Aku duduk tercenung di kursi meja makan sembari memikirkan ucapan Mas Rama dan Mang Ujang tadi yang hampir bertolak belakang. Tak berselang lama Ibu turun dari lantai atas lalu duduk di seberangku.
"Wati..." teriak Ibu memanggil Mbak Wati yang ada di halaman belakang."Iya Nyonya, ada apa?" tanya Mbak Wati yang baru saja datang."Buatin saya teh manis hangat ya,""Baik Nyonya.""Sarah, kamu harus banyak gerak ya, untuk melancarkan persalinan. Kalau Ibu dulu sering ngepel sambil jongkok, kamu juga harus gitu, jangan diam saja ya!" ucap Ibu Mertua.Semenjak aku dan Mas Rama pindah kesini, Ibu Mertua memang begitu perhatian. Terutama pada calon bayi kami."Tehnya Nyonya," ucap Mbak Wati sembari meletakkan secangkir teh di hadapan Ibu.Ibu mengangguk, lalu Mbak Wati kembali ke halaman belakang melanjutkan pekerjaannya."Iya Bu, Sarah juga sering ikut senam hamil kok,""Nah, bagus itu. Hari ini Ibu ada urusan, kalau mau makan siang nanti bilang saja sama Mbak Wati mau makan apa ya, biar dibuatkan. Ibu sepertinya nanti pulang malam sama Reza,""Iya Bu. Hati-hati ya,"Akhirnya Ibu dan anak pertamanya pergi, sementara Mas Rama sedang di perkebunan. Di rumah memang ada Mbak Wati asisten rumah tangga di rumah ini, tetapi wanita itu sangat hormat pada majikannya sehingga sangat kaku saat kuajak mengobrol.Sore hari, langit tampak mendung gelap. Tetiba hujan pun turun dengan lebat disertai petir yang menyambar-nyambar. Suara gemuruh yang menggelegar membuat suasana sore menjelang malam menjadi mencekam. Ditambah angin yang berhembus sangat kencang menambah kesan ngeri.Aku sedang mencari kunci pintu dapur diantara deretan laci kayu, karena angin bertiup sangat kencang membuat pintu dapur terbuka dan tertutup dengan sendirinya. Sehingga menimbulkan suara yang sangat mengganggu.Mataku tertuju pada sebuah kunci yang menurutku itu kunci gembok, sedangkan di rumah ini pintu yang menggunakan gembok hanya pintu gudang."Apa kuncinya sudah ketemu Non?" tanya Mbak Wati."Sudah Mbak, aku kunci dulu ya pintunya. Mbak Wati, bisa minta tolong beresin kamarku?" ucapku mengalihkan perhatian."Bisa Non, tapi hati-hati ya lantainya licin, jangan sampai terpeleset."Aku menganggukkan kepala lalu berjalan ke arah belakang.Dengan segera aku mengunci pintu dapur, lalu berdiri didepan pintu gudang. Aku sangat penasaran sebenarnya ada apa didalam ruangan ini? Kenapa bisa, didalam sana ada suara tangisan bayi?Setelah kurasa aman, aku mulai memasukkan kunci kedalam gembok. Dua kali memutar gembok itu akhirnya terbuka. Aku celingukan ke kanan dan kiri, takut saja jika ada pegawai Ibu yang melihatnya, aku masuk kedalam gudang dan menutup pintu kembali.Banyak lemari besar dan tinggi berjejer, serta ranjang dan kasur bekas memenuhi ruangan ini. Hawa dingin dan debu-debu beterbangan pun dapat kurasakan.Bugh!... Bugh!... Bugh!..."Tolong...!""Tolong...!""Tolong keluarkan aku dari sini!"Jantungku berdebar sangat kencang, mencari sumber suara itu. Aku sudah memeriksa semua isi lemari tetapi tak kutemukan perempuan yang menjerit tadi.Aku bisa saja berteriak mencari keberadaan wanita itu tapi yang aku ditakutkan Mbak Wati masuk kemari dan menemukan keberadaanku.Bugh!... Bugh!... Bugh!...Suara itu terdengar lagi tapi aku tidak tahu dari mana sumber suara itu. Aku terus melangkah hingga merasakan sedikit getaran dari lantai yang kupijak.Bugh!... Bugh!...Suara pukulan itu terdengar lagi, dan kurasa berasal dari lantai yang kupijak ini. Saat tanganku meraba lantai semen itu tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat."Hei, siapa yang berani membuka pintu gudang ini hah?!"'Itu suara Ibu Mertua, gawat Ibu bisa marah besar kalau tahu aku ada didalam. Bagaimana pun juga aku tak ingin ada masalah dengannya,' gumamku.Aku segera berjinjit dan masuk kedalam lemari besar untuk bersembunyi."Ayo, kalian cari siapa yang berani masuk kedalam gudang ini!" seru Ibu dengan tegas.Suara bising dan bunyi langkah kaki pun terdengar. Orang-orang suruhan Ibu sedang menggeledah isi lemari. Jantungku berdegup sangat kencang. Sebentar lagi, cepat atau lambat aku pasti ketahuan."Bu, sepertinya kita harus memindahkan dia dari sini. Lihatlah dia terus memukul-mukul pintu, bikin orang-orang curiga saja!" ujar Bang Reza membuatku berpikir keras apa maksud dari perkataannya."Ya, kamu benar! Malam ini kita bawa dia dari sini," ucap Ibu.Sebenarnya apa yang mereka sembunyikan? Aku semakin penasaran.Tiba-tiba pintu lemari terbuka. Nampaklah wajah Mang Ujang didepan mataku. Nafasku tertahan dengan mata melotot menatap wajahnya. Oh tuhan, aku sudah ketahuan.Apa yang harus kulakukan sekarang? Badanku rasanya gemetar, sebentar lagi pasti Mang Ujang melapor pada Ibu jika ada aku yang berada di dalam lemari ini.--"Gimana Jang? Apa kamu menemukan seseorang yang masuk kesini?!" tanya Ibu.Rasanya jantungku berdetak sangat kencang. Aku hanya berdiri mematung menatap Mang Ujang dengan mata melotot."Tidak ada, Nyonya!" jawab Mang Ujang sembari menutup pintu lemari."Lalu siapa yang berani membuka pintu gudang ini tanpa perintahku, hah?""Maaf Nyonya, ta-di sa-ya yang buka," ucap Mbak Wati terbata.Akhirnya aku bisa bernafas lega, Mang Ujang dan Mbak Wati sudah menjadi penyelamatku kali ini. Tetapi, mengapa mereka melakukan itu?"Apaa? Kamu ngapain masuk kedalam gudang!? Apa aku menyuruhmu hah!?" bentak Ibu.Ibu berteriak sangat lantang membuat tubuhku gemetar dan keringat bercucuran. Tak kusangka wanita yang selalu berlaku baik dan lemah lembut kepadaku itu memiliki kepribadian yang tegas dan pemarah. "Maaf Nyonya, tadi perempuan itu berteriak sangat kencang. Saya terpaksa masuk dan menenangkannya. Tetapi tiba-tiba Non Sarah memanggil, karena saya takut dia datang kemari jadi saya buru-buru menemu
"Wahh, ayamnya habis Rah. Kok nasinya nggak dihabisin?"Aku tersentak mendengar suara Ibu yang datang secara tiba-tiba. Aku harus mengatur ekspresi agar terlihat biasa saja."Iya Bu, abisnya ayamnya enak bumbunya juga meresap. Kalau aku habisin nasinya takutnya nanti ayamnya malah nggak habis jadi nasinya aku sisain setengah deh,"Ibu terkekeh sambil duduk dihadapanku."Iya juga sih Rah. Hamil tua emang bawaannya pengen makan terus tetapi belum tentu juga kitanya kuat makan banyak,"Mungkin aku akan menjadi menantu paling bahagia jika tak menemukan hal-hal aneh di rumah ini. Sekarang aku malah merasa was-was atas semua kebaikan Ibu padaku."Ibu dulu juga gitu loh! Apalagi waktu hamil Rama. Berat badan Ibu sampe naik lima belas kilo lebih,""Pasti gede banget ya Bu. Gak kebayang. Aku aja yang naik sepuluh kilo, sering ngerasa sesak,""Iya Rah. Udah pasti kalau merasa sesak tuh, mau gerak aja susah," jawab Ibu menatapku tersenyum.Entahlah aku merasa kalau tatapan Ibu selalu berubah-ubah
Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat jelas Ibu, Mas Rama dan Bang Reza juga ikut pergi menggunakan mobil fortuner termasuk Mang Ujang.Dengan nafas yang tak beraturan aku kembali duduk di tepi ranjang dan merenungi apa yang aku lihat tadi.Seseorang yang dibawa orang suruhan Ibu itu pasti wanita yang berteriak dari dalam gudang. Dan bayi itu adalah bayi yang kudengar tangisannya waktu itu.Untuk apa Ibu, Mas Rama dan semuanya menyembunyikan hal ini dariku? Siapa wanita itu? Lalu kenapa ia harus dikurung didalam gudang?Rasanya kepalaku mau pecah memikirkan kejadian ini semua. Ingin sekali aku memanggil Mbak Wati kemari untuk menceritakan semuanya padaku saat ini.Tetapi aku tak ingin gegabah, pasti ada sesuatu rahasia besar yang disembunyikan keluarga ini hingga Mbak Wati tak berani sembarangan memberikan informasi, tampaknya ia juga sangat takut terhadap Ibu dan keluarganya.Semalaman aku tidak bisa tidur, memikirkan hal-hal aneh yang kutemui di rumah ini.Pukul tiga dini hari su
Tetapi aku tidak mungkin hanya berdiam diri seperti ini, aku takut terjadi apa-apa pada diriku dan bayiku suatu saat nanti.Pukul sepuluh siang akhirnya Mas Rama keluar dari dalam kamar lalu menghampiriku yang sedang menonton televisi, Ibu pun juga turun dari kamarnya dan berjalan menuju dapur."Kamu sudah makan, sayang?" tanya Mas Rama."Sudah Mas. Tumben Mas kamu baru bangun? Semalam tidur jam berapa?""Iya sayang. Semalam Mas begadang sampai jam satu. Maaf ya, pasti lama ya nungguin Mas pulang," jawabnya membuatku menyeringai tipis.Jam satu ia bilang? Padahal jam empat saja dia masih diluar. Kenapa kamu berbohong, Mas? Ingin rasanya aku berteriak menanyakan hal itu padanya."Udah ya sayang, jangan ngambek ya! Mas janji lain kali gak akan kaya gitu lagi," Ia mengelus kepalaku pelan."Sarah? Sini makan!" teriak Ibu dari dapur."Iya, Bu. Sarah masih kenyang," jawabku dengan berteriak pula."Yang bener kamu belum lapar, sayang?" tanya Mas Rama."Iya Mas, kalau mau makan ya sana! Apa pe
"Sarah, sedang apa disitu?"Aku langsung menoleh kearah pintu dapur, Ibu sudah berdiri menatap kami dengan tatapan manis."Sedang berkeliling saja Bu." jawabku sambil berjalan menghampirinya."Kamu bosen ya?""Iya, Bu. Pengen deh jalan-jalan keluar," jawabku lesu."Ya sudah nanti kamu boleh jalan-jalan tapi biar ditemani sama Wati ya.""Ti, nanti kamu temani Nona Arum jalan-jalan ya tapi jangan jauh-jauh! Disekitar sini saja, jangan sampai melewati sungai!" ucap Ibu pada Mbak Wati."Baik, Nyonya.""Ya sudah Ibu masuk dulu ya, Ibu masih banyak kerjaan didalam,"Aku hanya menganggukkan kepala dan tersenyum pada Ibu. Setelah Ibu pergi, rasanya ingin sekali Aku melontarkan banyak pertanyaan pada Mbak Wati, tetapi kurasa wanita itu tak akan berani buka mulut perihal rahasia keluarga ini.Cuaca pagi hari ini begitu cerah, hanya saja tanah disekitar lumayan becek akibat guyuran hujan tadi malam. Untung saja, jalan yang aku lalui sudah diaspal jadi aku tak perlu takut akan terpeleset karena ja
Aku menatap Ibu-ibu tadi dengan penuh tanya. Apa Mbak Wati tahu sesuatu soal ini?"Emm...maaf Bu. Saya tidak tahu. Saya permisi!"Mbak Wati pun berjalan lebih dulu meninggalkanku. Padahal tadi ia tak berani mendahului langkahku, aneh sekali gelagatnya. Setelah mendapat beberapa pertanyaan dari Ibu-ibu tadi, Ia tampak ketakutan seperti sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.Setelah jauh dari warung Ia pun menghentikan langkah, dan menungguku yang tertinggal."Mari, Non. Saya pegangin, saya takut Nona terpeleset,"Mbak Wati kembali menuntun jalanku."Mbak, saat nyuci baju tadi pagi, kamu sempet bilang 'dia sudah meninggal'. Memangnya siapa Mbak yang meninggal?" tanyaku."Iya Non. Dia, wanita yang berteriak tadi malam. Dia sudah meninggal," jawabnya begitu pelan tetapi aku masih bisa mendengarnya."Bagaimana bisa, Mbak? Apa ada orang yang membunuhnya?" tanyaku.Aku berbicara sembari menatap ke perkebunan, agar seseorang yang mengawasi kami tak menaruh curiga pada gerak-gerikku ataupun M
Saat sedang bersantai di teras rumah, kulihat Ibu sedang berjalan hendak keluar."Bu, Mbak Wati sedang tidak enak badan setelah kuajak jalan-jalan tadi pagi. Jadi biarkan dia istirahat dulu hari ini di kamarnya ya, Bu."Ibu tersenyum manis saat melihatku, tetapi entah mengapa aku jadi merinding melihat senyuman itu."Sakit apa dia, Rah?" tanya Ibu dengan santai."Tadi, Mbak Wati mual-mual gitu Bu. Kaya orang hamil tetapi Mbak Wati kan masih lajang, tidak punya suami ya. Mungkin cuma masuk angin saja Bu." jawabku tersenyum."Ya sudah, biar Ibu tengok dulu ke kamarnya ya. Kamu istirahat saja di kamar sana! Kamu pasti capek kan habis jalan diluar," Ibu menyentuh pundakku lalu beranjak menuju kamar Mbak Wati."Tunggu dulu, Bu!""Ada apa lagi Rah?" tanyanya sembari menghentikan langkah dan berbalik badan."Barusan diluar ada Ibu tua datang Bu, namanya Bu Yati. Tadi dia mencari anaknya, kata Ibu tadi anaknya kerja disini Bu, namanya Sari."Senyum Ibu perlahan memudar, lalu ia memalingkan waj
Kupandangi isi lemari itu, isinya hanya pakaian milik Mas Rama dan pada laci bagian bawah terdapat beberapa tumpukan kertas serta dokumen-dokumen penting miliknya.Dengan perlahan aku berjongkok mencari sesuatu di antara tumpukan kertas itu, semoga saja aku bisa menemukan bukti yang bisa kugunakan untuk memecahkan teka-teki misteri keluarga ini.Tak ada yang mencurigakan, hanya saja aku menemukan desain bangunan rumah ini. Aku mengamati gambar itu, terdapat ruangan bawah tanah tepatnya berada dibelakang rumah ini dan pintunya ada di dalam gudang. Pantas saja, waktu itu aku mendengar suara teriakan wanita dan sebuah pukulan. Dan setelah kucari tak kunjung menemukannya, bisa jadi asal suara itu dari dalam ruangan bawah ini.Sebenarnya untuk apa ruangan bawah tanah ini, ya?Aku menata dan memasukkan kembali berkas-berkas itu dengan rapi, kedalam laci lemari. Pandanganku beredar disekeliling kamar ini, banyak sekali lemari besar serta laci-laci milikku dan Mas Rama. "Non Sarah."Panggil
(POV Sarah)Sejak satu bulan yang lalu Kak Dimas sudah bisa berjalan dengan normal, dan hari ini pula ia akan melaksanakan pernikahannya dengan Mbak Wati.Dengan uang tabungan Kak Dimas, pernikahan Kak Dimas dan Mbak Wati yang lumayan megah ini dilaksanakan disebuah gedung luas."Sah?""Sah!"Para saksi dan tamu undangan tersenyum bahagia, seketika rasa haru menyeruak apalagi pernikahan ini tidak dihadiri oleh kedua orang tua. Pada saat prosesi sungkeman pun Kak Dimas dan Mbak Wati hanya memelukku dan Kevin untuk meminta doa restu karena memang hanya kami yang merupakan saudaranya."Doakan Mbak dan Kakakmu ya, Sarah.""Iya Mbak, tolong terima Kakakku apa adanya ya, semoga kalian bahagia."Resepsi pernikahan akan dilaksanakan hari ini juga setelah dua atau tiga jam akad nikah. Dua gaun indah berbentuk mermaid dengan ekor yang panjang telah dipersiapkan. Silvia juga hadir, ia terlihat bahagia saat melihat mantan kekasihnya mengucapkan ijab kabul meskipun dengan orang lain.Mbak Wati ta
(Pov Wati)Hari bahagiaku telah tiba. Ya, hari ini adalah hari bahagiaku bersama Dimas. Aku telah melewati masa-masa sulit tidur menjelang pernikahanku ini.Di sebuah gedung mewah pernikahan aku dan Dimas pun di langsungkan. Banyak tamu undangan yang hadir menjadi saksi kisah cinta kami berdua.Aku lihat Dimas, calon suamiku itu menitikkan air matanya ketika Sarah dan para bridesmaids menggandeng diriku menghampiri meja akad nikah. Dimana sudah ada seorang penghulu yang tengah duduk dengan manis disana dan ada dua orang saksi pernikahanku yang tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenali."Sarah, apa Mbak sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan Mbak, Rah!" tanyaku pada Sarah yang tetap berjalan menggandeng tanganku.Aku begitu bahagia melihat dekorasi ballroom hotel yang begitu indah dengan hiasan berbagai jenis bunga-bunga yang indah. Bahagia dan terharu itulah yang bisa aku gambarkan tentang perasaanku hari ini."Tidak Mbak, kamu tidak sedang bermimpi. Lihatlah di sana ada Kak
Aku pun ikut memasukkan uang dan beberapa barang berhargaku dan Kevin ke dalam tas perampok itu."Ambil ini, tapi lepaskan kakakku!" tegasku sambil melemparkan tas itu ke atas kasur."Bagus, awas kalau kalian berani menyerang, akan aku tembak!" tegas orang itu.Ia berjalan mengendap menuju kasur sambil menodongkan senjata ke arah kami semua, saat tubuhnya membungkuk karena ingin meraih tas dan saat itulah Kevin menendang punggungnya."Aaarghh!" Ia mengerang lalu berbalik badan.Kukira ia akan menyerang Kevin tapi ternyata ia malah menyerang Mbak Wati karena saat perampok itu lengah ia mengambil tas itu."Sarah, ambil ini!" teriak Mbak Wati sambil melemparkan tas itu ke arahku.Namun, Mbak Wati kembali disandera dengan pistol yang mengarah ke kepalanya."Jangan sakiti dia!" teriak Kak Dimas dengan suara lantang."Kalau tidak mau dia kusakiti, cepat serahkan tas itu padaku kalau tidak dia akan mati sekarang!" tegas perampok itu.Berani sekali orang ini, mencoba merampok di rumah polisi
(Pov Sarah)"Eh, Silvia, ayo masuk." Aku tersenyum lalu menggandeng Siska masuk ke dalam rumah.Silvia ini merupakan mantan kekasih Kak Dimas, beberapa tahun silam Kak Dimas sempat berencana ingin melamarnya. Namun, ia ditolak oleh keluarga Silvia lantaran keadaan ekonomi Kak Dimas yang baru saja memulai karirnya.Orang tua Silvia takut jika anaknya menikah dengan Kak Dimas akan hidup susah, hingga akhirnya mereka menjodohkan Silvia dengan lelaki lain."Sejak kamu berpisah dengan Kak Dimas, kita belum bertemu lagi ya, Sil. Kamu apa kabar?" tanyaku."Aku baik, Sarah. Maaf kemarin aku nggak bisa datang di acara pernikahanmu, karena Papaku meninggal tepat di hari bahagiamu makanya aku nggak bisa datang.""Innalilahi wa innailaihi raji'un, aku turut berduka cita ya Sil. Memangnya Papa kamu sakit atau kenapa?" tanyaku."Iya Sar, Papaku meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar jika aku sudah berpisah dengan mantan suamiku.""Oh, jadi kamu sudah bercerai? Pantas saja kamu ke
"Hah!"Dengan cepat aku menoleh, hingga kami saling bertatapan."Aku serius, Ti. Aku nggak bohong!" Ia menyakinkan lagi."Emm... Kamu pikir-pikir dulu aja deh, aku tuh nggak sebaik yang kamu lihat," jawabku."Percayalah Ti, aku sungguh-sungguh mencintai dan menyayangimu. Aku tidak peduli dengan masa lalumu seburuk apapun itu, karena bagiku masa lalu tetaplah masa lalu, tidak akan bisa menjadi masa depan," ucapnya lagi."Jangan pernah berpikir kamu tidak lagi pantas untuk dicintai. Kamu tidak sendiri, aku, mereka, dia, dan kita semua pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan mereka berusaha bangkit kembali, karena masih banyak orang yang peduli dan men-support agar kita tidak terus-menerus terjabak dimasa lalu. Dan kamu pun bisa begitu!"Aku hanya tersenyum sungkan lalu membawa Adinda masuk ke dalam. Dadaku berdebar-debar dan pipi ini mulai menghangat, aku merasa tidak kuat jika harus terus menerus dipandang oleh Dimas.Didalam kamar aku merenung, pantaskah aku yang kotor ini menjadi
(Pov Wati)Suatu kebahagiaan saat aku bisa terlepas dari belenggu kejahatan Sulis, apalagi saat ini aku dipertemukan dengan keluarga yang begitu baik.Aku bahagia ketika melihat Sarah menikah dengan lelaki yang ia cintai, dan orang yang ia cintai itu memperlakukannya seperti Ratu.Namun, ditengah-tengah kebahagiaan mereka hati kecilku terasa kosong. Umurku sudah dewasa tetapi tidak seperti perempuan lainnya yang sudah berumah tangga.Adakalanya terbesit rasa iri ketika melihat wanita-wanita seusiaku atau dibawah umurku yang sudah memiliki suami dan mempunyai anak. Sementara aku masih sendiri disini menanti sang pangeran membawa kuda kelana untuk menjemput dan membawaku ke istana pelaminan. Namun sayang seribu sayang, pangeran yang aku nantikan tidak kunjung datang menjemput, semuanya masih sebatas angan dan harapan.Seburuk apapun aku dimasa lalu tentu saja aku sangat menginginkan sosok suami yang baik dan bisa membimbingku ke jalan yang benar."Ti, kamu nggak merasa bosan di rumah t
Tiba di rumah Kevin."Syukurlah, kalian sudah sampai rumah, ayo masuk!" ucap Mbak Wati sambil membukakan pintu."Bagaimana keadaanmu, Dim?" tanya Mbak Wati pada Kak Dimas."Sudah lebih baik, Ti. Makasih ya disela-sela kesibukanmu mengurus Adinda kamu masih sempetin buat jengukin aku." Kak Dimas tersenyum manis.Ya, aku memang menceritakan pada Kak Dimas jika Mbak Wati selalu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk menjenguk dirinya."Iya sama-sama.""Semoga kamu betah tinggal disini ya, Dim," sahut Kevin sambil tersenyum."Iya Vin, aku pasti betah tinggal disini kok, apalagi adaa..." Kak Dimas tidak melanjutkan ucapannya."Ada siapa hayoo? Ada Mbak Wati ya...?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. Mbak Wati yang sedang menggendong Adinda pun tampak tersenyum dengan wajah memerah."Apa sih, Rah? Enggak kok.""Emm, ya udah deh. Yuk aku antar ke kamar, Kakak istirahat aja ya.""Maaf ya Rah, ngerepotin kamu jadinya," ujar kak Dimas."Nggak repot kok, masa ngurusin Kakak sendiri bilang repot
"Syukurlah Kakak sudah sadar," ucapku sambil berjalan ke ranjang rumah sakit dengan gembira. Kak Dimas perlahan membuka kelopak matanya dan berkata dengan susah payah."Air... Air..."Dengan cepat Mbak Wati mengambilkan gelas berisi air matang yang ada di atas nakas dan menyerahkannya padaku.Setelah meminum beberapa teguk air Kak Dimas melihat ke sekeliling."Sarah, kita ada dimana?""Kita ada di rumah sakit, Kak," jawabku."Rumah sakit?" Kak Dimas menatap ke depan dengan tatapan kosong sepertinya ia sedang mengingat-ingat sesuatu."Iya, Kakak mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang dari rumahku dan sudah beberapa hari ini Kakak mengalami koma.""Sudah berapa lama Kakak koma?" tanya Kak Dimas lagi."Lima hari.""Apa? Tapi Kakak merasa baru tidur beberapa jam saja," ucapnya sambil memegang kepalanya."Sebenarnya apa yang terjadi sehingga Kamu bisa mengalami kecelakaan, Dim?" tanya Mbak Wati."Saat perjalanan pulang dari rumah Kevin, pandangan mataku kabur karena cuaca malam
Kami kembali ke depan ruang ICU, Adinda pun sudah terlelap di pangkuan Kevin."Wati, kamu pulang saja ya biar aku dan Sarah saja yang menjaga Dimas. Kasihan Adinda kalau kita ajak tidur disini,” ucap Kevin pada Mbak Wati."Iya Mbak, kamu pulang sama Adinda ya, besok lagi saja kalau Mbak mau kesini," sahutku."Ya sudah kalau gitu Mbak pulang dulu ya Rah, Vin. Besok pagi aku akan kesini mengantarkan pakaian untuk kalian," ucap Mbak Wati."Iya Ti, supirku sudah menunggu di depan jadi kamu tidak perlu menunggu lama." "Iya, terimakasih.Mbak Wati pun akhirnya pulang ke rumah bersama Adinda.***Matahari sudah menunjukkan sinarnya, aku merasakan leher ini begitu kaku dan nyut-nyutan, mungkin ini karena efek begadang semalaman di rumah sakit."Aargh..." Kevin pun terlihat merenggangkan tulang-tulangnya yang mungkin terasa kaku.Mata Kevin tampak berubah merah sebab tak tidur. Diliriknya jam yang tergantung di dinding rumah sakit, sudah menunjukkan pukul enam pagi."Sayang, Mas belikan sarap