Nggak jauh dari tempatku, aku lihat Cindy tergeletak di lantai. Tubuhnya polos, nggak pakai sehelai benang pun, terbaring kaku di lantai yang kotor penuh debu, seakan-akan sudah tidak bernyawa.Ada seorang pria kekar duduk santai di atas bokongnya. Dengan satu jari yang sudah dicelupin ke cairan aneh di piring kecil, dia mulai coret-coret punggung Cindy, seperti lagi lukis sesuatu.Tiba-tiba, seakan merasa diawasi, pria itu menoleh dan matanya langsung tertuju ke arahku.Aku refleks tutup mata saking paniknya. Tapi aku tahu... dia pasti sudah lihat aku.Dari suara langkah kakinya, aku dengar dia bangkit dari atas tubuh Cindy.Daripada pura-pura pingsan nggak guna, akhirnya aku nekad buka mata.Dia jalan mendekat, jongkok di depanku, lalu menjepit daguku kasar, paksa aku tatap matanya.Wajahnya tirus, hidung mancung, tapi sorot matanya... gelap, penuh aura jahat yang buat bulu kuduk berdiri. Sekilas mirip pecandu narkoba, tapi tubuhnya kekar, ototnya terbentuk jelas.Dia buka mulut, su
"Apa?" Aku nyaris nggak percaya sama yang barusan kudengar.Pria itu membalikkan tubuh Cindy, pegang dagunya, dan paksa dia menatapku. Lalu dia tanya, santai seperti ajak ngobrol, "Kamu mau pilih A seperti dia, atau B seperti yang lain?"Aku tercekat. Nafasku terasa sesak, jantungku seperti mau meledak.Walau aku tahu bakal jadi gini, tapi saat lihat langsung kondisi Cindy, muka penuh perban berdarah, rasanya tetap saja kasihan.Melihat aku terkejut, pria itu malah senyum lebar, sok perhatian, terus jelasin dengan suara lembut, "Ah, sebenarnya sih, harusnya ada lima goresan buat dia... Aku juga butuh hiburan tiap hari, kan. Tapi karena dia pilih A, aku nggak akan 'menyentuhnya'. Aku ini orang yang berprinsip, jadi tenang saja."Kata-katanya terdengar seperti serigala berbulu domba yang mengeluarkan kata-kata godaan mengerikan."Sebenarnya baru tiga goresan di mukanya... Soalnya saat goresan ketiga, dia ngelawan. Aku jadi nggak sengaja nyayat terlalu dalam. Darahnya ngalir banyak... Akh
Aku mengangguk pelan menjawab pertanyaan Cindy. Bahunya mulai bergetar, lalu air mata yang selama ini ditahan akhirnya tumpah deras. Aku memeluknya erat-erat, terus berusaha menenangkannya, berbisik bahwa aku pasti akan cari cara bawa dia keluar dari neraka ini.Aku bilang, "Ceritakan semuanya ke aku, sedetil mungkin, ya."Sambil tetap waspada memperhatikan sekeliling, aku dengar Cindy mulai bicara, suaranya kecil dan gemetar, menceritakan semua yang terjadi selama beberapa hari ini.Hari itu, katanya, dia juga dibius, lalu saat bangun, pria itu sedang membuka bajunya, dan si brengsek itu malah langsung menyuruhnya pilih salah satu pilihan menjijikkan yang sama.Aku sempat tanya, "Kenapa kamu nggak pilih opsi kedua aja?"Cindy menunduk, suaranya makin kecil, "Sebelum dapat izin dari seseorang, aku nggak akan pernah tidur sama laki-laki mana pun."Aku terdiam. Sekarang bukan waktunya untuk bahas itu. Fokus utama kita adalah kabur.Aku coba beberapa kombinasi angka di pintu, tapi semuany
Sumpah, aku pengen banget langsung tusuk si berengsek itu, tapi Cindy masih di depannya, dan mereka berdua saling dorong. Aku takut malah kena Cindy kalau nekat.‘Tunggu, aku punya ide...’Aku menatap gerak-gerik si pria itu, waspada penuh, lalu sambil sedikit miringkan kepala, aku teriak ke orang di belakangku, "Ayo sini bantu aku! Kita tangani dulu orang ini, baru panggil orang! Kita berdua, dia sudah terluka, pasti bisa atasi..."Belum sempat kalimatku selesai, aku mendengar suara pintu tertutup di belakangku.Jangan-jangan si ketua yayasan malah kabur?!Aku pun menoleh ke belakang, tapi wajahku seketika jadi pucat.Ketua yayasan nggak kabur, dia malah tutup pintunya.Mukanya kelihatan serius, dia pelototin pria itu sambil ngomel, "Kamu gila! Kali ini kamu sudah keterlaluan."‘Apa-apaan ini?! Mereka... satu tim? Komplotan?!’Sejenak aku nggak tahu harus arahin pisaunya ke siapa.Pria itu ketawa pelan, nadanya dingin, seperti orang sudah hilang akal. Dia nyeletuk, "Kan masih ada ayah
Dulu waktu masih kerja jadi detektif, aku harus punya insting setajam paparazi dan lincah seperti atlet lari. Kalau nggak, bisa-bisa masuk perangkap orang dan nggak bisa keluar dengan selamat.Meskipun sudah bertahun-tahun nggak turun ke lapangan, badan dan reflekku masih dalam mode siaga.Dan hari ini, syukurlah... bisa berguna.Karena Cindy lebih pendek dari si pria itu, aku nggak terlalu khawatir. Kalau jatuh ke belakang pun, tubuh si bajingan itu bisa jadi bantalan hidupnya.Sementara aku, dari awal memang nggak niat tusuk siapa-siapa. Gerakan acungin pisau tadi cuma kamuflase biar dia panik."Ayo!"Aku berteriak sampai serak, sambil tarik Cindy sekuat tenaga. Kakinya aku tuntun menginjak punggung si ketua yayasan yang lagi setengah bangun dari lantai, dan brak, aku buka pintu lagi.Kali ini, tanpa pikir panjang, aku dan Cindy langsung kabur.‘Lari! Lari sekencang mungkin!’Kami segera keluar dari gedung guru itu, tembus ke area sepi, lalu akhirnya tiba di jalan besar yang ramai ba
"Eh, lihat tuh cewek dari akademi tari, gila banget gayanya. Roknya pendek banget, sedikit lagi kelihatan pantatnya," bisik salah satu kameramen di belakangku."Eh, eh... cepet fotoin! Lihat itu tuh, yang pakai baju tidur putih, dia nggak pakai bra ya?" sahut asistennya, sama hebohnya.Aku yang dengar bisik-bisik itu cuma bisa menghela napas kecil sambil ikut melirik sekilas para gadis dengan pakaian tipis itu. Tapi ya sudahlah, aku nggak mau buang tenaga buat tegur mereka.Kenalin, aku Elisa Johar, seorang jurnalis Wanita.Kali ini aku balik ke kampus lamaku gara-gara kasus heboh pemerkosaan berantai oleh pelaku bertopeng yang bikin seluruh kota geger. Rumor tentang kasus ini sudah seperti wabah nyebar ke mana-mana.Sebenarnya, sebagian besar rumor itu kedengaran konyol banget. Tapi entah kenapa, makin lama makin banyak orang yang setengah percaya.Salah satu rumor paling edan bilang kalau di kota ini ada 'geng penculik cewek', isinya para konglomerat dan anak pejabat. Mereka hanya pe
Air dingin membasahi wajahku ternyata tetap nggak bisa bikin aku tenang. Begitu tutup mata, bayangan Cindy yang diperlakukan seperti boneka oleh tiga pria itu langsung muncul lagi. ‘Gila, serem banget!’Anak-anak zaman sekarang benar-benar liar. Nggak cuma rela panggil orang "Tuan", tapi juga tahan dilayani bergiliran rame-rame seperti itu. Apa dia bisa tahan?Apalagi di foto tadi sepertinya ada yang sengaja ambil gambar. Apa mungkin itu si "Tuan" yang disebut-sebut?Kalau bukan karena mataku sendiri yang lihat, aku nggak bakal percaya kalau foto vulgar dan kontrak aneh itu ada hubungannya dengan Cindy, si gadis polos bak malaikat di data profilnya. Bener-bener seperti dua orang yang beda dunia.Tok! Tok! Tiba-tiba, ketukan pintu dan suara asistenku memotong lamunanku."Elisa, sudah siap belum? Kita mau ketemu korban dugaan lainnya ini." Suara asistenku dari balik pintu menyadarkanku dari lamunanku."Siap, siap!" jawabku cepat sambil lihat jam, terus langsung keluar dari kamar mandi.
Dulu waktu masih kerja jadi detektif, aku harus punya insting setajam paparazi dan lincah seperti atlet lari. Kalau nggak, bisa-bisa masuk perangkap orang dan nggak bisa keluar dengan selamat.Meskipun sudah bertahun-tahun nggak turun ke lapangan, badan dan reflekku masih dalam mode siaga.Dan hari ini, syukurlah... bisa berguna.Karena Cindy lebih pendek dari si pria itu, aku nggak terlalu khawatir. Kalau jatuh ke belakang pun, tubuh si bajingan itu bisa jadi bantalan hidupnya.Sementara aku, dari awal memang nggak niat tusuk siapa-siapa. Gerakan acungin pisau tadi cuma kamuflase biar dia panik."Ayo!"Aku berteriak sampai serak, sambil tarik Cindy sekuat tenaga. Kakinya aku tuntun menginjak punggung si ketua yayasan yang lagi setengah bangun dari lantai, dan brak, aku buka pintu lagi.Kali ini, tanpa pikir panjang, aku dan Cindy langsung kabur.‘Lari! Lari sekencang mungkin!’Kami segera keluar dari gedung guru itu, tembus ke area sepi, lalu akhirnya tiba di jalan besar yang ramai ba
Sumpah, aku pengen banget langsung tusuk si berengsek itu, tapi Cindy masih di depannya, dan mereka berdua saling dorong. Aku takut malah kena Cindy kalau nekat.‘Tunggu, aku punya ide...’Aku menatap gerak-gerik si pria itu, waspada penuh, lalu sambil sedikit miringkan kepala, aku teriak ke orang di belakangku, "Ayo sini bantu aku! Kita tangani dulu orang ini, baru panggil orang! Kita berdua, dia sudah terluka, pasti bisa atasi..."Belum sempat kalimatku selesai, aku mendengar suara pintu tertutup di belakangku.Jangan-jangan si ketua yayasan malah kabur?!Aku pun menoleh ke belakang, tapi wajahku seketika jadi pucat.Ketua yayasan nggak kabur, dia malah tutup pintunya.Mukanya kelihatan serius, dia pelototin pria itu sambil ngomel, "Kamu gila! Kali ini kamu sudah keterlaluan."‘Apa-apaan ini?! Mereka... satu tim? Komplotan?!’Sejenak aku nggak tahu harus arahin pisaunya ke siapa.Pria itu ketawa pelan, nadanya dingin, seperti orang sudah hilang akal. Dia nyeletuk, "Kan masih ada ayah
Aku mengangguk pelan menjawab pertanyaan Cindy. Bahunya mulai bergetar, lalu air mata yang selama ini ditahan akhirnya tumpah deras. Aku memeluknya erat-erat, terus berusaha menenangkannya, berbisik bahwa aku pasti akan cari cara bawa dia keluar dari neraka ini.Aku bilang, "Ceritakan semuanya ke aku, sedetil mungkin, ya."Sambil tetap waspada memperhatikan sekeliling, aku dengar Cindy mulai bicara, suaranya kecil dan gemetar, menceritakan semua yang terjadi selama beberapa hari ini.Hari itu, katanya, dia juga dibius, lalu saat bangun, pria itu sedang membuka bajunya, dan si brengsek itu malah langsung menyuruhnya pilih salah satu pilihan menjijikkan yang sama.Aku sempat tanya, "Kenapa kamu nggak pilih opsi kedua aja?"Cindy menunduk, suaranya makin kecil, "Sebelum dapat izin dari seseorang, aku nggak akan pernah tidur sama laki-laki mana pun."Aku terdiam. Sekarang bukan waktunya untuk bahas itu. Fokus utama kita adalah kabur.Aku coba beberapa kombinasi angka di pintu, tapi semuany
"Apa?" Aku nyaris nggak percaya sama yang barusan kudengar.Pria itu membalikkan tubuh Cindy, pegang dagunya, dan paksa dia menatapku. Lalu dia tanya, santai seperti ajak ngobrol, "Kamu mau pilih A seperti dia, atau B seperti yang lain?"Aku tercekat. Nafasku terasa sesak, jantungku seperti mau meledak.Walau aku tahu bakal jadi gini, tapi saat lihat langsung kondisi Cindy, muka penuh perban berdarah, rasanya tetap saja kasihan.Melihat aku terkejut, pria itu malah senyum lebar, sok perhatian, terus jelasin dengan suara lembut, "Ah, sebenarnya sih, harusnya ada lima goresan buat dia... Aku juga butuh hiburan tiap hari, kan. Tapi karena dia pilih A, aku nggak akan 'menyentuhnya'. Aku ini orang yang berprinsip, jadi tenang saja."Kata-katanya terdengar seperti serigala berbulu domba yang mengeluarkan kata-kata godaan mengerikan."Sebenarnya baru tiga goresan di mukanya... Soalnya saat goresan ketiga, dia ngelawan. Aku jadi nggak sengaja nyayat terlalu dalam. Darahnya ngalir banyak... Akh
Nggak jauh dari tempatku, aku lihat Cindy tergeletak di lantai. Tubuhnya polos, nggak pakai sehelai benang pun, terbaring kaku di lantai yang kotor penuh debu, seakan-akan sudah tidak bernyawa.Ada seorang pria kekar duduk santai di atas bokongnya. Dengan satu jari yang sudah dicelupin ke cairan aneh di piring kecil, dia mulai coret-coret punggung Cindy, seperti lagi lukis sesuatu.Tiba-tiba, seakan merasa diawasi, pria itu menoleh dan matanya langsung tertuju ke arahku.Aku refleks tutup mata saking paniknya. Tapi aku tahu... dia pasti sudah lihat aku.Dari suara langkah kakinya, aku dengar dia bangkit dari atas tubuh Cindy.Daripada pura-pura pingsan nggak guna, akhirnya aku nekad buka mata.Dia jalan mendekat, jongkok di depanku, lalu menjepit daguku kasar, paksa aku tatap matanya.Wajahnya tirus, hidung mancung, tapi sorot matanya... gelap, penuh aura jahat yang buat bulu kuduk berdiri. Sekilas mirip pecandu narkoba, tapi tubuhnya kekar, ototnya terbentuk jelas.Dia buka mulut, su
"Lalu dia bawa aku ke ruang bawah tanah... terus kurung aku di sana..." Dika kelihatan tidak nyaman untuk lanjut ceritanya.Sebagai sesama perempuan dewasa, aku jelas ngerti lah ya, kalau cowok bawa cewek secantik Dika ke ruang bawah tanah, pasti ada maunya."Dia seret kamu ke sana seberapa lama?" tanyaku penasaran."Kurang lebih setengah jam," jawab Dika sambil garuk-garuk kepala."Setengah jam? Lama banget." Polisi yang dari tadi tersenyum langsung kelihatan kaget."Iya... orangnya tinggi, besar, berotot, dan tenaganya gila-gilaan kuat," kata Dika sambil wajahnya makin merah, bahkan kakinya tanpa sadar jadi merapat.Aku yang lihat jelas ekspresinya, tanpa sadar malah kebayang Cindy waktu dijepit beberapa cowok... Aduh, buru-buru aku tepuk pipi sendiri buat ngusir pikiran aneh itu. "Orangnya seperti apa sih?" tanyaku lagi untuk alihkan pikiranku."Aku nggak tahu... Mereka selalu pakai penutup kepala. Tiap muncul, aku disiksa lama banget... Kadang malah dua orang sekaligus..." Dika me
Air dingin membasahi wajahku ternyata tetap nggak bisa bikin aku tenang. Begitu tutup mata, bayangan Cindy yang diperlakukan seperti boneka oleh tiga pria itu langsung muncul lagi. ‘Gila, serem banget!’Anak-anak zaman sekarang benar-benar liar. Nggak cuma rela panggil orang "Tuan", tapi juga tahan dilayani bergiliran rame-rame seperti itu. Apa dia bisa tahan?Apalagi di foto tadi sepertinya ada yang sengaja ambil gambar. Apa mungkin itu si "Tuan" yang disebut-sebut?Kalau bukan karena mataku sendiri yang lihat, aku nggak bakal percaya kalau foto vulgar dan kontrak aneh itu ada hubungannya dengan Cindy, si gadis polos bak malaikat di data profilnya. Bener-bener seperti dua orang yang beda dunia.Tok! Tok! Tiba-tiba, ketukan pintu dan suara asistenku memotong lamunanku."Elisa, sudah siap belum? Kita mau ketemu korban dugaan lainnya ini." Suara asistenku dari balik pintu menyadarkanku dari lamunanku."Siap, siap!" jawabku cepat sambil lihat jam, terus langsung keluar dari kamar mandi.
"Eh, lihat tuh cewek dari akademi tari, gila banget gayanya. Roknya pendek banget, sedikit lagi kelihatan pantatnya," bisik salah satu kameramen di belakangku."Eh, eh... cepet fotoin! Lihat itu tuh, yang pakai baju tidur putih, dia nggak pakai bra ya?" sahut asistennya, sama hebohnya.Aku yang dengar bisik-bisik itu cuma bisa menghela napas kecil sambil ikut melirik sekilas para gadis dengan pakaian tipis itu. Tapi ya sudahlah, aku nggak mau buang tenaga buat tegur mereka.Kenalin, aku Elisa Johar, seorang jurnalis Wanita.Kali ini aku balik ke kampus lamaku gara-gara kasus heboh pemerkosaan berantai oleh pelaku bertopeng yang bikin seluruh kota geger. Rumor tentang kasus ini sudah seperti wabah nyebar ke mana-mana.Sebenarnya, sebagian besar rumor itu kedengaran konyol banget. Tapi entah kenapa, makin lama makin banyak orang yang setengah percaya.Salah satu rumor paling edan bilang kalau di kota ini ada 'geng penculik cewek', isinya para konglomerat dan anak pejabat. Mereka hanya pe