemana?" "Mbak Tuti diajak ke swalayan sama Mama. Tapi, sampai sekarang belum sampe rumah. Tadi waktu saya telepon, kata Mama masih di jalan.""Oh ... aku heran, kenapa sekarang mama jadi rajin ke swalayan? Biasanya juga paling malas keluar rumah.""Enggak apa-apa, Mas. Mungkin mama bosan di rumah terus.""Ya bisa jadi. Sayang, aku udah masuk ke halaman penginapan. Kamu jangan keluar rumah. Kalau mau keluar rumah, jangan sendirian. Harus ditemani mama
Darren berdehem sebelum menjawab, menyudahi makan malamnya. "Mohon maaf, Mr. Enggak ada wanita yang menarik di mata saya kecuali istri saya. Kalau begitu, saya permisi. Selamat malam."Senyum yang mengembang di bibir Mr. Whang hilang seketika. Lelaki itu menyambut uluran tangan Darren dengan raut wajah masam. Ternyata Darren sama dengan papanya, lelaki yang setia. Sepanjang jalan menuju penginapan, Darren ingin menghubungi Sabrina, menyampaikan kalau ada wanita yang mirip dengannya. Nama wanita itu juga sama, Jessi. Apa mungkin saudara kembar Sabrina wanita malam? Wanita panggilan?Lebih baik Darren mencari tahu dulu tentang siapa Jessi itu sebelum memberitahu istrinya. *** Setelah minum obat. seperti biasa rasa nyeri pada tubuh Angelica mulai berkurang. Ia mengganti pakaian, ingin melihat keadaan keluarga Wirawan. Ada kabar apa di sana? Sebelum menjalankan rencana untuk memfitnah Sabrina, Angelica harus melihat keadaan rumah keluarga konglomerat itu lebih dulu. Handphone di dala
"Kalian mau kemana?" Pak Sugeng bertanya ketika Darren dan ibu Regina berpapasan dengannya di pintu depan. "Aku mau ---""Anterin aku pulang ke panti. Aku mau ambil beberapa pakaian ganti. Kalau boleh, aku mau nginap di sini sampai acara tahlilan mbakyu selesai," sela ibu Regina. Tidak ingin kalau pak Sugeng mengetahui kalau dirinya dan Darren menemui Angelica. "Boleh saja. Silakan."Setelahnya, Pak Sugeng masuk ke dalam rumah. Darren dan ibu Regina melanjutkan langkah, menuju tempat di mana Angelica ditahan. "Tante, kenapa enggak tinggal bersama kami saja?" tanya Darren ketika kendaraan yang mereka tumpangi melaju. "Enggak, Darren. Tante udah nyaman tinggal di panti."Jawaban ibu Regina membuat Darren terdiam seribu basa. Mereka baru bertemu beberapa jam, tapi Darren merasa kalau sudah sangat lama bertemu dengan ibu Regina. Mungkin karena diantara mereka terdapat ikatan darah. "Kenapa selama ini Tante enggak pernah muncul di acara keluarga kami?" tanya Darren heran. Mengingat k
Usai pemakaman, Ibu Regina bertanya kembali pada Darren. Di rumah itu hanya Darren yang bisa diajak bicara. Ibu Regina bertanya kenapa ibu Renata sampai ditusuk orang perutnya? Siapa pelakunya?Awalnya Darren tak ingin menjawab namun karena ibu Regina memaksa, akhirnya Darren mengatakannya. Kedua mata ibu Regina membeliak mendengar nama Angelica. "Jadi, yang membuat Mbakyuku meniggal Angelica juga?" ibu Regina teramat terkejut. "Iya, Tante. Tapi keadaan mama sempat membaik."Ibu Regina menggelengkan kepala berulang kali. Rasa sakit hati pada Angelica semakin besar. Anak dan kakaknya telah dibunuh wanita berhati iblis itu. Pandangan ibu Regina beralih pada ibu Anita yang menangis di depan pusara ibu Renata. Dengan kasar, ibu Regina mendorong tubuh ibu Anita hingga wanita itu terjungkang. "Munafik! Gara-gara anakmu, Mbak Renata meninggal! Anakmu, anak iblis! Dulu anakku yang dibunuhnya, sekarang kakakku!" Teriakan ibu Regina membuat ibu Anita dan orang lain terkejut. Mereka kasak-ku
Keluarga Wirawan berduka. Wanita yang selama ini mengharapkan cucu kini telah tiada ketika keinginannya itu dikabulkan Tuhan. Pak Sugeng duduk di samping jenazah ibu Renata sejak beberapa jam lalu. Belahan jiwanya telah hilang. Dibiarkan air mata membasahi wajah. Tak ada lagi sikapnya yang tegas, yang berwibawa dan yang berkharismatik. Kini, ia telah kehilangan semangat. "Pa, Papa makan dulu," ucap Darren mengingatkan sang papa yang seharian ini tidak ada makanan yang masuk ke dalam perut. "Nanti saja." Hanya itu jawaban yang terucap dari mulut lelaki yang ditinggal kekasih hatinya. Kekasih yang telah menemani hidupnya. Sabrina yang berada di dalam kamar, tengah memberi ASI pada kedua buah hatinya meneteskan air mata. Masih teringat jelas, bagaimana perhatiannya ibu Renata, bagaimana keinginan ibu Renata memiliki cucu. "Ya Allah, mohon kesabaran serta keikhlasan dalam hatiku ya Allah. Hamba tahu, semua ini sudah menjadi takdir-Mu."Rumah duka keluarga Wirawan semakin berjalan wak
Pak Sugeng bergegas keluar ruangan, hendak membeli brownies keinginan ibu Renata. Lelaki itu membeli brownies di toko yang letaknya tak jauh dari rumah sakit. Ia tak ingin berlama-lama meninggalkan ibu Renata. Hanya memakan waktu lima belas menit, pak Sugeng sudah kembali ke ruangan ibu Renata. Di dalam ruangan, terlihat ibu Renata sedang berbicara sendiri di depan handphone. "Lho, Mas. Cepat sekali belinya?" tanya ibu Renata heran. Ia lantas mematikan rekaman suara di handphone milik suaminya. Jangan sampai pak Sugeng tahu kalau ibu Renata meninggalkan pesan suara pada ponselnya. "Aku sengaja beli di toko kue terdekat. Ini aku beli dua. Ada yang pake toping keju dan ada yang enggak pake toping. Kamu mau makan yang mana dulu?" tanya pak Sugeng sembari menunjukan dua kotak brownies. Sengaja membeli dua supaya Ibu Renata memilih. "Aku mau toping keju. Mas, suapin aku ...," rengekan ibu Renata membuat hati pak Sugeng mencelos. Permintaan itu seperti mengisyaratkan sesuatu. "Tentu. A
"Aku harus bilang gitu, Anita. Umur orang enggak ada yang tau. Paling enggak kalau aku udah bilang, kamu bisa wujudin," jelas ibu Renata menatap sendu wanita yang napasnya turun naik karena kesal akan ucapannya. "G1la kamu, Renata! Bisa jadi umurku lebih dulu yang tamat daripada kamu." Sangat sewot ibu Anita menanggapi ucapan ibu kandung Darren. Ibu Renata meraih telapak tangan ibu Anita. Ia seolah memohon pada mantan besannya itu."Anita, aku mohon padamu. Kabulkan---""Stop!" sela Anita menghempaskan genggaman tangan ibu Renata. "Aku enggak mau dengar soal itu lagi. Renata, kamu pasti sembuh. Sekarang keinginan terbesarmu sudah Tuhan penuhi. Langsung dikasih dua, Renata. Kamu harus sembuh. Oke?" ucap ibu Anita. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia sangat takut kalau sahabat dari semasa SMA-nya itu benar-benar pergi meninggalkannya. Dia sangat takut, jika apa yang dikatakan ibu Renata akan terjadi. Ibu Anita menggelengkan kepala, menghalau pikiran dan firasat buruk. Sesaat, terjad
"Mama Anita?" pekik Darren melihat mantan ibu mertuanya yang berdiri di hadapan. "Darren, apa Mama boleh menjenguk Mamamu?" suara ibu Anita bergetar. Ia takut sekali jika keluarga Wirawan membencinya karena perbuatan jahat anak semata wayangnya, Angelica."Boleh, Ma. Silakan masuk."Darren memberi ruang pada ibu Anita agar masuk ke dalam ruangan. Semuanya terkejut akan kedatangan ibu Anita. Wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anita?" gumam ibu Renata melihat sahabatnya datang menjenguk. Ibu Anita merasa sangat bersalah akan perbuatan jahat yang dilakukan Angelica pada ibu Renata. "Renata, Renata ...." Ibu Anita menghambur dalam pelukan wanita yang telah melahirkan Darren. Pak Sugeng menarik mundur kursi roda Sabrina agar tidak menghalangi Ibu Anita yang memeluk sahabatnya. "Aku minta maaf, Renata ... aku minta maaaff ...." Permohonan maaf diucapkan ibu Anita disela pelukan pada sahabatnya. Ibu Renata mengusap lembut punggung ibu Anita. "Kamu enggak perlu minta maaf, Anita. Ka
Pertanyaan ibu Anita sarat penekanan. Tatapannya sangat tajam. Angelica memicingkan kedua mata, merasa kesal karena mamanya lagi dan lagi tidak membelanya justru membela orang lain. "Aku enggak bermaksud mencelakai dia. Tujuanku Sabrina dan calon anaknya!" tandas Angelica membalas tatapan ibu Anita tak kalah tajam. "Kenapa? Memangnya Sabrina melakukan kesalahan apa sama kamu, Lica?" Ibu Anita mencondongkan tubuh lebih ke depan. "Kesalahan apa?" Angelica mengulang pertanyaan mamanya. "Mama lupa, dia udah ngerebut kebahagiaanku! Gara-gara kedatangan dia di rumah itu, aku diusir! aku diceraikan. Hidupku hancur, kacau gara-gara dia! Dia enggak boleh lebih lama bahagia. Aku ingin ... aku ingin Sabrina hidupnya hancur dan menderita sepertiku!" Mendengar ucapan Angelica, ibu Anita menggelengkan kepala berulang kali. "Bodoh!" maki ibu Anita dipenuhi amarah. "Kamu sangat bodoh, Lica! Lihatlah ... akibat kebodohanmu, sekarang kamu di penjara! kamu akan mati di dalam sel sana, Lica!" sambun
Ibu Anita yang memutuskan pindah tempat tinggal terkejut mendengar kabar anak semata wayangnya menusuk perut ibu Renata. Kabar itu disampaikan oleh Jessi yang mengetahui keberadaan wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anak kurang ajar! Aku pikir dia sudah m4ti!" geram ibu Anita mengepalkan kedua telapak tangan di hadapan wanita yang wajahnya mirip Sabrina. Tiga bulan lalu, ibu Anita tanpa sengaja bertemu dengan Jessi di kantor keluarga Wirawan. Jessi kala itu menemani Mr. Whang meeting di kantor Darren. Singkat cerita hubungan mereka semakin dekat. Jessi yang telah kehilangan sosok ibu, seperti menemukan sosok ibu dalam diri ibu Anita. Begitu pula ibu Anita. Sampai akhirnya, ibu Anita memutuskan pindah rumah karena tak nyaman selalu didatangi ibu Regina. Sekarang ibu Anita tinggal di apartemen yang dulu ditempati Darren dan Sabrina. "Awalnya Angelica ingin menusuk Sabrina. Tapi, dihalangi mama Renata.""Ya Tuhan ... Kenapa anak itu selalu mencari masalah?" Ibu Anita menutup waja
Pak Sugeng bergegas menuju ruangan Sabrina yang letaknya cukup jauh. Sedangkan Darren berjalan, menghampiri jendela ruangan yang di dalamnya ada ibu Renata. Darren tak menyangka kalau ibu Renata yang menyelamatkan nyawa Sabrina dan calon anaknya. Ternyata ibu Renata sikapnya sudah benar-benar berubah. Sangat menyayangi dan perhatian pada Sabrina. Dari kejauhan, Darren melihat pergerakan jari ibu Renata. Lalu, perlahan-lahan kedua mata wanita tua itu terbuka. Mulutnya menganga, seolah sedang bicara. Menit berikutnya, perawat yang menjaga ibu Renata di dalam ruangan membuka pintu. "Sus, Mama saya sudah sadarkan diri?" tanya Darren tampak sumringah."Betul, Mas. Apa Mas keluarga pasien?""Saya anaknya, Sus.""Oh silakan masuk, Mas."Suster membuka pintu ruangan lebar, mempersilakan Darren masuk. Lalu, suster itu berjalan cepat, hendak memanggil dokter yang menangani kesehatan ibu Renata. "Mama!" pekik Darren berdiri di samping wanita yang telah melahirkannya. Ibu Renata mengulas sen