"Ethan!" panggil Jack yang tampak tengah berlari ke arahnya. Dengan nafas yang tersengal, anak itu berhenti di dekatnya. Seakan merupakan kegemaran anak tersebut, Jack terlihat mendudukkan diri ke atas tumpukan peti kayu di dinding kandang. "Grandma berpesan agar kamu menyudahi pekerjaan dan segera bergabung untuk makan malam Thanksgiving bersama."Ia mengangguk bersama senyuman yang tersungging di sudut wajah. Menuruti pesan yang baru saja diterimanya dari sang kurir cilik itu, buru-buru dirapikannya tatanan pada tumpukan-tumpukan jerami ke sisi kanan kandang sapi lalu membenahi peralatannya. Ketika berhasil menyelesaikan sisa pekerjaan dalam waktu singkat, ia meraih jaketnya dari belakang pintu dan mengenakannya. Kemudian melempar pandangan ke arah Jack. "Ayo ...."Serta merta ajakan satu katanya tersebut membuat Jack melompat turun dari atas peti kayu tempat anak itu duduk menanti. Jack berlari kecil mengejar langkahnya. "Sam terlihat murung dari kemarin. Apakah terjadi sesuatu sa
Ia duduk di depan kemudi. Menarik nafas dalam. Mencoba menenangkan keresahannya, menghalau pergi kekalutannya. Kini ia harus menghadapi ketakutannya yang lain. Berulang kali ia mengulangi kalimat afirmatif demi menguasai trauma dalam diri. Aku bisa. Tidak akan ada masalah jika aku menyetir dengan hati-hati. Aku sudah lebih baik. Aku tidak akan kalah dari rasa gamang itu. Dengan peluh yang membanjiri sudut-sudut wajah dan tangan yang terasa gemetar kelu, ia mulai menyalakan mesin mobil pick up tua tersebut. Bersama deru riuh sang mobil renta yang terdengar memecah keheningan malam, ia membawa dirinya menjauh dari lahan pertanian Tuan Smith. Tak memusingkan dengan laju kemudi yang terbilang lambat melintasi jalanan sepi berbatu itu. Ia masih tetap menuruti keinginan untuk terus menjauh. Meski harus terus menepis kelebatan bayangan kecelakaannya bersama Ann yang merongrong di dalam benak, ia masih tetap yakin dengan keputusannya. Ketika rasa gentar yang mendera diri kian membebaninya,
Malam belum terlalu larut. Hatinya masih enggan untuk kembali ke perkebunan Tuan Smith. Dalam hening, disandarkannya kepala ke belakang jok kemudi dan menatap ke luar lewat jendela pick up. Seolah setiap nafasnya sarat akan keingintahuan, pertanyaan demi pertanyaan tiada henti terus bergelut dalam batinnya. Meski tahu benar dirinya tak mampu menemukan jawaban dari dalam benaknya sendiri, tetap saja tak menghentikan pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk berkeliaran saling membahas. Apakah maksud dari perkataan Ann menyiratkan bahwa aku bukan merupakan anak kandung keluarga Anderson? Jika aku merupakan anak adopsi, bagaimana dengan Wilbert? Apakah itu berarti kami berdua sama? Apa pula yang dimaksud dengan 'dipanen' dalam ucapan Dokter Monger? Mengapa dari semua ucapan mereka seolah merujuk pada 'sesuatu'? Ditelisiknya tubuh sendiri untuk beberapa saat. Masa sih aku bukanlah seorang manusia? Menyadari telah terhanyut kian tak tentu arah bersama aliran pikirannya, ia menghela nafas gusar
Cahaya mentari senja kala yang menyusup masuk lewat celah pintu kayu lumbung mengusiknya begitu kesadarannya kembali ke alam nyata. Ia menemukan sekujur tubuhnya terasa berdenyut remuk. Pilu yang diperolehnya dari ilusi lelap barusan masih mencakar-cakar batinnya. Ia bergelung dalam raungan serta lenguhan pedih. Aku lelah. Sekalipun mengetahui itu hanyalah mimpi buruk, berkali-kali menyaksikan kematian Ann menguras akal sehatku. Aku letih. Apa kusudahi saja pelarian ini? Nyaris di separuh hidupku dipenuhi pelarian seolah diriku adalah buronan kelas wahid. Yang ironisnya, aku harus melarikan diri dari orang yang kusebut 'Papa'. Apa sebenarnya yang diinginkannya dariku dengan membuat hidupku terlunta-lunta seperti ini? Nyawaku? Melihatku menderita? Demi apa? Setidaknya sebelum mengikuti jejak Ann, aku ingin menemukan kebenaran akan keberadaanku. Aku akan menemui satu-satunya orang yang dapat memberikannya. Dokter Monger. "Sudah bangun? Mimpi buruk, ya?" Teguran sebuah suara dari bali
"Apakah kamu yakin, Ethan?"Untuk kesekian kalinya Tuan Smith melontarkan pertanyaan yang serupa padanya. Dipereratnya ikatan tali pengikat pada kotak-kotak kayu yang telah tersusun rapi di bak pick- up Tuan Smith tersebut. "Ya, Mike," sahutnya yakin sembari melirik kepada pria tua itu. "Setelah mempertimbangkannya berulang kali, memang sudah seharusnya aku segera menyelesaikan masalahku daripada melarikan diri terus," tambahnya kemudian.Tuan Smith menatapnya lekat sejenak seolah tengah membiarkan diri mencerna ucapannya barusan. Setelahnya, pria tua itu bergumam sembari merapikan letak topi dan beranjak duduk menanti di depan kemudi. Begitu selesai mengunci pintu bak, ia melayangkan pandangan mengitari areal perkebunan milik Tuan Smith. Sebuah tempat, yang walaupun hanya baru beberapa minggu menjadi tempat pelariannya, telah memberinya cukup banyak kehangatan. Dihelanya nafas dan menundukkan wajah. "Aku akan merindukan tempat ini ...." bisiknya pada diri sendiri. Mentari yang ta
Ia mengurai dekapan pria tua itu dari dirinya. Ditepuknya pundak Tuan Smith pelan sesaat sebelum memulai langkah ke seberang jalan. Dengan bibir terkatup erat dan tatapan yang mengencang, dirapikannya letak tali ransel pada sebelah pundak serta bergegas. Tak ingin langkahnya semakin terbebani, ia menahan diri untuk tidak menoleh ke belakang. Bagai robot yang tengah menuruti perintah, ia terus melangkah tanpa terhenti hingga tiba ke dalam bus. Ditempatinya bangku di samping jendela pada baris tengah. Setelah mengedarkan pandangan memeriksa kilas ke sekeliling seolah memastikan, ia menyempatkan diri melirik ke seberang jalan. Hatinya sempat berkelit resah kala mendapati pick up tua Tuan Smith masih bergeming di tempat yang sama seolah menantinya. Lagi-lagi ia mengafirmasi diri demi menjaga kebulatan tekadnya yang kembali beringsut goyah. Dan, demi tidak mengkayuh langkah menghambur kembali ke tempat yang menjanjikannya kenyamanan tersebut. Ia mengulum bibir menahan pergelutan batin.
Langkah yang berlalu lalang di dekatnya mengusik lelapnya. Dengan mata yang memicing, ia memeriksa sekitar. Ternyata, bus yang ditumpanginya itu tengah menepi pada tempat perhentian. Dan, beberapa penumpang turun demi menemukan udara segar di luar armada. Hatinya menggeliat untuk menjadi salah satu dari mereka."Turun untuk secangkir kopi hangat?" tawar suara itu membesarkan niatnya. Ia menoleh ke samping sembari menguap terkulum. Lalu mengangguk menyanggupi ajakan teman barunya tersebut.Gerimis halus nan intens menjadikan udara malam kian mengigit. Kendati demikian, menghabiskan sedikit waktu di luar bus tetap lebih menyegarkan untuk menghalau kepenatan diri. "Penggemar kopi juga?" tegur Dave padanya. Pemuda itu tampaknya selalu berusaha mengurai keheningan di antara mereka. Diusap-usapkannya kedua telapak tangan pada dinding cangkir hangat miliknya tersebut sembari melirik ke arah Dave. "Awalnya hanya iseng sebagai teman lembur, lama-lama jadi jatuh cinta," sahutnya mencoba menang
Tubuh yang bergidik seketika mengingatkannya untuk mencari busana layak untuk menghangatkan diri. Segera dirogohnya isi ransel hitam pemberian Nyonya Smith yang diletakkannya di dekat kaki. Tampaknya wanita tua tersebut telah menyiapkan kebutuhan dasar baginya dengan cukup baik. Dikenakannya sebuah kemeja merah kotak-kotak berbahan flanel menutupi tubuh. "Bekas luka itu ...." Suara gumaman Dave sontak menyita perhatiannya ke arah pemuda itu. Dengan mendelik meminta penjelasan, ditatapnya Dave lekat. Pemuda tersebut memegangi pangkal pundak kanan diri sendiri sembari membalas pandangannya, mengingatkan Will pada keberadaan 'jejak parut' yang dimilikinya sejak kecil di tempat serupa.Ditariknya kerah kemejanya semakin merapat ke leher lalu mengingsutkan tatapan. "Aku tidak tahu kapan mendapat bekas luka itu. Mungkin hanya sebuah tanda lahir," ujarnya disertai senyum kecut. Alis Dave tampak membentuk busur sempurna saat mulutnya membentuk huruf 'O' besar. Sembari kembali menyandarkan
"Hah?" Ia mendelik semakin tak paham dengan ucapan Dave. "Apa maksudmu?" Alih-alih segera menyahut, sosok yang duduk di depan kemudi itu tampak berkonsentrasi penuh ke depan. Entah dikarenakan tidak memiliki cukup kesabaran atau alasan lainnya, Dave bersikeras mencari jalan alternatif untuk menghindari kemacetan yang tengah menghadang. Sementara menanti penjelasan dari Dave, kian banyak praduga yang bermunculan di benaknya. Turut dilayangkannya lirikan pada kaca tengah lalu spion untuk memeriksa keadaan sekitar. Setidaknya itu yang dapat dilakukannya saat ini demi mengatasi rasa gusar. Sejauh telisiknya, ia tidak menemukan tanda-tanda adanya penguntit. Apakah kini diriku boleh merasa tenang? Apakah kehadiran Dave mampu menjanjikanku keamanan? "Bahkan anak kembar sekalipun tidak memiliki sidik jari yang sama. Tidakkah kamu bertanya apa sebabnya kamu dapat dengan mudah melewati setiap sistem pengaman bersidik jari milik Wilbert? Tidakkah kamu memikirkan jawabannya?"Oleh tuturan Da
Seolah menangkap maksud tatapannya dengan tepat, pria itu segera bersuara. "Sebaiknya kita melanjutkan pembicaraan di tempat lain sebelum mengundang perhatian orang sekitar dengan interaksi penuh keakraban ini," usul Dave sembari menepis debu yang menempel pada bagian bawah celana jinsnya. Kemudian pria tersebut melangkah di depan seolah yakin akan diikuti. Setelah terjeda dalam pertimbangan beberapa saat, ia memutuskan untuk menyusul. Diraihnya ransel yang sempat terhempas tadi. Menepuk-nepuk benda berwarna hitam itu lalu menata kembali talinya ke atas pundak. Kendati tidak menoleh, Dave terlihat menurunkan laju derap. Pria itu membiarkannya menyetarakan langkah tanpa perlu tergesa-gesa. "Pertemuan dengan Ross di depan Guggenheim tadi malam bukan rencanaku sama sekali. Itu benar-benar di luar dugaanku. Tetapi, kamu dengan cepat menyimpulkan tanpa mendengarkan," terdengar Dave memberi penjelasan sedikit lebih panjang lebar dari biasanya."Tentu saja aku lebih mempercayai mataku da
Baru saja selangkah menapaki tangga bus, sebuah tangan mencengkeram kuat lengannya serta menariknya turun. Sontak ia terkesiap dan menoleh. Sembari memekik gusar, dikibaskannya tangan yang masih tercengkeram itu berulang kali. "Hey! Apa yang ...." "Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya ...." ujar sosok dari balik kerudung jaket hitam tersebut padanya. Suara berdesir kasar yang segera mengingatkannya pada seseorang. Dave. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyergah ucapan pria itu, sosok tersebut telah melanjutkan ucapan, "Nashville adalah tempat pertama yang akan mereka datangi untuk mencarimu." Diputuskannya untuk membendung kehendaknya untuk melawan. Batinnya mengatakan agar ia tidak gegabah dan memberi kesempatan mendengarkan. Dibiarkannya diri digiring menjauh dari samping bus.Begitu giringan pria tersebut berhenti, ia mendelik tajam ke arah Dave. Dengan sebelah tangan yang bebas, ia balas mencengkeram kerah jaket pria tersebut. "Jebakan apa lagi yang kini tengah ka
Kedua bola matanya bergerak liar seiring benak dan batinnya saling menimbang. Hatinya mengerucut kecut.Tetapi, bagaimana jika ternyata Dave merencanakan jebakan? Atas dasar apa aku dapat mempercayainya? Bisa saja dia salah satu dari orang Abe yang ditugaskan melacak dan memastikan keberadaanku. Sekonyong-konyong kian tercekam oleh pikiran sendiri, ia bergeming. Disandarkannya pucuk dahi pada pintu loker, melanjutkan menimbang. Jika memang demikian, bukannya Dave memiliki banyak kesempatan mencidukku saat dalam perjalanan ke New York? Setelah beberapa saat mengulum bibirnya, diputuskannya untuk menyudahi keterpakuannya pada rasa ragu. Diraihnya sepatu kets tua yang selalu disimpannya di dalam loker dan mengenakannya. Bersama rentetan pertanyaan yang dipersiapkannya, dibulatkannya tekad menghadapi resiko demi memperjelas keingintahuannya akan diri. Ia juga baru dapat memutuskan apakah Dave orang yang layak dipercaya atau tidak setelah menemui pria tersebut hari ini.Udara malam di pe
"Halo!" Sapaan yang datang dari balik punggungnya tersebut sontak mengejutkannya. Ia tak dapat mencegah dirinya untuk tidak terlonjak. Ia menoleh dengan kedua mata yang membulat sempurna. Mendapati sosok sang penyapa kian membuatnya tersentak. Bahkan hingga nyaris tak mampu mengatasi rasa terkejutnya. Dengan berusaha tak terdengar gelagapan, ia kemudian hanya bergumam menanggapi sekenanya. "Oh, hai ...." ucapnya pelan sembari melintas hening ke arah pintu belakang dapur restoran. Dikulumnya bibir menahan resah. Ini gawat! Bagaimana Dave bisa menemukanku? Aku yakin ini bukan sekedar kebetulan! Batinnya memekik segusar-gusarnya."Tidakkah kamu dapat menyapa teman lamamu dengan lebih baik, Tuan William Anderson?"Serta merta langkahnya terhenti. Sekali lagi ia mendapatkan serangan mengejutkan. Kendati hendak berkelit dan kabur, sekujur tubuhnya kelu begitu saja oleh teguran Dave barusan. Dengan tidak memutar tubuh sepenuhnya, ia menanggapi. "Sepertinya kamu salah mengenali orang. Nama
Matanya menangkap sesosok yang melesat hilang ke balik pohon di dekat tempat pembuangan sampah. Ia terkesiap menahan nafas. Siapa itu? Mengapa tampak seperti baru saja memata-matai tempat ini? Apakah mereka berhasil mengetahui keberadaanku?Sekali lagi ia memberanikan diri memeriksa lewat jendela.Tiada siapapun di luar sana. Bahkan setelah berulang kali mengerjap dan menyisir berkeliling, ia hanya menemukan keheningan malam. Aku yakin tadi melihat seseorang. Atau aku hanya terlalu was-was hingga berhalusinasi? Berapa lama lagi aku bisa bersembunyi di sini hingga aku ditemukan oleh mereka? Dengan langkah letih, dilanjutkan langkah dari dapur menuju ke kamar mandi satu bilik khusus karyawan. Ia butuh berbilas untuk menggelontorkan resahnya. Dibiarkannya bulir-bulir air yang dingin dari pancuran mendera permukaan tubuhnya. Dihelanya nafas panjang. Masih terus berjuang mengatasi badai kalut dalam batin. Aku tidak tahan lagi. Selalu merasa terjepit di antara rasa was-was ini seakan mem
Sekonyong-konyong sebersit pikiran muncul ke permukaan, ia memutuskan berhenti hening. Hati-hati dibalasnya tatapan pria yang telah kembali duduk di balik meja kerja tersebut."Tuan Gustav. Mungkin ini sebuah permintaan yang terdengar lancang ...." Sembari mengulum bibir sendiri, ia terjeda untuk menata keberanian sesaat. "Kalau boleh... saya mohon diizinkan bermalam di sini. Saya bisa merangkap sebagai penjaga keamanan sekaligus berberes-beres. Bagaimana?" tawarnya kemudian.Baik dirinya maupun Tuan Gustav hanya saling mengadu pandang dalam diam beberapa saat.Hingga pria bertubuh gembur tersebut menepuk tangan dan berdeham dari balik meja. "Kamu tidak ada masalah dengan hukum, kan?" tanya Tuan Gustav padanya bersama tatapan menelisik.Dengan sigap ia mengatasi keterhenyakannya. Sekali lagi ia tergelak miris. "Tidak ada. Ini semua hanya dikarenakan masalahku dengan keluarga semata," ujarnya dengan nada yakin. "Apakah masalahmu itu tidak akan berdampak pada tempat kerjamu?" tanya ata
Kakinya yang mulai berteriak letih sekonyong-konyong menyadarkannya. Dirinya tidak mungkin terus berlari. Kemudian ia pun serta merta bertekad nekad berbelok ke lorong buntu di belakang deretan gedung pertokoan sebelah kirinya tersebut. Matanya dengan sigap mencari tempat persembunyian. Dihampirinya salah satu pintu dan mencoba membukanya. Namun, lempengan berbahan besi itu hanya bergeming menutup. Hatinya mulai menggeliat resah diterpa rasa panik. Bersama bibir yang tiada henti mengumpat, ia kembali mencoba pada pintu demi pintu di deretan lorong tersebut. Hingga menemukan pintu yang terbuka pada percobaan keempat. Tanpa menyia-yiakan waktu bahkan untuk menarik nafas, ia menghambur masuk. Lekas-lekas ditutupnya kembali pintu dengan nyaris tanpa debam. Segera setelah matanya telah terbiasa dengan temaram ruangan, ia mengedarkan pandangan mencari tempat menyamarkan diri. Derap para pengejarnya yang samar-samar kian mendekat mengingatkannya agar segera bergegas. Segera ditekuknya tubuh
Langkahnya seketika terhenti. Sebuah ranjang dorong tampak menyembul pada salah satu pintu yang berada beberapa langkah di depannya. Setelah terjeda beberapa saat bersama rasa was-was, ia kembali lanjut mengendap-endap. Semakin langkahnya mendekati ranjang tersebut, semakin dirinya tercekik oleh ketercekaman. Hingga dirinya mampu mendengar degupan jantungnya dengan lantang di telinga. Namun semua itu tidak melebihi keingintahuannya. Dengan hati-hati ia menjulurkan mata ke arah sosok di atas ranjang dorong tersebut. Dan, sontak terkesiap. Fransisca!? Bagaimana bisa?Ranjang yang secara mendadak bergulir ke arahnya itu kembali membuatnya terkesiap. Ia serta merta melompat ke tepian demi menghindar. Sekonyong-konyong baru menyadari kehadiran sosok yang tengah mendorong pembaringan beroda tersebut. "Dokter Monger!? Aku ...."Belum usai ia menyapa, pria berjubah putih itu dengan mendelik lebar padanya serta membuka mulut dengan lantang. "Sudah kukatakan PERGI DARI SINI!" bentak sang dokter