“Maaf.” Arga semakin mengeratkan pelukannya.Ia memang tidak akan bisa menghapus luka itu tapi akan mencoba menggantikannya dengan kebahagiaan. Melupakannya memang bukan sesuatu yang mudah apalagi wanita tidak akan mudah lupa dengan apa yang sudah dialaminya apalagi sesuatu yang menyakiti.“Nggak pa-pa. Aku juga minta maaf, harusnya nggak bahas soal itu lagi.” Laissa membalas dekapan suaminya tak kalah erat.Laissa tertatih untuk bisa menerima semuanya, tidak mudah tapi tetap ia jalani karena yakin di depan sana ada pelangi yang menanti. Seberat apapun masalah pasti akan ada jalan keluarnya dan Laissa menunggu itu.Ia mengobati lukanya bersama dengan si pemberi luka. Itu obat terbaik menurutnya.***Satu bulan sudah berlalu dan sosial media sudah dinyatakan bersih dari foto-foto yang beredar. Foto kebersamaan Arga dan Aura yang disebearkan wanita itu, foto itu juga yang dulu dikirimkan pada Laissa. Sebenarnya satu hari setelah kejadian, semua foto sudah dilenyaplan api tetap saja haru
“Apa? Digerebek?”Hana terperanjat mendengar teriakan suaminya. Jantungnya berdetak kencang karena dibuat kaget.“Saya kesana sekarang.” Pria tua itu menghembuskan napas kasar, rahangnya mengetat.“Kenapa, Mas?” tanya Hana dengan heran.Jam dua dini hari, Nata mendapatkan panggilan yang membuatnya langsung olahraga jantung.“Yuna ....”“Yuna kenapa?” Seketika wajah Hana langsung panik.“Mas ceritakan di jalan. Kita pergi sekarang!” Nata turun dari ranjang sambil menghubungi seseorang.Hana masih bergeming. Ia terbangun karena suara suaminya dan sekarang pria itu tidak memberikan informasi yang jelas.“Sayang, ayo!”Nata sudah menunggu di ambang pintu.Hana pun menyusul setelah menyambar jaket karena di cuaca begitu dingin menusuk tulang.Perasaannya sudah tidak karuan saat Nata menceritakan kalau Yuna digrebek. Gadis yang baru saja lulus SMA itu pergi berlibur bersama dengan teman-temannya. Bukan tanpa pengawasan, Mama Rani ada di sana. Ia tidak akan mungkin melepas cucunya sendirian.
“Dek, jangan nangis. Nanti saya antar kamu pulang.”Bukannya mereda, tangis Yuna semakin menjadi.“Memang kamu punya uang antar aku pulang?” bentaknya.Yuna tidak bisa pulang sendiri, saat ini dalam dompetnya hanya ada kartu debit kosong. Biasanya memang diisi setiap bulannya oleh papanya untuk bulan ini jelas sudah dihabiskan untuk berlibur apalagi mengingat kemarin adalah hari terakhir dan rencananya akan pulang hari ini.Tapi naas kejadian tak diinginkan malah menghambat jalannya untuk pulang.Afnan terdiam. Ia tidak tahu dimana Yuna tinggal tapi sudah dipastikan di kota dan butuh ongkos yang tidak sedikit untuk pergi ke sana. Untuk makan sehari-hari saja Afnan kesulitan apalagi mengumpulkan uang untuk mengantar Yuna pulang.Beruntung karena biaya pengobatan ibunya ditanggung pemerintah karena mereka memang warga miskin.“I-iya, nanti saya usahakan.” Meski dirinya tidak yakin dapat uang dari mana.Tidak ada orang yang mau meminjamkan uang karena tahu Afnan tidak akan bisa membayar
Bagaimana caranya aku beritahu ibu dan Nisa ya soal kejadian tadi malam?Sepanjang perjalanan pulang, Afnan memikirkan hal itu. Tidak mungkin kalau menyembunyikan Yuna karena besok ibunya pulang.Ia ingin segera sampai di rumah untuk memastikan Yuna baik-baik saja. Sebenarnya perasaannya tidak karuan saat meninggalkan Yuna karena gadis itu sendirian di rumah dan tidak tahu menahu soal daerah di sana. Meski sudah beberapa kali liburan tapi tidak pernah masuk ke pemukiman warga.Butuh waktu lama untuk sampai di rumah kalau menggunakan angkutan umum, kecuali pakai kendaraan pribadi. Tapi apa daya, motor saja Afnan tidak punya.Awan sudah mulai menghitam dan suara guntur bersahutan. Afnan yang baru saja turun dari angkutan harus berjalan menuju rumahnya ditemani rintik hujan yang mulai lebat.Baru saja pukul dua siang tapi langit begitu gelap. Langkah lelaki itu semakin cepat karena khawatir pada Yuna. Gadis itu memang tidak dikenalnya tapi Afnan punya tanggung jawab untuk menjaganya kare
Pengantin baru itu duduk dalam posisi berjauhan. Tadi Afnan mencoba menjelaskan pada mertuanya soal apa yang terjadi. Nata yang awalnya khawatir bisa bernapas lega karena Yuna disentuh suaminya sendiri bukan orang lain.Memang Yuna saja yang berlebihan, ia lupa kalau sudah menikah dan harus melayani lelaki yang menjadi suaminya. Berhubung yang terjadi begitu mendadak membuatnya lupa akan status barunya.Saat ingatan soal semalam melintas dalam benak, Yuna malu sendiri karena ia yang lebih dulu mengajak Afnan. Tapi bukan Yuna namanya kalau mengakui kalau dirinya yang memulai. Gengsi perempuan satu ini sangat tinggi.Mana Papa nggak belain aku lagi.Yuna menggerutu dalam hati. Ia sudah kehilangan mahkota berharganya yang ia jaga tapi satu hal yang seharusnya tidak ia sesali, setidaknya ia melakukan dengan lelaki yang sah menjadi suaminya bukan kekasihnya yang sudah berulang kali memberikan kode pada Yuna untuk mau diajak melakukan hal di luar batas.Karena terlalu cinta bisa membuat Yun
“Ini dari Mbak Aura?” Afnan terbelalak melihat aneka menu makanan di hadapan Yuna.“Enak saja. Aku beli sendiri,” sahutnya lalu mencomot udang crispy.“Oh ya, saya mau minta tolong sama kamu.”Sebelah alis Yuna terangkat. “Berani minta tolong setelah-”“Saya mohon, ibu saya sakit. Saya nggak mau ibu makin drop nantinya. Kamu nggak perlu bersikap baik ke saya tapi setidaknya ke ibu. Tolong jangan meninggikan suara di hadapannya, saya mohon.” Afnan menjatuhkan harga dirinya, memohon pada Yuna untuk kenyamanan sang ibu.Tadi di jalan Afnan sudah bilang pada ibunya kalau ia sebenarnya sudah menikah dan istrinya ada di rumah. Mendengar itu, ibunya tentu kaget tapi bahagia karena akhirnya putranya itu menikah karena selama ini tidak ada yang mau pada Afnan karena pemuda itu sangat miskin.“Gratis?” Kedua tangan Yuna terlipat di dada.Afnan semakin gusar karena tadi ia meminta ibu dan adiknya menunggu di depan.“Apapun yang kamu minta, selama saya bisa. Saya lakukan.” Hanya itu yang bisa dik
Pengakuan Yuna sukses melukai Afnan, namun lelaki itu sadar diri dan hanya bisa diam.Bicara saat Yuna bertanya, selebihnya memilih untuk bungkam. Ia terus mengikuti langkah Yuna yang tampak semangat belanja, bukan untuknya tapi untuk orang rumah termasuk Nisa dan Bu Dini.Ada rasa iba yang dirasakan Yuna melihat seperti apa kondisi kehidupan keluarga suaminya yang jauh dari kata layak menurut Yuna. Terlihat dari pakaian mereka yang sudah lusuh dengan warna memudar."Nanti saya ganti uangnya.""Hm." Yuna hanya menyahut singkat, fokusnya pada penjual jajanan yang berjejer.Sebenarnya Yuna sama sekali tidak minta uangnya dikembalikan. Ia murni melakukan itu karena hatinya tergerak, ia juga diperlakukan dengan baik oleh keluarga Afnan."Jajanan apa yang enak?" Yuna melirik Afnan yang berdiri agak jauh darinya."Semua enak, tergantung selera, Dek."Apa yang dikatakan Afnan tidak salah makanya Yuna tidak mencak-mencak. Masalahnya ia tidak pernah jajan di tempat seperti ini yang isinya bera
“Ini cuman dugaan ibu saja, tapi nanti kamu periksa biar jelas.”Yuna masih membeku, tidak terima dengan dugaan ibu mertuanya.“Iya, Mbak. Bang Afnan pasti senang. Aku juga senang dapat keponakan.” Nisa sumringah.Masih bisa mengontrol diri, Yuna tersenyum tipis ia melanjutkan sandiwara menjadi istri yang baik.“Iya, biar nanti aku periksa.”“Tunggu Afnan ya, Nak. Sekarang kamu mau makan apa? Biar nanti Nisa carikan.”“Nggak mau apa-apa, Bu.” Yuna mencoba untuk menutupi rasa gundahnya.Kabar baik yang belum jelas kebenarannya itu sudah membuat Bu Dini dan Nisa bahagia tapi berbanding terbalik dengan Yuna. Jika memang ia hamil maka petaka baginya, ia akan semakin sulit untuk keluar dari tempat ini.Dengan gelisah Yuna menunggu Afnan pulang, biasanya ia tidak akan pernah peduli pada lelaki itu tapi sekarang sangat ditunggu kepulangannya.Selera makannya hilang, meski perutnya terus berbunyi. Selain karena rasa mual, memikirkan kondisi yang kemungkinan hamil membuat Yuna tidak tenang sam
“Mas ….” Mata Yuna berkaca-kaca. Buliran bening itu mulai berjatuhan.“Loh? Kenapa nangis.”“Kamu marah sama aku, Mas? Tadi 'kan aku udah jelasin, semua salah paham. Gantanya aja yang masih deketin aku.” Dengan kasar ia mengusap pipinya yang basah. “Aku juga nggak suka diganggu begini.”Tiba-tiba Yuna yang tukang marah menjadi mellow begini. Sungguh tidak terlihat seperti Yuna biasanya, Afnan bahkan sampai terheran-heran karena ini kali pertamanya melihat sang istri menangis begini.“Saya nggak marah. Kenapa kamu nangis?”“Kamu pasti marah 'kan?” Yuna mengulangi pertanyaannya.Afnan menggeleng. “Saya nggak marah.”Yuna memalingkan wajahnya, memilih untuk berbaring di samping Kiarra yang sudah terlelap.Afnan masih berdiri dengan kerutan di keningnya karena tingkah sang istri yang tak biasa. Tidak mau membuat suasana semkain tidak enak, Afnan memilih untuk diam saja.Ia sama sekali tidak marah seperti yang dituduhkan oleh Yuna, percaya kalau istrinya sudah tidak berhubungan dengan Gant
"Ganta.""I miss you so bad, Baby." Ganta hendak melangkah mendekati Yuna."Oh, Mas ini selingkuhannya Yuna pasti," celetuk Bu Nani."Jangan sembarangan ya, Bu!" Yuna naik pitam."Saya calon …." Ganta menyeringai, sengaja menggantung perkataannya."Ganta, apa-apaan sih. Sana pulang, ngapain kesini?" Yuna tidak mau Ganta malah membuatnya semakin malu."Aku kesini mau jemput kamu, Baby.""Rumah aku di sini, kamu nggak usah macem-macem ya! Kita udah putus, sekarang kamu pergi dari sini."Keributan yang terjadi mengundang penasaran beberapa tetangga yang lain.Ingin sekali Ganta menarik paksa tangan Yuna agar wanita itu ikut dengannya. Namun ia sadar dengan melakukan itu yang ada Yuna malah semakin tidak suka padanya."Buka blokirannya, kalau nggak … nanti aku datang lagi.""Iya. Sana pergi."Yuna bisa bernafas lega saat Ganta akhirnya pergi. Ia harus segera menyelesaikan urusannya dengan Ganta. Padahal hubungan mereka sudah berakhir."Yuna, Yuna. Tampang aja polos.""Ternyata bener punya
Senyum di bibir Yuna tidak luntur, hatinya berbunga setelah kerinduan yang berbulan-bulan ini tertahan akhirnya bersambut. Pipinya memanas mengingat apa yang terjadi tadi malam. Kali kedua untuk mereka tapi tentu saja berbeda karena melakukannya dalam keadaan sadar sepenuhnya, bukan efek dari obat perangsang.Masih dengan posisi yang sama, Yuna mendongak. Menatap Afnan yang masih terlelap, gurat lelah nampak jelas. Afnan memang masih lelah setelah perjalanan ke kota tapi ulah Yuna lelah Afnan semakin bertambah. Rencananya sudah berhasil, Yuna sangat yakin setelah ini Afnan tidak akan mungkin kepincut oleh Rinda.Tok. Tok.“Bu … Ibu ….” Yuna terperanjat, ia malah kembali memejamkan mata. Tidak mau kalau Afnan tahu ia lebih dulu bangun dari lelaki itu.Afnan langsung terjaga mendengar suara adiknya. Dengan gerakan perlahan ia menarik tangannya yang dijadikan bantal oleh Yuna. Menyambar baju dan memakainya dengan asal karena takut suara Nisa akan membangunkan kedua bidadarinya yang masih
Untung saja Yuna belum menanggalkan cardigan yang dipakainya. Jadi ia bisa menyelamatkan harga dirinya. Malunya tidak ada obat kalau sudah tampil menggoda dan Afnan masih menolak.Meskipun kesal, Yuna tidak memperlihatkannya. Ia belajar untuk menahan diri apalagi Afnan baru saja kembali setelah perjalanan jauh yang menguras tenaga."Hari masih panjang, ini masih siang. Nggak etis juga kalau siang-siang ada suara meresahkan." Ia mencoba menghibur diri lalu keluar dari kamar.Setidaknya ia harus membuat hatinya lebih tenang.Ia memilih merebahkan tubuhnya di tempat biasa Afnan berbaring setiap malam."Keras banget. Betah dia tiap malem tidur di sini? Kalau aku yang tidur di sini bisa-bisa sakit semua badanku."Yuna mengambil posisi duduk, tidak nyaman berbaring dengan kondisi tempat yang tak nyaman. Padahal baru beberapa detik, bayangkan Afnan yang beberapa malam ini tidur di sana. Ia sama sekali tidak protes.Tidak ada larangan dari Yuna untuk Afnan tidur dengannya, hanya saja lelaki i
Yuna tidak membalas pesan Angel tapi langsung menghubungi gadis itu.“Na, tad-”“Cewek itu bukan istrinya Afnan! Nggak usah sok tahu.” Yuna berucap dengan ketus.“Lah, kok kamu marah sih. Afnan 'kan orang lain, ngapain juga kesel gitu.”Napas Yuna mulai berat. “Afnan itu suami aku, Angel. Suami aku!” Ia menjelaskan penuh penekanan.Angel malah tertawa. “Ngelawaknya nggak usah gitu juga kali, Na.”“Terserah mau percaya atau nggak. Pokoknya nggak usah kamu berharap lagi ke Afnan, aku sama dia udah punya anak. Jadi nggak usah coba deketin Afnan lagi!”Belum sempat Angel bicara, Yuna lebih dulu memutuskan sambungan telepon. Ponsel mahal itu dilemparnya sembarangan saking kesalnya.Sekarang Yuna sudah tidak peduli jika rahasianya terbongkar, karena baru Sisil yang tahu dan gadis itu bersedia tutup mulut. Sedangkan pada Angel, Yuna mengakui sendiri soal hubungannya dan Afnan karena cemburu.Beginilah jadinya saat keadaan berbalik. Dulu Yuna yang mencampakkan Afnan, sekarang ia malah takut k
“Saya nggak lama kok, kalau Kia rewel telpon aja.” Afnan lebih dulu mengalihkan pembicaraan.“Nomor kamu aja aku nggak punya.”Beberapa bulan ini mereka benar-benar hilang kontak, Afnan hanya sering komunikasi dengan Orang tua Yuna saja.“Mana hp kamu?”“Di saku.” Yuna mengarahkan dagunya ke arah saku jeans yang dikenakan. “Ambil.” Kedua tangannya memegang Kiarra, ia tidak mau ambil resiko kalau mengembalikan Kiarra pada Afnan nanti malah anak itu tidak mau lagi digendong olehnya.Lelaki itu tampak ragu, padahal hanya mengambil ponsel di dalam saku. Wanita di depannya bukan orang lain, masih istrinya.“Cepetan, ambil. Biar kamu juga cepet pulang lagi.” Suara Yuna membuat Afnan tersentak.Sedikit ragu, lelaki itu mengambilnya, ia menyimpan nomornya di sana.“Nggak di kota nggak di desa, ada aja penggoda.” Yuna mencebik, ia tampak tak rela melihat Afnan sudah pergi bersama dengan Rinda.Pertama bertemu namun sudah menganggap gadis itu sebagai musuh karena ia bisa melihat Rinda memiliki
“Kenapa Kia nggak mau aku gendong?” Yuna kesal setengah mati, apalagi tadi Kia menangis di depan Rinda.Rasanya Yuna sangat malu. Salah sendiri karena ia tidak pernah ada di samping putrinya. Bu Dini malah menawarkan Yuna untuk tinggal agar Kiarra bisa mengenal lebih dekat ibunya sendiri.Sebelumnya Yuna menempati villa tapi karena ditawarkan untuk tinggal di rumah Afnan, maka ia tidak akan menolak. Ia merasa tidak rela kalau Kiarra lebih dekat dengan orang lain daripada dengan dirinya yang notabene ibu kandung bayi itu.“Ini pertama kali kalian ketemu, wajar Kia belum bisa mengenali.” Afnan yang sedang menimang Kiarra, sesekali melirik wanita yang masih berstatus istrinya itu.Berada di dalam kamar yang sama membuat keduanya sedikit canggung. Namun keberadaan Kiarra tidak membuat kecanggungan itu kentara.Semua orang sudah tidur. Ini sudah jam sembilan malam, sebenarnya Kiarra akan susah tidur saat siangnya tidak tidur.Yuna tidak akan membiarkan Rinda dekat-dekat lagi dengan Kiarra,
Yuna bisa pulang dalam keadaan lebih tenang karena Sisil tidak mengatakan apapun pada Angel dan Ganta. Yuna sangat takut, karena kalau nanti semuanya tersebar maka ia tidak akan sanggup menghadapi teman-temannya yang lain. Dipastikan ia akan kena hujat.Tapi sebagai gantinya, Yuna harus menjelaskan semua pada Sisil tentang apa saja yang sudah terjadi. Yuna percaya karena Sisil bukan orang yang akan menceritakan keburukan orang lain. Tapi tetap saja namanya rahasia sudah diketahui orang lain ada rasa cemas yang tak mungkin bisa hilang begitu saja.“Nggak denger apa yang Mama bilang sih.” Pulang ke rumah langsung disambut omelan sang mama. Dari raut wajah Yuna, Hana sudah bisa menebak yang terjadi pada putrinyaWanita muda itu menghempaskan tubuh di samping mamanya.“Untung cuman Sisil yang tau,” adunya.“Sekarang Sisil doang, lama kelamaan yang lain juga bakalan tahu. Kalian nikah karena kecelakaan, itu pun bukan hal yang disengaja. Sedangkan Kia, ada di tengah-tengah kita dalam keada
“Udah lama pulang, Rin?” Ia langsung mengalihkan pembicaraan.“Baru kemarin malam, Mas. Mau liburan dulu, nanti kalau udah kerja Rinda tinggal di kota soalnya.”Afnan mengangguk. “Bapak ada, Rin?”“Ada, Mas. Lagi sarapan, masuk yuk. Sekalian ikut sarapan.”“Makasih, Rin. Aku tadi udah sarapan.”“Ya udah, duduk dulu. Biar Rinda buatkan kopi.”“Nggak usah repot-repot, Rin.” Afnan menolak dengan halus. “Aku di teras aja ya.”“Rinda suka direpotin Mas Afnan kok.” Gadis itu tersenyum manis sebelum melangkah masuk ke dalam rumahnya.Rinda masih sama, gadis manis yang murah senyum. Ia sama sekali tidak pernah merendahkan Afnan karena kondisinya yang tak punya apa-apa. Mereka dari dulu teman mengobrol, kalau ikut bapaknya mengontrol kebun, Rinda pasti sesekali ikut hanya untuk melihat Afnan.Di saat gadis di luaran sana menyukai lelaki yang tampan, kaya dan keren. Tapi Rinda tidak, ia terpesona dengan kesederhanaan sosok Afnan. Bisa dibilang Afnan itu cinta pertamanya. Bahkan banyaknya lelaki