Bab 2

Fajar sudah menyingsing.

Aku membuat sarapan seperti biasa.

Membuat sarapan kesukaan Rizal.

Dia masih terlihat cuek, makan dalam diam dan tidak berkomunikasi denganku.

Sikapnya ini memberi kesan bahwa aku bukan istrinya, melainkan pembantunya.

Setelah sarapan, aku mengantarnya ke tempat kerja.

Kami berdua bekerja di sebuah perusahaan parfum, sama-sama di bagian penjualan.

Setelah memarkir mobil, aku melangkah masuk ke kantor.

Ketika dia menghilang, aku memberi pesan kepada salah satu rekan kerjaku, setelah itu meninggalkan perusahaan.

Aku tidak pakai mobil, lebih memilih pulang naik taksi.

Aku membuka pintu depan, bergegas ke ruang tamu secepat mungkin dan turun ke ruang bawah tanah.

Sesampainya di sana, aku terkejut.

Pintu ruang bawah tanah ternyata sudah diganti!

Aku tidak tahu kapan pintu itu diganti, tetapi pintu itu diganti menjadi pintu pengaman dengan kunci kode!

Tanpa kata sandi, mustahil untuk bisa masuk ke dalam!

Aku mengeluarkan ponsel dan mengambil foto pintu, mencoba untuk bertanya apakah ada kunci lain untuk pintu semacam ini.

"Apa yang kamu lakukan!"

Rizal tiba-tiba muncul di tangga sambil berteriak.

Ternyata dia tidak tenang, jadi mengikutiku sampai ke mari.

Dia melompat turun dalam tiga langkah dan menampar wajahku, "Nggak ingat apa yang aku bilang?"

"Kamu memukulku?" Aku menyimpan ponselku kembali.

Dia terus berteriak, "Nggak ingat apa yang aku katakan?"

Aku berteriak balik, "Ini rumahku, apa aku nggak punya hak buat masuk ke dalam? Kalau ganti pintu, kenapa kamu nggak bilang padaku?"

"Kamu harus tunggu sampai aku punya waktu buat kasih tahu!" Dia mengangkat tangannya dan mencoba memukul lagi.

Aku mencondongkan tubuh ke belakang untuk menghindari tamparannya, lalu mengeluarkan ponsel. "Aku akan menelepon polisi!"

Wajahku terasa sakit dan aku sangat marah, bahkan tubuhku terasa panas seperti terbakar.

Kita belum lama menikah dan dia sudah berani memukulku! Kalau awal saja sudah begini, bagaimana nantinya?

Rizal langsung panik dan memegang tanganku. "Kenapa menelepon polisi?"

"Ini rumahku, kenapa kamu nggak bolehin aku masuk? Kenapa kamu memukulku? Sudah begini, aku masih nggak boleh lapor polisi?"

Aku bersikeras untuk menelepon polisi.

"Sayang, tenanglah."

Suaranya melemah, "Aku ... barusan aku lepas kendali."

"Suami yang lepas kendali, jadi bisa memukul istrinya?"

Aku menepis tangannya. "Lepaskan! Aku harus menelepon polisi!"

Dia menarik tanganku sekali lagi. "Sayang, ini cuma masalah kecil, nggak perlu sampai harus lapor polisi! Kalau kamu merasa kita nggak bisa akur, kamu bisa mengajukan cerai."

Cerai?

Mendengar kata itu, aku mundur selangkah dan berhenti bicara.

Meskipun sebagai pasangan hubungan kami tidak harmonis, tetapi tidak sampai membuat kami harus bercerai.

Selain itu, orang tuaku memiliki harapan yang tinggi terhadap pernikahan kami, bahkan mereka sudah sangat ingin punya cucu.

Yang lebih penting lagi, jika kami bercerai, kepemilikan rumah ini harus dibagi dua. Kalau begitu, bukankah orang tuaku akan rugi?

Aku juga tidak akan menyetujuinya!

"Kalau kamu mau cerai, rumah ini harus jadi milikku."

Rizal menambahkan, "Kalau nggak mau cerai, kita bisa hidup seperti ini. Sekarang, kamu kembali bekerja."

Aku berpikir dua kali, menatapnya dengan tatapan marah dan berbalik pergi.

Aku tidak mungkin merelakan rumah yang dibeli orang tuaku kepada Rizal.

"Kembali."

Aku berhenti dan berbalik.

"Bukannya kamu harus minta maaf karena sudah merendahkanku? Buat janji!" Rizal menuntut.

Aku berteriak dalam kemarahan.

Aku sangat marah sampai meninju pagar tangga.

Tanganku sampai berdarah.

Sambil menatapnya dengan marah, aku berjalan pergi dengan cepat.

...

"Gishel, kamu kenapa murung begitu?"

Aku kembali ke kantor, rekan kerjaku yang bernama Melly bertanya padaku.

Aku bilang tidak apa-apa, duduk, membuka komputer dan bekerja.

Tangan kanan diperban, jadi aku hanya bisa menggunakan tangan kiri.

Agar Melly tidak menyadari ini, aku menyembunyikan tangan kananku di bawah meja.

"Hei!"

Melly berjalan ke arahku, duduk, menepuk pundakku dan menatapku tajam. "Hei, bersemangatlah, kamu mau bulan madu sama suamimu. Nanti, tenagamu bakal dihisap habis sampai kering."

Aku tertawa getir.

Benar-benar bulan madu yang menyenangkan, aku juga mengakuinya.

"Besok akhir pekan, perusahaan akan mengadakan reuni, temanya berhubungan dengan keluarga. Yang sudah punya pasangan wajib datang."

Melly mengingatkan, "Kalau nggak datang, kamu akan kena denda."

Aku tidak tertarik dengan reuni itu, tetapi aku juga tidak ingin didenda.

Rizal sangat suka bepergian dan tidak pernah melewatkan satu pun reuni perusahaan.

Aku berkata, "Kalau Rizal pergi, aku akan pergi."

"Barusan aku tanya sama dia, katanya dia nggak akan pergi. Kalau begitu, kalian berdua akan kehilangan bonus bulan ini."

"Aku tanya dulu, deh."

Aku berdiri dan berjalan ke area kantor sebelah.

Di situlah kantor Rizal berada.

Aku masuk dan melihatnya sedang bergosip dengan dua rekan kerja laki-laki.

Dua bulan yang lalu, terjadi kecelakaan mobil di pintu masuk utama perusahaan. Pengemudi yang seorang perempuan itu menabrak dan menewaskan tiga pekerja perusahaan. Pengemudi itu melarikan diri.

Hingga saat ini, pengemudi wanita tersebut belum tertangkap.

Mereka bergosip tentang kejadian itu.

Aku berjalan mendekati Rizal dan bertanya dengan lembut, "Kamu nggak ikut reuni perusahaan?"

"Nggak." Dia menjawab dengan dingin.

Aku berbisik lagi, "Kalau kamu nggak pergi, nanti kena denda."

"Nggak masalah."

"Aku rasa kita nggak perlu sampai harus ...."

"Kamu menyebalkan sekali!" Rizal tiba-tiba berteriak dengan suara tinggi, "Aku mau di rumah saja, kamu nggak dengar?"

Begitu dia selesai mengatakan itu, kantor menjadi hening.

Rekan-rekan kerjaku sangat terkejut dan menatapku dengan mata terbelalak.

Aku langsung tersipu malu, ingin sekali bersembunyi di bawah kolong meja.

Di perusahaan, di hadapan publik, seorang suami yang baru aku nikahi malah berteriak kepadaku.

Apa boleh buat, aku menundukkan kepala, berbalik dan berjalan pergi.

Saat itu juga, semua angan-anganku tentang Rizal lenyap.

"Gishel, maafkan aku, harusnya aku nggak mendesakmu tadi."

Melly merangkul pundakku saat aku berjalan kembali ke mejaku dan meminta maaf padaku dengan lembut.

"Nggak apa-apa."

Tiba-tiba aku teringat sesuatu, mengambil ponselku dan mengiriminya sebuah gambar. "Melly, kamu tahu banyak hal. Tolong bantu aku cari tahu apakah ada kunci utama untuk pintu keamanan dengan kode semacam ini?"

Melly membuka ponselnya, melihatnya sebentar dan mengangguk, "Ya, temanku ada yang jual pintu semacam ini. Aku bantu tanyakan sebentar."