Ini sudah seminggu sejak Amar menghilang tanpa kabar, nomornya sampai sekarang masih tak bisa di hubungi.
Aku datang ke rumahnya kembali, sepi tak ada siapapun di sana bahkan jonipun tak ada, entah kemana manusia biadab satu itu.Padahal aku ingin sekali meminta bantuan dia untuk mencari Amar, pegawai Amar di rumah makan pun tak tau kemana bos mereka pergi.Aku menatap langit sore yang sangat indah sambil duduk di bawah pohon yang selalu Amar tempati, aku menahan air mata yang siap keluar kapan saja, entahlah akhir-akhir ini aku begitu cengeng.Bahkan luka goresan ditangan, perut dan kakiku semakin banyak dan terasa menyakitkan, biasanya Amar yang selalu mencegah ku untuk melakukannya atau dia yang selalu mengobati setiap lukaku.Rindu? Seminggu Amar menghilang aku sadar bahwa aku memang merindukanya, bahkan aku membutuhkan dia di hidupku.Apa kesalahan ku kemarin tak jujur padanya membuatku harus kehilangkan Amar untuk selamanya, aku tak sanggup bila bukan Amar yang selalu ada buatku lalu siapa lagi aku tak punya siapa-siapa selain Amar."Aku mohon kembali," pintaku penuh harap.Hidupku terasa hampa tanpanya, tak ada semangat untuk melakukan apapun.Aku rindu semuanya tentang Amar bahkan omelan dia yang selalu memarahiku karana telat makanpun aku merindukannya."Aruna," panggil seseorang di belakangku.Aku membalikan tubuhku, mataku melebar aku benar terkejut dengan kehadirannya, apalagi sekarang dia membawa bayi di gendongan baby sister yang memakai baju serba putih.Pikiran buruk mulai datang, apa mungkin bayi itu hasil perselingkuhan mereka berdua?Dengan langkah tegar aku melangkah mendekati mereka, pandangaku masih sama tertuju pada bayi mungil itu."Kenapa? kanget," tanyanya sinis.Aku melirik wanita itu sekilas lalu melihat kembali bayi itu."Dia anak gue sama suami gue, Adrian," ucap Zia kembali.Aku tak terkejut dengan pengakuannya, dulu aku sudah bisa menebak dan ternyata sekarang bener.Ucap Adrian yang sudah meninggalkan Zia kemarin ternyata semua bohong bahkan mereka sudah punya bayi yang mungkin baru beberapa bulanAku mengamati Zia, sahabatku tapi itu dulu, kini dia terlihat terawat dengan pakainnya yang serba mewah dan branded mungkin karna dia sudah menikah dengan Adrian pengusaha kaya raya.Aku memutar kedua mataku malas meladeni dia, sikap, cara bicaranya bener-benar berbeda, dia bukan Zia yang aku kenal selama ini."Dimana Adrian?" tanya Zia"Aku gak tau," ucapku datar."Lo gak usah bohong, gue tau dia kesini buat nemuin lo," Teriaknya sambil menunjuk ku, matanya berkilat menahan marah."Kemarin dia memang ke sini, tapi sekarang aku gak tau," jelas ku padanya.Dia tersenyum miring, mencengkram dagu ku dengan sangat kuat, kukunya yang panjang melukai pipiku hingga darah mengalir karna ulahnya.Sudah ku bilang dia bukan Zia yang aku kenal, sikapnya kini yang bar-bar dan tanpa ragu melukai seseorang, dulu dia sangat lemah lembut dan penyayang bahkan ke binatang sekalipun dia tak berani melukai."Dimana Adrian?" ucapnya kembali sambil menguatkan cengkramanya di dagu ku.Aku meringis pelan, tapi tak berniat melawan sedikit pun."Aku gak tau," jawabku."Sialan," Zia mendorongku hingga jatuh ke pasir, dia menatapku marah seolah-olah ingin membunuhku detik ini juga.Aku terkekeh pelan," Zia yang dulu lembut bisa kasar juga," aku berdiri lalu menatapnya kembali."Dia suami kamu, kenapa nanya sama aku, seharusnya istrinya yang lebih tau," sindirku"Dasar pelacur," maki dia.Aku tersingsung dengan ucapanya, apa tadi dia bilang aku pelacur! Lantas dia apa? yang berani tidur dengan suami sahabatnya sendiri.Wajah ku mengeras aku tak terima dengan ucapnya."Pelacur, kalau aku pelacur lantas kamu apa Zia, bahkan kamu lebih dari seorang pelacur, di bandingin dengan kotoran masih lebih mulia kotoran dari pada kamu," teriakku marah.Dia mendekat ke arah ku dengan matanya yang terlihat semakin emosi, tanganya melayang ke arahku bersiap menamparku saat ini juga, refleks aku memejamkan mataku, tapi aku tak merasakan apapun.Aku membuka mata, ku lihat Zia yang tangannya di pegang oleh seseorang di sampingku, aku menoleh ternyata Amar dengan wajah marahnya.Amar mengehempaskan tangan Zia kasar."Aww," ringis Zia.Zia menatap Amar dengan pandangan tak suka yang di balas tatapan tajam oleh Amar."Lo siapa?" teriak Zia."Pergi," usir Amar"Oh apa jangan jangan lo salah satu pelanggan pelacur ini?" tunjuk Zia ke arah ku."Pergi dan jangan buat gue semakin marah," bentak Amar.Tanpa perlu di perintah dua kali Zia dan bayi serta baby sisternya pergi meninggalkan ku dan Amar.Amar mengehembuskan nafasnya, mencoba menenangkan dirinya."Run, kamu gak papa?" tanyanya padaku.Tak peduli pertanyaan Amar aku langsung memeluk pria yang sangat aku rindukan selama seminggu ini, Amar mengelus lembut Kepalaku dan balas memeluku, Amar melepaskan pelukannya dan menatapku teduh."Kenapa?" tanyanya kembali.Tapi aku langsung memeluk Amar kembali, yang membuat Amar terkekeh pelan, aku memejamkan mataku, entahlah aku rasa ini terakhir kalinya aku bisa memeluk Amar seperti ini."Kenapa, kamu kangen yah," ejek Amar.Aku melepaskan pelukanku dan mendelik ke arahnya."Gak, aku gak kangen," bohong ku."Masa," ucapnya lagi dengan senyum mengejek.Menyebalkan memang, tapi aku sangat bersyukur bisa melihatnya lagi."A Amar kemana aja?" tanyaku."Nanti aku ceritain,""Kenapa gak sekarang,""Sekarang obatin luka kamu dulu, tuh pipi kamu berdarah,""Yaudah kita pulang aja ke kontrakan, udah sore juga," ucapku.Aku menutup toko dengan bantuan Amar sehingga perkerjaan ku cepat selesai dan bisa cepar-cepat ke kontrakan untuk mengobati lukaku, lebih tepatnya aku penasaran seminggu ini dia kemana saja.....Sesampainya di kontrakan Amar dengan cekatan mengobati luka di pipiku, lukanya pasti akan lama hilang! kenapa juga harus pipi yang jadi sasarannya.Aku menatap Amar tanpa berkedip, dengan jarak sedekat ini, hembusan nafas Amar langsung menerpa wajahku.Amar membalas tatapan ku, wajahnya semakin dekat hingga hidungku dan Amar saling bersentuhan.Amar menempelkan bibirnya di bibirku, dia melumat pelan bibirku, aku memejamkan mata menikmati setiap lumatan yang Amar berikan, aku terbuai dengan yang dia lalukan sekarang.Lumatannya semakin dalam dan semakin menuntut, nafasnya mulai memburu, tangan Amar membelai lembut pipi ku, turun ke leher dan semakin turun ke pundakku."Aww," ringis ku pelan.Amar menghentikan aktivitasnya dan menatapku Intest, tangan Amar masih tetap di bahuku."Kamu ngelakuinnya lagi?" tanyanya datar."Iya ," jawabku pelan."Buka," perintah Amar.Aku membuka bajuku dan terlihat Amar terkejut dengan pemandangan yang ia lihat sekarang, bukan terkejut melihat aku telanjang, aku masih pakai tank top di dalam baju ku.Tapi Amar terkejut dengan tubuhku, penuh goresan yang masih memerah, bukan satu atau dua mungkin puluhan luka yang masih baru dan bekas lukanya.Tubuhku tak mulus seperti wanita di luar sana, banyak goresan seperti ini bahkan sampai ke kakiku, itu sebabnya aku sering pakai baju dan celana panjang bila keluar rumah."Perut kamu,"Aku menyibakan bawah tank top dan terlihat banyak goresan juga di perut.Amar mendesah, tangannya terkepal."Kenapa ngelakuin lagi," tanya Amar putus asa."Aku minta maaf,""Aku gak butuh maaf kamu, aku cuman mau kamu berhenti ngelakuin hal bodoh kayak gini," bentak Amar.Aku menunduk tak berani menatap Amar sekarang, berhenti? ini semua seperti candu bagiku."Aku gagal jagain kamu lagi,""Bukan salah A Amar," ucapku.Amar selalu begitu setiap ia melihat goresan di tubuhku, dia akan menyalahkan dirinya sendiri, atau lebih parahnya dia akan melakukan hal yang aku lakukan, melukai dirinya sendiri."Aku gak mau kamu kenapa-kenapa Run,""Aku sayang sama kamu," ucapnya parau."Aku tau," ucapku."Jangan ngelakuin lagi yah," ucapnya lembut."A Amar pasti udah tau jawabnya,"Amar berdecak, ia memejamkan matanya terlihat sekali raut bersalah di wajahnya."Yaudah aku obatin," ucapnya setelah beberapa detik Amar hanya terdiam.Aku mengangukan kepala tanda setuju."A Amar seminggu ini kemana?" tanya ku setelah Amar selesai mengobati seluruh lukaku."Aku pulang ke Bandung," ucapnya.Yah Amar memang bukan orang asli sini dia sama seperti ku, merantau ke tempat ini karena tempatnya yang sangat menenangkan."Bunda kecelakaan," aku terkejut mendengarnya.Mungkin baru beberapa kali aku bertemu Bunda Amar tapi aku merasa sudah dekat dengan Bunda, apalagi aku memang sudah tak punya orang tua."Kok bisa," tanya ku."Kamu taukan Bunda itu pecicilan gak bisa diem, sebelum kecelakaan dia minta di beliin seblak sama Ayah, tapi Ayah menolak karena hujan deras, Bunda nekat beli seblak sendiri naik motor padahal Bunda gak bisa naik motor," jelas Amar.Aku terkekeh, ada-ada saja Bunda Amar ini, udah tau gak bisa bawa motor masih nekat aja."Jadi rindu sama Bunda,""Mau ketemu? Bunda udah sehat kok," tawar Amar."Kapan-kapan aja," jawabku."Kamu udah makan?""Belum,""Kebiasaan, aku pergi beli makan dulu, nanti ke sini lagi, pakai bajunya Run nanti masuk angin ""Tunggu dulu A," cegahku saat Amar akan melangkah keluar."Kenapa lagi, mau requaes mau makan apa?""Enggak, aku mau nanya?""Kenapa?""Ponsel A Amar kemana, kenapa gak bisa di hubungin?""Ponsel aku hilang, mungkin di curi orang tapi nanti mau beli baru lagi kok," jelasnya sambil berlalu pergi.Aku mangut mangut mendengar jawabannya.Selesai makan, Aku dan Amar memutuskan jalan-jalan di tepi pantai menikmati semilir angin dengan deru ombak dan bintang yang berkelap-kelip di langit yang gelap.Aku duduk di hamparan pasir di ikuti Amar yang duduk di sebelahku.Angin pantai malam yang dingin membuatku merapatkan jaketku.Amar merangkulku dengan erat seolah tau kalau aku sedang kedinginan, dia menarik tanganku dan menyatukan tangan kami berdua, aku menyenderkan kepalaku di atas dadanya yang bidang.Malam ini sungguh mendukung, suasananya yang sangat sunyi hanya suara ombak saja yang terdengar, membuatku larut dalam dekapnya.mungkin kalau semua orang tau aku sudah bersuami mereka kira aku sedang berselingkuh sekarang, meskipun kenyataannya itu bener! aku dekat dengan Amar sementara statusku masih jadi istri orang.Biarlah anggap saja ini balas dendam ku pada Adrian yang sudah berani menghianatiku bahkan sampai mempunyai anak.Aku memang dekat dengan Amar, bahkan dia sering menginap di kontrakanku, tapi untuk melakukan
Hari yang di tunggu telah tiba, aku telah rapi dengan koper di sampingku menunggu Amar yang sebentar lagi akan menjemputku.Aku berdiri di pinggir jalan, karena mobil tak bisa masuk ke area kontarkan ku.Aku dan Amar pergi ke Surabaya, menggunakan mobil milik Amar sendiri, ya Amar memang punya mobil sendiri tapi jarang di gunakan, ia lebih suka berjalan kaki bahkan motorpun selalu ia simpan dan di pakai ketika ia malas berjalan kaki.Amar telah tiba, ia turun dari mobil dan membatu memasukan koper ku ke bagasi mobil.Setelah selesai aku dan Amar masuk ke mobil yang di kendari sendiri oleh Amar dan aku duduk di sampingnya.Perjalanan kali ini akan sangat panjang, butuh waktu tiga belas jam menuju Surabaya.Ingatan ku berputar ketika aku pertama kalinya tiba di Pelabuhan Ratu Sukabumi.Saat itu kondisi ku yang belum pulih akibat keguguran yang ketiga kalinya, aku kabur dari rumah sakit dan pulang ke rumah Adrian masih memakai baju pasien.Dengan tergesa-gesa aku membereskan semua pakaia
Pagi-pagi sekali aku telah siap dengan alat tempur yang kini sedang aku pegang, apalagi kalau bukan sapu dan peralatan bersih lainnya.Sementara Amar dia masih terlelap tidur, kecapean karena mengendarai mobil selama berjam-jam belum lagi semalam dia pergi membeli kebutuhan kita selama di Surabaya, beberapa ember cat dan peralatan lainnya.Aku membuka pintu rumah, terlihat wanita paruh baya dan kedua anak laki-lakinya, aku memeluk wanita itu erat menyalurkan kerinduan selama bertahun-tahun tak bertemu dengannya ,Mbok Ayu pembatuku di rumah ini dulu, serta kedua anaknya yang sudah besar-besar.Mbok Ayu membalas pelukanku dan tersenyum hangat, semalam aku menghubungi Mbok Ayu untuk membantuku beres-beres rumah, merubah letak barang-barang dan mengecat rumah, makanya dia bawa kedua anak laki-lakinya.Tak terasa hari sudah menjelang siang, ku lihat sekitar rumah ku sudah hampir selesai ternyata.Aku memesan makan dan minuman. untukku dan Amar tak lupa Mbok Ayu dan kedua anaknya.Aku masuk
Ketika sudah sampai rumah, aku keluar dari mobil dan menutup pintu mobil dengan kencang, sehingga menghasilkan bunyi yang cukup nyaring.Aku berlari memasuki rumah tak peduli, teriakan Amar yang terus memanggilku, di mobil pun sama dia terus mencoba untuk menjelaskan padaku, tapi aku terlalu malas dan memilih pura-pura tertidur.Aku masuk ke kamar yang langsung aku kunci, tapi sial karena tak fokus, aku salah masuk kamar dan malah masuk kamar orang tuaku dulu.Tubuhku merosot ke lantai, pandanganku kosong ke depan tak menyangka Amar bisa membentak ku seperti tadi.Seharusnya dia mencoba buat menenangkan ku bukan malah membentak ku di saat aku sedang emosi seperti tadi.Apa aku salah melawan mereka yang sudah memaki-maki ku, apa salah membela diri sendiri? Sehingga Amar tega membentak ku.Terdengar suara ketukan pintu dan panggilan dari Amar di luar kamar, tapi tak ku hiraukan.Biarkan saja! aku butuh waktu sendiri.Baru kali ini aku dibentak oleh Amar dan rasanya sungguh menyakitkan.
"Aku cari-cari ternyata kamu disini," ucap Amar yang mengagetkanku."Kenapa?" tanyaku yang masih sibuk mencari sesuatu, di tumpukan barang-barang kemarin yang sudah aku hancurkan.Liatlah keadaan kamar ini, bahkan tak layak di sebut sebuah kamar, semuanya hancur tak terbentuk bahkan baju dan barang Ayah pun ikut kena imbas karena amukan ku kemarin."Kamu cari apaan sih?" tanya Amar penasaran."Buku," jawabku singkat."Buku apaan?" tanyanya Amar lagi."Buku kecil warna biru, kemarin aku taruh di meja rias ini," tunjuk ku pada meja rias yang sudah ruksak."Aku bantu cari," usulnya.Aku dan Amar terus mencari buku tersebut, lumayan lama tapi tak juga ku temukan."Ketemu gak?" tanyaku pada Amar."Enggak," teriaknya.Mungkin saja terlempar atau tertumpuk itu buku, seharusnya aku beresin kamar ini sambil mencari buku milik ibu, kamar ini benar-benar sangat berantakan seperti di tiup angin topan.Aku mencari di setiap sela-sela tapi nihil tak ku temukan buku ibu, padahal aku ingin melanjutka
Malam ini kota Surabaya di guyur hujan deras, aku meminum kembali teh manis yang ku buat tadi sambil melihat acara televisi di ruang tamu.Sementara Amar dia sedang asik menelepon bundanya, aku melirik Amar sekilas yang duduk di sampingku dan menyenderkan kepalaku di bahunya.Teringat kejadian tadi siang di restoran, apa maksudnya dengan ucapan Andre tadi? jelas-jelas aku melihat Adrian sedang berselingkuh dengan mata kepalaku sendiri, apa itu kurang jelas membuktikan bahwa Adrian telah menodai pernikahan ini?Apa harus aku menemui Adrian dan meminta penjelasannya langsung sebelum sidang percerai kami nanti."Hey," ucap Amar mengangetkanku."Kenapa?" tanya Amar lembut."Gak," ucapku pelan."Jelas-jelas aku liat kamu ngelamun," tanya Amar lagi."Waktu di restoran tadi, aku ketemu sama Andre temen Adrian, dia bilang Adrian itu gak selingkuh sama Zia," ucapku menjelaskan kejadian tadi siang.Amar mangut-mangut "Udahlah gak usah di pikirin, dia temen Adriankan pasti dia ngebela Adrianlah,
Sudah pukul jam lima sore tapi Amar masih belum kembali sejak pergi pagi tadi, aku mondar-mandir di depan teras rumah menunggu kehadiran Amar untuk membicarakan tentang buku Ibu.Mbok Ayu sudah pulang sejak setengah jam yang lalu, kini tinggal aku sendirian di rumah.Tak lama mobil Amar datang, aku melihatnya dengan wajah yang datar tanpa ekpersi, Amar menghampirku dengan alis yang saling bertautan."Run kamu kenapa?" tanyanya bingung."Buku ibu kamu yang ambil," tuduhku, menujuk Amar di depan wajahnya.Amar menepis tanganku "Kan aku udah bilang di telepon tadi, aku gak ngambil Aruna," tegas Amar."Terus siapa yang ngambil? Cuman ada kamu di rumah," teriakku marah."Kemarin emang cuman ada aku doang di rumah, tapi bukan berarti aku yang ngambil buku ibu kamu," teriak Amar dengan nada tinggi."Terus siapa?" wajahku memerah menahan marah."Aku gak tau Aruna," teriak Amar."Kebiasaan kamu selalu emosian, kita bisa bicarain ini baik-baik, gak usah sambil nuduh aku," ucapnya menatapku tak
Pukul 6 pagi, aku sedang duduk di sofa dekat jendela kamar sambil mengunyah snack, mataku sejak tadi tak bisa lepas dari Amar yang sedang bersiap-siap untuk pergi.Perasaanku tak menentu,vrasanya sangat sulit melepaskan Amar walau hanya untuk beberapa hari, terbiasa akan kehadiran Amar membuatku sangat tergantung padanya.Tapi aku tak bisa melarangnya untuk pergi menemani ayahnya yang sakit, sebenernya aku bisa saja ikut dengan Amar tapi ada sesuatu yang harus aku cari tau dulu tanpa sepengetahuan Amar.Termasuk mencari buku ibu yang sekarang entah dimana keberadaanya, aku sangat penasaran tentang isi buku tersebut, entah apa kelanjutan yang ibu tulis di dalamnya, aku harap buku itu cepat ketemu."Kamu beneran gak mau ikut?" ucap Amar sambil melihatku."Gak A," tolaku dengan mulut yang penuh makanan.Aku simpan snack di atas sofa, dan melangkah mendekati Amar."Kamu pergi aja, aku gak papa sendirian, lagian ada Mbok Ayu juga," ucapku meyakinkan AmarTerlihat jelas raut kehawtiran di w
Pov AdrianBaru beberapa jam meninggalkan Aruna, entah mengapa aku merasa sangat khawatir pada dirinya, ingin cepat-cepat kembali pun tak mungkin karena memang ada sesuatu hal yang harus aku urus di kota, dan ini pun demi keselamataan aku dan Aruna nantinya.Banyak sekali orang yang tak aku percayai termasuk pada Lily dan pekerja di sana, Lily terlalu abu-abu untuk bisa aku baca pikiraanya, dan entah pada siapa dia memihak entah pada ku atau pada mereka yang selalu berembunyi. aku pun tak tahu apa yang akan mereka rencanakan dengan menyuruh ku pergi ke Italia dan tinggal bersama dengan Lily, dan mereka juga lah yang membawaku dan Aruna yang tak sadarkan diri waktu itu menggunakan jet pribadi, apalagi dengan kondisi kakinya yang parah karena habis aku pukuli. Aruna hanya di rawat oleh mereka yang katanya salah satu dari mereka adalah dokter yang terkenal.Mereka? aku ingin tahu siapa mereka itu, yang aku tahu mereka sangat berkuasa atas hidup ku dan juga Aruna, mereka melakukan segala
Pov Lily Setelah kepergian Adrian aku tertawa lebar, ''Maledizione, quel moccioso mi ha minacciato! ( Sialan bocah ingusan itu mengancamku!] .'' Aku tertawa sinis melihat ke arah pintu kamar.''Memangnya siapa dia yang berani mengancamku,'' ucapku kesal, yah aku sangat kesal berani-beraniya bcah itu. ''Aku yang lebih berhak atas hidup Aruna bukan Adrian.'' Aku berdiri, berjalan ke arah luar balkon yang memperlihatkan hamparan laut Italia yang indah.''Baiklah sayang! Apakah aku harus bermain-main sedikit dengan peliharaan mu?' ucapku setelah berpikir sesaat, senyum lebar terbit di bibir sexy ku.''Yah tentu, hanya bermain-main sedikit dengannya tak mungkin kan Adrian akan marah, lagi pula aku tak akan menyakiti dirinya yang ada aku akan memberikan kenikmataan yang belum pernah ia rasakan,''''Ahhh kau sangat cerdik Lily,'' ucapku kegirangan saambil betepuk tangan bak anak kecil.''Baiklah, aku harus minta bantuan seseorang,'' monolog ku sambil berjalan masuk ke dalam kamar, dan meng
Pov auhtor Adrian membawa Donna sambil mencengkram tangan Donna sampai ia mengaduh kesakitan, langkah lebar dan cepat Adrian membuat tubuh Donna yang mungil terasa di seret karena ia sulit menyeimbangai langkah kaki Adrian, sehingga sesekali ia hampir terjatuh dan langsung terbangun kembali takut kemarahan Adrian semakin murka padanya.Suara gelak tawa dan sahutan dari para lelaki terdengar di telinga mereka berdua ketika akan sampai di taman belakang yang memang tempat istrirahat bodyguard yang sudah selesai sif kerja mereka, juga ada beberapa bodyguard yang masih berjaga melihat -lihat situasi sekitar.Sesampainya di ambang pintu dengan sekuat tenaga Adrian melemparkan Donna ke arah tengah tengah bodyguard yang belum menyadari kehadirahan Adrian dan juga Donna.BrakPara bodyguarg pun terkejut melihat Donna wanita yang bekerja di rumah ini tersungkur di tengah-tengah mereka yang sedang berbincang.Mereka melihat Donna dengan pandangan terkejut lalu melihat ke arah Adrian yang menat
Mereka berdua kini sedang berada di lorong rumah yang terlihat luas juga mewah."Siapa dia?" Tanya Aruna."Dia Lily," jawab Adrian sambil mendorong kursi roda Aruna ke arah kamar.Aruna menganggukkan kepalanya paham, "Jadi nama perempuan bercadar itu Lily, yah aku juga mendengar nama itu tadi," gumam Aruna."Apa hubungan Lily dengan mu Adrian?" tanya Aruna kembali."Tak ada," jawab Adrian santai."Kau pembohong," sinis Aruna."Lily Seperti sangat berarti bagi mu, dan apa aku mengenal dia?" Tanya Aruna beruntun sambil mengingat kejadian di ruang tamu ketika Adrian membela Lily di depannya.Adrian yang terus di beri pertanyaan seperti itu semakin kesal."Kau bisa tidak diam," bentak Adrian yang sudah hilang kesabaran."Kenapa kau membentak ku?' tanya Aruna tak suka, ini baru pertama kalinya Adrian membentak dirinya hanya untuk seorang perempuan yang Aruna sendiri tak tahu siapa dia, meskipun Aruna merasa familiar pada wanita tersebut.Adrian tak menjawab pertanyaan Aruna, ia terlihat me
"Apa yang nona ucapkan?" Tanya Anna tak mengerti.Karena sejak tinggal di sini Aruna selalu di mandikan oleh Adrian, dan baru kali ini ia mandi di bantu oleh orang lain."Kau akan mengerti ketika aku membuka seluruh bajuku," ucap Aruna sambil melepaskan baju lengan panjangnya.Anna menutup mulutnya tak percaya, ketika melihat pemandangan yang tampak mengeringkan di depannya ini.Lengan perut bahkan punggung Aruna penuh dengan luka goresan panjang yang sangat dalam, hanya bagian payudara saja yang tampak bersih tanpa tergores sedikit pun di bagian sana.Bagaimana bisa bekas luka itu sangat banyak dan hampir menutupi tubuh putih Aruna? Tanya Anna dalam hati.Aruna melihat ke arah Anna yang masih terkejut, Aruna tersenyum miris dan lanjut membuka pakaian dalamnya."Bisa bantu aku?" Tanya Aruna pada Anna yang masih terkejut."Ten...tu," jawab Anna gelagapan.Anna membantu Aruna untuk membuka celana dan celana dalamnya dan kini Aruna sudah telanjang bulat di depan Anna."Kenapa kau melukai
"Lo itu cuman terobsesi sama gue doang Adrian," bentak Aruna yang sudah muak mendengar omong kosong yang terus keluar dari mulut Adrian."Terserah apapun yang kamu bilang, yang pasti aku gak rela kalau kamu pergi dari hidup aku," kekeh Adrian.Aruna menghela nafas lelah, ia muak berseteru dengan Adrian tanpa akhir yang jelas, entah apa lagi yang harus Aruna ucapkan agar Adrian mengerti tentang semuanya."Aku mau ke kamar," ucap Aruna pelan."Selesaikan makanan mu sayang, nanti aku antarkan ke kamar," perintah Adrian, ia segera mendorong kursi roda Aruna dan mendorongnya ke dekat kursi makan.Dengan tergesa- gesa Adrian membereskan meja makan yang sedikit berantakan karena ulah Adrian tadi yang mendorong meja makan dengan keras.Selesai merapihkan sedikit kekacauan, Adrian kembali duduk di sebelah Aruna."Ayo makan," ajak Adrian.Adrian menyuapi Aruna, Aruna yang sudah lelah hanya bisa patuh dan mulai memakan makanan yang di suapi oleh Adrian.Aruna mengunyah dengan pelan, matanya mena
Italia, kediaman Adrian.Malam pun telah tiba, kini Aruna dan Adrian sedang makan malam bersama di ruang makan yang begitu luas dan megah.Meja makan yang sangat panjang, serta kursi-kursi yang berjejer rapih tapi hanya dua orang yang mengisi kursi tersebut sisanya kosong.Aruna makan dengan tidak mood, sesekali hanya mengaduk makanan yang berada di piringnya.Melihat hal itu Adrian menghentikan aktivitas makannya, "Kenapa mau aku suapi?" Tanya Adrian dengan tersenyum lembut.Wanita lain yang melihat Adrian tersenyum seperti itu pasti akan luluh karena ketampanan Adrian menjadi berkali-kali lipat, tapi tidak dengan Aruna dia sudah muak melihat senyum Adrian."Gak! Aku bisa makan sendiri," jawab Aruna ketus."Makan yang banyak, biar kamu cepat sehat," ucap Adrian lagi dengan suara lembut."Percuma badan yang sehat, kalau kaki gak bisa jalan lagi," "Run, jangan bilang kaya gitu aku gak suka," ucap Adrian memperingati Aruna."Kenapa gak suka? Lo kan yang buat gue cacat kaya gini, apa lo
Karena terus di desak oleh Joni, dengan sangat terpaksa Amar menemani Joni untuk mencari makan.Padahal mereka bisa memesan makanan dari dalam kamar tapi tetap saja Joni bersi keras menolak dan ingin makan secara langsung di tempatnya, katanya suasananya berbeda jika ia makan di dalam kamar hanya berdua dengan Amar."Makan di mana?" tanya Joni yang kini mereka berdua sudah berada di dalam lift. "Di tempat makan," jawab Amar malas. "Gue tau kalau itu," kesal Joni. "Mau makan apa?" tanya Joni lagi. "Terserah," jawab Amar. "Lo kaya cewek lama-lama nyebelin," emosi Joni. Amar mengedikkan bahunya acuh tak acuh. TingPintu lift terbuka mereka berdua tiba di lantai dasar, mereka pun berjalan ke luar lift menuju restoran yang berada di dalam hotel. Ketika sudah sampai di restoran, Mereka berjalan untuk mencari meja makan yang masih kosong. Setelah mendapatkan kursi yang kosong mereka pun segera duduk dan memesan menu yang sudah tersedia di daftar menu. Amar memesan soto ayam nasi p
68Aruna ketakutan ketika melihat tatapan mata Adrian yang begitu liar, apalagi kini Adrian yang sudah telanjang bulat tanpa memakai sehelai benang pun di tubuhnya, membuat badannya terekspos sempurna, dan di bagian bawah Adrian yang sudah mulai mengeras dan membesar siap bertempur kapan saja. "Jangan lakukan itu lagi Dri," mohon Aruna sambil menangkup tangannya memohon pada Adrian. "Kenapa sayang, apa kau tak suka?" tanya Adrian terkekeh pelan, membuat Aruna semakin ketakutan. Aruna terisak ia sungguh tak bisa membayangkan, hal selanjutnya yang akan Adrian lakukan itu sungguh akan sangat menyakitkan bagi Aruna. "Jangan menangis aku tak suka, melihat air mata yang keluar dari mata indah mu itu Aruna," ucap Adrian sambil menghapus air mata Aruna. Aruna menepis tangan Adrian yang berada di pipinya. "Kau begitu kasar sayang," ucap Adrian tak suka. Adrian semakin mendekatkan dirinya ke tubuh Aruna, ia menaiki tubuh Aruna dengan segera agar Aruna tak bisa kabur atau berontak darinya