Andre masih saja menelisik rekaman video dirinya dengan Jessi. Dia baru sadar kalau wajah Jessi mirip dengan istri kedua Darren. "Ya benar, wajahnya mirip Sabrina. Hanya saja, ada titik tanda lahir di atas b1bir Jessi. Apa mungkin Jessi itu adalah Sabrina? Atau mungkin sebenarnya mereka kembar?" gumam Andre mulai yakin kalau wajah Jessi memang sangat mirip dengan Sabrina. Hanya sikapnya saja yang berbeda. Andre mencari handphone, ingin memastikan kecurigaannya pada Angelica. "Hallo, Dre? Ada apa?" Suara Angelica terdengar seperti baru bangun tidur. Andre melirik jam dinding di kamar, baru jam sembilan malam tapi Angelica sudah tertidur. Tidak biasanya. "Tumben jam segini kamu udah tidur?""Tadi aku habis minum obat. Ngantuk banget. Ada apa?""Minum obat? Obat apa? Kamu sakit apa?"Mendengar rentetan pertanyaan Andre, Angelica baru sadar keceplosan. Seketika, rasa kantuknya hilang, kedua matanya membeliak, mengubah posisi jadi duduk. "Eu ... a-aku sakit kepala doang. Mungkin ... g
"Sayang, aku baru masuk mobil. Mau ke penginapan dulu. Satu jam lagi aku baru ketemu klien. Kamu lagi ngapain?" ucap Darren pada saat sambungan telepon dengan Sabrina terhubung. "Alhamdulillah, kalau Mas udah sampai. Saya lagi bantuin Mbok Darmi menyiapkan makan malam. Mas, jangan lupa makan malam, ya?"Bibir Darren tersenyum. Sangat menyukai perhatian yang terkesan perhatian kecil tapi sebetulnya sangat membuat Darren bahagia."Iya, Sayang. Paling nanti aku makan malam bersama klien. Kamu kenapa ngebantuin Mbok Darmi? Emang Mbak Tuti kemana?" "Mbak Tuti diajak ke swalayan sama Mama. Tapi, sampai sekarang belum sampe rumah. Tadi waktu saya telepon, kata Mama masih di jalan.""Oh ... aku heran, kenapa sekarang mama jadi rajin ke swalayan? Biasanya juga paling malas keluar rumah.""Enggak apa-apa, Mas. Mungkin mama bosan di rumah terus.""Ya bisa jadi. Sayang, aku udah masuk ke halaman penginapan. Kamu jangan keluar rumah. Kalau mau keluar rumah, jangan sendirian. Harus ditemani mama
"Enggak sia-sia, aku menyewa rahimmu 200 juta. Ternyata kamu masih p3r4w4n dan .... " Mata lelaki itu menelisik sekujur tubuh gadis yang malam ini telah kehilangan kegadisannya. "... Cukup memuaskan," sambungnya sambil menyeringai. Baru kali ini, Darren merasakan berc1nt4 dengan wanita yang masih p3r4wan. Meski terlahir dari keluarga kaya raya, lelaki itu tak suka melakukan hubungan suami istri dengan banyak wanita. Dia tidak mau mengambil resiko. Takut tertular penyakit mematikan. Darren lebih memilih nikah sirri daripada berz1n4. Istri pertama Darren bernama Angelica, berasal dari keluarga pengusaha sudah hilang mahkotanya ketika melakukan malam pertama dengannya. Dan sudah lima tahun pernikahan, Angelica tak juga hamil. Oleh karena itu, kedua orang tua Darren menyarankan anak semata wayangnya untuk menikah lagi. Tentunya dengan gadis baik-baik. Sabrina menyeka lelehan air mata. Gadis malang yang dipaksa ayahnya untuk menyewakan rahim pada Darren, tak kuasa menahan isak tangis. M
"Kalau saya mengembalikan uang itu, apakah utang ayah saya masih ada?" Sabrina balik bertanya. Hatinya sangat takut kalau utang ayahnya belum dianggap lunas. "Aku bercanda, Sabrina. Kamu gak usah mengembalikannya. Utang ayahmu juga tetap dianggap lunas meski pernikahan kita bukan pernikahan kontrak. Kamu cukup persiapkan mental, menghadapi Angelica, istri pertamaku.""Tuan sudah menikah?" Sabrina terkejut. Kedua matanya hampir melompat. "Iya. Aku udah menikah selama 5 tahun tapi istriku belum bisa kasih keturunan. Aku juga udah gak cinta dia. Makanya orang tuaku menyarankan pernikahan ini."'Astaghfirullah, ternyata aku menikah dengan suami orang,' bathin Sabrina. Sabrina menelan saliva mendengar ucapan Darren. Pandangannya beralih keluar jendela mobil, membayangkan pertemuan pertama dengan istri pertama Darren. Sabrina memejamkan kedua mata, setetes air mata lolos membasahi wajah. Kini, tanpa ia sadari dirinya adalah seorang pel4kor. Dalam hati, Sabrina berulang kali beristighfar,
"Mama doakan saja supaya Sabrina segera hamil dan melahirkan anakku dengan selamat dan sehat," timpal Darren tidak ingin memperpanjang obrolan mereka. Darren tahu, perempuan yang berdiri di belakangnya sangat ketakutan. "Tentu saja. Aku akan mendoakan supaya dia cepat hamil, cepat melahirkan dan cepat pergi dari rumah ini." Ibu Renata melengos, pergi meninggalkan Darren dan Sabrina bersama Pak Sugeng. Sabrina menarik napas lega, walaupun ada rasa sakit di hati. Memegang dadanya yang berdebar tak karuan. "Hei, are you oke?" panggil Darren. "Hah?" Sabrina malah melongo. "Kamu takut?" Darren merundukkan sedikit kepala, ingin melihat wajah Sabrina. "I-iya. Takut banget," jawab Sabrina tersenyum miring. Darren terkekeh, meraih telapak tangan anak gadis pak Sudarso. "Enggak usah takut. Aku tadi kan udah bilang, ada aku. Apa yang mesti kamu takutin?""Huh, apaan ada aku? Buktinya waktu Mbak Lica memukul tubuhmu, kamu diam aja," cibir Sabrina, memanyunkan bibirnya. Darren mencubit gem
“Kamu udah keramas? Ini masih jam empat dini hari,” ucap Darren yang belum terlelap. Mereka semalaman menikm4ti kebersamaan sebagai sepasang suami istri. Pernikahan yang awalnya terpaksa dan dipaksa, kini Sabrina mulai bisa menerima Darren sebagai suaminya.“Aku mau sholat dulu,” jawab Sabrina sambil mengeringkan rambut.Mendengar jawaban Sabrina, Darren tercenung sejenak. Sudah lama sekali Darren tidak menjalankan kewajibannya.Dulu, sewaktu masih ada almarhumah neneknya dari pihak Pak Sugeng, neneknya selalu menyuruh Darren melaksanakan sholat.“Aku mau sholat Subuh juga.” Darren beranjak dari tempat tidur, berjalan cepat ke toilet, tidak menghiraukan tatapan heran Sabrina.Usai mandi besar, Darren mengenakan pakaian dan sarung untuk sholat Subuh. Sabrina sudah mengenakan mukena, duduk di atas sajadah.Hati Sabrina sangat bahagia karena Darren rupanya bisa melaksankan sholat bahkan bacaan Al-Quran-nya cukup bagus. Sabrina memanjatkan doa, mengucapkan rasa syukur. Pernikahan yang ter
Tubuh Sabrina bergetar dibentak dan diusir Ibu Renata. Sebulir air mata berhasil lolos dari kelopak matanya. Dalam hati, Sabrina berkata, 'Betapa hinanya aku. Andai saja ayah enggak punya utang pada mereka, aku tak sudi menyewakan rahim ini. Meski sekarang aku mulai merasa nyaman berada di dekat tuan Darren.'"Sabrina, kamu tuli? Pergi dari sini! Kalau mau sarapan, ke belakang. Bersama pembantu kami," sambung Ibu Renata semakin tinggi intonasi suaranya. "Ma, Sabrina istriku. Dia berhak sarapan di sini. Oh ya, aku sampe lupa. Aku udah merobek surat perjanjian nikah kontrak kami. Aku dan Sabrina udah bukan nikah kontrak lagi, Ma, Pa." Darren begitu tenang menyampaikan perihal pernikahannya pada Ibu Renata dan Pak Sugeng. Tentu saja, kedua orang tua itu sangat terkejut, kedua mata mereka membesar. "Jangan g1la kamu, Darren! Kamu mau menjadikan wanita kampungan itu istri sah-mu?" Ibu Renata tak percaya dengan penjelasan Darren. Namun, lelaki yang sudah dua kali menikah itu tetap tenang.
Sabrina bingung menjawab. Ia tak ingin dianggap wanita tak tahu diri di rumah ini apalagi ibu Renata sudah sangat jelas tidak menyukainya. Tidak hanya ibu Renata, Pak Sugeng dan Angelica pun tidak menyukainya. Darren merasa kasihan melihat istrinya. Merangkul pundak Sabrina dan mengecup pelipisnya mesra. "Kamu jangan takut. Di sini ada aku. Aku tau, tadi Mama menegurmu. Jangan kamu ambil hati. Mama begitu, karena belum tau siapa kamu. Aku yakin, kalau mama udah kenal baik kamu, mama akan menyukaimu," sambung Darren berkata pelan. "Kalau begitu, izinkan aku berusaha mengambil hati Nyonya Renata. Aku punya keahlian memasak. Insya Allah Nyonya akan menyukainya."Darren menghela napas berat. Berpikir sejenak lalu menganggukkan kepala. "Ya sudah kalau itu maumu."Senyum Sabrina mengembang seraya mengucapkan terima kasih. Ia sangat bahagia karena diberi kesempatan untuk mengambil hati ibu mertua. Darren duduk di kursi dapur, memerhatikan istrinya yang tengah memasak bersama beberapa as
"Sayang, aku baru masuk mobil. Mau ke penginapan dulu. Satu jam lagi aku baru ketemu klien. Kamu lagi ngapain?" ucap Darren pada saat sambungan telepon dengan Sabrina terhubung. "Alhamdulillah, kalau Mas udah sampai. Saya lagi bantuin Mbok Darmi menyiapkan makan malam. Mas, jangan lupa makan malam, ya?"Bibir Darren tersenyum. Sangat menyukai perhatian yang terkesan perhatian kecil tapi sebetulnya sangat membuat Darren bahagia."Iya, Sayang. Paling nanti aku makan malam bersama klien. Kamu kenapa ngebantuin Mbok Darmi? Emang Mbak Tuti kemana?" "Mbak Tuti diajak ke swalayan sama Mama. Tapi, sampai sekarang belum sampe rumah. Tadi waktu saya telepon, kata Mama masih di jalan.""Oh ... aku heran, kenapa sekarang mama jadi rajin ke swalayan? Biasanya juga paling malas keluar rumah.""Enggak apa-apa, Mas. Mungkin mama bosan di rumah terus.""Ya bisa jadi. Sayang, aku udah masuk ke halaman penginapan. Kamu jangan keluar rumah. Kalau mau keluar rumah, jangan sendirian. Harus ditemani mama
Andre masih saja menelisik rekaman video dirinya dengan Jessi. Dia baru sadar kalau wajah Jessi mirip dengan istri kedua Darren. "Ya benar, wajahnya mirip Sabrina. Hanya saja, ada titik tanda lahir di atas b1bir Jessi. Apa mungkin Jessi itu adalah Sabrina? Atau mungkin sebenarnya mereka kembar?" gumam Andre mulai yakin kalau wajah Jessi memang sangat mirip dengan Sabrina. Hanya sikapnya saja yang berbeda. Andre mencari handphone, ingin memastikan kecurigaannya pada Angelica. "Hallo, Dre? Ada apa?" Suara Angelica terdengar seperti baru bangun tidur. Andre melirik jam dinding di kamar, baru jam sembilan malam tapi Angelica sudah tertidur. Tidak biasanya. "Tumben jam segini kamu udah tidur?""Tadi aku habis minum obat. Ngantuk banget. Ada apa?""Minum obat? Obat apa? Kamu sakit apa?"Mendengar rentetan pertanyaan Andre, Angelica baru sadar keceplosan. Seketika, rasa kantuknya hilang, kedua matanya membeliak, mengubah posisi jadi duduk. "Eu ... a-aku sakit kepala doang. Mungkin ... g
Sore hari, Darren sudah siap-siap akan berangkat ke luar kota. Pak Sugeng yang hari ini masuk kantor sudah menghubunginya, menyuruh Darren segera berangkat. "Nanti malam kliennya datang. Kalau kamu belum tiba di Bali, sedangkan Klien udah ada di sana, enggak enak Ren," jelas Pak Sugeng di ujung telepon. Kalau bukan proyek besar, Pak Sugeng tidak mungkin menyuruh anaknya keluar kota untuk menangani proyek tersebut. Klien yang berasal dari Singapore itu sudah mempercayai perusahaan Wirawan yang bergerak dalam bidang property untuk menangani. Darren yang duduk di sisi ranjang, di sampingnya ada Sabrina hanya merunduk lesu. Tidak ada semangat. Sabrina meraih telapak tangan suaminya, mencium punggung tangan Darren lembut lalu memberikan senyuman manis. "Iya, Pa. Sebentar lagi berangkat.""Hubungi Papa kalau udah tiba di sana.""Iya, Pa."Sambungan telepon terputus. Darren menoleh pada Sabrina. Mereka saling memandang sepersekian menit, lalu menghapus jarak cukup lama. "Mas, udah ya? B
"Tadi apa kata dokter? Kamu ikut masuk juga ke ruangan dokter kan waktu Darren dipanggil?"Mertua dan menantu itu berjalan beriringan. Meski Sabrina agak sungkan, tapi sekarang dia tidak bisa menjaga jarak lagi dengan ibu Renata. Wanita yang telah melahirkan suaminya itu selalu berusaha mendekati Sabrina. Dia tampaknya mulai menyukai bahkan sudah menyayangi wanita yang berasal dari kampung itu. "Iya, Ma. Tadi saya ikut menemani Mas Darren ke dalam ruangan dokter Sasti. Hasilnya alhamdulillah negatif," jawab Sabrina, suaranya terdengar sangat lembut membuat hati ibu Renata tenang. "Syukurlah, Mama ikut senang," ucap ibu Renata mengajak Sabrina duduk di ruang keluarga. "Mbaaakk ... Mbak Tutiii ...." Panggilan ibu Renata membuat Mbak Tuti bergegas menghampiri. "Iya, Nyonya?" Setengah membungkuk Mbak Tuti bertanya. "Tolong buatin Es Jeruk peras dua. Buat saya dan buat Sabrina. Cepetan ya, Mbak!" titah ibu Renata pada salah satu asisten rumah tangganya. "Baik, Nyonya."Mbak Tuti lang
Angelica sangat terkejut mendengar ucapan Darren. Tidak menyangka Darren mengetahui penyakit yang dideritanya. Seingatnya, dia tidak bercerita pada siapapun. Lalu, Darren tahu dari siapa?"Jangan nuduh sembarangan kamu! A-aku enggak punya penyakit itu!" elak Angelica gugup. Sikapnya berubah salah tingkah. Darren menyunggingkan senyum sinis. "Kalau enggak punya penyakit itu, ngapain kamu ke sini? Dasar tukang bohong!"Belum sempat Angelica menanggapi, nama Darren sudah dipanggil asisten dokter. Darren dan Sabrina meninggalkan Angelica yang masih mematung di tempat. 'Sialan! tau dari siapa dia kalau aku punya penyakit itu? Argh!'gumam Angelica membalikkan badan, meninggalkan poly penyakit kulit dan kelamin. Angelica ke kantin lebih dulu, menunggu Darren dan Sabrina pergi dari rumah sakit. Usai menjalani pemeriksaan dan mengetahui hasilnya, Darren dan Sabrina tersenyum bahagia. Dokter Sasti sudah dapat memberikan hasilnya dari mendengar penuturan Darren dan melihat kondisi alat v1ta
Pagi hari di kediaman keluarga Wirawan. Semua penghuni rumah itu sedang menikmati sarapan bersama. Wajah Sabrina terlihat sangat segar dan semakin cantik. Sedari tadi, diam-diam ibu Renata memerhatikan menantunya. Dalam hati, ia pun mengakui jika Sabrina memiliki kecantikan yang alami. Bukan cantik karena make up atau skincare. "Ma, aku enggak perlu ke rumah sakit, Males." Ucapan Darren menyentak lamunan Ibu Renata. Ia menoleh danberdehem, mengambil sepotong roti tawar panggang dan memberinya selai."Demi kesehatanmu, demi Sabrina, demi calon cucu Mama." Tanggapan ibu Renata singkat tapi sangat jelas, membuat Darren tak bisa berkutik lagi. "Saya temani ya, Mas? Boleh kan, Ma?" Ibu Renata dan yang lainnya menoleh pada Sabrina. Tidak biasanya Sabrina berbicara pada saat sarapan. Biasanya dia bicara ketika ditanya. "Hm ... boleh. Tapi, kalian enggak boleh keluyuran kemana-mana. Kamu mesti ingat, Darren. Jam lima harus berangkat ke Bali," tandas ibu Renata menatap lekat anak semata wa
"Enggak boleh! Kamu jangan egosi, Darren! Istrimu lagi hamil muda. Kandungannya masih rentan. Jakarta-Bali itu bukan jarak yang dekat."Tubuh Darren seketika lemas. Tangannya menggaruk kepala yang tak gatal. Darren benar-benar bimbang. Tidak mungkin sehari bolak-balik Jakarta - Bali. Menolak pun, Darren tidak akan bisa. Selama ini apapun perintah mamanya selalu dituruti. Tapi, yang dikatakan ibu Renata memang benar. Kandungan Sabrina masih sangat rentan. "Darren, kamu perbanyak puasa. Kata pak Ustad, puasa sunnah dapat menahan n4fsu," sambung ibu Renata. Berbicara sangat sungguh-sungguh. Belum sempat Darren menanggapi, Sabrina datang membawa potongan brownies yang masih mengepul. Kedua mata ibu Renata membeliak, senyumnya melebar. Hatinya begitu bahagia karena yang brownies yang diinginkan sudah ada di depan mata. "Ma, nih brownies-nya udah matang. Masih mengepul. Selamat mencicipi," kata Sabrina sumringah. Menyodorkan sepiring brownies yang sudah dipotong-potong. "Terima kasih, S
Ibu Renata kembali ke ruang keluarga. Bibirnya tak henti tersenyum membayangkan brownies buatan menantunya sudah matang. Pasti rasanya sangat lezat. "Ma, lihat Sabrina enggak?""Mau ngapain kamu nyariin Sabrina?" Ibu Renata balik bertanya. Intonasi suaranya agak ketus. "Ya kan, Sabrina istri aku, Ma. Gimana sih? Aku mau tidur tapi mau cari Sabrina dulu. Mama lihat enggak?"Ibu Renata memutar bola mata malas mendengar ucapan anak tunggalnya. "Sini kamu! Duduk dulu sama Mama. Sabrina aman. Dia lagi di dapur. Lagi bikinin brownies buat Mama!" Darren melepaskan cekalan tangan ibu Renata dari lengannya."Mama serius? Malam-malam begini nyuruh istriku bikin Brownies?""Bukan Ma--""Inget, Ma ... Sabrina lagi hamil. Dia lagi ngandung cucu Mama!" sela Darren mengingatkan ibu Renata. "Kamu pikir Mama udah pikun? Mama juga ingat! Bukan Mama yang nyuruh Sabrina, Darren. Dia sendiri yang mau. Mama juga enggak tau dia ada di dapur. Tadinya Mama nyuruh si Mbok dan Mbak Tuti. Eh pas Mama ke dap
Sedikitpun ibu Renata tidak terkejut mendengar kabar Angelica mengalami penyakit itu. Pikir ibu Renata, masih untung Angelica mengidap penyakit Gonore, bukan HIV. Tapi, sisi lain ibu Renata merasa kasihan pada ibu Anita. Sahabatnya itu pasti selalu memikirkan keadaan Angelica. "Ya sudah, jangan terlalu kamu pikirkan. Lebih baik kamu fokus saja dengan kesehatanmu. Masalah Angelica cukup didoakan, supaya dia cepat sembuh dari penyakitnya dan cepat sadar atas sikap buruknya."Ibu Anita terdiam, hanya terdengar helaan napas dan isak tangis yang tertahan. "Sekarang udah malam, kamu harus istirahat, Anita." Ibu Renata tidak ingin terlalu lama membahas tentang mantan menantunya itu. "Iya. Nanti aku istirahat. Re, terima kasih. Kamu selalu jadi pendengar setiaku. Dari dulu sampai sekarang. Terima kasih banyak.""Sudahlah, jangan terlalu berlebihan. Kita ini udah lama bersahabat. Wajar saja kalau aku demikian."Walau sifatnya agak keras, tapi ibu Renata tidak ingin berbangga hati atau gila