"Sudah terbiasa?" tegur sebuah suara memecah lamunannya. Kent, pemuda yang berprofesi serupa tersebut tampak mengambil tempat tak jauh darinya di anak tangga. Ia hanya tergelak kecil menanggapi tanpa kata-kata. "Kamu cepat belajar juga, ya ...." sahut pemuda itu lagi. Kent menyeringai sembari mulai menyalakan rokok. Dalam sekejap, kepulan asap telah memenuhi ruang pandang mereka. Masih enggan membuka mulut untuk berbincang, lagi-lagi ia memberi tanggapan berupa isyarat tubuh. Dengan mengangguk-angguk kecil dan mengedarkan pandangan. "Thanks," ucapnya singkat bersama sesungging senyum. Seolah masih gigih tak ingin membiarkan jeda mengisi ruang di antara mereka, Kent kembali mecoba menjalin pembicaraan. "Asalmu dari sini?" "Aku dari Nashville." Ia menjawab sekenanya. Tak paham mengapa orang-orang di sekitarnya selalu demikian bersikeras mengajaknya berbincang. Bahkan di saat dirinya telah mengirimkan sinyal 'tak ingin diusik' sekalipun. Apakah dikarenakan rasa tertantang dengan k
Untuk kesekian kalinya ia terhenyak dan bergeming hening. Apa sebaiknya aku menggali lebih lanjut untuk memastikannya? Ia baru saja hendak membuka mulut ketika terdengar pemuda di sampingnya tersebut tertawa geli. "Maaf, maaf. Sepertinya gurauanku berlebihan," kilah Kent mengangkat sebelah tangan menyiratkan rasa sungkan. Kesekian kalinya pula, ia turut melakukan hal yang serupa demi menanggapi. Ia kembali meneguk botol yang telah kosong seakan hendak memastikan kopinya telah benar-benar kandas. Kemudian masih dengan wajah yang dipaksa menampilkan seringai tawa, ia melontarkan pertanyaan. "Boleh kutahu nama tempat kerjamu itu?""Buon Eiffel," sahut Kent segera tanpa tunda. Seketika ia terkesiap. Jawaban yang sangat ringkas itu mampu memberikan kepastian mutlak baginya. Kini, ia yakin bahwa tokoh-tokoh yang dikisahkan pemuda tersebut tak lain tak bukan adalah dirinya dan Ann. Kini, ia juga yakin bahwa pelayan yang mencegat langkahnya kala itu adalah Kent. Nasib mempertemukan mereka
Ia hanya bergeming alih-alih membalas. Jauh di dalam batinnya, ia merutuki diri. Rasa bersalah karena telah menjalankan lakon sempurna timbul tenggelam di dalam jiwanya. Hati kecilnya berderit mempertanyakan keabsahan dari kebohongan-kebohongannya yang berlanjut. Kala hendak mencari keberanian untuk mengungkapkan kebenaran, entah mengapa ia belum menemukannya. Diingsutkannya diri menjauh dengan gerak sangat perlahan. "Kita istirahat, yuk," ucapnya bersama pandangan yang mengedar tak tentu arah.Daun pintu kamar yang berderit seketika membuatnya terjaga. Ia memicing menoleh separuh jalan ke arah pintu. "Anne?" panggilnya. Oleh tiadanya tanggapan, ia kembali merebahkan kepala ke atas bantal, menuruti rasa kantuk yang masih kental. Sekonyong-konyong sebuah suara yang menyerupai bunyi alat pengambil citra tertangkap ruang dengarnya. Berasal dari balik punggungnya. Seketika ia tersentak dan segera berbalik bangkit. "Siapa disitu?" serunya serta merta. Matanya sempat menangkap kelebatan so
Hujan disertai angin kencang tadi menyisakan udara malam yang dingin menggigit. Ia merapatkan balutan jaket dan meninggalkan tempat kerjanya itu melalui pintu belakang. Sosok yang tertangkap oleh ujung matanya sontak menghentikan langkahnya. Ia segera memutar arah. Segera disusulnya sosok yang telah seharian dicarinya tersebut. "Hai! Kukira kamu hari ini tidak memiliki shift ...." ujarnya menegur Kent begitu berhasil menemukan pemuda itu di ruang karyawan.Kent yang sempat terhenyak kaget menoleh ke arahnya. "Oh, hai!" pemuda tersebut membalas sapaannya dengan sekilas senyum. Dihampirinya Kent demi aba-aba memulai pembicaraan yang lebih serius. "Jam operasional restoran bahkan hampir berakhir, mengapa aku baru melihatmu? Apa ada masalah?" Diberinya pemuda di hadapannya itu sebuah tatapan menelisik."Ah. Aku baru saja selesai dari ruangan Tuan Gustav ...."Ia terperanjat. "Ya?" lirihnya mendelik tanpa sadar."Mengajukan pengunduran diri. Orang tuaku dipindahtugaskan lagi. Kami harus
Dilihatnya Kent tertegun. Langkah pemuda itu seketika menggeming. "Apa kamu menyaksikan kejadian setelah kecelakaan saat itu? Bagaimana keadaan korban satunya lagi?" Alih-alih memberi ruang, ia malah melanjutkan berondongan pertanyaan yang menyeruak kembali ke permukaan begitu saja pada Kent.Binar tatapan lawan bicaranya tersebut meredup serta merta. Bagai bunga matahari yang kehilangan pancaran sang mentari, Kent menundukkan wajah. "Ethan. Dengar. Aku minta maaf. Dari awal aku sedikit melebih-lebihkan ...." Pemuda itu berkilah dengan suara yang terbebani oleh rasa bersalah.Ia mendelik. Sayup-sayup batinnya bergetar menyiapkan diri menghadapi gelombang kekecewaan susulan. Setelah sempat terjeda seolah mengumpulkan pepuingan keberanian, suara Kent baru kembali terdengar sesaat kemudian. "Memang akulah karyawan restoran yang mencegatmu kala itu. Karena bertanggung jawab mengurus pembayaran pelanggan, aku segera menghampiri kasir setelah menerima dompetmu. Dan, masih terus berada di
Diputarnya arah, melanjutkan langkah menghampiri Joanne. Setiap derapnya terdengar bergema di sepanjang lorong sepi menuju ruang tunggu koridor utara. Ia berusaha meringankan langkah agar derapnya tak terdengar terlalu lantang. Sesekali diusapnya dahi yang terasa penat. Hari ini pun ia menjalani kehidupan yang tak mudah. Semenjak mendapati diri terbangun di kota ini, batinnya tak pernah merasa ringan. Dengan menahan letih, ia segera membawa langkah ke hadapan sosok yang duduk menanti pada tengah deretan bangku tunggu. Melihat kehadirannya, Joanne serta merta bangkit dan mendekapnya. "Maaf, membuatmu menunggu lama," ucapnya pelan sembari membalas dekapan wanita itu. Joanne yang tak kunjung mengurai dekapan seketika membuatnya menangkap gelagat ketidaknyaman wanita tersebut. Segera ditariknya tubuh serta kemudian melekatkan tatapan. "Ada apa, Anne? Ada masalah?"Sepasang bola mata berwarna gelap itu bergetar resah. Joanne meremas jemari sejenak sebelum membuka mulut bersuara. "Aku ta
Seketika benaknya dengan kilat memutar ulang seluruh pertemuannya dengan Joanne hingga jauh ke awal. Dan, terhenyak menahan amarah. Jadi, semua ini skenario rekayasa mereka!? Termasuk Joanne dan kehamilannya? "Will? Ada apa denganmu? Sekujur tubuhmu terasa menegang. Apa kamu sakit?" Suara wanita di sampingnya itu membuatnya menolehkan pandangan. Masih tidak mampu menahan delik, ia menatap pada Joanne. Didorongnya diri menjauh seketika. Dan bahkan hanya bergeming kala mendengar wanita tersebut terkesiap oleh sikapnya barusan. "Siapa dirimu sesungguhnya? Apa kamu salah satu dari mereka? Mengapa kamu melakukan ini padaku?" gumamnya lirih pada Joanne. "Apa maksudmu?" Joanne turut mendelik dengan raut sarat akan ketidakpahaman. Pintu lift yang sedari tadi membuka, perlahan menutup kembali karena terabaikan. Ia serta merta berkelit kala Joanne hendak melekatkan ujung jemari ke atas dahinya. Nafasnya yang tidak beraturan menjadikan dadanya bergerak naik turun. "Jawab, Anne. Jujurlah pad
Langkahnya seketika terhenti. Sebuah ranjang dorong tampak menyembul pada salah satu pintu yang berada beberapa langkah di depannya. Setelah terjeda beberapa saat bersama rasa was-was, ia kembali lanjut mengendap-endap. Semakin langkahnya mendekati ranjang tersebut, semakin dirinya tercekik oleh ketercekaman. Hingga dirinya mampu mendengar degupan jantungnya dengan lantang di telinga. Namun semua itu tidak melebihi keingintahuannya. Dengan hati-hati ia menjulurkan mata ke arah sosok di atas ranjang dorong tersebut. Dan, sontak terkesiap. Fransisca!? Bagaimana bisa?Ranjang yang secara mendadak bergulir ke arahnya itu kembali membuatnya terkesiap. Ia serta merta melompat ke tepian demi menghindar. Sekonyong-konyong baru menyadari kehadiran sosok yang tengah mendorong pembaringan beroda tersebut. "Dokter Monger!? Aku ...."Belum usai ia menyapa, pria berjubah putih itu dengan mendelik lebar padanya serta membuka mulut dengan lantang. "Sudah kukatakan PERGI DARI SINI!" bentak sang dokter
"Hah?" Ia mendelik semakin tak paham dengan ucapan Dave. "Apa maksudmu?" Alih-alih segera menyahut, sosok yang duduk di depan kemudi itu tampak berkonsentrasi penuh ke depan. Entah dikarenakan tidak memiliki cukup kesabaran atau alasan lainnya, Dave bersikeras mencari jalan alternatif untuk menghindari kemacetan yang tengah menghadang. Sementara menanti penjelasan dari Dave, kian banyak praduga yang bermunculan di benaknya. Turut dilayangkannya lirikan pada kaca tengah lalu spion untuk memeriksa keadaan sekitar. Setidaknya itu yang dapat dilakukannya saat ini demi mengatasi rasa gusar. Sejauh telisiknya, ia tidak menemukan tanda-tanda adanya penguntit. Apakah kini diriku boleh merasa tenang? Apakah kehadiran Dave mampu menjanjikanku keamanan? "Bahkan anak kembar sekalipun tidak memiliki sidik jari yang sama. Tidakkah kamu bertanya apa sebabnya kamu dapat dengan mudah melewati setiap sistem pengaman bersidik jari milik Wilbert? Tidakkah kamu memikirkan jawabannya?"Oleh tuturan Da
Seolah menangkap maksud tatapannya dengan tepat, pria itu segera bersuara. "Sebaiknya kita melanjutkan pembicaraan di tempat lain sebelum mengundang perhatian orang sekitar dengan interaksi penuh keakraban ini," usul Dave sembari menepis debu yang menempel pada bagian bawah celana jinsnya. Kemudian pria tersebut melangkah di depan seolah yakin akan diikuti. Setelah terjeda dalam pertimbangan beberapa saat, ia memutuskan untuk menyusul. Diraihnya ransel yang sempat terhempas tadi. Menepuk-nepuk benda berwarna hitam itu lalu menata kembali talinya ke atas pundak. Kendati tidak menoleh, Dave terlihat menurunkan laju derap. Pria itu membiarkannya menyetarakan langkah tanpa perlu tergesa-gesa. "Pertemuan dengan Ross di depan Guggenheim tadi malam bukan rencanaku sama sekali. Itu benar-benar di luar dugaanku. Tetapi, kamu dengan cepat menyimpulkan tanpa mendengarkan," terdengar Dave memberi penjelasan sedikit lebih panjang lebar dari biasanya."Tentu saja aku lebih mempercayai mataku da
Baru saja selangkah menapaki tangga bus, sebuah tangan mencengkeram kuat lengannya serta menariknya turun. Sontak ia terkesiap dan menoleh. Sembari memekik gusar, dikibaskannya tangan yang masih tercengkeram itu berulang kali. "Hey! Apa yang ...." "Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya ...." ujar sosok dari balik kerudung jaket hitam tersebut padanya. Suara berdesir kasar yang segera mengingatkannya pada seseorang. Dave. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyergah ucapan pria itu, sosok tersebut telah melanjutkan ucapan, "Nashville adalah tempat pertama yang akan mereka datangi untuk mencarimu." Diputuskannya untuk membendung kehendaknya untuk melawan. Batinnya mengatakan agar ia tidak gegabah dan memberi kesempatan mendengarkan. Dibiarkannya diri digiring menjauh dari samping bus.Begitu giringan pria tersebut berhenti, ia mendelik tajam ke arah Dave. Dengan sebelah tangan yang bebas, ia balas mencengkeram kerah jaket pria tersebut. "Jebakan apa lagi yang kini tengah ka
Kedua bola matanya bergerak liar seiring benak dan batinnya saling menimbang. Hatinya mengerucut kecut.Tetapi, bagaimana jika ternyata Dave merencanakan jebakan? Atas dasar apa aku dapat mempercayainya? Bisa saja dia salah satu dari orang Abe yang ditugaskan melacak dan memastikan keberadaanku. Sekonyong-konyong kian tercekam oleh pikiran sendiri, ia bergeming. Disandarkannya pucuk dahi pada pintu loker, melanjutkan menimbang. Jika memang demikian, bukannya Dave memiliki banyak kesempatan mencidukku saat dalam perjalanan ke New York? Setelah beberapa saat mengulum bibirnya, diputuskannya untuk menyudahi keterpakuannya pada rasa ragu. Diraihnya sepatu kets tua yang selalu disimpannya di dalam loker dan mengenakannya. Bersama rentetan pertanyaan yang dipersiapkannya, dibulatkannya tekad menghadapi resiko demi memperjelas keingintahuannya akan diri. Ia juga baru dapat memutuskan apakah Dave orang yang layak dipercaya atau tidak setelah menemui pria tersebut hari ini.Udara malam di pe
"Halo!" Sapaan yang datang dari balik punggungnya tersebut sontak mengejutkannya. Ia tak dapat mencegah dirinya untuk tidak terlonjak. Ia menoleh dengan kedua mata yang membulat sempurna. Mendapati sosok sang penyapa kian membuatnya tersentak. Bahkan hingga nyaris tak mampu mengatasi rasa terkejutnya. Dengan berusaha tak terdengar gelagapan, ia kemudian hanya bergumam menanggapi sekenanya. "Oh, hai ...." ucapnya pelan sembari melintas hening ke arah pintu belakang dapur restoran. Dikulumnya bibir menahan resah. Ini gawat! Bagaimana Dave bisa menemukanku? Aku yakin ini bukan sekedar kebetulan! Batinnya memekik segusar-gusarnya."Tidakkah kamu dapat menyapa teman lamamu dengan lebih baik, Tuan William Anderson?"Serta merta langkahnya terhenti. Sekali lagi ia mendapatkan serangan mengejutkan. Kendati hendak berkelit dan kabur, sekujur tubuhnya kelu begitu saja oleh teguran Dave barusan. Dengan tidak memutar tubuh sepenuhnya, ia menanggapi. "Sepertinya kamu salah mengenali orang. Nama
Matanya menangkap sesosok yang melesat hilang ke balik pohon di dekat tempat pembuangan sampah. Ia terkesiap menahan nafas. Siapa itu? Mengapa tampak seperti baru saja memata-matai tempat ini? Apakah mereka berhasil mengetahui keberadaanku?Sekali lagi ia memberanikan diri memeriksa lewat jendela.Tiada siapapun di luar sana. Bahkan setelah berulang kali mengerjap dan menyisir berkeliling, ia hanya menemukan keheningan malam. Aku yakin tadi melihat seseorang. Atau aku hanya terlalu was-was hingga berhalusinasi? Berapa lama lagi aku bisa bersembunyi di sini hingga aku ditemukan oleh mereka? Dengan langkah letih, dilanjutkan langkah dari dapur menuju ke kamar mandi satu bilik khusus karyawan. Ia butuh berbilas untuk menggelontorkan resahnya. Dibiarkannya bulir-bulir air yang dingin dari pancuran mendera permukaan tubuhnya. Dihelanya nafas panjang. Masih terus berjuang mengatasi badai kalut dalam batin. Aku tidak tahan lagi. Selalu merasa terjepit di antara rasa was-was ini seakan mem
Sekonyong-konyong sebersit pikiran muncul ke permukaan, ia memutuskan berhenti hening. Hati-hati dibalasnya tatapan pria yang telah kembali duduk di balik meja kerja tersebut."Tuan Gustav. Mungkin ini sebuah permintaan yang terdengar lancang ...." Sembari mengulum bibir sendiri, ia terjeda untuk menata keberanian sesaat. "Kalau boleh... saya mohon diizinkan bermalam di sini. Saya bisa merangkap sebagai penjaga keamanan sekaligus berberes-beres. Bagaimana?" tawarnya kemudian.Baik dirinya maupun Tuan Gustav hanya saling mengadu pandang dalam diam beberapa saat.Hingga pria bertubuh gembur tersebut menepuk tangan dan berdeham dari balik meja. "Kamu tidak ada masalah dengan hukum, kan?" tanya Tuan Gustav padanya bersama tatapan menelisik.Dengan sigap ia mengatasi keterhenyakannya. Sekali lagi ia tergelak miris. "Tidak ada. Ini semua hanya dikarenakan masalahku dengan keluarga semata," ujarnya dengan nada yakin. "Apakah masalahmu itu tidak akan berdampak pada tempat kerjamu?" tanya ata
Kakinya yang mulai berteriak letih sekonyong-konyong menyadarkannya. Dirinya tidak mungkin terus berlari. Kemudian ia pun serta merta bertekad nekad berbelok ke lorong buntu di belakang deretan gedung pertokoan sebelah kirinya tersebut. Matanya dengan sigap mencari tempat persembunyian. Dihampirinya salah satu pintu dan mencoba membukanya. Namun, lempengan berbahan besi itu hanya bergeming menutup. Hatinya mulai menggeliat resah diterpa rasa panik. Bersama bibir yang tiada henti mengumpat, ia kembali mencoba pada pintu demi pintu di deretan lorong tersebut. Hingga menemukan pintu yang terbuka pada percobaan keempat. Tanpa menyia-yiakan waktu bahkan untuk menarik nafas, ia menghambur masuk. Lekas-lekas ditutupnya kembali pintu dengan nyaris tanpa debam. Segera setelah matanya telah terbiasa dengan temaram ruangan, ia mengedarkan pandangan mencari tempat menyamarkan diri. Derap para pengejarnya yang samar-samar kian mendekat mengingatkannya agar segera bergegas. Segera ditekuknya tubuh
Langkahnya seketika terhenti. Sebuah ranjang dorong tampak menyembul pada salah satu pintu yang berada beberapa langkah di depannya. Setelah terjeda beberapa saat bersama rasa was-was, ia kembali lanjut mengendap-endap. Semakin langkahnya mendekati ranjang tersebut, semakin dirinya tercekik oleh ketercekaman. Hingga dirinya mampu mendengar degupan jantungnya dengan lantang di telinga. Namun semua itu tidak melebihi keingintahuannya. Dengan hati-hati ia menjulurkan mata ke arah sosok di atas ranjang dorong tersebut. Dan, sontak terkesiap. Fransisca!? Bagaimana bisa?Ranjang yang secara mendadak bergulir ke arahnya itu kembali membuatnya terkesiap. Ia serta merta melompat ke tepian demi menghindar. Sekonyong-konyong baru menyadari kehadiran sosok yang tengah mendorong pembaringan beroda tersebut. "Dokter Monger!? Aku ...."Belum usai ia menyapa, pria berjubah putih itu dengan mendelik lebar padanya serta membuka mulut dengan lantang. "Sudah kukatakan PERGI DARI SINI!" bentak sang dokter