“Aku yakin kau mau membunuhku sekarang,” bisik Presley menatap Ariston lewat bulu matanya, terlalu takut melihat ekspresi pria itu setelah pengakuan mengejutkan yang dia lakukan.“Kau siap mati, Presley?”Presley mendengus. “Aku tidak punya pilihan ‘kan? Aku tahu yang kulakukan salah dan aku siap menerima akibatnya,” bisiknya lemah.“Kenapa kau melakukannya?”Kenapa dia melakukannya? Karena kurangnya rasa percaya pada keterangan Ariston? Karena lebih mudah menemukan kebenaran saat kau sendiri yang berusaha menemukannya?”Entahlah, kupikir aku hanya ingin diyakinkan.”“Bahkan dengan semua bukti yang kutunjukkan kau tetap tidak percaya, Presley.”“Aku tahu,” akunya dengan kepala menunduk. “Kau bisa membunuhku kalau kau mau.”“Untuk seseorang yang hampir mati kau masih cukup kuat untuk menemui kematian ternyata.”“Sudah kukatakan aku tidak punya pilihan! Aku melakukan hal bodoh dengan maksud untuk menjebakmu—““Yang akhirnya berakhir konyol.”“Kau, adduh,” ucap Presley mengaduh, menatap
“Apa maksudmu?”Ariston menatap Presley. Sejauh apa dia bisa memberikan penjelasan tanpa menimbulkan kecurigaan Presley.“Namanya Pavlos ….”Presley menyimak tanpa mengalihkan pandangan dan Ariston kembali hanyut dalam mata hijau milik Presley.“Dia kejam dan tidak mengenal empati. Jika ada satu hal yang paling dia sukai di muka bumi ini, itu adalah melihat penderitaan. Dia menyukai darah seperti kesukaan manusia akan kekuasaan," ucapnya, berhasil membuat wajah Presley pucat pasi.“Seharusnya aku tidak menceritakan ini padamu,” terangnya.Presley menggeleng, berusaha terlihat kuat. “Teruskan.”“Pavlos ingin membuatku menderita. Baginya kematian orang-orang yang dekat denganku akan memberikan penderitaan yang lebih buruk dari pada sekedar kematianku sendiri.”“Itukah sebabnya kau mengunci diri dari dunia selama ini?”Ariston terhenyak mendengar ketulusan dan juga rasa kasihan dalam kalimat sederhana Presley. Wanita itu hanya melihat dari sisi baiknya bukan? Presley lupa bahkan dalam ca
“Ini laporan terakhir tentang rekam medisnya. Hanya ini yang bisa kami lakukan untuk membantumu.”Ariston menerimanya tanpa kata. Dia memegang berkas berwarna biru itu dengan erat seakan hidupnya bergantung di sana. Mata birunya menatap wanita dengan rambut yang mulai ditumbuhi uban itu dengan ekspresi penuh perhitungan.“Lakukan dengan cepat sebelum semuanya terlambat. Saat ini, dia benar-benar tidak terkendali. Kebebasan yang dia dapatkan bukan hanya bisa membahayakan orang lain, tapi juga dirimu. Kau dan orang-orang yang dekat denganmu adalah target utamanya, Ariston.”Dia tidak perlu diberitahu soal itu. Pengalaman sudah memberinya banyak pelajaran.“Apa kau masih menutup dirimu dari orang lain?”Pertanyaan wanita itu berhasil mengundang senyum muram bermain di wajahnya. Dia diam, memilih untuk tidak menjawab. Saat tangannya yang berada di atas meja dibalut tangan yang mulai menunjukkan penuaan, saat itulah dia melihat senyum pemahaman di wajah wanita itu.“Tidak apa bercerita. Me
“Bersihkan rak yang ada di di ujung sana dan lakukan pengecekan berkala. Barang dengan expired lebih dekat letakkan di depan.” Presley tersenyum, mengangguk. Ini bukan pertama kalinya dia diinstruksi seperti ini, padahal dia sudah mengatakan pernah bekerja di toko serba guna dalam beberapa waktu. Sepertinya pengalaman itu tidak cukup untuk membuat wanita itu merasa puas dan percaya pada kemampuannya. “Baik, Alexa,” gumamnya lembut. “Dan jangan lupa, rak yang kosong—“ “Diisi dan pastikan penataannya rapi dan tertata berdasarkan kegunaan barangnya,” potong Presley kalem. Alexa, wanita dengan potongan rambut bob berwarna hitam melenggang pergi setelah puas mendengar jawabannya. Presley mengangkat kain lap dan juga pembersih yang dia bawa sebelum berjalan menuju rak yang dimaksud. Dia sudah bekerja di tempat ini selama beberapa minggu terakhir, sejak ... makan malam terakhirnya dengan Ariston.Presley sedang sibuk membersihkan rak diujung sudut toko saat dia merasakan gerakan di bela
Presley membuka kunci apartemennya, menyalakan lampu dan langsung terkesiap saat melihat sosok yang duduk di kursi butut ruang tamu rumahnya yang sempit.“Ariston!” pekiknya terkejut. “Apa yang kau lakukan di sini?” cecarnya menatap Ariston dengan mata melotot.“Apa kau selalu pulang jam seperti ini, Presley?”Presley menatap jam yang melekat di dinding rumahnya. Jarum pendek menunjuk angka sebelas.“Tergantung,” balasnya pendek tidak ingin menjelaskan lebih lanjut. “Kau belum menjawab pertanyaanku, Ariston. Apa yang kau lakukan di sini dan bagaimana kau bisa masuk ke rumah ini?” tanyanya resah. Kelancangan pria ini tidak mengenal batas.Presley menatap penampilan kasual Ariston. Pria itu datang dengan setelan serba hitamnya. Mantel panjang, kemeja bahkan jeans yang dikenakan Ariston berwarna hitam. Sebuah topi baseball berwarna hitam membalut kepala pria itu. Sejak kapan Ariston menyukai warna hitam?“Kau terlihat berbeda," ucapnya saat menatap penampilan Ariston.“Berbeda?”Kenapa A
Presley baru saja selesai mandi. Rambutnya bahkan masih basah. Saat ini yang dia butuhkan hanya satu, tempat tidur. Dia lelah, ingin istirahat tapi interupsi orang-orang entah dari mana ini kembali mengusik ketenangannya. Presley bersedekap menatap tamu tak diundangnya dengan alis melengkung. Ketidaksukaan jelas terbaca di wajahnya.“Jadi …” ucapnya pelan, berusaha keras menekan kejengkelannya. “Bisa ulangi apa yang kalian katakan?”“Seperti yang kau dengar, Tuan Ariston memerintahkan kami untuk menjemput Anda, Ms. Presley.”Tertawa adalah balasan yang diberikan Presley. Manik mata hijaunya kembali menatap pria-pria berbadan besar yang memaksa masuk ke rumahnya di tengah malam saat semua orang seharusnya istirahat!“Aku tidak mau!” salaknya sengit.“Maaf, kami terpaksa melakukan sedikit kekerasan jika Anda tetap bersikeras.”“Ouh iya, kekerasan seperti apa yang akan kau lakukan pada wanita yang menolak untuk mengikutimu?” tanyanya tajam. “Mengikatnya, membiusnya atau memukulnya sampai
Darah? Apa maksudnya pria ini menginginkan darah? Presley ingin meloloskan diri tapi pisau yang mengancam dilehernya membuat geraknya terbatas. Sementara itu, di depannya Ariston tengah menatap pria dibelakangnya dengan penuh perhitungan.“Kau tahu kalau aku menyukai darah bukan? Tangan yang diwarnai dengan darah adalah favoritku, Ariston. Dan saat ini aku benar-benar ingin melihat tanganmu berlumuran darah.”Sinting.Kata itu pantas disematkan pada pria bertopeng yang menyanderanya ini. Presley menggeleng, berharap Ariston menatapnya dan menangkap maksud yang ingin dia sampaikan lewat tatapan mata.Jangan Ariston!“Singkirkan salah satu pengawalmu. Aku tahu kau membawa pengawalmu jadi jangan mencoba menipuku. Jika kau berhasil membuatnya berdarah dan kalah aku akan membebaskan Presley.”Satu alis Ariston terangkat. “Kau mau aku membunuh? Otakmu mungkin bermasalah.”“Kenapa? Tentunya tanganmu tidak sebersih itu, Ariston? Aku bisa membunuh Presley dengan mudah. Satu sayatan di lehernya
“Aku bisa melakukannya sendiri,” tukas Presley menepis tangan Ariston yang ingin membantunya melepas perban di tangannya.“Jangan keras kepala.”Presley mendelik tajam. “Jangan menceramahiku tentang keras kepala, Ariston.”“Apa kau akan terus marah seperti ini?”Presley mengabaikannya. Tangannya yang tidak terluka dengan susah payah mencoba melepas perban yang membalut lengan berikut telapak tangannya yang terluka. Usahanya tidak membuahkan hasil. Bukannya lepas, tindakannya justru membuatnya kesakitan dan darah segar kembali membasahi perban putih yang dia kenakan.“Diam!”Ucapan dingin bernada memerintah itu sejenak ingin membuat Presley membantah, namun saat dia mendongak, Ariston sedang menatap tangannya yang terluka dengan tatapan bersalah. Dalam situasi normal dia mungkin akan melunak melihatnya, tapi saat ini dia tidak akan luluh semudah itu.“Aku bisa melakukannya,” bisik Presley sekali lagi menolak bantuan Ariston. Air matanya tanpa bisa dicegah luruh saat rasa sakit menghuja