Terima kasih🙏🙏 pembaca setia RWP🌺 💞yang selalu menunggu kelanjutannya.👩💻 Mohon dibantu komentarnya yaa...✍️ Komentar dan Review teman2 sangat berharga untuk saya...🙇♀️💃🙏🤝😘🤗 Terima kasih banyak...🙏🙏❤ Dan jaga kesehatan selalu dengan prokes kesehatan😷 GBU 😇🤲
Tepat pukul enam sore, Angel dan Andy meninggalkan hotel di pesisir pantai yang menjadi saksi bisu atas gelora cinta diantara mereka. Dalam perjalanan pulang, Angel sudah tidak canggung lagi untuk bersandar di bahu Andy, ketika rasa lelah di perjalanan menghadang. “Capek yaa sayang,” ucap Andy dengan lembut dan tersenyum manis sambil sesekali mencium rambut Angel. “Enggak juga, cuma kepikiran sama mama aja, takut kalau di Singapura ia sakit. Mama bilang pengobatannya sekitar dua minggu,” ujar Angel mengungkapkan kegalauan hatinya. Andy yang mengetahui keresahan hati Angel, menghiburnya dengan berkata, “Sayang, yakin aja mama Dini akan sehat disana, lagi pula tempat yang di tuju itu, Rumah Sakit besar yang terkenal, dengan peralatan canggih serta dokter-dokter yang berkompeten. Jika hal yang kamu takutkan terjadi, tetapi mama Dini akan di tangani dengan baik disana.” Dengan lembut dan perlahan Andy menjelaskan hal yang seharusnya bisa di pikirkan oleh Angel. Jadi keresahan hati yan
Angel menarik napas panjang, ketika ia meyakini, kalau mamanya berpikir, ia telah tidur. Kemudian, dengan rasa lelah yang telah mendera tubuhnya, ia pun beranjak ke tempat tidur untuk sekedar merebahkan tubuhnya. Sedangkan Demas, duduk di sudut dekat pintu kamar mandi. Ia bisa melihat Angel yang sedang merebahkan tubuhnya dari cermin yang persis berada di depan tempat tidurnya. Sesekali masih terdengar derap kaki melangkah di luar kamar Angel. Dan hal itu membuat penantian Demas untuk keluar dari kamar Angel tertunda. Karena lamanya Andini membuat persiapan untuk pergi ke Singapura, membuat Demas yang duduk di lantai sudut dekat kamar mandi, terlihat memejamkan matanya, dengan kepala bersandar pada dinding dekat kamar mandi. Ada perasaan iba dalam hati Angel melihat Demas duduk di lantai, dekat sudut kamar mandi yang terlihat tertidur dengan posisi duduk. Sesekali kepalanya yang bersandar pada dinding dekat pintu kamar mandi itu, jatuh ke arah kanan, kiri bahkan ke depan. Melihat k
Di hari minggu yang cerah ini, Andini dan Angel menjalani aktivitas dengan bersih-bersih rumah. Andini merapikan kamarnya dengan membongkar isi dari pakaian yang ada di lemari. Ia memilah pakaian miliknya, yang masih bisa di pakai dan tidak. Ia juga mengeluarkan sisa pakaian Jodi yang masih tertinggal. “Angel...Angel...! tolong ambilkan kardus bekas mie instan yang di gudang,” teriak Andini pada putrinya yang saat ini sedang membersihkan ruang tamu. Angel berjalan ke arah gudang dan mengambil kardus yang di maksud Andini, lalu ia berjalan menuju kamar Andini dan memberikan kardus tersebut dengan bertanya padanya, “Mau di pakai apa kardus ini, Maaa.” Andini menoleh ke arah Angel, lalu memintanya mendekat dan duduk di sampingnya. Mereka duduk di lantai yang di tutup oleh permadani. Disana ada beberapa bagian pakaian yang sedang di sortir oleh Andini. “Sayang...tolong bantu mama untuk memasukkan beberapa pakaian papa ke dalam kardus yang kamu bawa tadi. Mau mama kirim hari ini ke ruma
Sekitar pukul tiga sore Andini pulang ke rumah. Dilihat mobil Andy masih berada di depan pagar rumahnya. Setelah masuk ke rumah, di lihat Andy tengah menonton televisi di ruang keluarga. “Maaf yaa Andy, tante baru balik ke rumah, soalnya tadi tante mampir beli persediaan makanan untuk Angel,” ujarnya sambil melangkah ke dapur. Di dapur, Andini membuka belanjaan yang tadi dibelinya. Ia sengaja membeli beberapa jenis makanan yang bisa di makan oleh Angel. Karena ia tidak ingin putrinya, kelaparan saat ia tidak di rumah. “Angel...Angel..., coba kamu kemari,” panggil Andini meminta Angel untuk membantu ia memasukkan makanan yang ia beli. Angel yang telah berada di dapur, langsung memasukkan beberapa jenis makanan yang dibeli mamanya. “Banyak amat beli bahan makanan Maa, memangnya mau dibawa juga?” tanyanya. “Mama sengaja belanja makanan dan beberapa camilan untuk kamu, jadi pas mama enggak di rumah, kamu tinggal masak nasi aja, karena itu, mama beli sosis, abon, nugget.” “Mama...mam
Hari ini Andini bangun lebih awal. Selain ia menyiapkan sarapan pagi untuk Angel, ia juga akan membuat sarapan untuk Prayoga yang rencananya akan menjemputnya. Mereka akan bertolak ke singapura sekitar jam sembilan pagi, sesuai dengan tiket yang telah ia pegang. Sesaat ia menghela napas panjang, mengingat makan bersama mereka kemarin petang. Ingin rasanya ia mengatakan pada Angel, kalau papanya bukanlah papa yang selama ini hidup bersamanya. Hanya saja, keadaan tidak memungkinkan ia mengatakan hal yang sesungguhnya.“Maa...mama...,” panggil Angel. “Yaa...Ngel, mama di sini,” jawab Andini yang berada di ruang tamu, duduk dalam gelap. Karena Andini sengaja tidak menyalakan lampu ruang tamu. “Looh, koq mama duduk disini, gelap-gelapan pula..., bukannya mama harus siap-siap?” tanya Angel yang sudah berada di ruang tamu dan ikut duduk di salah satu kursi. “Mama sudah menyiapkan semuanya, nanti jam tujuh, mama mandi.” “Memang mama udah masak untuk sarapan?” tanya Angel lagi pada Andini
Angel yang dengan sengaja mengabaikan telepon Jodi, walau berulang kali Jodi menghubunginya, namun tidak sekalipun ia bergeming untuk menjawab panggilannya. Berulang kali ada panggilan masuk ke ponselnya. Setelah itu, panggilan masuk pada ponselnya berhenti. Angel pun tertawa dalam hati, ‘Hahahaha...akhirnya bosen juga dia hubungi aku...’ Mendekati kantornya, sebuah nada bip pesan masuk terdengar dari ponselnya. Angel melihat ponselnya, dan ternyata, papanya Jodi mengirimkan pesan, dengan malas-malasan ia membaca pesan yang telah ia buka, persis sampai di sebuah gedung kantor. “Terima kasih pak...,” ucap Angel pada sopir Anggara dengan membuka pintu mobil dan keluar berjalan menuju pintu lobby. Sesampai di lobby, Angel bertemu dengan beberapa staf yang telah aktif dengan kesibukannya masing-masing. Beberapa di antaranya menyapa dirinya, “Selamat pagi...Bu.” Angel menjawab beberapa staf yang menyapanya dengan menganggukkan kepala dan berkata, “Pagii....” Sesampai di depan lift, ia
Mobil yang membawa mereka berempat tiba di kantor tepat pukul 11 siang. Mereka masing-masing berjalan menuju lift dengan sesekali mengobrol. Lalu, Nina berkata pada Angel sebelum memasuki pintu lift, “Bu..., itu suaminya kan kecelakaan waktu sama cewek lain..., kasihan sekali bu Santi itu, kalau saya mah... udah saya ceraikan itu suaminya.” “Ooh...begitu,” ucap Angel ketika mereka baru saja masuk ke dalam lift menuju lantai masing-masing. “Lagian..., ibu Santi juga sih..., enggak merawat dirinya, liat tubuhnya sampai gembur seperti itu, kalau saya...., udah joging tiap hari biar cepat kurus,” Nina kembali bergosip ketika ada di dalam lift dan Angel hanya mendengarkan celotehnya sambil memainkan ponsel yang di pegangnya. “Daag..., saya duluan yaa..., terima kasih untuk kerja samanya. Good Job,” ujar Angel sambil keluar dari lift dan tersenyum ke arah mereka yang beda satu lantai. Angel melangkahkan kakinya menuju ruang Anggara, karena ia ingin membicarakan masalah kebijakan yang tel
“Selamat Sore...Bu Angel,” sapa Santi yang telah masuk ke ruangan Angel. “Silakan duduk, Ibuu,” sambut Angel dengan ramah. Setelah Santi duduk di kursi tamu, pada ruangan Angel, mereka mulai berbicara satu sama lain, mengenai beberapa tempat kuliner miliknya yang telah tutup, dan itu semua disebabkan oleh Tito, yang terjerat oleh seorang janda beranak dua. Disana Santi, mulai menangis, mencurahkan segala perasaannya. “Bu Angel..., saya minta maaf atas kekasaran saya sama ibuu, pada saat itu, seharusnya saya yang marah dengan suami saya, bukan dengan ibuu, saya sungguh malu, sudah menghina ibu seperti itu,” ujar Santi dengan kepala tertunduk malu dan linangan air mata yang membasahi pipinya. “Bu Santi, semua itu sudah berlalu..., sudah jangan ibu pikirkan lagi, saya juga punya salah sama ibu. Semua orang, enggak ada yang sempurna. Jadi mari kita lupakan saja semuanya,” dengan lemah lembut Angel berkata-kata pada bu Santi, dan memberikan tissue untuk membasuh air matanya. “Buu, kema