Reva hanya tersenyum tipis tanpa menanggapi. Ia sadar, dirinya baru bekerja tiga hari, jadi tak ada alasan untuk berharap lebih.
Pak Jimmy melanjutkan, "Sekarang, saya akan membagikan hadiah sesuai dengan kinerja kalian. Saya dan Bu Julie sangat teliti dalam memeriksa laporan harian dan CCTV, jadi hadiah yang kalian terima mungkin berbeda-beda. Semua amplop dan bingkisan sudah diberi nama masing-masing. Saya berharap kalian tidak membandingkan satu sama lain agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial."Semua karyawan mengangguk mengerti."Baik, kita mulai dari yang ada di sebelah kiri saya."Satu per satu nama dipanggil. Keysa dan Nita termasuk yang pertama menerima bingkisan dan amplop. Meski ukurannya berbeda—bingkisan Keysa lebih besar—keduanya tetap tersenyum puas. Para karyawan lain juga tampak bahagia setelah menerima hadiah mereka.Namun, ketika pembagian selesai, satu hal yang membuat Reva sadar: tidak ada hadiah untuknya.Reva menatap wajah Aaris dengan penuh harap, menunggu sebuah kata yang akan meluncur dari bibirnya. Tapi yang ditunggu-tunggu tak kunjung keluar.Rasa penasaran dalam dirinya membuncah, sekuat paketan satu truk ekspedisi yang kelebihan muatan dan hampir meledak di jalan raya. Kalau rasa penasarannya ini bisa dikirim via kurir, mungkin ekspedisi mana pun bakal kebingungan karena volumenya kebanyakan.Tapi Aaris tetap diam. Tatapannya seperti layar loading yang stuck di 99%, bikin Reva makin gemas."Ayo dong, ngomong! Apa beratnya satu kata doang?" batinnya sambil menatap Aaris seperti admin toko online yang udah ngasih harga coret tapi masih ditawar setengah harga.Sementara itu, Aaris malah terlihat seperti pria yang baru sadar lupa bayar tagihan listrik pas lampu tiba-tiba mati. Ragu-ragu, gelisah, tapi tetap berusaha terlihat cool.Reva mulai merasa kalau ia harus bersabar. Tapi kalau kelamaan, bisa-bisa rasa penasarannya ini beranak pi
"Aku yakin itu Reva! Dari samping, belakang, postur tubuh, rambut panjangnya, bahkan cara jalannya persis dia," gumam Eko penuh keyakinan, matanya masih terpaku ke arah sosok yang baru saja melintas.Eko buru-buru menepikan truk boknya ke pinggir jalan, memastikan tidak membuat kemacetan atau diklaksonin pengendara lain. Begitu mesinnya mati, Eko langsung melompat turun dan ngibrit masuk ke gang, nyaris keseleo gara-gara sendal jepitnya kejepit aspal."Reva!! Reva...!!!" teriaknya, napas sudah ngos-ngosan.Matanya celingukan ke segala penjuru, tapi sosok yang tadi dilihatnya mendadak lenyap entah ke mana. "Hadeh, kemana perginya bocah ini? Jalan kok bisa sekenceng maling ayam dikejar satu kampung?! Aku yakin seratus persen, tadi itu pasti Reva!" keluh Eko sambil menyeka keringat di jidat.Eko memang tidak sempat memastikan bajunya, tapi tas selempang yang dipakai gadis itu persis dengan yang Reva bawa malam tahun baru kemarin."
Kriieet!Tiba-tiba, pintu kamar terbuka lebar tanpa ketukan lebih dulu."Woy!"Nathan terlonjak kaget. Matanya membulat begitu melihat Eko melangkah santai masuk."Elu kebiasaan banget sih! Masuk kamar orang nyelonong aja! Ketuk pintu dulu kek, biar gue nggak kaget. Dasar nggak punya akhlak," gerutu Nathan. Ia menatap sahabatnya itu dengan sebal, sebelum kembali fokus menyisir rambutnya yang masih basah.Eko nyengir, sama sekali tak merasa bersalah. Matanya melirik ke arah kasur, di mana pakaian akad nikah masih terlipat rapi. Lalu, ia menatap Nathan yang sudah berpakaian santai, lengkap dengan jaket."Bukannya elo mau nikah? Kok malah pakai baju mau pergi?" tanyanya, bingung.Nathan tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang sebelum berkata, "Biarin aja Ibu yang nikah, gue mau pergi.""Pergi ke mana?" Eko semakin penasaran. Ia bahkan belum mandi dan masih bau bantal, tapi sudah nekat meluncur ke rumah Na
Di kota Semarang,Pagi yang cerah secerah hati Reva, ia sudah bangun sejak subuh, sehabis menjalankan kewajiban dua raka'at ia memasak beras dan menggoreng telur.Meskipun Reva tak memiliki minyak goreng tetapi ia melihat masih ada stok minyak goreng entah milik siapa ia tak tahu."Minyak goreng, kamu punyanya siapa?? Aku minta dikit ya, nanti kalau aku udah bisa beli bakal aku ganti kok. Janji deh dikiiiit aja ya, Bismillah," gumam Reva sembari membuka botol minyak goreng lalu menuangkan ke dalam teflon yang sudah ia panaskan di atas kompor.Reva menggoreng dua butir telur, yang satu akan dia bawa bekal untuk makan siang nanti. Di rumah Reva sudah terbiasa makan tiga kali bahkan kadang empat kali dalam sehari maka dari itu ia terbiasa tidak bisa menahan lapar.Tepat jam setengah tujuh Reva sudah siap berangkat ia juga sudah selesai sarapan, dirinya asal mengambil kertas minyak untuk membungkus nasinya."Reva, kamu udah mau bera
"Ahh..." Reva terlonjak kaget. Karena tidak dipersilakan duduk, ia memilih tetap berdiri dengan canggung.Aaris terkekeh pelan, menikmati kepanikan yang tersirat di wajah gadis itu. "Duduklah," ucapnya akhirnya."Terima kasih, Pak," balas Reva sambil menarik kursi dengan hati-hati dan duduk di hadapan Aaris."Jadi, ada apa Bapak memanggil saya? Apa saya melakukan kesalahan?" tanyanya dengan nada waswas.Aaris menyandarkan tubuhnya ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja. "Memangnya kalau saya memanggilmu, itu berarti kamu pasti punya kesalahan?" tanyanya santai.Reva mengerjap, lalu buru-buru menggeleng. "Ehh, bukan begitu, Pak. Saya hanya takut kalau saya tidak sengaja melakukan kesalahan, makanya Bapak memanggil saya. Kalau memang saya punya kesalahan, saya mohon maaf, Pak. Tapi, saya mohon… jangan pecat saya," ujarnya dengan suara nyaris berbisik, penuh harap.Melihat ekspresi takut-takut Reva, Aaris justru mendadak geli
"Duh, Rev, kok elo nolak tawaran Pak Aaris sih? Harusnya elo terima aja. Lumayan kan, dapat tumpangan gratis daripada jalan kaki mulu. Gue nggak nyangka, lho, Pak Aaris nawarin elo pulang bareng. Di dalam tadi kalian ngobrolin apa aja sih? Gue kepo," ujar Keysa dengan antusias."Nggak lah, Kak, aku nggak enak sama Pak Aaris. Tadi kita nggak ngobrolin apa-apa kok, cuma bahas soal hadiah dan aku ngucapin terima kasih. Udah gitu doang," balas Reva, berusaha menutupi kegugupannya."Elo pakai pelet apa sih sampai Pak Aaris bisa nyantol sama elo?" Nita menyela dengan nada geram, matanya menatap tajam ke arah Reva.Reva hanya tersenyum tipis, sudah mulai terbiasa dengan sikap Nita yang selalu sinis padanya."Udah nyadar belum kalau Pak Aaris nggak pernah ngelirik elo, Nit? Justru malah nyantol sama Reva yang orang baru! Kesaing, kan? Kasihan!" ledek Keysa sambil tertawa kecil."Udah, kalian nggak usah ngomongin Pak Aaris terus. Ntar kuping Pak A
Nathan membawa Reva keluar dari area restoran. Sejak bertemu kekasihnya, ia sampai lupa kalau perutnya sudah lama meronta minta diisi."Sayang, kita beli makan dulu, ya? Aku laper banget, dari pagi belum makan," ucap Nathan sambil mengelus perutnya. Ia tahu betul akibat telat makan bisa bikin tubuhnya drop. Sekarang hatinya sudah lega setelah berhasil kabur dari rumah dan bertemu Reva. Baginya, ini anugerah luar biasa. Ia harus tetap sehat agar bisa terus menjaga gadisnya."Mau, tapi aku nggak punya uang," sahut Reva polos.Nathan terkekeh, lalu mengacak pelan rambut Reva. "Yang ngajak kan aku, jadi ya aku yang bayar, Sayang. Masa iya aku suruh kamu bayar sendiri? Aku ini pacar kamu, lho."Reva tersenyum. "Ya udah deh, makasih ya.""Iya, Sayang."Nathan menoleh ke kanan dan kiri, mencari tempat makan yang nyaman, bersih, dan nggak terlalu ramai."Mas, kelewat! Tadi ada kedai penjual nasi, lho," ujar Reva sambil menepuk p
Suasana Panik di Rumah Jeki"Mungkin dia lagi di kamar mandi, atau keluar sebentar. Memangnya kamu udah mencarinya?" tanya salah satu kerabat yang lain.Siti menggeleng. "Aku cuma lihat di kamarnya, nggak sempat cari ke tempat lain."Kakak Jeki, Warsih, yang mendengar kegaduhan itu langsung berseru lantang, "Coba cari lagi! Kalian yang di luar ada lihat Nathan nggak?"Sekejap suasana berubah semakin riuh. Semua orang yang ada di rumah mulai berhamburan ke luar, mencari Nathan di setiap sudut rumah dan halaman."Nathan...!!""Nathan...!!!""Kamu di mana, Nathan? Kita semua udah siap, tinggal nunggu kamu aja!"Beberapa tamu yang baru datang ikut kebingungan melihat keluarga Jeki berteriak-teriak mencari seseorang. Para tetangga yang sedang berkumpul di depan rumah pun mulai ikut mencari, memeriksa ke pekarangan, ke belakang rumah, bahkan ke jalanan sekitar.Di tengah kekacauan itu, Suri—adik Nathan—berlar
Reva kembali berteriak dan menawarkan dagangannya, hingga ada sepeda motor yang mau masuk ke dalam area wisata itu berhenti di depannya."Kalau beli enam gratisannya berapa, Dek??" tanya Ibu-ibu yang membonceng empat anak kecil-kecil."Beli enam gratis dua es teh, Bu. Mari, Bu, mau es apa?? Es teh, es krampul, es lemon tea apa es cappucino??" Reva memberi pilihan berserta harganya."Es teh aja, Dek, enam," ujar wanita itu yang segera di layani oleh Nathan sedangkan Reva kembali mempromosikan es-nya lagi."Lebih enak kalau di pasangi spanduk, Dek, jadi kamu nggak perlu berteriak-teriak gitu. Kalau ada spanduk pasti orang-orang akan baca dan membelinya," ucap wanita itu memberi saran."Kalian baru pertama kali jualan ya," imbuhnya lagi."Sepertinya saran Ibu bagus juga. Iya,
Hari berikutnya Reva dan Nathan berbelanja alat dan bahan yang akan di gunakan untuk berjualan. Mereka juga sudah mendapat meja bekas dari seseorang yang pernah berjualan sebelumnya.Mereka mencoba membuat teh dan mencoba membuat es cappucino, es sultan, lemon tea dan es kerampul di kosan Nathan."Asem...." Ujar Nathan saat ia mencoba es lemon tea yang di buat Reva."Ganti lagi, ini pasti kebanyakan jeruk lemonnya," balas Reva merebut gelas yang di pegang oleh Nathan hendak di buang."Eeh jangan di buang, mending di tambahin gula lagi." Nathan menuang satu sendok ke dalam minumannya hingga minuman itu terasa sangat manis.Mereka mencoba dan mencoba lagi hingga menemukan resep yang pas. Setelah menemukan resep yang sesuai Reva membuat beberapa minuman untuk di bagikan kepada penghuni kos Nathan dan meminta penilaian."Gimana rasanya
Reva menyenderkan kepalanya di punggung Nathan, ia juga melingkarkan kedua tangannya di pinggang lelaki itu. Pikirannya sedikit rileks dan hatinya merasa tenang.Nathan terus saja melajukan motornya tanpa mau mengganggu Reva yang lagi dalam mode diamnya.Tanpa reva sadari motor Nathan sudah berhenti di wahana malam. Tempat itu sangat ramai dan banyak wahana yang sedang beroperasi."Mau naik bianglala??" Kita naik ke sana yuk, nggak boleh nolak," ujar Nathan menggandeng tangan Reva untuk masuk.Reva yang awalnya memang ingin menolak akhirnya pasrah saja dan mengikuti langkah Nathan.Setelah membeli tiket Reva dan Nathan segera naik ke dalam bianglala. Wahana itu berputar ke atas hingga ke bawah, Reva tersenyum bisa memandang indahnya kota Semarang saat malam hari."Sayang, kita di sini sama-sama perantauan dan tidak punya
"Mulai besok kamu tidak usah kembali bekerja lagi, hari ini hari terakhir kamu bekerja di sini. Apalagi kamu masih berstatus magang, masalah ini bisa di jadikan sebagai contoh di tempat lain. Kalau bekerja itu dengan tulus jangan sesuka hatimu," ucap Aaris menasehati Reva sekaligus memecatnya.Tanpa bisa Reva cegah lagi air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya lolos dari matanya, ia sedih mendengar ucapan Aaris memecatnya atas desakan Nita yang tega memfitnahnya.Reva segera buru-buru menghapus air matanya saat hendak membanjiri pipinya. "Dia kerja berapa lama??" tanya Aaris."Sekitar dua belas hari, Pak," balas Nita.Aaris mengambil dompetnya dari saku jas lalu menarik beberapa lembar uang merah dan menyerahkan kepada Reva."Aku rasa ini cukup, dan aku harus tegas agar bisa menjadi contoh bagi karyawan lainnya," ucap Aaris."Saya di fitna
"Nggak apa-apa hina aja aku, emang begini kok Tuhan ngasih wajah aku. Kamu sendiri yang berspekulasi dan kamu sendiri yang marah-marah begitu, mending buang jauh-jauh sifat iri kamu biar kamu nggak sakit hati dan nggak selalu benci sama orang. Aku mau ngelapor sama yang lain kalau ternyata pelaku pencurian itu kamu," balas Reva tak kalah tegas juga.Saat Reva hendak keluar, Nita menarik tangan Reva dan hendak menaparnya. Namun Reva bisa menghindar dengan cara berjongkok alhasil dia selamat dari tamparan Nita."Kurang ajar elo, di sini nggak ada cctv gue bakal hajar elo, sini elo bakal mampus di tangan gue. Kerja belum setengah bulan aja udah berani banget sama gue yang udah kerja bertahun-tahun.""Kasar benget ternyata kamu, Kak," ucap Reva yang tak menyangka dengan sifat asli Nita."Gue kasar cuma sama elo, sejak awal gue udah nggak suka sama elo tapi elo masih saja nekad kerja di sini.
Reva segera membawa pesanan Aaris, namun saat sampai di ujung tangga ia berpapasan dengan Nita."Heh!! Mau kemana?? Berani elo naik ke atas, kerjaan elo tuh bagian bawah, yang kotor-kotor itulah pekerjaan elo. Karyawan yang boleh naik ke atas itu cuma karyawan kepercayaan. Contohnya seperti gue!!" ujar Nita dengan sinis.Reva sama sekali tak mau memperdulikan ucapan Nita ia tak mau memasukkan ke dalam hati atas ucapan tak mengenakkan itu."Aku di suruh pak bos buat nganterin pesanannya," balas Reva dengan singkat. Ia segera naik ke atas tangga tanpa peduli Nita yang menatapnya tak suka.Saat reva sampai di pertengahan tangga ia menoleh ke arah Nita yang ternyata masih menatapnya dengan tatapan semakin garang. Ia terus naik hingga ke ujung tangga dan Nita masih memandangnya dengan tajam. Ia tak peduli hingga sosok Nita hilang dari pandangan matanya.Tok!!!Tok!!!Tok!!!!"P
Lelaki itu tak sedikit pun tersenyum atau menoleh ke arah Reva. Tatapannya hanya tertuju pada sosok lelaki paruh baya yang tengah tersenyum kepadanya."Pa, restorannya kok masih sepi? Belum pada datang, ya?" tanya Aaris tanpa basa-basi, matanya menelusuri meja-meja kosong di ruangan yang masih lengang itu."Belum pada datang, mungkin sebentar lagi sampai. Bisa jadi kejebak macet di jalan," jawab Pak Jimmy, mencoba menebak-nebak.Aaris mengangguk kecil. "Oh, bisa jadi sih. Burhan mana, Pa?" tanyanya lagi, masih tak melirik ke arah Reva yang berdiri tak jauh dari mereka."Lagi di atas, bersihin ruangan atas," balas Pak Jimmy sambil menepuk bahu putranya ringan.Sejak tadi Aaris sama sekali tidak menunjukkan minat atau rasa ingin tahu terhadap kehadiran Reva. Ia berdiri membelakangi gadis itu, menatap ke arah jalanan di luar kaca restoran.Reva, yang sejak awal merasa canggung berada di antara dua pria itu, akhirnya memutuskan untuk berpamitan. Ia menarik napas pelan, lalu menyusun kalim
Tatapan Nathan menyapu seluruh wajahnya, penuh kelembutan. Ia lalu merangkul pundak Reva, membawanya duduk di tepi kasur. Tangannya tak lepas, tetap menggenggam erat seakan Reva bisa hilang jika ia longgarkan sedikit saja. Reva memejamkan mata saat Nathan kembali mendekat. Kali ini ciumannya lebih dalam, namun tetap penuh perasaan. Tak terburu-buru. Tak liar. Hanya cinta yang berbicara di sana. Beberapa kali Nathan mengusap rambut Reva, membelai punggungnya agar gadis itu tetap merasa nyaman dalam pelukannya. Ia tahu, Reva butuh waktu untuk merasa aman sepenuhnya. Perlahan, jemari Nathan menyusup ke sela-sela jemari Reva. Ia menggenggamnya erat sembari menarik Reva kembali dalam pelukannya. “Jangan pernah tinggalin aku, ya, Dek,” bisik Nathan di antara helaan napasnya. Matanya menatap penuh harap. Reva mengangguk pelan, bibirnya tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Nathan menatap lekat wajahnya. “Entah
Tatapan Nathan menyapu seluruh wajahnya, penuh kelembutan. Ia lalu merangkul pundak Reva, membawanya duduk di tepi kasur. Tangannya tak lepas, tetap menggenggam erat seakan Reva bisa hilang jika ia longgarkan sedikit saja.Reva memejamkan mata saat Nathan kembali mendekat. Kali ini ciumannya lebih dalam, namun tetap penuh perasaan. Tak terburu-buru. Tak liar. Hanya cinta yang berbicara di sana.Beberapa kali Nathan mengusap rambut Reva, membelai punggungnya agar gadis itu tetap merasa nyaman dalam pelukannya. Ia tahu, Reva butuh waktu untuk merasa aman sepenuhnya.Perlahan, jemari Nathan menyusup ke sela-sela jemari Reva. Ia menggenggamnya erat sembari menarik Reva kembali dalam pelukannya.“Jangan pernah tinggalin aku, ya, Dek,” bisik Nathan di antara helaan napasnya. Matanya menatap penuh harap. Reva mengangguk pelan, bibirnya tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.Nathan menatap lekat wajahnya. “Entah apa jadinya kalau kamu benar-b