Mawar bergegas melepaskan genggaman tangan Bambang dan berdiri dibalik tubuh Rendy, seolah meminta perlindungan dari lelaki tersebut.Bambang yang melihat perubahan yang begitu jelas dari Mawar akhirnya memilih mengambil jarak dan menahan tubuh Melati yang tiba-tiba saja ingin meraih gaun yang dikenakan oleh Mawar."Dasar wanita mudahan! Perebut suami orang!" teriak Melati dengan tidak tahu malu dan membuat ruangan tersebut riuh dengan aksi nekat wanita itu.Arumi yang menyaksikan drama tersebut tidak menyangka akan adanya kedatangan Melati, hancur sudah semua rencananya."Tolong! Jaga ucapanmu!" hardik Rendy tidak suka dan menatap tajam ke arah Melati.Namun, bukannya takut. Melati malahan menantang Rendy."Apa? Memang benar Mawar itu pelakor! Aku ini istri Mas Bambang! Semua orang bisa melihat! Bagaikan dia ingin merebut Mas Bambang dariku!" ucap Melati dengan menggebu-gebu seraya menunjuk wajah Mawar.Tidak ingin terjadi keributan yang berlanjut dan membuat dirinya merasa begitu te
"Mas Bambang jahat!" teriak Melati entah kesekian kalinya sampai membuat Bambang menutup kedua tangannya.Kepala Bambang sangat pusing menghadapi kekanak-kanakan Melati yang menurutnya melebihi Mawar dulu.Masih jelas diingatan Bambang, jika Mawar bisa ia kendalikan dan bujuk. Sedangkan Melati tidak, sama seperti saat ini."Mas Bambang jahat! Jahat! Jahat!""Ada apa ini, Bang?" tanya Herlina ketika mereka baru saja masuk ke rumah.Bambang merasa malas untuk menjelaskan sesuatu yang tidak penting dan memilih masuk ke kamar.Namun, Bambang dihadang oleh sang ibu yang sudah tahu niatnya."Kamu kenapa lagi, Lati? Ayo Bang, jelaskan sama Ibu," terang Herlina.Bambang membuang nafas panjang sebelum berbicara, "Ibu tanya saja sama menantu kesayangan Ibu."Herlina pun menatap lekat kearah Melati yang tergugu menangis, kepala wanita itu ikut berdenyut setiap kali melihat Melati menangis.Tidak bisa Herlina pungkiri, jika ibunya Bambang itu sangat merindukan Mawar. Dimana Herlina begitu merasa
Melati tidak terima dengan apa yang bapaknya lakukan dan langsung merajuk kepada lelaki itu."Bapak kenapa, sih?""Kenapa apanya, Lati?" tanya sang bapak.Namun, Melati yang sebenarnya memiliki sikap keras kepala dan tidak bisa menerima masukan atau diatur langsung saja meronta."Kenapa enggak bela, aku tadi? Kenapa Bapak ajak aku pulang? Bapak enggak sayang lagi kah sama aku?" tuduh Melati dengan raut wajah cemerut.Kini baru bisa kepala desa sadari, jika caranya dalam mendidik anak salah. Memanjakan gadis kesayangannya dan memperlakukan Melati layaknya ratu telah membuat putrinya menjadi pribadi yang keras.Namun, bukan tanpa alasan lelaki itu melakukan hal tersebut. Setelah kehilangan sang istri, waktu melahirkan Melati membuat kepala desa tidak ingin adanya penyesalan didalam dirinya seumur hidup."Bapak bukannya enggak mau belain kamu, Lati. Tapi ... Pak Rendy itu orang yang penting dalam proyek pembangunan yang Bapak kelola. Apa kamu mau, Bapak kehilangan uang yang banyak dari
Tangis Herlina semakin menjadi-jadi, bahkan ketika mereka berada di dalam bis membuat penumpang yang lain merasa begitu terganggu dengan sikap wanita tersebut."Kita mau ke mana, Mas?" tanya Kirana pelan, walaupun gadis itu sangat takut kepada Bambang. Akan tetapi, rasa penasarannya lebih tinggi. Sebab, sedari tadi sang kakak hanya diam tanpa mau memberitahukan tujuan mereka. Kirana juga tidak ingin menjadi gelandangan dan tidur di pinggir jalan."Nanti kamu akan tahu," jawab Bambang singkat seraya menatap kearah luar jendela. Di zaman teknologi yang begitu canggih seperti sekarang, semuanya menjadi mudah. Bambang memesan tiket bis secara online ia ingin secepatnya pergi dan meninggalkan rasa sakit yang mendera di dalam hatinya.Bukan hanya karena wanita yang amat ia cintai bersama dengan lelaki lain, akan tetapi wanita yang telah melahirkannya kedunia ini merupakan dalang dari sebuah hubungan yang seharusnya tidak pernah terjadi antara dirinya dan Melati.Andaikan saja Bambang bisa m
Budi yang sudah terbiasa akan sikap sang ibu hanya tergelak, kemudian berlalu begitu saja. Sedangkan Bambang yang melihat perilaku Budi hanya bisa membuang nafas panjang.Bambang sangat paham akan kondisi Budi yang membuat adiknya itu harus pergi menjauh dari mereka semenjak kepergian sang bapak.Mereka berdua sangat berbeda dari segi mana pun, begitupun dengan perhatian yang ditunjukkan oleh sang ibu."Dasar! Anak durhaka!" pekik Herlina yang begitu kesal karena diabaikan oleh Budi dan kini menatap ke arah Bambang yang begitu dingin ketika melihatnya."Ibu harus bisa tinggal di sini, jika tidak? Aku enggak bisa berbuat apa-apa." Setelah mengatakan hal itu Bambang berlalu menyusul Budi masuk ke kamar.Bambang melihat Budi yang tengah mengemas pakaiannya dan meletakkan beberapa lembar baju ke dalam lemari kecil yang terbuat dari plastik."Di, apa kamu enggak keberatan kamu tinggal di sini?"Budi hanya menatap sekilas kearah Bambang kemudian menggeleng pelan dan melanjutkan aktivitasnya
Pukul satu dini hari Bambang sudah dibangunkan oleh Budi dan diajak ke pasar, setelah kejadian kemarin membuat Bambang yang tidak terbiasa bangun sepagi itu pun berusaha mengumpulkan tekadnya.Ia ingin menganti piring dan mangkuk kaca yang dipecahkan Kirana, entah bagaimana gadis itu sampai membuat kegaduhan lalu menjatuhkan lemari tempat Budi menyusun piring serta mangku kaca.Karena merasa tidak enak hati dan ingin belajar lebih kepada Budi, guna menambah wawasannya tentang dunia luar yang selama ini belum pernah ia rasakan sebelumnya."Di, apakah aman meninggalkan ibu dan Kirana berduaan saja di rumah?" tanya Bambang yang kini duduk disamping Budi yang tengah menyetir mobil pickup. Di dalam hati Bambang timbul rasa cemas akan ibu dan adik perempuannya yang mereka tinggal di rumah berduaan saja.Budi hanya menatap sekilas tanpa berkomentar atas apa yang baru saja Bambang ucapkan membuat ia merasa semakin tidak tenang."Di, aku enggak enak hati ini," keluh Bambang."Enggak papa, Mas
"Jika Ibu tidak ingin makan? Enggak papa! Tapi, jangan menghina!" teriak Bambang.Deru nafas Bamabang terasa terpacu, sebenarnya ia tidak terbiasa ribut didepan rezeki. Akan tetapi, hatinya benar-benar kesal akan sikap sang ibu yang tidak pernah bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan.Berkali-kali ia mengelus dada, berusaha untuk bersabar menghadapi ibunya. Namun, Bambang tetap tidak bisa mengendalikan diri."Ibu tidak pernah bekerja! Jadi, Ibu tidak tahu bagaimana susahnya mendapatkan uang! Yang Ibu tahu hanya meminta, semenjak bapak hidup dulu. Sekarang masih sama!" Bambang sampai mengungkit sang bapak yang telah tiada seking geramnya kepada sang ibu yang kini menatap lekat wajahnya."Apa kamu ingin menjadi anak durhaka, Bang?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh sang ibu membuat Bamabang tersenyum kecil seraya menggeleng pelan tidak percaya dengan ancaman yang selalu wanita itu ucapkan jika disudutkan.Budi yang tidak ingin ikut campur bergegas menarik Kirana menjauh dari Bambang,
Beberapa minggu berlalu, semenjak kejadian tempo hari Herlina tidak pernah berani lagi untuk menentang permintaan Bambang.Wanita itu benar-benar takut akan kemarahan putranya tersebut dan hanya bisa menurut ketika Bambang meminta dirinya untuk berubah.Seperti saat ini, walaupun Herlina begitu jengkel. Akan tetapi, ia tidak bisa menolak permintaan Bamabang yang menyuruhnya menjadi buruh cuci."Kir! Apa kamu hanya diam saja? Hah!" bentak Herlina kesal ketika melihat anak gadisnya yang sedari tadi hanya menatap tumpukan cucian didepannya tanpa mau bergerak sama sekali.Benar-benar hal yang belum pernah Herlina lakukan selama ini, dulu ketika Bamabang masih bersama Mawar. Tentu saja semua pekerjaan Herlina limpahkan kepada sang menantu."Aku jijik, Bu!" kata Kirana dengan jujur seraya mendorong pelan satu bak penuh pakaian kotor yang entah siapa-siapa saja yang punya gadis itu tidak tahu.Semuanya terjadi sebab Budi yang memberikan ide untuk menjadikan Herlina dan Kirana sebagai buruh c
Keadaan Mawar menjadi drop seketika, tentu saja semua orang menjadi khawatir. Bahkan Rendy tidak mau beranjak dari tempat tidur Mawar sama sekali."Kamu kenapa, sih, Dek? Kalau diberi tahu, ngeyel!" Kata Rendy membuat Mawar memutar bola matanya malas.Mawar malas akan sikap posesif Rendy dan kedua orang tuanya, padahal ia hanya ingin hidup seperti dulu. Bebas memilih dan menentukan jalan hidupnya sendiri, bukan sepeti sekarang yang selalu disetir oleh ketiga orang yang begitu menyayanginya dengan cara mengekang hidup Mawar. "Ren, apa kamu tidak berangkat bekerja?" tanya Arumi yang baru saja masuk dengan sebuah nampan di tangannya.Rendy seakan paham akan ucapan Arumi, kemudian beralasan. Jika tidak ingin meninggalkan Mawar yang tengah sakit, padahal Mawar merasa senang. Seandainya Rendy pergi."Abang seharusnya giat bekerja, bukannya jadi pengangguran seperti sekarang," ejek Mawar membuat Rendy memasang raut wajah garang.Tidak berapa lama kemudian Arman masuk dan mengajak Rendy ke
Setelah semua pekerjaannya selesai, ditambah hari semakin sore membuat Mawar pun bersiap-siap untuk pulang.Namun, ketika ia hendak masuk ke mobil. Tanpa sengaja Mawar melihat lelaki paruh baya yang sebelumnya sempat berbincang dengannya membuat ia menyeru lelaki tersebut dan meminta lelaki itu untuk ikut bersamanya. "Mohon maaf, Bu. Saya takut jika nanti dilihat oleh Pak Mandor, bisa-bisa saya dipecat," cicit lelaki itu ketakutan seraya menatap sekitarnya. Takut-takut ada yang melihat dirinya tengah bersama dengan Mawar.Tentu saja Mawar tidak akan menyerah dan mengancam lelaki paruh baya itu, walaupun hanya sekedar mengancam. Sebab ia tidak akan pernah tega."Jika Bapak tidak mau ikut dengan saya? Maka, mulai besok? Bapak tidak udah pergi bekerja."Raut wajah lelaki paruh baya itu nampak tegang, seketika menjadi penurut membuat Mawar merasa senang dan mereka pun masuk ke mobil.Sesekali Mawar menatap lelaki yang sudah berumur itu, telintas di dalam benaknya. Betapa berat kehidupan
Mawar yang kini sudah berada di kontruksi dibuat tidak fokus setelah kejadian perdebatan antara anak dan bapak tadi.Ia masih bingung, apakah harus menyelidiki sendiri apa yang telah terjadi kepada Bambang dan Melati. Atau, membiarkan semuanya sebagai sesuatu yang tidak perlu untuk ia ketahui."Hati-hati, Bu!" teriak sang Mandor membuat Mawar tersentak dan kemudian menatap mandor yang berlari ke arahnya."Ada apa, Pak?" tanya Mawar ketika lelaki itu sudah berdiri dihadapannya."Mohon, maaf, Bu. Bisakah Anda untuk tidak terlalu dekat dengan pekerja yang sedang mengangkut material? Saya takut, Anda tertimpa material yang mereka bawa," jelas sang mandor dengan raut wajah pucat dan nafas yang ngos-ngosan.Mawar menatap keadaan disekitarnya, kemudian berjalan menuju pojok. Ia sadar akan kelalaiannya, mungkin saja akan membuatnya terluka atau orang lain ikut terluka.Sang mandor masih setia berada didekat Mawar, walaupun ia meras risih. Akan tetapi, ia coba biarkan dan kembali fokus pada
Mawar kini menjadi uring-uringan, karena tidak mendapatkan izin untuk melakukan apa yang ia sukai.Perasaan Mawar menjadi sepi, ia melamun seraya teringat kepada Bambang. Dulu, ketika ia ditimpa banyak sekali beban pikiran. Lelaki itu akan membuatnya tertawa.Namun, kenangan itu hanya tinggal kisah yang seolah tidak ingin ia ceritakan kepada siapapun."War, apa boleh Bunda masuk?"Terdengar suara dari luar pintu membuat Mawar dengan langkah gontai menuju pintu dan memutar kenopinya.Setelah pintu terbuka, ia bisa melihat wajah sang bunda yang tersenyum menatapnya."Bunda masuk, ya?" Izin Arumi yang mendapatkan anggukan dari Mawar.Kini keduanya duduk ditepi ranjang, saling berhadap-hadapan."Bagaimana keadaanmu, sekarang? Sudah agak mendingan?" tanya Arumi penuh perhatian seraya menyisipkan anak rambut dibalik telinga Mawar. Cinta seroang ibu sepanjang jalan, tidak pernah memudar atau terkekang oleh waktu. Bahkan sekalipun seorang ibu telah tiada, doanya masih menyertai sang anak.Be
Rendy nampak tidak yakin dengan apa yang baru saja dipinta oleh Mawar dan memastikan bahwa yang diminta wanita itu tidak main-main."Kamu serius, Dek?" Entah sudah kesekian kalinya pertanyaan itu diulang oleh Rendy membuat Mawar merasa jengah."Iya, Bang! Aku serius," jawab Mawar seraya menatap lekat wajah Rendy."Baiklah," jawab Rendy mengalah. Kemudian ia memerintahkan sang mandor untuk mengajak Mawar berkeliling area kontruksi yang sudah berjalan setengah.Mawar meminta untuk diberikan izin menjadi tangan kanan Rendy untuk memantau proyek tersebut.Tentu saja apa yang diminta oleh Mawar sedikit membuat Rendy merasa keberatan. Sebab, pekerjaan lelaki itu akan semakin ekstra nantinya jika Mawar sampai kecapekan.Sedangkan Mawar yang kini tengah menikmati pemandangan bangunan yang sudah setengah jalan itu pun merasa puas."Apa mungkin dalam beberapa bulan kedepan hotel ini sudah siap untuk digunakan, Pak?" Tanya Mawar kepada sang mandor tanpa mengalihkan perhatiannya."Menurut jadwal
Mawar mengerjap beberapa saat, ketika sebuah cahaya masuk dan menerpa wajahnya. Ia memutar bola matanya seraya menatap setiap sudut kamarnya.Ia pun menghela nafas pelan, kemudian meraih ponsel miliknya yang terletak di atas naskas untuk melihat jam berapa kah saat ini."Hufff, untuk hari ini aku enggak bekerja," gumamnya bernafas lega, kemudian dengan malas ia beranjak dari ranjang dan menuju ke kamar mandi.Menguyur seluruh tubuhnya dengan air dan memubuhi sabun disetiap lengkuknya, setelah selesai dengan rutinitas mandi. Mawar pun membawa langkahnya menuju ke lemari dan bergegas keluar dari kamar.Baru saja ia ingin masuk ke dapur, tiba-tiba saja indra penciumannya sudah disuguhkan dengan aroma sedap yang menggugah selera.Terlihat dari pintu sebuah punggung tegap dengan celemek tengah berada di depan kompor dan tidak berapa lama sang pemilik punggung itupun memutar tubuhnya."Selamat pagi, Dek," sapa Rendy seraya menghidangkan sepiring nasi goreng yang baru saja dimasak dengan tel
"Dek, kamu oke?" tanya Rendy seraya menakup kedua wajah Mawar yang nampak pucat.Tentu saja hal ini membuat Rendy tersiksa, ia begitu kesal akan kedatangan Bambang dan adiknya yang hanya membuat Mawar kembali terluka.Bahkan, di dalam hatinya Rendy tidak akan membiarkan kedua lelaki itu sampai menginjakkan kaki mereka ke rumah ini.Andaikan saja Mawar tidak memintanya untuk berpura-pura baik kepada Bambang, mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi."Dek," panggil Rendy lagi, akan tetapi Mawar masih belum bisa meresponnya.Rendy merasa frustasi akan keadaan Mawar yang demikian, dengan penuh perhatian ia pun menuntun wanita yang amat dicintainya masuk ke kamar.Ia merebahkan tubuh Mawar di atas ranjang dan kemudian menutupinya dengan selimut, setelah itu Rendy berlalu keluar dari kamar dan membiarkan Mawar beristirahat setelah memastikan wanita itu terlelap.Rendy segera meraih ponselnya dan memainkan benda pipih itu untuk menelpon seseorang."Hallo, aku ingin kamu! Buat hidup Bambang
"Maksudmu apa? Mawar g1l4, gitu?" tanya Bambang.Budi hanya terhenyak mendengar ucapan Bambang dan meminta agar sang kakak menenangkan diri, agar ia bisa menjelaskan maksud yang sebenarnya."Coba Mas tenang dulu, ini yang buat aku enggak suka dari Mas. Terlalu cepat menyimpulkan tanpa menyelidikinya terlebih dahulu, coba tabayun dulu sebelum melakukan sesuatu."Bambang terdiam setelah mendengar ceramah Budi dan mengusap dadanya yang tiba-tiba saja berdetak cepat, bahkan terasa sesak.Setelah merasa agak mendingan, ia pun meminta Budi menjelaskan maksud dari ucapan adiknya barusan."Jadi, bagaimana maksudmu?""Begini, Mas. Ketika tadi Mas keluar, aku sempat berbincang dengan Mbak Mawar dan menyinggung masalah Mas yang ingin rujuk dengan Mbak Mawar. Tapi, aku enggak menyangka. Jika keadaannya Mbak Mawar malahan depresi seraya meraung-raung," jelas Budi memberitahu apa yang sebenarnya terjadi tadi.Bambang masih terdiam, sebab benar-benar tidak tahu akan kejadian tersebut. Memang benar,
Bambang terdiam seribu bahasa, entah setan mana yang merasukinya sampai lupa akan tujuan ia ke sini.Beberapa kali ia menghembuskan nafas panjang, mencoba menetralkan perasaan dan gelisah didada yang semakin kian menggerogoti hatinya."Maafkan, Mas, Dek. Sebenarnya, Mas ke sini ingin menemuimu," kata Bambang dengan jujur.Mawar nampak mengerutkan alisnya, kemudian mempertegas pernyataan Bambang barusan."Untuk apa, Mas mencari aku?" tanya Mawar.Bambang agak terkejut dengan pernyataan Mawar, akan tetapi hatinya sudah bertekad untuk menebus kesalahannya."Mas mau minta maaf, Dek. Mas bersalah," kata Bambang dengan menunduk dalam. Dirinya benar-benar menyesali perbuatan yang pernah ia lakukan dan keluarganya yang membuat Mawar terluka.Cukup sunyi menemani mereka, seolah tengah berperang dengan pikiran masing-masing sampai Budi angkat bicara."Mohon maaf, Mbak. Apakah orang tuanya ada di rumah?" Mawar menggeleng pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Budi barusan, "emangnya kenapa?" tan