Share

Pesan Mas Harto

Penulis: Lia Scorpio
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-04 13:07:39

 "Mas, apa maksud perkataan bapak tadi? memangnya kenapa dengan malam purnama?" tanyaku, saat sholat magrib ingin dimulai.

  Mas Harto berbalik menatapku sejenak. Tampan sekali suamiku ini, jika memakai pakaian sholat seperti ini.

 "Kita sholat dulu! Nanti aku jelaskan!" 

  Hanya itu yang mas Harto katakan. Lalu berbalik lagi membenarkan baju kokonya, sebelum akhirnya memulai sholat.

 Sepanjang aku melaksanakan sholat magrib berjamaah dengan mas Harto. Suasana kamar terasa pengap. Padahal kipas angin berputar kencang. Sesekali aku merasa diperhatikan. Karena itu, aku jadi tidak terlalu khusyuk menjalankan ibadah sholat. 

  Suara salam terdengar merdu dari mulut  mas Harto. Ia menoleh ke kanan lalu ke kiri. Wirid dan dzikir masih terdengar mengalun. Tapi kosentrasiku sudah terlanjur buyar. Selalu saja banyak godaan yang tak kasat mata jika aku melakukan ibadah di kamar ini. Entah kamarnya yang bermasalah, atau justru aku sendiri.

 "Sayang, kenapa melamun?" tanya mas Harto, kini sudah selesai.

 Aku terhenyak, kutatap wajah teduh mas Harto.  "Tidak apa-apa Mas. Sudah selesai?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

 Mas Harto mengangguk, lalu membereskan peralatan sholatnya. 

 Di atas tempat tidur, kini kami berdua duduk berhadapan. Cukup lama aku menunggu mas Harto memulai pembicaraan. Tapi mulutnya tak kunjung mengeluarkan sepatah katapun. Sudah kadung penasaran, terpaksa aku kembali menanyakan perihal kata-kata bapak mertuaku tadi. 

 "Mas, katanya mau cerita?" desakku.

  Nas Harto diam. Ia tampak menghela nafas berat, lalu menoleh ke arahku.

 "Apa kamu percaya, jika kuyang itu ada?" 

 Pertanyaan yang keluar dari mulut mas Harto, sukses membuatku terdiam sejenak. Namun hanya sebentar. Setelah itu, aku malah tertawa mendengarnya.

 "Mas... Mas... Apa yang aku tanya, apa di tanya. Kenapa kamu bertanya soal kuyang? Di jaman modern seperti ini, mana mungkin ada makhluk yang seperti itu Mas," sahutku, perutku sampai sakit menertawakan pertanyaan mas Harto.

 Bukannya ikut tertawa atau membenarkan kata-kataku, mas Harti justru menghembuskan nafas kasar.

 "Mas, kok diam? Aku benar kan?" tanyaku.

 "Entahlah... Kita memang hidup di jaman modern, tapi tidak semua yang kita pikirkan modern, sama dengan pemikiran orang yang masih tertinggal jauh," sahut mas Harto.

 Keningku mengkerut. Apa maksud perkataannya? Apa dia marah? Apa aku salah bicara? Aku rasa, aku memang benar. Memang sewaktu kecil, aku sering mendengar cerita tentang kuyang. Karena memang, aku lahir dan tinggal di tempat yang memang mempercayai itu. Tapi aku sama sekali belum pernah melihatnya. Jadi aku anggap, itu hanya cerita dongeng dari orang tua terdahulu untuk menakuti anak-anak.

 "Mas, kamu marah?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir ini.

 Mas Harto menggeleng. "Aku hanya minta kamu hati-hati! Meskipun kamu tidak mempercayai hal klenik seperti itu. Tapi ingat Na, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung!" 

 Setelah mengatakan itu, mas Harto bangkit dari duduknya, kemudian berjalan menuju pintu kamar.

 "Mas, mau ke mana?" tanyaku, aku merasa tidak enak dengan mas Harto.

 "Mau masak ikan sarden. Malam ini kita tidak jadi jalan-jalan, besok saja!" sahut mas Harto, keluar dari kamar.

 Aku tak berniat menyusulnya. Lagi pula ini juga sudah malam. Mendengar kata-kata mas Harto tadi, aku jadi teringat pesan bapak, untuk tidak keluar dari kamar sampai subuh menjelang.

 Cukup lama aku menunggu, aku memutuskan memainkan gawai berkirim pesan dengan saudara-saudaraku.

 "Yank, ayo makan!" ajak mas Harto, entah kapan masuk. Mungkin karena aku terlalu asyik sendiri.

 Aku hanya diam, menelisik mas Harto dari atas sampai bawah. Bayangan tentang kejadian tadi masih teringat. Tentang sosok yang menyerupai mas Harto.

 "Yank, kenapa diam? ayo!" ucap mas Harto, melambaikan telapak tangannya di depan wajahku.

  "Eh, iya Mas," Aku tersentak kaget saking seriusnya mengamati.

 Di lantai kamar, mas Harto menggelar karpet kecil. Ini juga yang jadi pikiranku. Selama aku tinggal di rumah ini, kami selalu saja makan di dalam kamar. Kami tidak pernah makan bersama di luar dengan bapak dan ibu. Padahal saat di rumahku, kami berlima bersaudara selalu makan bersama, itu juga tidak di kamar, melainkan ruang makan atau ruang televisi.

 "Mas, kenapa kita tidak makan sama bapak dan ibu?" tanyaku, berharap mas Harto menjawab rasa penasaranku.

 "Ibu tidak makan malam. Kalau bapak, kan tadi kamu lihat bapak sedang mau makan?" jawab mas Harto. 

  Jawabannya tidak memuaskan sama sekali. Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi. Tapi aku memilih untuk tidak melanjutkan pertanyaanku. Perutku sudah berbunyi, ingin segera minta diisi.

Kami berdua makan dalam hening. Hanya suara denting sendok yang saling beradu. Entah kenapa, aku mempercepat makanku. Ingin sekali rasanya cepat selesai.  Suasana malam ini benar-benar menakutkan. Hawa dingin malam masuk melalui celah-celah terpal plastik. Terasa menusuk tulang.

 "Setelah ini kita tidur Yank!" ucap mas Harto, membereskan bekas sisa makan dan bersiap membawanya ke dapur.

 "Mas, aku ikut kamu!" ucapku, merasa takut sendirian di kamar.

 Walau aku bukan tipe wanita yang penakut dan mempercayai hal mistis. Tapi malam ini, sepertinya keberanianku terkikis.

 "Di kamar saja! Kunci pintunya dari dalam! kalau aku datang, aku akan mengetuk pintu tiga kali dan memanggil kamu dengan sebutan biasanya. Kalau suara ketukan tidak seperti yang aku katakan, jangan pernah dibuka!" 

 Usai mengatakan itu, mas Harto keluar kamar. Dengan cepat aku mengunci pintu kamar. Aku tidak sempat bertanya lebih. Tidak biasanya mas Harto seperti ini. Biasanya hanya memintaku mengunci pintu kamar, tanpa mengatakan yang lain.

  Di atas tempat tidur, aku duduk dengan perasaan was-was. Pesan yang ditinggalkan mas Harto, semakin membuat aku ketakutan. Lamunanku buyar, kala mendengar ketukan pintu kamar.

 Jantungku berdetak cepat, seakan sedang berpacu dengan waktu. Aku tidak segera membuka pintu. Aku menunggu suara ketukan pintu itu lagi. Tapi cukup lama aku menunggu, ketukan pintu tak kunjung terdengar.

 "Nin, kamu di dalam? Ini Ibu," 

 Suara dari balik pintu membuat semua bulu halus di tubuhku berdiri. Aku menggigil ketakutan. Apalagi suara ibu tidak terdengar seperti biasanya. Kali ini terdengar seperti suara bisikan. Walaupun bisikannya pelan, tapi aku dapat mendengarnya jelas.

 Aku tidak akan membuka pintu kamar. Sekalipun ibu yang mengetuknya. Mas Harto pasti akan marah besar jika aku membuka pintu selain dirinya yang mengetuk.

 "Niiinaa..."

 Suara panggilan kembali terdengar. Suara ibu, persis seperti suara di film horor. Panggilannya terdengar mengalun lembut, tapi sangat mengerikan.

  Ya Allah, aku takut... Air mata ini hampir saja keluar menahan takut yang entah kapan hilangnya.

 Tok... Tok... Tok...

 "Sayang, buka pintunya!" 

 Itu suara mas Harto. Dengan cepat aku turun dari tempat tidur dan berdiri di depan pintu.

 "Mas, itu kamu kan?" tanyaku, suaraku sudah sangat bergetar dengan tubuh yang mengeluarkan keringat banyak.

Bab terkait

  • Rahasia Ibu Mertuaku   Keputusan mas Harto

     "Mas, itu kamu bukan?" tanyaku sekali lagi. Tak ada jawaban sedikitpun. Perlahan aku mendekat berniat menempelkan telingaku di daun pintu. Baru saja menempel, suara gebrakan pintu membuatku tersurut mundur. Aku terjatuh dengan bokong lebih dulu menghentak lantai. "Bukaa...!" Suara erangan terdengar nyaring, suara yang meminta pintu dibuka juga sangat besar dan berat. Perlahan namun pasti, pintu terbuka lebar. Di luar kamar tidak ada siapa pun. Aku merangkak maju mendekati pintu. Rasa penasaranku, membawaku pada sosok mengerikan yang bersembunyi di kegelapan. "Makanan...." bisik suara itu, menarik tanganku sampai aku terjatuh.  "Aw..." rintihku, memegang kepalaku.  Kedua mataku terbuka lebar. Aku ada di tempat tidur. Pandanganku langsung tertuju ke arah daun pintu yang masih terkunci.  Syukurlah yang tadi hanya mimpi. Tapi rasanya sangay nyata sekali. Entah sejak kapan aku tertidur. Baju tidurk

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-04
  • Rahasia Ibu Mertuaku   Sakitnya ibu

      Sudah hampir delapan bulan aku kembali ke rumah orang tuaku. Perdebatan malam itu, benar-benar membuat mas Harto ketakutan sendiri. Padahal itu hanya mimpi. "Yank, aku mau ijin pulang," Aku langsung menoleh ke arah mas Harto yang baru saja datang. Tidak biasanya dia meminta ijin pulang. Pulang ke mana maksudnya?  "Aku mau pulang ke rumah ibu. Kata tetangga, ibu sedang sakit. Kamu tidak apa-apa kan di sini?" tanya mas Harto, menatapku ragu. Mendengar kabar ibu mertuaku sakit. Aku terkejut bukan main. Pasalnya, saat terakhir aku pergi dari. rumah itu, ibu masih sehat wal'afiat. Bagaimana ibu bisa sakit? Sakit apa yang ibu derita?  Pertanyaan demi pertanyaan mulai bermunculan di benakku. Dan tanpa sadar aku menanyakannya pada mas Harto, selaku anak semata wayang ibu. "Aku juga belum tau Yank, baru tadi aku dikabari. Kamu tidak apa-apa kan kalau aku tinggal dulu di sini? Aku janji, setelah ibu sudah lebih baik, aku secepatnya

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-28
  • Rahasia Ibu Mertuaku   Belakang rumah

     "Kami masuk dulu Bu! Kasihan Nana capek," ucap mas Harto, menarik tanganku menjauh sebelum tangan ibu benar-benar menyentuh perut buncit ini. Bukannya marah dengan sikap mas Harto, ibu malah tersenyum dan mengangguk. Persis seperti senyum seorang psikopat.  Tak perlu waktu lama untuk kami bertiga, kini sudah berada di dalam kamar yang dulu aku dan mas Harto tempati. "Mas, kalau mau mandi di mana? Badanku rasanya gerah banget," ucap Ahmad, tampak gelisah. Aku hanya melirik ke arah Ahmad dan mas Harto bergantian. Tanpa perlu aku tebak, aku sudah tau, apa jawaban mas Harto nanti. "Besok saja mandinya Mad!"  Sesuai dengan perkiraanku. Mas Harto pasti melarangnya. Ternyata selama aku tinggal ke kota, aturan di rumah ini tidak pernah berubah. Masih sama, jika malam hari harus berdiam diri di dalam kamar. "Tapi Mas, aku sudah pasti tidak bisa tidur nanti," protes Ahmad, ia belum tahu menahu soal rumah ini. "Ma

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-29
  • Rahasia Ibu Mertuaku   Manusia atau demit?

     Di bawah pohon yang tak jauh dari pohon kenanga. Aku berjongkok dengan susah payah. Beginilah hidup di desa yang sangat jauh tertinggal dengan kehidupan kota. Bahkan untuk buang air besar saja harus seperti ini.  Andaikan kamar kecil tidak sebau dan kotor seperti itu, mungkin aku tidak akan terlalu tersiksa seperti ini. "Yank, sudah belum?" teriak mas Harto, dari dekat sumur. "Sebentar lagi!" sahutku, juga ikut berteriak. Keadaan sekitar sudah sangat gelap. Di sini bahkan tidak ada lampu jalanan. Hanya mengharap sinar bulan ataupun senter yang dibawa. Beruntung tidak ada yang aneh-aneh, walau dalam hati ini terus merasa was-was dan takut. Usai melepaskan semua hajat. Aku segera mencuci tangan dengan sabun. Di samping lobang tadi, ada sebuah cangkul yang digunakan untuk menimbun bekas hajat. Kalau ditanya jijik, tentu saja jijik. Tapi mau bagaimana lagi? Aku harus terbiasa dengan tempat ini. Srak... Suara ranting

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-01
  • Rahasia Ibu Mertuaku   Melahirkan

     Dua hari sudah berlalu, sejak terakhir kejadian aneh yang aku dan Ahmad alami. Kini mas Harto harus kembali bekerja lagi. Mengingat hal itu, aku jadi takut sendiri. Apalagi mas Harto harus masuk pagi dan malam karena menggantikan temannya yang sedang sibuk menunggui istrinya yang mau melahirkan. Awalnya aku melarang mas Harto menggantikannya. Tapi, setelah mas Harto menjelaskan semuanya, aku jadi tidak tega. Biar bagaimanapun, saat ini aku juga tengah hamil tua. Bisa saja mas Harto juga perlu bantuan orang lain nanti saat aku melahirkan. "Jangan khawatir Kak, di sini ada aku!" ucap Ahmad, mengusap pundakku saat motor mas Harto makin menjauh dari pandangan. "Kamu benar Mad, lebih baik kita masuk sekarang Mad!" Aku sengaja mengajak Aad masuk, karena tidak berani di luar rumah lama-lama.  Setibanya di dalam kamar, aku merasakan sesuatu yang aneh dengan  perutku. Beruntung Ahmad selalu di samping menemaniku. "Ad

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-02
  • Rahasia Ibu Mertuaku   Ke rumah sakit

     Semakin lama, rasanya perutku semakin cepat sakitnya. Aku bahkan sudah tidak peduli lagi dengan apa yang ibu lakukan di dapur sana. Kesadaranku hampir saja hilang karena terlalu lelah menahan sakit. "Kak, mas Harti telepon," ujar Ahmad, menunjukkan nama mas Harto tertera di layar ponselnya. "Angkat cepat Mad!" titah kak Ayu, sambil terus membaca sesuatu dan meniupkannya di atas ubun-ubunku. "Iya Mas, iya... Kami bawa sekarang!"  Entah apa yang Ahmad bicarakan dengan mas Harto sampai ia mengatakan itu.  "Bagaimana Mad?" tanya kak Lina, penasaran. "Kata mas Harto, kita langsung bawa kak Nana ke rumah sakit kota saja! Jangan sampai melahirkan di sini! Nanti semua biaya mas Harto ganti setelah tugas kerjanya selesai dia menyusul," jelas Ahmad, dengan setengah berbisik. "Kalau Harto maunya begitu, kita bawa sekarang saja Kak! Kalau lama-lama di sini, takutnya melahirkan di sini," usu

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-02
  • Rahasia Ibu Mertuaku   Ibu aneh

     (Pov Harto)  Sudah beberapa bulan ini aku menikah dengan seorang gadis yang berasal dari ibu kota tempatku tinggal. Sedangkan aku  hanya seorang pria desa yang beruntung bisa mendapatkannya.  Pekerjaanku di desa, mengharuskan aku untuk tetap tinggal di sini. Sebenarnya aku memang berniat mengajak istri tinggal di rumah orang tuaku, karena selain tidak berjauhan, jarak antara rumah ibu dan tempatku bekerja juga dekat. Namun niat itu segera aku urungkan saat aku mendengar desas-desus kabar tidak mengenakan tentang ibu. Wanita yang sudah berjuang bertaruh nyawa untukku-- anaknya.  Dari kabar yang beredar, orang-orang menyebutku salah satu penganut ilmu hitam. Sebuah ilmu yang bisa membuat ibuku cantik seperti ini. Walaupun usianya sudah memasuki kepala enam, tapi ibu masih terlihat seperti wanita berusia tiga puluh tahunan. Aku tidak pernah membuktikannya secara langsung. Tapi saat mengingat hal itu, membuatku sedikit membenarkan kabar

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-02
  • Rahasia Ibu Mertuaku   Cahaya merah

    (Masih Pov Harto) Cukup lama kami berdua di dekat sumur karena ingin menunaikan hajat dan mengambil wudhu. Pandangan Nana tiba-tiba saja teralihkan ke arah pohon bambu. Awalnya aku bertanya apa yang Nana lihat di pohon itu. Tapi Nana mengatakan tidak ada. Padahal jelas-jelas wajahnya tegang menahan takut.  Sebenarnya aku juga melihat apa yang Nana lihat malam itu. Kilat merah yang terbang menjauh sampai hilang diantara rimbunnya bambu. Aku yakin sekali jika kilat merah itu makhluk jadi-jadian yang biasa disebut kuyang. Ya, kuyang memang sudah bukan hal tabu lagi di tanah Borneo ini. Hampir seluruh masyarakat mengetahui siapa dan apa yang diperbuat makhluk jadi-jadian itu.  Bau menyeruak setelah kepergian makhluk itu. Awalnya aku bersikap biasa saja, walaupun dalam hati tentu saja merasa sakit. Tapi ada sesuatu yang membuatku merasa aneh. Setelah kilat itu hilang diantara rimbun bambu, aku melihatnya lagi saat akan bersiap masuk. Kilat itu

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-03

Bab terbaru

  • Rahasia Ibu Mertuaku   Bab 63

     "Aduh, rasanya semakin sakit," rintih Nana, wajahnya terlihat semakin pucat. Tak mau terjadi apa-apa dengan Nana. Harto gegas menggendongnya, tanpa menanyakan lagi maksud perkataan Agung yang terkesan ambigu. Langkah kaki Harto terayun cepat, diikuti Ayu dan Agung di belakangnya. Namun, baru saja mereka berniat keluar dari rumah. Langkah mereka terhenti kala mendengar suara kepakan seperti sayap terdengar jelas dari arah belakang.  Agung yang berada paling belakang, spontan berbalik. Matanya terbelalak menyaksikan sesuatu mengerikan di depannya. "Re-Reina?" ucap Agung terbata-bata, melihat sosok Reina yang sudah berubah menjadi sosok  kuyang. "Kenapa dengan Reina Kak?" tanya Harto, ikut berbalik. Melihat sang anak berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan. Membuat Harto dan Nana hampir saja mengalami serangan jantung. Organ-organ dalam yang menjuntai disertai tetesan da

  • Rahasia Ibu Mertuaku   Bab 62

     Malam ini entah kenapa, rasanya sangat mencekam dari biasanya. Tidak hanya dikediaman Nana, di tempat tinggal Ahmad yang berbeda kota juga sama. Beberapa kali Ahmad dan Wati mencoba menghubungi Nana dan yang lainnya. Namun, tak ada satupun yang menjawab panggilan Ahmad dan Wati. "Bagaimana ini Yank? Mas Harto, kak Nana, kak Ayu, tidak ada yang menjawab telepon kita," keluh Ahmad, ekspresi wajahnya mulai terlihat gusar.  "Sabar! Kita pikirkan lagi, bagaimana caranya menghubungi orang rumah?" sahut Wati, berpikir keras. "Kalau sampai Reina benar-benar mengambil botol kuyang itu, itu artinya mbak Nana dalam bahaya. Aroma dari wanita hamil begitu menggoda para kuyang. Dari jarak jauh saja mereka bisa menciumnya, apalagi yang satu rumah," Sambung Wati. "Ya Allah, kenapa bisa begini? Tapi, kak Nana itu ibu Reina sendiri. Apa iya Reina tega melakukan itu pada kak Nana?" tanya Ahmad, meragukan kata-kata Wati. "Yank,

  • Rahasia Ibu Mertuaku   Bab 61

    Delapan bulan sudah berlalu, sikap putri kecil Nana dan Harto semakin hari terlihat semakin aneh. Seperti malam ini. Reina beberapa kali mondar mandir di depan kamar ibunya. Entah apa yang gadis kecil itu lakukan. "Sedang apa Nak?" tanya Harto, yang baru saja keluar dari kamar. Reina diam saja. Ia hanya menatap Harto dengan tatapan aneh. Sambil sesekali menengok ke dalam kamar, mencuri pandang.  Setelah kejadian malam Harto melihat cahaya melesat di depan jendela kamar dan malam penyatuannya dengan Nana. Tak lama setelah itu Nana dinyatakan hamil, dan sekarang usia kehamilannya sudah memasuki bulan ke sembilan. "Reina, kok diam? Kenapa?" tanya Harto lagi, membelai lembut rambut panjang putrinya. "Tidak ada apa-apa Yah. Cuma mau lihat bunda sama dedek bayi," jawab Reina, membuat kening Harto mengerut. "Dedek bayi, apa Nak? Bunda kami lagi baring, belum melahirkan juga. Kamu sudah tidak sabar mel

  • Rahasia Ibu Mertuaku   Bab 60

      "Na, temani aku ke kamar kecil yuk!" bisik Ayu. Kening Nana mengerut. "Ngapain Kak? Kebelet?"  "Tidak. Kan kamu pernah cerita waktu itu. Kalau orang yang menganut ilmu kuyang, kamar kecilnya selalu kotor dan bau tidak sedap. Aku cuma mau membuktikannya saja. Apa si Wati ini masih menganut ilmu warisan itu?"Mengetahui niatan Ayu. Nana jadi teringat akan dirinya tujuh tahun yang lalu. Rasa penasarannya yang begitu tinggi, yang pada akhirnya membuat ia dan yang lain terjebak dalam situasi mengerikan.  "Jangan ah Kak! Kapok aku seperti itu!" tolak Nana cepat, ia tidak mau mengulanginya lagi. "Sebentar aja Na! kapok apa sih? Kita kan tidak melakukan apa-apa. Cuma mau memastikan aja," ujar Ayu, sedikit mendesak Nana. Wati yang baru saja kembali setelah menyiapkan air minum untuk tamunya, sedikit menatap tajam Ayu dan Nana. "Kenapa bisik-bisik Kak?" tanya Wati pelan saat menyodorkan a

  • Rahasia Ibu Mertuaku   Bab 59

     Harto terkejut bukan main, kala dirinya mengetahui, jika adik sepupu yang selama ini ia cari sudah ditemukan. Ada sedikit rasa sesal dalam hati, saat yang menemukan pertama kali adalah Ahmad. Ia berharap yang menemukan itu dirinya. Berkat Wati, kini kehidupannya berjalan normal, begitu juga keluarga kecilnya. "Mas, kenapa diam? Bagaimana pendapat kamu?" tanya Nana, berharap Harto bisa memberinya jalan keluar untuk permasalahan Ahmad.  Bukannya menjawab pertanyaan Nana. Harto hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ia mendongak, menatap wajah istrinya yang sedari tadi diliputi rasa gelisah. "Apa yang bisa aku katakan, kalau itu masalah hati seseorang yang sedang jatuh cinta, Yank? Terlebih penantian Ahmad begitu panjang, dan merubah dirinya seperti sekarang. Aku hanya kakak ipar, dan aku rasa tidak punya wewenang yang lebih jauh lagi untuk menentukan nasib cinta Ahmad," sahut Harto pada akhirnya. Desahan nafas Nana terdengar b

  • Rahasia Ibu Mertuaku   Bab 58

    Tujuh tahun lamanya, Ahmad akhirnya bertemu lagi dengan sosok Wati-- gadis yang sejak lama mengisi hatinya. Walau sudah lama tak bertemu, perasaan Ahmad masih sama seperti dulu.  "Wa-Wati?"  Langkah Ahmad terhenti, kala ia bertemu dengan Wati di sebuah toserba.  Kening Wati mengernyit. "Siapa, ya?" tanya Wati, ia tidak mengenali Ahmad karena penampilan Ahmad yang sekarang sudah jauh berbeda dari dulu. Raut wajah Ahmad berubah masam.  Ia kira Wati masih mengingatnya. Namun, ternyata tidak. Tapi sebisa mungkin Ahmad menetralkan kembali ekspresinya di depan Wati. "Aku Ahmad, adik ipar mas Harto. Masih ingat?" tanya Ahmad, mengulurkan tangannya. Tangan Wati yang awalnya terulur, kini terlihat gemetar saat mendengar nama Harto.  Ia tidak menyangka, setelah sekian tahun lamanya, ia kembali berhubungan dengan keluarga yang selama ini ia hindari. Melihat Wati yang merasa ragu membalas jabatan tangannya

  • Rahasia Ibu Mertuaku   Bab 57

      "Di mana Wati, Mas?" tanya Nana. "Wati... Dia pergi Yank," jawab Arman, menunduk sedih. "Pergi? Kenapa?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Nana. "Ceritanya panjang Kak. Intinya dia marah, saat kami bertiga menuduhnya kuyang yang sedang dikejar warga," sahut Ahmad. "Ya Allah, kasihan Wati. Tapi, apa kalian yakin jika kuyang itu bukan dia?" tanya Ayu. Ketiganya mengangguk serempak. "Bukannya kalian berdua juga melihatnya? Kalian pasti tau, jika kuyang itu bukanlah Wati," ujar Agung. "Kami memang melihatnya. Tapi, saat itu wajahnya menyeramkan. Kami mana tau, kalau itu Wati atau bukan," sahut Nana. "Benar juga. Saat itu rupa Wati bukan rupa manusia. Wajar saja kalau mereka tidak mengenalinya. Tapi, kuyang itu memang bukan Wati," sahut Harto. --- Beberapa minggu  setelah kejadian itu, keadaan kampung mulai kembali aman. Tak ada lagi berita

  • Rahasia Ibu Mertuaku   Bab 56

     Di perjalanan pulang, tidak sengaja ketiganya bertemu dengan rombongan warga yang tadi mengejar sosok kuyang yang mengganggu proses melahirkan salah satu anak warga. "Gimana, Pak? Apa kuyangnya sudah ketemu?" tanya Agung, basa-basi. "Belum Mas, kuyangnya cepat sekali terbang. Tidak tau pergi ke mana atau mungkin mencari mangsa baru lagi," jawab salah seorang warga. "Mas Agung dan yang lainnya ini dari mana? Bukannya tadi kami mengejarnya ke arah lahan kosong itu? Kenapa kalian dari sana? Memangnya ada kuyang di sana?" tanya bapak yang putrinya diganggu kuyang tadi. Wajah ketiganya mulai menegang, tapi sebisa mungkin ketiganya bersikap biasa saja. Mereka tidak mau, jika perubahan ekspresi mereka menimbulkan kecurigaan para warga lainnya. "Eh, itu Pak. Tadi kami juga ikut ke lahan itu. Tapi, Ahmad bilang lapar mau beli makanan di kedai yang ada di ujung jalan sana. Jadi kami bertiga ke sana, tapi saat sampai,

  • Rahasia Ibu Mertuaku   Bab 55

    Setelah memastikan posisi tubuh tanpa kepala itu berdiri dengan benar. Ahmad gegas menyusul Harto dan Agung yang sudah lebih dulu bersembunyi. Sosok kepala terbang itu melesat cepat memasuki bagian belakang kedai. Cahaya merah terlihat jelas. Harto dan yang lainnya, hanya bisa menutup mulut dan hidung mereka saat melihat kepala Wati mengitari tubuhnya. Bau anyir menyeruak memenuhi isi ruangan. Organ-organ yang menggantung dengan darah yang terus menerus menetes, membuat isi perut ketiganya terasa seperti diaduk-aduk. Sekuat tenaga Harto dan dua iparnya menahan mual. Waktu seakan berjalan lambat sekali. Bunyi kepakan telinga yang terdengar seperti sayap, akhirnya tidak terdengar lagi. Kepala Wati akhirnya menyatu dengan tubuhnya. Sesekali Wati menggerakkan kepalanya, membenarkan posisi yang pas. "Aneh, bukannya tadi sebelum pergi tubuhku ada di belakang pintu? Kenapa sekarang ada di sini?" gumam Wati, merasa bingung.

DMCA.com Protection Status