Dirinya mematung. Susah payah ia mengulum nafasnya yang tercekat resah. Yang mana pihak keluarga Anderson? Ia bahkan tak memiliki gambaran sama sekali rupa kedua orang tuanya. Seorang pria tua tampak beranjak dari salah satu sisi meja dan menghampirinya. "Kamu sudah datang," sambut sosok berumur berambut abu-abu dengan garis uban berwarna perak itu sambil menepuk pelan pundaknya. Tak ayal, benaknya tak juga menghasilkan untaian kata untuk menanggapi. Diputuskannya untuk menyunggingkan senyuman yang tampak kikuk sebagai gantinya. Di sudut matanya, ia melihat Eddy akhirnya menyusul memasuki ruangan. Dan, hal itu seakan memberinya angin segar penghiburan dari rasa canggung yang menyesakkan dada. Ia baru saja menolehkan pandangan kepada sekretarisnya itu hendak meminta panduan ketika pria tua tersebut menggiringnya ke arah meja, ke sejumlah tamu yang telah menanti semenjak tadi. “Ini Tuan dan Nyonya Watson. Dan Naomi, putri sulung mereka,” ucap pria itu setengah berbisik di dekat t
Dihelanya nafas panjang berkali-kali berharap kepala beserta isinya segera mereda dan kembali nyaman. Ditatap lurusnya pintu bilik yang terbuat dari kaca ukir di hadapannya. Seolah ada jiwa lain mengambil alih pikirannya tadi, ia tak dapat menemukan alasan atas munculnya badai emosional dalam dirinya barusan. Dihampirinya wastafel di luar bilik serta mulai membasuh wajah. Ia bahkan ingin mencelupkan seluruh kepalanya ke dalam air agar kesejukannya segera melarutkan kegundahan dan menyegarkan benaknya. Ditatapnya pantulan wajah pada cermin di depannya itu. Berulang kali ia memberi penegasan pada diri sendiri. Apapun itu, sekarang bukan saatnya bagiku untuk mencoba mengingat! Aku nyaris mengacaukan dalih sempurna yang telah disiapkan keluarga Anderson untukku. Jika tadi bersikeras berada di ruangan itu lebih lama lagi mungkin aku hanya akan mempermalukan diri sendiri. Akan terlihat menyedihkan jika aku ketahuan menderita amnesia di depan keluarga Watson dan orang-orang. Kesekian k
"Aku tahu sekali, Nona," ucapnya dengan suara berdesir letih. Dicondongkannya tubuh kepada lawan bicara di sampingnya itu hingga ia mampu menghirup aroma parfum wanita tersebut dengan jelas. "Tetapi, apakah seekor semut dapat menghadapi seekor gajah hanya dengan menubruknya secara membabi buta?" Untaian kata-kata kiasan itu kemudian terlontar begitu saja dari bibirnya. Menyiratkan permintaan untuk memperjelas ucapannya barusan, kedua bola mata coklat itu membalas tatapannya dengan tertegun membelalak. "Maksudmu... kita adalah semutnya?" gumam wanita itu pelan. Ditariknya diri menjauh dari Naomi, membuang tatapan ke arah langit malam, serta kembali hening dengan benak yang masih terus berpikir. “Tidakkah Anda memiliki cinta pilihan sendiri? Apa sebabnya Anda mendadak bersedia menjalani rencana tidak masuk akal ini? Ini semua hanya pernikahan politik untuk keuntungan bisnis semata!" sergah wanita itu mulai menumpahkan kekesalan padanya. Alih-alih segera menanggapi, ia hanya me
Kepala yang terasa penat dan tubuh yang terasa letih mendorongnya untuk memejamkan mata. Ia tak memiliki daya yang tersisa menangani rasa gentar dan gundah yang mengerayangi batin setiap kali ia menghadapi arus lalu lintas. Disandarkannya diri ke belakang jok mobil yang tengah dikemudikan sekretarisnya itu. Tak ayal, sayup-sayup keingintahuannya yang belum terjawab kembali datang menggelitik. Diraihnya ponsel dari dalam saku kemeja dan mulai menelusuri dunia maya lewat ‘benda pintar’ tersebut. Namun ia masih belum dapat menemukan apa yang dicarinya. Diliriknya sosok yang duduk di depan kemudi itu. Dan, seketika menyadari satu hal. Eddy adalah sekretaris pribadinya yang mengikuti setiap aktivitas kesehariannya bagai satelit mengelilingi bumi. Bukankah pria itu seharusnya menjadi yang paling mengetahui nyaris segala rinci kejadian akan dirinya? Mengapa selama ini tak terpikirkan olehnya? Disimpannya kembali ponsel ke balik saku kemeja. Akan lebih baik jika ia bertanya pada narasumb
Alih-alih menekan tombol lift menuju suite-nya, ia justru bermaksud menuju lobi. Tingkahnya tersebut serta merta mengundang reaksi sang sekretaris yang sedari tadi mengawalnya semenjak dari parkiran mobil bawah tanah. “Anda hendak kemana, Pak?”“Ke kantor polisi. Ada yang hendak kupastikan. Dan aku yakin mereka pasti memiliki catatan kejadian yang kubutuhkan.”“Anda tinggal mengatakan kebutuhan Anda. Biar saya yang mengurusnya,” sahut Eddy lekas.“Ada hal yang harus aku sendiri yang memastikannya ....”Pria itu mengernyit gusar ke arahnya. “Apakah Anda meragukan kinerja saya, Pak?”Ia tergelak miris. Ia sedang tak ingin berdebat dengan pria di sampingnya tersebut.“Ini tidak ada hubungannya dengan kinerja,” kilahnya.Pintu lift membuka. Tanpa ragu ia segera bergegas melesat ke arah lobi. Gumaman gusar Eddy tak digubrisnya sama sekali. Hingga pria itu berhasil mencegat langkahnya dengan menahan pundaknya erat.“Pak. Saya sarankan Anda sebaiknya fokus pada apa yang ada di depan mata.
Ia merasa perutnya tengah teraduk-aduk menghadapi hiruk pikuk lalu lintas yang membentang bagai lautan di hadapannya. Seolah tali nafasnya tengah terjepit, nafasnya tersengal-sengal. Alih-alih melanjutkan langkah, ia merasa kedua kakinya lemas tak berdaya. Buru-buru ia berpegangan pada tiang pendek pembatas pelataran depan gedung. Sebuah mobil yang melesat di dekatnya sontak membuatnya meringkukkan kepala. Rasa gamang dan gentar seketika mengerubungi batinnya. Pikirannya kian kalut. Mengapa aku yakin sekali semua kendaraan itu hendak menubrukku? Bagaimana ini? Apakah sebaiknya aku kembali ke dalam gedung saja? Dengan wajah yang masih merunduk, ia memberanikan diri untuk melirik ke arah jalan yang pikuk. Debaran jantungnya sungguh tak terkendali, menghadirkan peluh di sekujur wajah dan telapak tangannya. Ia tak akan mampu menyeberangi jalanan di hadapannya itu sekalipun lampu lalu lintas telah mengizinkan. Bunyi klakson yang memekik riuh dari arah belakang membuatnya kian resah. I
Nihilnya reaksi dari dirinya serta merta membuat lawan bicaranya frustasi. Tampaknya Naomi tidak mampu membendung lebih lama lagi rasa yang terus menerus mendesak dalam benak hingga membuat wanita itu memuntahkan semuanya ke permukaan dalam satu waktu.“Aku tidak tahu dengan Anda. Tetapi tahukah Anda masalah perjodohan ini sungguh membuatku putus asa, Tuan? Aku dan Robert saling mencintai. Kami bermaksud untuk menjalani masa depan bersama untuk waktu yang sangat lama. Pernikahan politik ini hanya akan mengungkungku dan menghancurkan masa depanku. Tidakkah kamu dengar sendiri mereka telah menetapkan tanggal pernikahan kita? Kumohon. Jika Anda memiliki rencana untuk mengakhirinya, beritahu aku agar aku bisa bekerja sama dengan Anda ....”Ia tercenung menyaksikan betapa emosionalnya sosok di hadapannya itu. Naomi yang dilihatnya saat ini sungguh dipenuhi dengan luapan rasa oleh keputusasaan. Diam-diam penyesalan dan rasa bersalahnya pun turut kian bertambah. Ia merasa bagai tengah terpu
Setelah melihat senyuman wanita itu sekilas, dilangkahkannya kaki memasuki kondo. Kala menuju meja resepsionis untuk mengambil kartu suite –yang selalu dititipkannya belakangan ini, ia mendengar sebuah teguran oleh suara yang cukup familiar di ruang dengarnya. "Ternyata begitu, ya ...." sergah suara tersebut terdengar bergetar menahan luapan emosi. Serta merta ia menoleh dan terhenyak kuat menemukan sosok yang berdiri tak jauh di belakangnya itu. Dan bagai maling yang tengah tertangkap basah, entah mengapa ia tergagap saat menyapa sosok tersebut. "A ...anne?"Sekalipun telah berusaha keras menyamarkan keterkejutannya atas kunjungan yang tak terduga itu, sunggingan senyum terbaiknya tampak canggung."Bagaimana dengan pernikahan Carla?" ujarnya setenang mungkin demi usaha mengalihkan keadaan. Dibentangkannya kedua tangan hendak merangkul Joanne. Namun, wanita itu segera menepisnya. Dan seketika ia terkesiap.Sepasang bola mata berwarna cokelat gelap itu menatapnya keruh ditenggarai
"Hah?" Ia mendelik semakin tak paham dengan ucapan Dave. "Apa maksudmu?" Alih-alih segera menyahut, sosok yang duduk di depan kemudi itu tampak berkonsentrasi penuh ke depan. Entah dikarenakan tidak memiliki cukup kesabaran atau alasan lainnya, Dave bersikeras mencari jalan alternatif untuk menghindari kemacetan yang tengah menghadang. Sementara menanti penjelasan dari Dave, kian banyak praduga yang bermunculan di benaknya. Turut dilayangkannya lirikan pada kaca tengah lalu spion untuk memeriksa keadaan sekitar. Setidaknya itu yang dapat dilakukannya saat ini demi mengatasi rasa gusar. Sejauh telisiknya, ia tidak menemukan tanda-tanda adanya penguntit. Apakah kini diriku boleh merasa tenang? Apakah kehadiran Dave mampu menjanjikanku keamanan? "Bahkan anak kembar sekalipun tidak memiliki sidik jari yang sama. Tidakkah kamu bertanya apa sebabnya kamu dapat dengan mudah melewati setiap sistem pengaman bersidik jari milik Wilbert? Tidakkah kamu memikirkan jawabannya?"Oleh tuturan Da
Seolah menangkap maksud tatapannya dengan tepat, pria itu segera bersuara. "Sebaiknya kita melanjutkan pembicaraan di tempat lain sebelum mengundang perhatian orang sekitar dengan interaksi penuh keakraban ini," usul Dave sembari menepis debu yang menempel pada bagian bawah celana jinsnya. Kemudian pria tersebut melangkah di depan seolah yakin akan diikuti. Setelah terjeda dalam pertimbangan beberapa saat, ia memutuskan untuk menyusul. Diraihnya ransel yang sempat terhempas tadi. Menepuk-nepuk benda berwarna hitam itu lalu menata kembali talinya ke atas pundak. Kendati tidak menoleh, Dave terlihat menurunkan laju derap. Pria itu membiarkannya menyetarakan langkah tanpa perlu tergesa-gesa. "Pertemuan dengan Ross di depan Guggenheim tadi malam bukan rencanaku sama sekali. Itu benar-benar di luar dugaanku. Tetapi, kamu dengan cepat menyimpulkan tanpa mendengarkan," terdengar Dave memberi penjelasan sedikit lebih panjang lebar dari biasanya."Tentu saja aku lebih mempercayai mataku da
Baru saja selangkah menapaki tangga bus, sebuah tangan mencengkeram kuat lengannya serta menariknya turun. Sontak ia terkesiap dan menoleh. Sembari memekik gusar, dikibaskannya tangan yang masih tercengkeram itu berulang kali. "Hey! Apa yang ...." "Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya ...." ujar sosok dari balik kerudung jaket hitam tersebut padanya. Suara berdesir kasar yang segera mengingatkannya pada seseorang. Dave. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyergah ucapan pria itu, sosok tersebut telah melanjutkan ucapan, "Nashville adalah tempat pertama yang akan mereka datangi untuk mencarimu." Diputuskannya untuk membendung kehendaknya untuk melawan. Batinnya mengatakan agar ia tidak gegabah dan memberi kesempatan mendengarkan. Dibiarkannya diri digiring menjauh dari samping bus.Begitu giringan pria tersebut berhenti, ia mendelik tajam ke arah Dave. Dengan sebelah tangan yang bebas, ia balas mencengkeram kerah jaket pria tersebut. "Jebakan apa lagi yang kini tengah ka
Kedua bola matanya bergerak liar seiring benak dan batinnya saling menimbang. Hatinya mengerucut kecut.Tetapi, bagaimana jika ternyata Dave merencanakan jebakan? Atas dasar apa aku dapat mempercayainya? Bisa saja dia salah satu dari orang Abe yang ditugaskan melacak dan memastikan keberadaanku. Sekonyong-konyong kian tercekam oleh pikiran sendiri, ia bergeming. Disandarkannya pucuk dahi pada pintu loker, melanjutkan menimbang. Jika memang demikian, bukannya Dave memiliki banyak kesempatan mencidukku saat dalam perjalanan ke New York? Setelah beberapa saat mengulum bibirnya, diputuskannya untuk menyudahi keterpakuannya pada rasa ragu. Diraihnya sepatu kets tua yang selalu disimpannya di dalam loker dan mengenakannya. Bersama rentetan pertanyaan yang dipersiapkannya, dibulatkannya tekad menghadapi resiko demi memperjelas keingintahuannya akan diri. Ia juga baru dapat memutuskan apakah Dave orang yang layak dipercaya atau tidak setelah menemui pria tersebut hari ini.Udara malam di pe
"Halo!" Sapaan yang datang dari balik punggungnya tersebut sontak mengejutkannya. Ia tak dapat mencegah dirinya untuk tidak terlonjak. Ia menoleh dengan kedua mata yang membulat sempurna. Mendapati sosok sang penyapa kian membuatnya tersentak. Bahkan hingga nyaris tak mampu mengatasi rasa terkejutnya. Dengan berusaha tak terdengar gelagapan, ia kemudian hanya bergumam menanggapi sekenanya. "Oh, hai ...." ucapnya pelan sembari melintas hening ke arah pintu belakang dapur restoran. Dikulumnya bibir menahan resah. Ini gawat! Bagaimana Dave bisa menemukanku? Aku yakin ini bukan sekedar kebetulan! Batinnya memekik segusar-gusarnya."Tidakkah kamu dapat menyapa teman lamamu dengan lebih baik, Tuan William Anderson?"Serta merta langkahnya terhenti. Sekali lagi ia mendapatkan serangan mengejutkan. Kendati hendak berkelit dan kabur, sekujur tubuhnya kelu begitu saja oleh teguran Dave barusan. Dengan tidak memutar tubuh sepenuhnya, ia menanggapi. "Sepertinya kamu salah mengenali orang. Nama
Matanya menangkap sesosok yang melesat hilang ke balik pohon di dekat tempat pembuangan sampah. Ia terkesiap menahan nafas. Siapa itu? Mengapa tampak seperti baru saja memata-matai tempat ini? Apakah mereka berhasil mengetahui keberadaanku?Sekali lagi ia memberanikan diri memeriksa lewat jendela.Tiada siapapun di luar sana. Bahkan setelah berulang kali mengerjap dan menyisir berkeliling, ia hanya menemukan keheningan malam. Aku yakin tadi melihat seseorang. Atau aku hanya terlalu was-was hingga berhalusinasi? Berapa lama lagi aku bisa bersembunyi di sini hingga aku ditemukan oleh mereka? Dengan langkah letih, dilanjutkan langkah dari dapur menuju ke kamar mandi satu bilik khusus karyawan. Ia butuh berbilas untuk menggelontorkan resahnya. Dibiarkannya bulir-bulir air yang dingin dari pancuran mendera permukaan tubuhnya. Dihelanya nafas panjang. Masih terus berjuang mengatasi badai kalut dalam batin. Aku tidak tahan lagi. Selalu merasa terjepit di antara rasa was-was ini seakan mem
Sekonyong-konyong sebersit pikiran muncul ke permukaan, ia memutuskan berhenti hening. Hati-hati dibalasnya tatapan pria yang telah kembali duduk di balik meja kerja tersebut."Tuan Gustav. Mungkin ini sebuah permintaan yang terdengar lancang ...." Sembari mengulum bibir sendiri, ia terjeda untuk menata keberanian sesaat. "Kalau boleh... saya mohon diizinkan bermalam di sini. Saya bisa merangkap sebagai penjaga keamanan sekaligus berberes-beres. Bagaimana?" tawarnya kemudian.Baik dirinya maupun Tuan Gustav hanya saling mengadu pandang dalam diam beberapa saat.Hingga pria bertubuh gembur tersebut menepuk tangan dan berdeham dari balik meja. "Kamu tidak ada masalah dengan hukum, kan?" tanya Tuan Gustav padanya bersama tatapan menelisik.Dengan sigap ia mengatasi keterhenyakannya. Sekali lagi ia tergelak miris. "Tidak ada. Ini semua hanya dikarenakan masalahku dengan keluarga semata," ujarnya dengan nada yakin. "Apakah masalahmu itu tidak akan berdampak pada tempat kerjamu?" tanya ata
Kakinya yang mulai berteriak letih sekonyong-konyong menyadarkannya. Dirinya tidak mungkin terus berlari. Kemudian ia pun serta merta bertekad nekad berbelok ke lorong buntu di belakang deretan gedung pertokoan sebelah kirinya tersebut. Matanya dengan sigap mencari tempat persembunyian. Dihampirinya salah satu pintu dan mencoba membukanya. Namun, lempengan berbahan besi itu hanya bergeming menutup. Hatinya mulai menggeliat resah diterpa rasa panik. Bersama bibir yang tiada henti mengumpat, ia kembali mencoba pada pintu demi pintu di deretan lorong tersebut. Hingga menemukan pintu yang terbuka pada percobaan keempat. Tanpa menyia-yiakan waktu bahkan untuk menarik nafas, ia menghambur masuk. Lekas-lekas ditutupnya kembali pintu dengan nyaris tanpa debam. Segera setelah matanya telah terbiasa dengan temaram ruangan, ia mengedarkan pandangan mencari tempat menyamarkan diri. Derap para pengejarnya yang samar-samar kian mendekat mengingatkannya agar segera bergegas. Segera ditekuknya tubuh
Langkahnya seketika terhenti. Sebuah ranjang dorong tampak menyembul pada salah satu pintu yang berada beberapa langkah di depannya. Setelah terjeda beberapa saat bersama rasa was-was, ia kembali lanjut mengendap-endap. Semakin langkahnya mendekati ranjang tersebut, semakin dirinya tercekik oleh ketercekaman. Hingga dirinya mampu mendengar degupan jantungnya dengan lantang di telinga. Namun semua itu tidak melebihi keingintahuannya. Dengan hati-hati ia menjulurkan mata ke arah sosok di atas ranjang dorong tersebut. Dan, sontak terkesiap. Fransisca!? Bagaimana bisa?Ranjang yang secara mendadak bergulir ke arahnya itu kembali membuatnya terkesiap. Ia serta merta melompat ke tepian demi menghindar. Sekonyong-konyong baru menyadari kehadiran sosok yang tengah mendorong pembaringan beroda tersebut. "Dokter Monger!? Aku ...."Belum usai ia menyapa, pria berjubah putih itu dengan mendelik lebar padanya serta membuka mulut dengan lantang. "Sudah kukatakan PERGI DARI SINI!" bentak sang dokter