Baru sekarang aku bertemu perempuan segila Aura. Bisa-bisanya dia berniat menggoda Papa.Sebenarnya bukan hal yang aneh kalau temanku banyak yang mengagumi Papa karena memang Papa lebih muda daripada usianya dan orang bilang Papa itu begitu berkharisma dan mempesona.Pujian-pujian seperti itu sudah sering kudengar dari dulu saat aku masih sekolah SMA dan juga saat kuliah. Tapi tidak ada yang seila Aura sampai mengatakannya langsung pada Papa, berbeda dengan mereka yang hanya sekedar mengagumi sedangkan Aura sepertinya bukan mengagumi tapi menggoda.“Ma, hp Papa mana ya?”Refleks aku langsung melempar ponsel Papa hingga tergeletak di atas rerumputan. Pasti Papa akan mengira Yuka yang memainkannya. Aku langsung masuk ke dalam.“Papa yang pegang dari tadi.”“Carikan dong, Ma. Papa belum lihat laporan masuk.”Aku hanya duduk pura-pura tidak tahu.Mama Hana bangkit untuk mencari keberadaan benda pipih itu.Aku sudah memblokir nomor Aura dan juga menggantinya dengan nomor asal. Tak akan kub
“Kamu mendekati Mas Arga karena harta atau karena cinta, kalau karena cinta silahkan ambil dia. Kamu memiliki dia, aku memiliki hartanya,” kutatap tajam Aura yang masih menganga.“Ke-kenapa bisa?”“Keluar!” Mas Arga menarik tangan Aura dan menyeretnya keluar dari ruangan lalu mengunci dari dalam.Kudengar juga dia menghubungi security untuk mengeluarkan Aura dari gedung ini.“Kenapa kamu malah mengusir dia, Mas?”“Sayang, dengarkan dulu penjelasan aku. Dia cuman memperkeruh suasana.”Aku menyeringai. “Penjelasan apalagi kalau aku udah dengar semuanya. Apa kamu masih punya rahasia lain?”Mas Arga mengusap wajahnya kasar. “Oke, aku mengaku aku salah. Tapi itu semua masa lalu, aku nggak bakalan begitu lagi. Sekarang aku udah punya kamu, nggak mungkin aku cari wanita di luaran sana.”“Kamu pikir aku percaya?”Dia langsung menekuk lutut di hadapanku. “Sayang, aku mohon. Kasih aku kesempatan, aku mau buang jauh-jauh semua masa lalu itu. Cuman kamu alasan aku buat berubah, kalau kamu nggak a
“Sekarang aku lagi nggak mau ngomong sama kamu. Minggir!”“Sayang-”“Minggir! Sekali lagi kamu ngikutin aku, jangan pernah berharap bisa ketemu aku lagi.”Mas Arga diam saat aku bicara begitu.Aku gegas melangkah meninggalkannya.Apa semalaman dia ada di depan kamarku? Sebenarnya wajar saja karena dia memang berbuat salah.Kepalaku sedikit berat karena semalaman tidak bisa tidur, semoga saja setelah ini aku tidak sakit hanya karena begadang semalaman.Jarak ke rumah Mama lumayan jauh. Sampai di sana langit sudah terang. Di sini Mama tinggal sendiri.“Semoga aja kamu bisa cepat-cepat kasih Mama cucu ya, biar Mama nggak kesepian di sini.”Mengingat perkataan Mama membuat hati ini teriris. Apa harapannya itu harus kupatahkan karena masalah ini?“Hey, kenapa malah bengong disitu?” Mama sudah berdiri di ambang pintu.“Masih pagi jadi oleng,” gurauku.“Lagian kamu, kenapa pagi-pagi udah kesini? Bukannya ngurus suami.”“Mama udah masak belum? Aku laper nih.”“Belum, mau Mama masakin apa?”Ak
“Kamu kira aku anak kecil apa.” Kulempar sembarangan tongkat itu.“Aku harus apa biar dapat maaf dari kamu?”“Apa kamu nggak pernah ada niat buat berubah?” Aku balik memberikan pertanyaan padanya.“Percaya sama aku, sayang. Semenjak kenal kamu, aku mulai berubah.”Sebelah alisku terangkat. “Mulai berubah tapi kenapa masih sama?”“Aku berusaha, nggak segampang itu keluar dari zona ini.”“Kamu mau dengerin omongan aku?”Dia mengangguk dengan sorot mata sayunya itu.Aku menekan ego untuk tidak melukai yang lainnya. Tidak masalah aku berdarah-darah sendiri, rumah tangga memang tidak ada yang memiliki jalan mulus tapi kenapa semua itu menghantam di waktu kapal ini akan berlayar.“Obat dulu luka kamu.” Aku ngeri melihat darah berceceran di mana-mana.Belum lagi beling yang menancap di buku jari Mas Arga, apa dia tidak merasakan sakit sampai membiarkannya begitu saja.“Jangan tinggalkan aku.” Dia menahan tanganku saat aku berbalik.“Aku mau ganti baju.”Melangkah menjauh namun sayup-sayup ku
POV AuthorArga mengusap wajahnya frustasi, ia yang orangnya tidak bisa sabar sekarang harus bisa memiliki kesabaran setebal dompetnya untuk bisa meluluhkan hati sang istri.“Pulang ke rumah ya, sayang. Masalah kita jangan sampai bikin orang tua kepikiran, kamu nggak kasihan ke Mama?”Laissa menghela napas panjang. Sebenarnya ia juga tidak tega, kalau sampai ia tinggal sementara di rumah Nadia sudah pasti itu menandakan memang hubungan Laissa dan Arga semakin memburuk.“Kamu makan sendiri aja, aku nggak nafsu.” Laissa memalingkan wajahnya ke luar jendela mobil.Tadi Arga datang menggunakan ojek online. Seorang Arga untuk pertama kalinya naik ojek online, ia melakukan berbagai cara untuk bisa mempertahankan Laissa di sampingnya meski harus melakukan sesuatu yang sama sekali tidak disukainya.Ia bahkan tidak bisa lagi datang ke tongkrongan dengan teman-temannya yang biasa dilakukan saat akhir pekan. Untuk menghamburkan uang tentunya.Sekarang bahkan Arga diberikan uang lima ratus ribu u
Sampai di rumah orang tuanya. Hanya ada sang papa dan Aura yang menangis tersedu-sedu.“Pa-”“Papa nggak mau main hakim sendiri, jadi ceritakan dari sisi kamu.” Nata menatap tajam pada menantunya.Saat diminta istrinya datang ke sini, perasaan Arga sudah tidak enak. Ia bahkan tidak tahu ada Aura di sini. Dari gelagatnya sudah bisa ditebak jika Aura sedang melakukan sandiwara.Laissa bahkan tidak menyangka Aura akan berani datang ke rumah ini. Wanita ular satu ini memang tidak tahu malu.Arga menarik napas dalam-dalam, berdiri menghadap sang mertua.“Aku mengaku salah, Pa. Hukum aku semau Papa tapi jangan pisahkan aku sama Laissa!” Dengan lantang Arga mengakui kesalahannya.“Jadi benar kamu menghamili Aura?”“Aku memang pernah tidur dengannya tapi nggak mungkin dia hamil, Pa.”Nata menahan diri untuk tidak melayangkan kepalan tangannya menghantam wajah Arga.“Om, aku bawa buktinya. Aku hamil anak Mas Arga,” kata Aura seraya tergugu.Laissa tidak ikut berkomentar, ia hanya akan buka sua
Orang itu gegas sembunyi agar tidak ketahuan karena beberapa orang di bawah mendongak ke atas.Sedangkan di bawah, Laissa gemetar melihat Arga yang sudah tidak sadarkan diri dengan kepalanya yang mengeluarkan banyak darah.Bukan Laissa yang kena tapi Arga.Sepanjang perjalanan Laissa menangis, perasaannya tidak tenang. Tangannya yang menyentuh pipi Arga gemetar. Beruntung tidak sampai pingsan karena sekarang dress bagian bawahnya yang berwarna biru muda itu sudah menjadi merah karena darah dari kepala Arga.Sampai di rumah sakit terdekat, Arga langsung ditangani.“Pa, ke rumah sakit sekarang.” Sambil terisak Laissa menghubungi papanya, ia tidak bisa di sini sendirian.Rasa takut menyelimuti hatinya.“Kamu kenapa, Nak?” Disana Nata juga ikut cemas karena mendengar suara putrinya.“Mas Arga, Pa. Papa cepetan kesini.”Setelah sambungan telepon terputus, Laissa mengirimkan lokasinya saat ini. Ia berjalan mondar-mandir di depan ruangan itu dengan gelisah, tak berhenti berdoa untuk keselama
“Nggak kok.” Arga memasukan ponsel Laissa ke dalam saku celananya.“Mas-”“Ayo turun, aku harus cepet-cepet makan biar minum obat ‘kan?”Laissa mengalah, ia berjalan lebih dulu keluar dari kamar itu untuk menyiapkan. Sedangkan Arga mengambil kesempatan untuk menghubungi salah satu temannya.“Urus ulah yang dibuat lont* itu! Gue kirim linknya.”Padahal Aura ada di penjara tapi wanita itu masih bisa berbuat ulah, sudah pasti ada yang membantunya tidak mungkin ia bertindak sendiri.Arga menghapus pesan dari Karina. Ia akan menyembunyikan ponsel Laissa agar wanita itu tidak mendengar berita yang memalukan itu.Kalau Arga sudah turun tangan, maka berita seperti itu bisa hilang dengan cepat. Sebelum nama baiknya dan keluarga tercoreng, ia harus segera ambil tindakan.“Mas, ngapain lagi?” Suara Laissa dari luar tedengar.“Iya, iya.” Arga melemparkan benda pipih itu ke atas lemari setelah menonaktifkan ponselnya.Niatnya baik, ingin menjaga perasaan sang istri. Apalagi mereka baru memulai lag
“Mas ….” Mata Yuna berkaca-kaca. Buliran bening itu mulai berjatuhan.“Loh? Kenapa nangis.”“Kamu marah sama aku, Mas? Tadi 'kan aku udah jelasin, semua salah paham. Gantanya aja yang masih deketin aku.” Dengan kasar ia mengusap pipinya yang basah. “Aku juga nggak suka diganggu begini.”Tiba-tiba Yuna yang tukang marah menjadi mellow begini. Sungguh tidak terlihat seperti Yuna biasanya, Afnan bahkan sampai terheran-heran karena ini kali pertamanya melihat sang istri menangis begini.“Saya nggak marah. Kenapa kamu nangis?”“Kamu pasti marah 'kan?” Yuna mengulangi pertanyaannya.Afnan menggeleng. “Saya nggak marah.”Yuna memalingkan wajahnya, memilih untuk berbaring di samping Kiarra yang sudah terlelap.Afnan masih berdiri dengan kerutan di keningnya karena tingkah sang istri yang tak biasa. Tidak mau membuat suasana semkain tidak enak, Afnan memilih untuk diam saja.Ia sama sekali tidak marah seperti yang dituduhkan oleh Yuna, percaya kalau istrinya sudah tidak berhubungan dengan Gant
"Ganta.""I miss you so bad, Baby." Ganta hendak melangkah mendekati Yuna."Oh, Mas ini selingkuhannya Yuna pasti," celetuk Bu Nani."Jangan sembarangan ya, Bu!" Yuna naik pitam."Saya calon …." Ganta menyeringai, sengaja menggantung perkataannya."Ganta, apa-apaan sih. Sana pulang, ngapain kesini?" Yuna tidak mau Ganta malah membuatnya semakin malu."Aku kesini mau jemput kamu, Baby.""Rumah aku di sini, kamu nggak usah macem-macem ya! Kita udah putus, sekarang kamu pergi dari sini."Keributan yang terjadi mengundang penasaran beberapa tetangga yang lain.Ingin sekali Ganta menarik paksa tangan Yuna agar wanita itu ikut dengannya. Namun ia sadar dengan melakukan itu yang ada Yuna malah semakin tidak suka padanya."Buka blokirannya, kalau nggak … nanti aku datang lagi.""Iya. Sana pergi."Yuna bisa bernafas lega saat Ganta akhirnya pergi. Ia harus segera menyelesaikan urusannya dengan Ganta. Padahal hubungan mereka sudah berakhir."Yuna, Yuna. Tampang aja polos.""Ternyata bener punya
Senyum di bibir Yuna tidak luntur, hatinya berbunga setelah kerinduan yang berbulan-bulan ini tertahan akhirnya bersambut. Pipinya memanas mengingat apa yang terjadi tadi malam. Kali kedua untuk mereka tapi tentu saja berbeda karena melakukannya dalam keadaan sadar sepenuhnya, bukan efek dari obat perangsang.Masih dengan posisi yang sama, Yuna mendongak. Menatap Afnan yang masih terlelap, gurat lelah nampak jelas. Afnan memang masih lelah setelah perjalanan ke kota tapi ulah Yuna lelah Afnan semakin bertambah. Rencananya sudah berhasil, Yuna sangat yakin setelah ini Afnan tidak akan mungkin kepincut oleh Rinda.Tok. Tok.“Bu … Ibu ….” Yuna terperanjat, ia malah kembali memejamkan mata. Tidak mau kalau Afnan tahu ia lebih dulu bangun dari lelaki itu.Afnan langsung terjaga mendengar suara adiknya. Dengan gerakan perlahan ia menarik tangannya yang dijadikan bantal oleh Yuna. Menyambar baju dan memakainya dengan asal karena takut suara Nisa akan membangunkan kedua bidadarinya yang masih
Untung saja Yuna belum menanggalkan cardigan yang dipakainya. Jadi ia bisa menyelamatkan harga dirinya. Malunya tidak ada obat kalau sudah tampil menggoda dan Afnan masih menolak.Meskipun kesal, Yuna tidak memperlihatkannya. Ia belajar untuk menahan diri apalagi Afnan baru saja kembali setelah perjalanan jauh yang menguras tenaga."Hari masih panjang, ini masih siang. Nggak etis juga kalau siang-siang ada suara meresahkan." Ia mencoba menghibur diri lalu keluar dari kamar.Setidaknya ia harus membuat hatinya lebih tenang.Ia memilih merebahkan tubuhnya di tempat biasa Afnan berbaring setiap malam."Keras banget. Betah dia tiap malem tidur di sini? Kalau aku yang tidur di sini bisa-bisa sakit semua badanku."Yuna mengambil posisi duduk, tidak nyaman berbaring dengan kondisi tempat yang tak nyaman. Padahal baru beberapa detik, bayangkan Afnan yang beberapa malam ini tidur di sana. Ia sama sekali tidak protes.Tidak ada larangan dari Yuna untuk Afnan tidur dengannya, hanya saja lelaki i
Yuna tidak membalas pesan Angel tapi langsung menghubungi gadis itu.“Na, tad-”“Cewek itu bukan istrinya Afnan! Nggak usah sok tahu.” Yuna berucap dengan ketus.“Lah, kok kamu marah sih. Afnan 'kan orang lain, ngapain juga kesel gitu.”Napas Yuna mulai berat. “Afnan itu suami aku, Angel. Suami aku!” Ia menjelaskan penuh penekanan.Angel malah tertawa. “Ngelawaknya nggak usah gitu juga kali, Na.”“Terserah mau percaya atau nggak. Pokoknya nggak usah kamu berharap lagi ke Afnan, aku sama dia udah punya anak. Jadi nggak usah coba deketin Afnan lagi!”Belum sempat Angel bicara, Yuna lebih dulu memutuskan sambungan telepon. Ponsel mahal itu dilemparnya sembarangan saking kesalnya.Sekarang Yuna sudah tidak peduli jika rahasianya terbongkar, karena baru Sisil yang tahu dan gadis itu bersedia tutup mulut. Sedangkan pada Angel, Yuna mengakui sendiri soal hubungannya dan Afnan karena cemburu.Beginilah jadinya saat keadaan berbalik. Dulu Yuna yang mencampakkan Afnan, sekarang ia malah takut k
“Saya nggak lama kok, kalau Kia rewel telpon aja.” Afnan lebih dulu mengalihkan pembicaraan.“Nomor kamu aja aku nggak punya.”Beberapa bulan ini mereka benar-benar hilang kontak, Afnan hanya sering komunikasi dengan Orang tua Yuna saja.“Mana hp kamu?”“Di saku.” Yuna mengarahkan dagunya ke arah saku jeans yang dikenakan. “Ambil.” Kedua tangannya memegang Kiarra, ia tidak mau ambil resiko kalau mengembalikan Kiarra pada Afnan nanti malah anak itu tidak mau lagi digendong olehnya.Lelaki itu tampak ragu, padahal hanya mengambil ponsel di dalam saku. Wanita di depannya bukan orang lain, masih istrinya.“Cepetan, ambil. Biar kamu juga cepet pulang lagi.” Suara Yuna membuat Afnan tersentak.Sedikit ragu, lelaki itu mengambilnya, ia menyimpan nomornya di sana.“Nggak di kota nggak di desa, ada aja penggoda.” Yuna mencebik, ia tampak tak rela melihat Afnan sudah pergi bersama dengan Rinda.Pertama bertemu namun sudah menganggap gadis itu sebagai musuh karena ia bisa melihat Rinda memiliki
“Kenapa Kia nggak mau aku gendong?” Yuna kesal setengah mati, apalagi tadi Kia menangis di depan Rinda.Rasanya Yuna sangat malu. Salah sendiri karena ia tidak pernah ada di samping putrinya. Bu Dini malah menawarkan Yuna untuk tinggal agar Kiarra bisa mengenal lebih dekat ibunya sendiri.Sebelumnya Yuna menempati villa tapi karena ditawarkan untuk tinggal di rumah Afnan, maka ia tidak akan menolak. Ia merasa tidak rela kalau Kiarra lebih dekat dengan orang lain daripada dengan dirinya yang notabene ibu kandung bayi itu.“Ini pertama kali kalian ketemu, wajar Kia belum bisa mengenali.” Afnan yang sedang menimang Kiarra, sesekali melirik wanita yang masih berstatus istrinya itu.Berada di dalam kamar yang sama membuat keduanya sedikit canggung. Namun keberadaan Kiarra tidak membuat kecanggungan itu kentara.Semua orang sudah tidur. Ini sudah jam sembilan malam, sebenarnya Kiarra akan susah tidur saat siangnya tidak tidur.Yuna tidak akan membiarkan Rinda dekat-dekat lagi dengan Kiarra,
Yuna bisa pulang dalam keadaan lebih tenang karena Sisil tidak mengatakan apapun pada Angel dan Ganta. Yuna sangat takut, karena kalau nanti semuanya tersebar maka ia tidak akan sanggup menghadapi teman-temannya yang lain. Dipastikan ia akan kena hujat.Tapi sebagai gantinya, Yuna harus menjelaskan semua pada Sisil tentang apa saja yang sudah terjadi. Yuna percaya karena Sisil bukan orang yang akan menceritakan keburukan orang lain. Tapi tetap saja namanya rahasia sudah diketahui orang lain ada rasa cemas yang tak mungkin bisa hilang begitu saja.“Nggak denger apa yang Mama bilang sih.” Pulang ke rumah langsung disambut omelan sang mama. Dari raut wajah Yuna, Hana sudah bisa menebak yang terjadi pada putrinyaWanita muda itu menghempaskan tubuh di samping mamanya.“Untung cuman Sisil yang tau,” adunya.“Sekarang Sisil doang, lama kelamaan yang lain juga bakalan tahu. Kalian nikah karena kecelakaan, itu pun bukan hal yang disengaja. Sedangkan Kia, ada di tengah-tengah kita dalam keada
“Udah lama pulang, Rin?” Ia langsung mengalihkan pembicaraan.“Baru kemarin malam, Mas. Mau liburan dulu, nanti kalau udah kerja Rinda tinggal di kota soalnya.”Afnan mengangguk. “Bapak ada, Rin?”“Ada, Mas. Lagi sarapan, masuk yuk. Sekalian ikut sarapan.”“Makasih, Rin. Aku tadi udah sarapan.”“Ya udah, duduk dulu. Biar Rinda buatkan kopi.”“Nggak usah repot-repot, Rin.” Afnan menolak dengan halus. “Aku di teras aja ya.”“Rinda suka direpotin Mas Afnan kok.” Gadis itu tersenyum manis sebelum melangkah masuk ke dalam rumahnya.Rinda masih sama, gadis manis yang murah senyum. Ia sama sekali tidak pernah merendahkan Afnan karena kondisinya yang tak punya apa-apa. Mereka dari dulu teman mengobrol, kalau ikut bapaknya mengontrol kebun, Rinda pasti sesekali ikut hanya untuk melihat Afnan.Di saat gadis di luaran sana menyukai lelaki yang tampan, kaya dan keren. Tapi Rinda tidak, ia terpesona dengan kesederhanaan sosok Afnan. Bisa dibilang Afnan itu cinta pertamanya. Bahkan banyaknya lelaki