Langkah yang berlalu lalang di dekatnya mengusik lelapnya. Dengan mata yang memicing, ia memeriksa sekitar. Ternyata, bus yang ditumpanginya itu tengah menepi pada tempat perhentian. Dan, beberapa penumpang turun demi menemukan udara segar di luar armada. Hatinya menggeliat untuk menjadi salah satu dari mereka."Turun untuk secangkir kopi hangat?" tawar suara itu membesarkan niatnya. Ia menoleh ke samping sembari menguap terkulum. Lalu mengangguk menyanggupi ajakan teman barunya tersebut.Gerimis halus nan intens menjadikan udara malam kian mengigit. Kendati demikian, menghabiskan sedikit waktu di luar bus tetap lebih menyegarkan untuk menghalau kepenatan diri. "Penggemar kopi juga?" tegur Dave padanya. Pemuda itu tampaknya selalu berusaha mengurai keheningan di antara mereka. Diusap-usapkannya kedua telapak tangan pada dinding cangkir hangat miliknya tersebut sembari melirik ke arah Dave. "Awalnya hanya iseng sebagai teman lembur, lama-lama jadi jatuh cinta," sahutnya mencoba menang
Tubuh yang bergidik seketika mengingatkannya untuk mencari busana layak untuk menghangatkan diri. Segera dirogohnya isi ransel hitam pemberian Nyonya Smith yang diletakkannya di dekat kaki. Tampaknya wanita tua tersebut telah menyiapkan kebutuhan dasar baginya dengan cukup baik. Dikenakannya sebuah kemeja merah kotak-kotak berbahan flanel menutupi tubuh. "Bekas luka itu ...." Suara gumaman Dave sontak menyita perhatiannya ke arah pemuda itu. Dengan mendelik meminta penjelasan, ditatapnya Dave lekat. Pemuda tersebut memegangi pangkal pundak kanan diri sendiri sembari membalas pandangannya, mengingatkan Will pada keberadaan 'jejak parut' yang dimilikinya sejak kecil di tempat serupa.Ditariknya kerah kemejanya semakin merapat ke leher lalu mengingsutkan tatapan. "Aku tidak tahu kapan mendapat bekas luka itu. Mungkin hanya sebuah tanda lahir," ujarnya disertai senyum kecut. Alis Dave tampak membentuk busur sempurna saat mulutnya membentuk huruf 'O' besar. Sembari kembali menyandarkan
Dengan gelagapan, ia terbangun. Setelah tergesa-gesa meraup seluruh kesadaran, ia menemukan diri masih berada di dalam bus yang sama. Dipicingkannya mata beberapa saat mengatasi keremangan pencahayaan dalam armada itu. Kemudian, sembari menekan-nekan pundak kanannya yang kesemutan, ia melayangkan pandangan mencari sosok Dave. Dan, segera mendapati pemuda tersebut telah kembali ke bangku seberang, tengah terlelap pulas dengan headphone yang masih menggelantung di depan dada.Sekonyong-konyong merasa lega. Ia menghela nafas serta mengusapi wajah demi mengusir kegalauan yang tersisa. Dikepalnya sebelah tangan di depan bibir bersama pandangan yang menghempas jauh. Kehidupan yang selalu terusik menuntutnya untuk terus waspada. Menjadikannya tidak pernah nyaman berinteraksi dengan orang lain. Sepertinya pendekatan Dave yang demikian intens melahirkan keresahan dalam dirinya hingga terlarut ke dalam mimpi buruknya. Armada yang ditumpanginya itu tampak menepi sejenak ke pom bensin untuk meng
"Sebaiknya kamu jangan ke sana," sahut Dave tiba-tiba. Ia tertegun. Hingga-hingga nyaris tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. "Apa maksudmu?" Ia mengernyit waspada. Dave menyeringai. Pemuda tersebut meneguk minuman soda miliknya sebelum melanjutkan ucapan. "Kalau aku jadi kamu, aku tak akan ke sana ...."Lagi-lagi Dave melontarkan perkataan yang menyulut nyala kecurigaannya. Wajahnya mengernyit kian rapat. Kegusaran memompa jantungnya kencang. Ini sungguh aneh! Bagaimana mungkin pria ini dapat mengetahui maksud dan tujuanku? Siapa sebenarnya dia? Dipasangnya kuda-kuda bergegas bangkit dengan kedua mata melekat pada Dave, "Siapa ....""Sebaiknya kamu ikut bersamaku saja menginap di tempat ibuku. Bukankah itu lebih hemat dan efisien?" terdengar pemuda tersebut menyelesaikan tuturan tepat di saat ia mulai membuka mulut untuk bertanya. Bagai teredam dengan tepat, seketika keresahannya mereda. Ia menghela nafas yang dilanjutkan dengan gelak kikuk. Ah, lagi-lagi diriku terlalu ber
Dilayangkannya pandangan mengitari ruang tunggu. Sepertinya sore ini pasien yang berkunjung di ruangan terbilang lebih sedikit dari biasanya. Pikirannya sejenak berkelana liar. Tanpa menyempatkan diri membuang masa lebih lama, ia memutuskan untuk mengetuk pintu yang ada di hadapannya tersebut serta mengulurkan masuk separuh tubuhnya. "Selamat sore, Dokter Monger?" Ia tetap melontarkan sapaan kendati ragu. Seseorang yang tengah duduk di depan meja praktek dalam ruangan sontak mengangkat wajah menatap ke arahnya. "Ada yang bisa dibantu?" tegur wanita berseragam dokter itu bergerak menghampirinya. Masih terpana karena dipaksa menerima keadaan di luar harapannya, ia tergagap. "Ah, saya ada jadwal konsultasi dengan Dokter Monger," akhirnya ia berhasil mengemukakan dalih. "Dan, tampaknya saya salah ruangan ...."Dokter wanita tersebut memberinya seulas senyum. "Apakah pihak admin melewatkan Anda saat menginfokan bahwa Dokter Monger sedang dalam masa cuti? Beliau mengikuti konvensi di Bel
"Apa maumu?" sergahnya dengan suara serak pecah. Pekik yang terdengar dari sosok itu seketika membuatnya mengenali sang penguntit. Ia terkesiap menahan nafas. Ditelisiknya wanita tersebut seksama, hendak memastikan sebelum bersuara. "Joanne?" lirihnya tertahan. Mendengar namanya disebut serta merta membuat raut wanita tersebut merona girang. "Will! Ternyata benar, ini dirimu!" seru Joanne tak mampu menyamarkan kebahagiaan. Tanpa aba-aba, wanita itu mendekapnya erat. "Dari tadi, aku melihatmu. Hanya saja aku ragu," ucap Joanne pelan di samping telinganya. "Mengapa kamu malah berjalan dengan sangat tergesa-gesa? Dimana kenderaanmu?" Ia hanya tergelak singkat yang terdengar lebih mirip suara tersedak. Sekalipun satu keresahannya baru saja terlalui, puluhan lain segera menyusul menghampirinya kini. Dirinya tidak siap bertemu dengan Joanne. Pertemuan tak terduga ini sungguh di luar dugaannya.Wanita tersebut perlahan mengurai dekapan dan mematutnya lewat tatapan dari ujung rambut hin
Ia mengantar Joanne hingga ke depan pintu apartemen wanita itu. Dikecupnya pucuk rambut Joanne sebelum kemudian mundur selangkah selangkah. "Selamat malam, Anne," ucapnya disertai seulas senyum tipis. Dieratkannya genggaman pada tali ransel yang menggelantung di pundak seiring mengerahkan tekad untuk pergi."Selama ini di mana kamu menetap? Aku mencoba membalas teleponmu beberapa kali setelah hari itu tetapi selalu tidak terhubung," terdengar Joanne mencegat langkahnya. Ia terjeda oleh karena dirinya belum siap akan pertanyaan yang diterimanya barusan. "Ah, itu ...." Sembari terus memutar otak, dipalingkannya tubuh separuh jalan ke arah wanita yang tengah menanti tanggapan darinya di ambang pintu tersebut. "Aku membantu kenalan di peternakannya beberapa minggu. Selain itu juga, ponselku rusak," kilahnya kemudian. Lewat gumaman yang dilanturkan Joanne, ia beranggapan wanita itu telah puas dengan jawaban yang diberikan. Buru-buru dikembalikannya posisi langkah untuk bergegas. "Will
Ia mendengus gusar. Tampaknya benakku benar-benar tengah terusik oleh keresahanku sendiri. Pria itu saja tidak mengatakan apapun lagi saat kami berpisah di terminal bus sore tadi. Aku hanya terbawa pikiran karena Dave sempat mengatakan tanda lahirku yang mirip dengan teman masa kanak-kanaknya. Lagipula, seharusnya tidak mudah bagi orang-orang untuk mengenaliku dalam penampilan lusuh seperti saat ini, bukan? Oleh pikirannya sendiri, ia kemudian terhenyak. Namun Joanne dapat mengenalimu, cetus batinnya seketika. Kedua bola matanya berputar liar. Benar. Mengapa Joanne dapat dengan mudahnya mengetahuinya? Sepertinya penyamaran yang kulakukan benar-benar tidak mumpuni sama sekali, keluhnya sembari mengerang halus. Rasa letih yang masih bercokol di sekujur tubuh, memaksanya untuk kembali memejamkan mata dan menyudahi perdebatan batin.Kesibukan dari arah dapur yang tertangkap sayup-sayup oleh ruang dengar kembali membangunkannya. Ditariknya diri bangkit dari atas sofa dan merenggangkan
"Hah?" Ia mendelik semakin tak paham dengan ucapan Dave. "Apa maksudmu?" Alih-alih segera menyahut, sosok yang duduk di depan kemudi itu tampak berkonsentrasi penuh ke depan. Entah dikarenakan tidak memiliki cukup kesabaran atau alasan lainnya, Dave bersikeras mencari jalan alternatif untuk menghindari kemacetan yang tengah menghadang. Sementara menanti penjelasan dari Dave, kian banyak praduga yang bermunculan di benaknya. Turut dilayangkannya lirikan pada kaca tengah lalu spion untuk memeriksa keadaan sekitar. Setidaknya itu yang dapat dilakukannya saat ini demi mengatasi rasa gusar. Sejauh telisiknya, ia tidak menemukan tanda-tanda adanya penguntit. Apakah kini diriku boleh merasa tenang? Apakah kehadiran Dave mampu menjanjikanku keamanan? "Bahkan anak kembar sekalipun tidak memiliki sidik jari yang sama. Tidakkah kamu bertanya apa sebabnya kamu dapat dengan mudah melewati setiap sistem pengaman bersidik jari milik Wilbert? Tidakkah kamu memikirkan jawabannya?"Oleh tuturan Da
Seolah menangkap maksud tatapannya dengan tepat, pria itu segera bersuara. "Sebaiknya kita melanjutkan pembicaraan di tempat lain sebelum mengundang perhatian orang sekitar dengan interaksi penuh keakraban ini," usul Dave sembari menepis debu yang menempel pada bagian bawah celana jinsnya. Kemudian pria tersebut melangkah di depan seolah yakin akan diikuti. Setelah terjeda dalam pertimbangan beberapa saat, ia memutuskan untuk menyusul. Diraihnya ransel yang sempat terhempas tadi. Menepuk-nepuk benda berwarna hitam itu lalu menata kembali talinya ke atas pundak. Kendati tidak menoleh, Dave terlihat menurunkan laju derap. Pria itu membiarkannya menyetarakan langkah tanpa perlu tergesa-gesa. "Pertemuan dengan Ross di depan Guggenheim tadi malam bukan rencanaku sama sekali. Itu benar-benar di luar dugaanku. Tetapi, kamu dengan cepat menyimpulkan tanpa mendengarkan," terdengar Dave memberi penjelasan sedikit lebih panjang lebar dari biasanya."Tentu saja aku lebih mempercayai mataku da
Baru saja selangkah menapaki tangga bus, sebuah tangan mencengkeram kuat lengannya serta menariknya turun. Sontak ia terkesiap dan menoleh. Sembari memekik gusar, dikibaskannya tangan yang masih tercengkeram itu berulang kali. "Hey! Apa yang ...." "Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya ...." ujar sosok dari balik kerudung jaket hitam tersebut padanya. Suara berdesir kasar yang segera mengingatkannya pada seseorang. Dave. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyergah ucapan pria itu, sosok tersebut telah melanjutkan ucapan, "Nashville adalah tempat pertama yang akan mereka datangi untuk mencarimu." Diputuskannya untuk membendung kehendaknya untuk melawan. Batinnya mengatakan agar ia tidak gegabah dan memberi kesempatan mendengarkan. Dibiarkannya diri digiring menjauh dari samping bus.Begitu giringan pria tersebut berhenti, ia mendelik tajam ke arah Dave. Dengan sebelah tangan yang bebas, ia balas mencengkeram kerah jaket pria tersebut. "Jebakan apa lagi yang kini tengah ka
Kedua bola matanya bergerak liar seiring benak dan batinnya saling menimbang. Hatinya mengerucut kecut.Tetapi, bagaimana jika ternyata Dave merencanakan jebakan? Atas dasar apa aku dapat mempercayainya? Bisa saja dia salah satu dari orang Abe yang ditugaskan melacak dan memastikan keberadaanku. Sekonyong-konyong kian tercekam oleh pikiran sendiri, ia bergeming. Disandarkannya pucuk dahi pada pintu loker, melanjutkan menimbang. Jika memang demikian, bukannya Dave memiliki banyak kesempatan mencidukku saat dalam perjalanan ke New York? Setelah beberapa saat mengulum bibirnya, diputuskannya untuk menyudahi keterpakuannya pada rasa ragu. Diraihnya sepatu kets tua yang selalu disimpannya di dalam loker dan mengenakannya. Bersama rentetan pertanyaan yang dipersiapkannya, dibulatkannya tekad menghadapi resiko demi memperjelas keingintahuannya akan diri. Ia juga baru dapat memutuskan apakah Dave orang yang layak dipercaya atau tidak setelah menemui pria tersebut hari ini.Udara malam di pe
"Halo!" Sapaan yang datang dari balik punggungnya tersebut sontak mengejutkannya. Ia tak dapat mencegah dirinya untuk tidak terlonjak. Ia menoleh dengan kedua mata yang membulat sempurna. Mendapati sosok sang penyapa kian membuatnya tersentak. Bahkan hingga nyaris tak mampu mengatasi rasa terkejutnya. Dengan berusaha tak terdengar gelagapan, ia kemudian hanya bergumam menanggapi sekenanya. "Oh, hai ...." ucapnya pelan sembari melintas hening ke arah pintu belakang dapur restoran. Dikulumnya bibir menahan resah. Ini gawat! Bagaimana Dave bisa menemukanku? Aku yakin ini bukan sekedar kebetulan! Batinnya memekik segusar-gusarnya."Tidakkah kamu dapat menyapa teman lamamu dengan lebih baik, Tuan William Anderson?"Serta merta langkahnya terhenti. Sekali lagi ia mendapatkan serangan mengejutkan. Kendati hendak berkelit dan kabur, sekujur tubuhnya kelu begitu saja oleh teguran Dave barusan. Dengan tidak memutar tubuh sepenuhnya, ia menanggapi. "Sepertinya kamu salah mengenali orang. Nama
Matanya menangkap sesosok yang melesat hilang ke balik pohon di dekat tempat pembuangan sampah. Ia terkesiap menahan nafas. Siapa itu? Mengapa tampak seperti baru saja memata-matai tempat ini? Apakah mereka berhasil mengetahui keberadaanku?Sekali lagi ia memberanikan diri memeriksa lewat jendela.Tiada siapapun di luar sana. Bahkan setelah berulang kali mengerjap dan menyisir berkeliling, ia hanya menemukan keheningan malam. Aku yakin tadi melihat seseorang. Atau aku hanya terlalu was-was hingga berhalusinasi? Berapa lama lagi aku bisa bersembunyi di sini hingga aku ditemukan oleh mereka? Dengan langkah letih, dilanjutkan langkah dari dapur menuju ke kamar mandi satu bilik khusus karyawan. Ia butuh berbilas untuk menggelontorkan resahnya. Dibiarkannya bulir-bulir air yang dingin dari pancuran mendera permukaan tubuhnya. Dihelanya nafas panjang. Masih terus berjuang mengatasi badai kalut dalam batin. Aku tidak tahan lagi. Selalu merasa terjepit di antara rasa was-was ini seakan mem
Sekonyong-konyong sebersit pikiran muncul ke permukaan, ia memutuskan berhenti hening. Hati-hati dibalasnya tatapan pria yang telah kembali duduk di balik meja kerja tersebut."Tuan Gustav. Mungkin ini sebuah permintaan yang terdengar lancang ...." Sembari mengulum bibir sendiri, ia terjeda untuk menata keberanian sesaat. "Kalau boleh... saya mohon diizinkan bermalam di sini. Saya bisa merangkap sebagai penjaga keamanan sekaligus berberes-beres. Bagaimana?" tawarnya kemudian.Baik dirinya maupun Tuan Gustav hanya saling mengadu pandang dalam diam beberapa saat.Hingga pria bertubuh gembur tersebut menepuk tangan dan berdeham dari balik meja. "Kamu tidak ada masalah dengan hukum, kan?" tanya Tuan Gustav padanya bersama tatapan menelisik.Dengan sigap ia mengatasi keterhenyakannya. Sekali lagi ia tergelak miris. "Tidak ada. Ini semua hanya dikarenakan masalahku dengan keluarga semata," ujarnya dengan nada yakin. "Apakah masalahmu itu tidak akan berdampak pada tempat kerjamu?" tanya ata
Kakinya yang mulai berteriak letih sekonyong-konyong menyadarkannya. Dirinya tidak mungkin terus berlari. Kemudian ia pun serta merta bertekad nekad berbelok ke lorong buntu di belakang deretan gedung pertokoan sebelah kirinya tersebut. Matanya dengan sigap mencari tempat persembunyian. Dihampirinya salah satu pintu dan mencoba membukanya. Namun, lempengan berbahan besi itu hanya bergeming menutup. Hatinya mulai menggeliat resah diterpa rasa panik. Bersama bibir yang tiada henti mengumpat, ia kembali mencoba pada pintu demi pintu di deretan lorong tersebut. Hingga menemukan pintu yang terbuka pada percobaan keempat. Tanpa menyia-yiakan waktu bahkan untuk menarik nafas, ia menghambur masuk. Lekas-lekas ditutupnya kembali pintu dengan nyaris tanpa debam. Segera setelah matanya telah terbiasa dengan temaram ruangan, ia mengedarkan pandangan mencari tempat menyamarkan diri. Derap para pengejarnya yang samar-samar kian mendekat mengingatkannya agar segera bergegas. Segera ditekuknya tubuh
Langkahnya seketika terhenti. Sebuah ranjang dorong tampak menyembul pada salah satu pintu yang berada beberapa langkah di depannya. Setelah terjeda beberapa saat bersama rasa was-was, ia kembali lanjut mengendap-endap. Semakin langkahnya mendekati ranjang tersebut, semakin dirinya tercekik oleh ketercekaman. Hingga dirinya mampu mendengar degupan jantungnya dengan lantang di telinga. Namun semua itu tidak melebihi keingintahuannya. Dengan hati-hati ia menjulurkan mata ke arah sosok di atas ranjang dorong tersebut. Dan, sontak terkesiap. Fransisca!? Bagaimana bisa?Ranjang yang secara mendadak bergulir ke arahnya itu kembali membuatnya terkesiap. Ia serta merta melompat ke tepian demi menghindar. Sekonyong-konyong baru menyadari kehadiran sosok yang tengah mendorong pembaringan beroda tersebut. "Dokter Monger!? Aku ...."Belum usai ia menyapa, pria berjubah putih itu dengan mendelik lebar padanya serta membuka mulut dengan lantang. "Sudah kukatakan PERGI DARI SINI!" bentak sang dokter