Nyonya Vivian telah pergi ke rumah sakit bersama Joe dan asistennya. Aku tak perlu merasa khawatir karena telah meminta Joe untuk menyewa seseorang. Orang itu bertugas untuk menjaga Felicia selama di rumah sakit. Jadi aku bisa leluasa bekerja. Ia pun menyetujuinya. Nyonya Vivian sempat tak terima karena ia merasa aku terlalu ikut campur. Sayangnya Joe berpihak padaku. Jadi Nyonya Vivian tak bisa bersikeras.
Mengingat betapa jahatnya Nyonya Vivian, aku jadi menghubungkannya pada kematian Tuan Arman. Apakah benar itu murni dilakukan oleh tukang cuci atau ada campur tangan Nyonya Vivian dan juga Tuan Felix.
Meskipun statusku hanya sebatas tukang cuci, bukan berarti aku harus diam atas tindak kriminal yang tampak di depan mata. Semua orang berhak mendapat keadilan. Termasuk tukang cuci itu. Aku akan meminta Baron untuk memberi tahu di mana orang itu ditahan.
"Apa Nyonya Vivian sudah pergi?" tanya Baron saat aku merendam cucian.
"Ya, me
"Maksudku ... dengan siapa anda kemari?"Perempuan itu sepertinya mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Tak semudah itu. Aku akan berusaha untuk mendapatkan jawaban."Jangan terlalu formal begitu, Nyonya. Perkenalkan, namaku Nur. Aku ke sini bersama Baron. Kau kenal Baron? Sayangnya dia tak mau masuk." Aku mengulurkan tangan dan kami pun bersalaman."Aku Lena. Bagaimana mungkin aku tak mengenalnya. Dia itu putraku. Dia membenciku karena mengira akulah pelaku pembunuhan itu. Aku ini dijebak. Aku tak mau basa-basi lagi. Untuk apa kau ke sini?"Nama orang ini Lena. Ia ibu kandung Baron. Baron membenci ibunya sendiri karena mengira ia adalah pembunuh setelah bertahun-tahun. Mengira? Berarti bukan dia pelaku yang sebenarnya."Pembunuhan siapa, Nyonya?" tanyaku pura-pura tak tahu. Ia mengepalkan tangan. Wajahnya memerah seperti letusan gunung berapi."Aku bukan pembunuh. Aku dijebak oleh mereka.""Pembunuhan siapa? Mereka
Kata-kata yang keluar dari mulut Baron berhasil membuatku melayang. Sejenak bisa kulupakan tentang ketakutan. Aku berhak merasakan kebahagiaan. Semoga tak sekedar harapan. Rasa ini harus mendapat sambutan. Aku tak mau bertepuk sebelah tangan. Diri ini memang lemah, mudah jatuh cinta tak peduli orang itu siapa.Kupikir Baron akan satu angkot denganku. Ia hanya mengantar. Arah rumah kami berbeda. Ia akan menaiki angkot ke arah Barat. Rasa canggung pun kurasakan. Sedikit kesepian."Naiklah, hari sudah sore," ujar Baron saat sebuah angkot berhenti di hadapan kami."Terima kasih traktirannya, Baron.""Jangan sungkan, Nur."Berat rasanya meninggalkan Baron sendirian menunggu angkot menuju tempat tinggalnya. Ia memandangi angkot yang kunaiki hingga mencapai pengkolan. Ia tak lagi nampak. Namun rasa itu masih pekat. Rasa senang atas pujian. Rasa nyaman saat berduaan. Ya, Tuhan. Aku telah dimabuk asmara.***"Nur, apa k
"Apa yang kau lakukan, Laila? Lancang sekali kau menamparku.""Kau bermain serong dengan suamiku, kan?""Oh, jadi kau sudah tahu? Baguslah kalau begitu."Laila begitu berani. Nyonya Vivian melotot ke arahnya. Bantal yang ada di tangannya ia lemparkan ke wajah Laila. Sahabatku itu terhuyung. Dengan sigap kutahan tubuhnya agar tak terjatuh. Di luar dugaan. Secepat kilat Laila menyambar rambut Nyonya Vivian dan menariknya dengan kuat."Dasar perempuan jalang! Kau tak puas dengan satu lelaki saja. Mampus kau, Vivian. Akan kubunuh kau malam ini juga!"Semua sudah di luar kendali. Bantal di tangan Nyonya Vivian terjatuh ke lantai. Rambutnya dikuasai oleh Laila. Ia menjerit kesakitan. Posisinya sangat sulit. Laila memutar tubuh perempuan itu hingga posisi Laila berada di belakang sambil terus menarik rambut pendeknya. Ia kesusahan menggapai sesuatu dari tubuh Laila. Kepalanya makin tertarik ke belakang hingga ia terjengkang dengan posisi telentang d
"Bruno, kau berulah lagi? Ayo sini sama mami."Baron mendekati perempuan itu. Ia menyerahkan anjing itu ke tangan si nyonya. Anjing itu seolah tak mau digendong. Saat hendak digendong oleh si nyonya, anjing itu melompat dan kembali berlari ke halaman belakang. Kami bertiga hanya melongo.Sepertinya Baron tak akrab dengan perempuan itu. Mungkin ia juga jarang datang ke rumah ini. Baron kembali berlari menuju halaman belakang. Kami berdua pun mengekor di belakangnya. Sejenak kulupakan cucian karena takut kuburan Tuan Felix akan digali oleh anjing ibunya."Bruno, mari kita pulang. Felix tak ada di rumah."Perempuan itu berbicara pada anjingnya. Ia berjalan setengah berlari dan menangkap bruno yang asik menggaruk-garuk tanah di sekitar pot besar bunga adenium."Lihat kakimu, jadi kotor, kan?" Ia berbicara lagi dengan anjingnya seraya menepuk-nepuk kaki si anjing agar tanah yang menempel di kakinya bisa terbuang. Kuku anjing itu memang
"Jangan serba ingin tahu, Nyonya."Baron terkekeh mendengar jawabanku. Ia menutup mulut agar suara tawanya tak terlalu nyaring. Perempuan itu terdiam dengan wajah memerah bak udang rebus. Ia membuka pintu lemari pendingin dan menyuruhku pergi."Pergilah! Aku muak melihat wajahmu.""Baiklah. Kapan perlu, saya tak kembali lagi ke rumah ini."Perempuan yang mengenakan hotpants itu menoleh. Ia menaruh cemilan yang baru saja ia keluarkan dari lemari pendingin itu di atas meja makan, lalu berjalan ke arahku."Nur, kau tak boleh bicara seperti itu. Aku membutuhkanmu di sini. Hanya kau yang bisa kuandalkan.""Oh, ya?""Iya, Nur. Tetaplah bekerja di sini. Baron kan selalu ada untuk menemanimu bila kau merasa takut sendirian.""Baiklah, saya pulang dulu, Nyonya.""Besok kau kembali, kan, Nur?""Iya, Nyonya."Entah mengapa, aku menjadi sedikit berani dan lancang terhadapnya. Mungkin karena kartu as perempu
Pengap, napasku terasa sesak. Setiap kali menghirup napas, udara yang kudapatkan hanya sedikit. Rasanya karbondioksida yang kuhembuskan kembali terhirup. Dada ini terasa sempit. Aku di mana? Apa aku sudah mati?Sembari terus berusaha bernapas, aku mencoba berkonsentrasi. Tidak, ini bukan di dalam tanah. Kulitku bisa merasakan semacam serat kain. Ya, tadi aku memasuki garasi, lalu tiba-tiba ada sesuatu yang menghantam kepala ini. Sakitnya masih terasa hingga kini. Apa kepalaku sengaja dipukul? Pasti ulah Nyonya Vivian.Napasku terengah-engah. Rasanya tubuhku berendam dalam genangan keringat. Panas sekali seperti berada di dalam balutan selimut tebal saat musim kemarau.Ya, aku tahu sekarang. Pasti tubuh ini sedang terkurung dalam beberapa helai selimut. Seperti yang dilakukan Nyonya Vivian pada suaminya waktu itu. Mungkin ia mengira diriku sudah tak bernyawa.Dadaku semakin sesak. Merintih meski percuma. Takkan ada yang mendengarnya
Tanpa sadar, telapak tanganku mendarat di pipi kanan Harry. Entah apa yang ia lakukan di rumah ini. Tanpa bertanya, ia menuduhku yang tidak-tidak."Jaga mulutmu, Harry!"Baron berdiri mematung menyaksikan adegan yang tak mengenakkan barusan. Aku tahu, ia pasti takkan senang dituduh macam-macam."Bukankah itu sebuah kenyataan? Kau begitu murahan. Berjalan dengan seorang lelaki ....""Sudah, Harry. Jangan bertengkar di depan pintu. Kau dari mana saja, Nur? Bukankah tadi kau bilang pergi ke rumah Nyonya Vivian untuk mengambil sebuah surat?" tanya Ibu memotong pembicaraan Harry. Lelaki itu menghembuskan napas dengan kasar. Matanya liar mengamati Baron dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pasti Harry merasa cemburu."Aku ...."Mulutku tak sanggup lagi melanjutkan. Getaran di bibir ini sangat kuat. Mata ini mulai panas karena genangan cairan bening. Cairan itu memaksa untuk keluar."Kau kenapa?"Semakin ditany
"Tapi mengapa, Tuan? Apa yang dilakukan oleh Baron?""Anda bisa datang langsung ke kantor kami, Nyonya.""Baiklah."Ibu menatap wajahku dengan seksama. Ia mengangkat alis seolah bertanya, apa yang terjadi pada Baron. Tanpa bicara, aku berdiri meninggalkan Ibu di meja makan. Mungkin dengan beribu pertanyaan di benaknya."Nur, kau mau ke mana?" teriak Ibu dari luar saat aku mengganti pakaian di dalam kamar. Tangan ini gemetar tak karuan. Jantung berdebar begitu cepat seolah berpacu dengan detik jam. Gerakan tubuh ini terasa kian melambat saat kurasakan nyeri di lengan sewaktu memasukkan tangan ke dalam lengan baju. Tak sabar ingin cepat-cepat menemui Baron di sana."Argh.""Nur, kau tak apa-apa?""Sama seperti tadi, Bu. Memasukkan tanganku ke dalam lengan baju itu membuat lenganku ngilu.""Biar aku bantu.""Tak usah. Sudah selesai."Saat ke luar kamar, Ibu menghadang jalanku. Sepertinya ia begitu khawati