Sembari mengusap-usap gusar rambut cokelatnya, ia mengerang lirih. Setelah menemukan fakta dari timbunan ingatan yang kembali, kini muncul ribuan pertanyaan di benaknya. Meski dengan pandangan yang amat redup, ia kembali membuka pelupuk mata. Rasa rindu yang mendesak di dada memaksa benaknya tetap tersadar. Ann. Aku sangat merindukannya. Dimana ia sekarang? Aku tidak yakin Ann telah tiada.Aku bahkan tidak percaya ia dinyatakan meninggal sesaat setelah dilarikan ke rumah sakit .... Jangan-jangan Ann masih dirawat di rumah sakit? Ke rumah sakit mana aku mencarinya? Di NY atau Nashville? Apakah jika kutanyakan pada perawat Adams, wanita itu akan memberitahukannya? Apakah aku bisa mempercayai informasi yang diberikannya? Aku berharap apa yang dikatakan perawat Adams itu semua juga adalah kebohongan .... Ia kembali menutup pelupuk mata, membiarkan sisa bulir air mata menuruni tepi wajahnya diam-diam. Kini, bukan hanya dalam tidurnya saja tetapi juga dalam keadaan sadar, ingatan akan
Aku benar-benar terlihat kacau, ujar batinnya menilai saat melintas di depan cermin. Demikian juga dengan isi benakku. Bagai ruangan yang baru saja terobrak-abrik oleh hempasan angin ribut, semua ingatan dan pikiran bergelimpangan simpang siur memenuhi setiap sudut benak. Dihelanya nafas gusar sepanjang mungkin. Aku harus segera membenahi pikiran dan menata hati. Jika terus menerus kacau seperti ini, tidak satu rencanapun yang mampu kususun malah bisa-bisa aku salah langkah dan mengacaukan situasi lagi! Digelontorkannya air hangat dari pancuran serta membiarkannya mengguyuri tubuh penatnya. Sekalipun keinginan untuk kembali ke kehidupanku sebagai William dan berhenti berpura-pura menjadi Wilbert sungguh menggebu di dalam batin, aku harus menahan diri. Aku harus mencari situasi yang memungkinkan untuk hengkang dan menghilang dengan hati-hati kali ini. Dan aku juga harus mencari informasi keberadaan Ann! Dengan memanfaatkan identitas Wilbert seharusnya itu akan lebih mudah ....Dara
“Pak? Apakah Anda butuh bantuan? Apakah jahitan di tangan Anda masih sakit?” tegur sosok yang mendadak muncul di sampingnya itu. Sempat tertegun, ditolehkannya pandangan sekilas pada Eddy. Pria tersebut tampak menyodorkan tangan untuk memberinya tuntunan menyelesaikan sisa langkah. Dan ia hanya menurut dengan membiarkan sekretaris itu membantunya. “Iya, masih. Tapi aku baik-baik saja,” sahutnya kemudian sembari diam-diam mengatur ritme nafas. Sejujurnya, melintasi jembatan tersebut hanya membutuhkan beberapa langkah, namun ia merasa bagai telah berjalan setengah hari tanpa henti dengan menahan gentar. “Saya membawakan beberapa dokumen yang perlu ditandatangani,” terdengar Eddy berbicara di dekatnya seolah memastikan ia untuk tetap terjaga. Serta merta pandangannya terarah pada beberapa map yang sedari tadi berada di tangan pria itu. Kemudian ia menggerakkan tangan pada Eddy yang mengisyaratkan agar meletakkan tumpukan map tersebut ke atas meja kerjanya.Eddy kembali lagi ke s
Sekonyong-konyong tak mampu memanggul rasa letihnya lebih lama lagi, dihempaskannya tubuh ke atas sofa. Kemudian melucuti kancing teratas kemeja yang terasa mencekat jalan nafasnya sepanjang hari itu dengan tanpa mengangkat tubuh. Dilemparnya pandangan ke arah temaram lampu balkon lewat pintu kaca yang dipenuhi titik air hujan. Helaan nafasnya terdengar bergetar getir. Walau sayup-sayup ia dapat mendengar hiruk pikuk gempita dunia luar, kesendirian menjepitnya dengan pedih. Gulana menyergapnya tiada ampun, menariknya ke lembah resah yang seakan tak berujung. Ia mengerang pilu mengatasi rasa yang menyesakkan itu.Ann, dimana kamu sekarang? Aku sungguh berharap kamu dan anak kita selamat dan hidup baik di suatu tempat. Ruang dengarnya menangkap suara deruan hujan yang turun kian intens di luar. Dengan kedua pelupuk mata yang memejam, ia menengadahkan wajah dan kemudian menimpali dahinya dengan punggung tangan.Saat kita bertemu nanti, aku memiliki beberapa pertanyaan untuk kamu jawab.
Ia tersentak dengan kedua pelupuk mata yang turut membuka seketika. Ditemukannya diri masih merebah di atas sofa ruang tengah. Deru hujan di depan pintu balkon terdengar mereda, menyisakan titik-titik hujan yang turun satu-satu. Oleh udara dingin yang ditinggalkan sang hujan dan menyelinap masuk ke dalam ruangan, ia bergidik. Dikulumnya nafas mengatasi rasa sesak yang mencekat di tenggorokan lalu mendesah. Mimpi buruk yang sama lagi, keluh batinnya. Kembalinya sang ingatan ternyata membawa serta mimpi buruk itu bersamanya, mengusiknya tiada henti. Kenangan masa lalu yang terus menghantui di setiap lelapnya, sebuah torehan luka yang membekas di batin mungkin untuk sepanjang hidupnya. Ditolehkannya tatapan nelangsa ke segala arah sekonyong-konyong tengah mencari. Sekalipun tahu tidak akan menemukan sosok yang dicarinya itu, ia tetap melayangkan pandangan ke sekitar. Ia telah terbiasa dihibur kala terjaga dari setiap mimpi buruknya oleh wanita itu. Bagai obat pelipur lara, suara dan
Diseruputnya kopi hitam yang baru saja tiba ke atas mejanya itu dengan benak yang masih menimbang. Kurasa sebaiknya aku membawakan sesuatu yang dapat membesarkan hati gadis itu, putusnya.Gadis yang duduk di depan deretan mejanya tersebut tampak bangkit berdiri menyusuli langkah wanita paruh baya tadi. Tanpa tercegah, tatapannya lekat begitu saja kepada kedua sosok tersebut sekalipun mereka telah beranjak meninggalkan kafe dan menyeberangi jalan. Kedua sosok –yang diduganya adalah ibu dan anak itu tampak memasuki sebuah agen perjalanan di deretan pertokoan seberang jalan. Ia terperanjat. Segera terbersit di benaknya untuk turut mengunjungi tempat tersebut, membeli tiket kembali ke Nashville. Namun dalam beberapa hitungan detik ke depan, ia langsung mengurungkan niatnya itu. Ia sadar harus bersabar sementara waktu dan membendung hasratnya untuk kembali pada kehidupannya sebagai ‘William yang bebas’. Bahkan merahasiakan perihal ingatannya yang telah kembali dari siapapun. Karena, seka
Menjelang pagi ia kembali terbangun dari mimpi buruk. Dengan jantung yang berdegup kencang seakan tengah berpacu dengan deru angin yang bermain di depan jendela, ia beranjak bangkit dari pembaringan. Berharap dapat memberikannya istirahat yang lebih lelap, direbahkannya diri ke atas sofa ruang tengah. Ia bersidekap. Sembari berusaha mengatasi nafas yang masih tidak beraturan, diusapnya bulir-bulir peluh resah di sudut pelipisnya. Kemudian mengerjap dalam kernyitan menantang keremangan. Ah, Ann...Betapa aku merindukan dekapanmu, rintih batinnya seketika. Sosok Ann seakan melekat erat pada pelupuk matanya. Tanpa tercegah olehnya, sosok wanita yang amat dikasihinya itu terus membayang. Namun alih-alih membesarkan hati, kenangan akan sosok yang selama ini berjuang bersamanya mengatasi aral rintangan kehidupan itu kini justru menggerus lubang di hatinya menjadi kian dalam. Saat ini, betapa ia berjuang sekuat tenaga untuk menahan diri agar tidak berlari menerjang kembali ke Nashville –se
Ia tersadar. Bagai baru saja terombang-ambing di atas lautan, kepalanya terasa berputar hebat bahkan sebelum menggemingkan pelupuk mata. Rasa mual sontak menyergap kala ia membuka kedua matanya dan beranjak bangkit dari pembaringan. Buru-buru direbahkannya diri kembali sembari mencoba mengingat. Ah, benar. Tanpa mengetahui tujuannya, mereka mengatakan aku harus menjalani proses endoskopi. Oleh karena itu mereka menginjeksiku dan seketika membuatku kehilangan kesadaran. Perlahan ia mengangkat pandangan memeriksa sekeliling, mempersiapkan diri untuk kembali bangkit turun dari pembaringan. Dengan terhuyung-huyung, ia melaju keluar ruangan. Langkahnya masih terasa limbung. “Tuan, Anda sebaiknya berbaring sampai efek obatnya hilang ....” Seorang perawat yang berpapasan dengannya di depan pintu tampak mengulurkan tangan hendak mencegah langkahnya. Segera ditepisnya uluran tersebut dan mengabaikan suara terkesiap sang perawat. Rasa mual yang mengaduk-aduk di uluhati membuatnya menghambu
"Hah?" Ia mendelik semakin tak paham dengan ucapan Dave. "Apa maksudmu?" Alih-alih segera menyahut, sosok yang duduk di depan kemudi itu tampak berkonsentrasi penuh ke depan. Entah dikarenakan tidak memiliki cukup kesabaran atau alasan lainnya, Dave bersikeras mencari jalan alternatif untuk menghindari kemacetan yang tengah menghadang. Sementara menanti penjelasan dari Dave, kian banyak praduga yang bermunculan di benaknya. Turut dilayangkannya lirikan pada kaca tengah lalu spion untuk memeriksa keadaan sekitar. Setidaknya itu yang dapat dilakukannya saat ini demi mengatasi rasa gusar. Sejauh telisiknya, ia tidak menemukan tanda-tanda adanya penguntit. Apakah kini diriku boleh merasa tenang? Apakah kehadiran Dave mampu menjanjikanku keamanan? "Bahkan anak kembar sekalipun tidak memiliki sidik jari yang sama. Tidakkah kamu bertanya apa sebabnya kamu dapat dengan mudah melewati setiap sistem pengaman bersidik jari milik Wilbert? Tidakkah kamu memikirkan jawabannya?"Oleh tuturan Da
Seolah menangkap maksud tatapannya dengan tepat, pria itu segera bersuara. "Sebaiknya kita melanjutkan pembicaraan di tempat lain sebelum mengundang perhatian orang sekitar dengan interaksi penuh keakraban ini," usul Dave sembari menepis debu yang menempel pada bagian bawah celana jinsnya. Kemudian pria tersebut melangkah di depan seolah yakin akan diikuti. Setelah terjeda dalam pertimbangan beberapa saat, ia memutuskan untuk menyusul. Diraihnya ransel yang sempat terhempas tadi. Menepuk-nepuk benda berwarna hitam itu lalu menata kembali talinya ke atas pundak. Kendati tidak menoleh, Dave terlihat menurunkan laju derap. Pria itu membiarkannya menyetarakan langkah tanpa perlu tergesa-gesa. "Pertemuan dengan Ross di depan Guggenheim tadi malam bukan rencanaku sama sekali. Itu benar-benar di luar dugaanku. Tetapi, kamu dengan cepat menyimpulkan tanpa mendengarkan," terdengar Dave memberi penjelasan sedikit lebih panjang lebar dari biasanya."Tentu saja aku lebih mempercayai mataku da
Baru saja selangkah menapaki tangga bus, sebuah tangan mencengkeram kuat lengannya serta menariknya turun. Sontak ia terkesiap dan menoleh. Sembari memekik gusar, dikibaskannya tangan yang masih tercengkeram itu berulang kali. "Hey! Apa yang ...." "Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya ...." ujar sosok dari balik kerudung jaket hitam tersebut padanya. Suara berdesir kasar yang segera mengingatkannya pada seseorang. Dave. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyergah ucapan pria itu, sosok tersebut telah melanjutkan ucapan, "Nashville adalah tempat pertama yang akan mereka datangi untuk mencarimu." Diputuskannya untuk membendung kehendaknya untuk melawan. Batinnya mengatakan agar ia tidak gegabah dan memberi kesempatan mendengarkan. Dibiarkannya diri digiring menjauh dari samping bus.Begitu giringan pria tersebut berhenti, ia mendelik tajam ke arah Dave. Dengan sebelah tangan yang bebas, ia balas mencengkeram kerah jaket pria tersebut. "Jebakan apa lagi yang kini tengah ka
Kedua bola matanya bergerak liar seiring benak dan batinnya saling menimbang. Hatinya mengerucut kecut.Tetapi, bagaimana jika ternyata Dave merencanakan jebakan? Atas dasar apa aku dapat mempercayainya? Bisa saja dia salah satu dari orang Abe yang ditugaskan melacak dan memastikan keberadaanku. Sekonyong-konyong kian tercekam oleh pikiran sendiri, ia bergeming. Disandarkannya pucuk dahi pada pintu loker, melanjutkan menimbang. Jika memang demikian, bukannya Dave memiliki banyak kesempatan mencidukku saat dalam perjalanan ke New York? Setelah beberapa saat mengulum bibirnya, diputuskannya untuk menyudahi keterpakuannya pada rasa ragu. Diraihnya sepatu kets tua yang selalu disimpannya di dalam loker dan mengenakannya. Bersama rentetan pertanyaan yang dipersiapkannya, dibulatkannya tekad menghadapi resiko demi memperjelas keingintahuannya akan diri. Ia juga baru dapat memutuskan apakah Dave orang yang layak dipercaya atau tidak setelah menemui pria tersebut hari ini.Udara malam di pe
"Halo!" Sapaan yang datang dari balik punggungnya tersebut sontak mengejutkannya. Ia tak dapat mencegah dirinya untuk tidak terlonjak. Ia menoleh dengan kedua mata yang membulat sempurna. Mendapati sosok sang penyapa kian membuatnya tersentak. Bahkan hingga nyaris tak mampu mengatasi rasa terkejutnya. Dengan berusaha tak terdengar gelagapan, ia kemudian hanya bergumam menanggapi sekenanya. "Oh, hai ...." ucapnya pelan sembari melintas hening ke arah pintu belakang dapur restoran. Dikulumnya bibir menahan resah. Ini gawat! Bagaimana Dave bisa menemukanku? Aku yakin ini bukan sekedar kebetulan! Batinnya memekik segusar-gusarnya."Tidakkah kamu dapat menyapa teman lamamu dengan lebih baik, Tuan William Anderson?"Serta merta langkahnya terhenti. Sekali lagi ia mendapatkan serangan mengejutkan. Kendati hendak berkelit dan kabur, sekujur tubuhnya kelu begitu saja oleh teguran Dave barusan. Dengan tidak memutar tubuh sepenuhnya, ia menanggapi. "Sepertinya kamu salah mengenali orang. Nama
Matanya menangkap sesosok yang melesat hilang ke balik pohon di dekat tempat pembuangan sampah. Ia terkesiap menahan nafas. Siapa itu? Mengapa tampak seperti baru saja memata-matai tempat ini? Apakah mereka berhasil mengetahui keberadaanku?Sekali lagi ia memberanikan diri memeriksa lewat jendela.Tiada siapapun di luar sana. Bahkan setelah berulang kali mengerjap dan menyisir berkeliling, ia hanya menemukan keheningan malam. Aku yakin tadi melihat seseorang. Atau aku hanya terlalu was-was hingga berhalusinasi? Berapa lama lagi aku bisa bersembunyi di sini hingga aku ditemukan oleh mereka? Dengan langkah letih, dilanjutkan langkah dari dapur menuju ke kamar mandi satu bilik khusus karyawan. Ia butuh berbilas untuk menggelontorkan resahnya. Dibiarkannya bulir-bulir air yang dingin dari pancuran mendera permukaan tubuhnya. Dihelanya nafas panjang. Masih terus berjuang mengatasi badai kalut dalam batin. Aku tidak tahan lagi. Selalu merasa terjepit di antara rasa was-was ini seakan mem
Sekonyong-konyong sebersit pikiran muncul ke permukaan, ia memutuskan berhenti hening. Hati-hati dibalasnya tatapan pria yang telah kembali duduk di balik meja kerja tersebut."Tuan Gustav. Mungkin ini sebuah permintaan yang terdengar lancang ...." Sembari mengulum bibir sendiri, ia terjeda untuk menata keberanian sesaat. "Kalau boleh... saya mohon diizinkan bermalam di sini. Saya bisa merangkap sebagai penjaga keamanan sekaligus berberes-beres. Bagaimana?" tawarnya kemudian.Baik dirinya maupun Tuan Gustav hanya saling mengadu pandang dalam diam beberapa saat.Hingga pria bertubuh gembur tersebut menepuk tangan dan berdeham dari balik meja. "Kamu tidak ada masalah dengan hukum, kan?" tanya Tuan Gustav padanya bersama tatapan menelisik.Dengan sigap ia mengatasi keterhenyakannya. Sekali lagi ia tergelak miris. "Tidak ada. Ini semua hanya dikarenakan masalahku dengan keluarga semata," ujarnya dengan nada yakin. "Apakah masalahmu itu tidak akan berdampak pada tempat kerjamu?" tanya ata
Kakinya yang mulai berteriak letih sekonyong-konyong menyadarkannya. Dirinya tidak mungkin terus berlari. Kemudian ia pun serta merta bertekad nekad berbelok ke lorong buntu di belakang deretan gedung pertokoan sebelah kirinya tersebut. Matanya dengan sigap mencari tempat persembunyian. Dihampirinya salah satu pintu dan mencoba membukanya. Namun, lempengan berbahan besi itu hanya bergeming menutup. Hatinya mulai menggeliat resah diterpa rasa panik. Bersama bibir yang tiada henti mengumpat, ia kembali mencoba pada pintu demi pintu di deretan lorong tersebut. Hingga menemukan pintu yang terbuka pada percobaan keempat. Tanpa menyia-yiakan waktu bahkan untuk menarik nafas, ia menghambur masuk. Lekas-lekas ditutupnya kembali pintu dengan nyaris tanpa debam. Segera setelah matanya telah terbiasa dengan temaram ruangan, ia mengedarkan pandangan mencari tempat menyamarkan diri. Derap para pengejarnya yang samar-samar kian mendekat mengingatkannya agar segera bergegas. Segera ditekuknya tubuh
Langkahnya seketika terhenti. Sebuah ranjang dorong tampak menyembul pada salah satu pintu yang berada beberapa langkah di depannya. Setelah terjeda beberapa saat bersama rasa was-was, ia kembali lanjut mengendap-endap. Semakin langkahnya mendekati ranjang tersebut, semakin dirinya tercekik oleh ketercekaman. Hingga dirinya mampu mendengar degupan jantungnya dengan lantang di telinga. Namun semua itu tidak melebihi keingintahuannya. Dengan hati-hati ia menjulurkan mata ke arah sosok di atas ranjang dorong tersebut. Dan, sontak terkesiap. Fransisca!? Bagaimana bisa?Ranjang yang secara mendadak bergulir ke arahnya itu kembali membuatnya terkesiap. Ia serta merta melompat ke tepian demi menghindar. Sekonyong-konyong baru menyadari kehadiran sosok yang tengah mendorong pembaringan beroda tersebut. "Dokter Monger!? Aku ...."Belum usai ia menyapa, pria berjubah putih itu dengan mendelik lebar padanya serta membuka mulut dengan lantang. "Sudah kukatakan PERGI DARI SINI!" bentak sang dokter