(Masih Pov Harto)
Cukup lama kami berdua di dekat sumur karena ingin menunaikan hajat dan mengambil wudhu. Pandangan Nana tiba-tiba saja teralihkan ke arah pohon bambu. Awalnya aku bertanya apa yang Nana lihat di pohon itu. Tapi Nana mengatakan tidak ada. Padahal jelas-jelas wajahnya tegang menahan takut. Sebenarnya aku juga melihat apa yang Nana lihat malam itu. Kilat merah yang terbang menjauh sampai hilang diantara rimbunnya bambu. Aku yakin sekali jika kilat merah itu makhluk jadi-jadian yang biasa disebut kuyang. Ya, kuyang memang sudah bukan hal tabu lagi di tanah Borneo ini. Hampir seluruh masyarakat mengetahui siapa dan apa yang diperbuat makhluk jadi-jadian itu. Bau menyeruak setelah kepergian makhluk itu. Awalnya aku bersikap biasa saja, walaupun dalam hati tentu saja merasa sakit. Tapi ada sesuatu yang membuatku merasa aneh. Setelah kilat itu hilang diantara rimbun bambu, aku melihatnya lagi saat akan bersiap masuk. Kilat ituKetakutanku akhirnya tak terjadi. Nana bersedia tinggal di sini. Tak mau ia berubah pikiran lagi. Aku gegas mengemas barang-barangku. Walaupun hati ini ragu, tapi yang namanya anak pasti akan khawatir mendengar orang tua sedang sakit. Terlepas itu berita benar atau tidak. "Aku berangkat Yank!" Pamitku, mengecup kening Nana dan putri kecil kami-- Reina bergantian. "Mas, nanti kalau sudah di rumah ibu kabari!" pinta Nana. Aku membalasnya dengan anggukan. Dengan berat hati, aku melangkahkan kaki keluar dari kamar. Sebelum benar-benar pulang, aku juga menemui kakak dan adik iparku. "Aku titip Nana dan Reina, Kak!" Hanya kata itu yang bisa aku ucapkan sekarang. Perjalanan menuju pulang ke desa kali lumayan banyak hambatan. Aku yang berniat ingin cepat sampai, memutuskan mengendarai motor pulang ke desa. Berawal dari hujan deras yang tiba-tiba turun, sampai ban motor yang beberapa kali bocor. Jarak yang harus
Hampir saja aku terjatuh ke belakang saat melihat kondisi ibu yang begitu mengerikan. Beruntung ada mas Bani yang menahan tubuhku. "Sabar Har, kita berdiri di sini saja!" bisik mas Bani, menahan lenganku. Ibu menoleh ke arahku. Wajahnya terlihat segar, tidak ada menunjukkan tanda-tanda sakit sama sekali. Tapi itu hanya bagian kepala. Berbeda jauh dengan bagian badan ibu. Padahal aku rutin satu minggu sekali pulang ke rumah ini. Terakhir kali aku bertemu ibu satu minggu yang lalu. Tubuh ibu masih normal seperti biasa. Sedang sekarang hanya tersisa balutan kulit yang membungkus tulang. "Harto... Sini Nak! Mana Nana dan cucu Ibu?" tanya ibu, suaranya terdengar begitu mengerikan dengan tatapan mata yang tajam. "Jangan hiraukan pertanyaan ibu! Itu bukan ibu!" bisik mas Bani lagi. Sontak saja aku menoleh ke arah mas Bani. "Apa maksudnya bukan ibu Mas? Jelas-jelas yang terbaring itu ibu!" tegasku, tidak terima.
(Pov Author) Langit yang tadinya biru, kini berubah menjadi jingga. Sang surya sudah kembali ke peraduannya. Suasana surup yang biasanya terasa biasa saja. Kini terasa berbeda. Malam belum hadir, tapi hawa mencekam sudah terasa. Ditambah lagi suara burung kedasih yang terus berbunyi dari balik rimbunnya pohon-pohon. "Mas!" Harto yang saat itu ingin melangkah masuk, segera berbalik kala mendengar suara Nana. Nana baru saja turun dari mobil pemadam bersama Ahmad dan mas Agung. "Mas, bagaimana ibu?" tanya Nana, matanya terlihat sembab seperti habis menangis. Harto tak kuasa menjawab pertanyaan Nana. Mulutnya bungkam, tak tahan jika harus membahas soal ibunya lagi. "Yang sabar Har! Kuatkan hati kamu! Semua yang bernyawa, pada akhirnya harus berpulang. Tidak terkecuali kita yang masih bernafas di atas bumi ini. Kita hanya menunggu giliran saja," ucap mas Agung, menepuk pundak Harto pelan.
Nana memandang para saudara Harto bergantian. Lalu menoleh ke arah Harto. "Maksud kamu, ibu menikah dua kali?" Reaksi Nana yang tidak berlebihan, membuat Harto menghela nafas lega. Jika ditanya terkejut, wajar saja Nana terkejut. Bukan hanya Nana, bahkan Agung dan Ahmad juga terkejut mendengar penjelasan Harto. Harto menggeleng. "Bukan dua, tapi tujuh kali," jawab Harto. "Hah, tujuh kali Mas? Kenapa seperti lagu saja, janda tujuh kali?" celetuk Ahmad, langsung mendapat senggolan dari Agung. "Eh, maaf Mas. Bukan maksudnya mengejek, aku hanya terkejut," ucap Ahmad, menunduk malu. "Hahaha... Tidak apa-apa! Sebenarnya kamu tidak salah. Kami semua sudah sering mendengar kata-kata seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Memang seperti itulah kenyataannya," ujar Bani, tidak merasa tersinggung sama sekali. "Ban, itu ibu mau dikafankan!" Tunjuk saudaranya yang lain. Melihat jenazah ibuny
Pencarian demi pencarian dilakukan. Suasana begitu gelap, bahkan sang rembulan malam seperti enggan menampakkan sinarnya. "Kak, ini kan malam jum'at?" bisik Ahmad, menyenggol lengan Agung. Agung menepuk pelan kening Ahmad. "Memangnya kenapa kalau malam jum'at Mad? Jangan buat suasana tambah mencekam!" "Bukannya begitu Kak. Tapi kata orang-orang, malam jum'at itu adalah malam para setan Kak. Nah, sekarang kan ibu mas Harto juga berubah jadi setan. Mana hilang segala lagi. Kalau misalkan malam ini tidak ditemukan, bagaimana Kak?" tanya Ahmad penasaran. "Jangan tanya aku Mad! Memangnya kamu pikir, aku ini mengerti dengan hal yang seperti ini? Lebih baik kita cari saja!" Balas Agung berbisik. "Kakak berani?" goda Ahmad. "Sekali lagi kamu bicara, aku pukul kepala kamu Mad!" ancam Agung, mendengus kesal. Di depan mereka Nana, Harto dan Bani terlihat sibuk dengan pemikiran masing-masing. Mereka kira, dengan meninggalny
(Pov Bani) Bayangan putih melesat begitu cepat, namun masih sempat tertangkap indera penglihatan kami semua. Setelah istri Harto berteriak, suasana hutan semakin terasa mencekam. Dalam pekatnya malam, angin berhembus kencang dari segala arah. Diiringi suara kicauan burung kedasih yang saling bersahutan, menambah ketakutan menjalar dalam hati kami. "Gawat, dia mendengarnya," Suara tetua desa terdengar jelas nyaring. Wajahnya menegang, entah siapa yang disebut mendengar. "Ada apa Tetua?" tanya kepala desa, nampaknya juga bingung. "Harto, lebih baik kamu ajak istri kamu pulang ke rumah. Kunci semua pintu rumah dan jendela. Berdoalah sesuai ajaran kamu!"titah tetua desa, bukannya menjawab pertanyaan kepala desa, malah memerintahkan Harto pulang. "Tapi kenapa Pak? Apa ada masalah?" Kali ini aku yang maju menanyakannya. Rasanya tidak tenang kalau tidak mengetahui apa alas
(Masih Pov Bani) Suasana menjadi hening. Tak ada yang bicara lagi setelahnya. Tetua desa menghela nafas berat. Aku akui, jika kejadian ini memang membuat kami semua merasa was-was. "Maaf sebelumnya Pak, apa saya boleh bertanya?" Kali ini kakak ipar Harto angkat bicara. Mungkin ia merasa penasaran dengan penjelasan di hutan tadi malam. "Silahkan!" sahut tetua, ekspresinya benar-benar tidak bisa ditebak sama sekali. "Apa maksud Bapak saat di hutan tadi malam? jujur saja, saya masih merasa penasaran dah perlu penjelasan. Kenapa harus keponakan saya? Siapa yang mendengarnya? Lalu, kenapa kami semua diminta pulang?" Pertanyaan beruntun dilayangkan kakak ipar Harto. Sedang kami yang tadi malam ikut pulang bersamanya mengangguk mengiyakan. "Begini Nak, saya juga bingung harus memulainya dari mana. Ilmu sesat yang dianut oleh mendiang ibunya Harto adalah ilmu kuyang yang memang ia wa
(Pov Author) Nana terus merengek ingin pulang. Pikirannya terus tertuju pada putri kecilnya--Reina. Tetes air mata sudah tidak terhitung lagi berapa banyaknya menetes. "Kamu tidak bisa pulang sekarang Nak! Semua tidak semudah yang kamu pikirkan. Makhluk itu mengincar kamu. Jika kamu pulang sekarang, putri kalian bisa terancam bahaya. Bisa saja bayi mungil itu menjadi santapannya. Ilmu itu tidak harus diturunkan pada keturunan perempuan saja. Ingat, yang mengisi jasad ibu kalian itu adalah iblis. Mereka tidak ada rasa belas kasihan lagi. Yang mana menjadi santapan mereka, akan tetap disantap. Tidak peduli, itu keturunan atau keluarga. Lebih baik tinggal di sini saja untuk sementara waktu! Kita selesaikan semuanya, baru setelah itu kalian kembali," ucap tetua desa Semuanya terdiam. Pikiran mereka berkecamuk kacau. Banyak pekerjaan lainnya harus diabaikan karena masalah ini. Niat hati ingin beberapa hari saja di desa, terpaksa harus mema
"Aduh, rasanya semakin sakit," rintih Nana, wajahnya terlihat semakin pucat. Tak mau terjadi apa-apa dengan Nana. Harto gegas menggendongnya, tanpa menanyakan lagi maksud perkataan Agung yang terkesan ambigu. Langkah kaki Harto terayun cepat, diikuti Ayu dan Agung di belakangnya. Namun, baru saja mereka berniat keluar dari rumah. Langkah mereka terhenti kala mendengar suara kepakan seperti sayap terdengar jelas dari arah belakang. Agung yang berada paling belakang, spontan berbalik. Matanya terbelalak menyaksikan sesuatu mengerikan di depannya. "Re-Reina?" ucap Agung terbata-bata, melihat sosok Reina yang sudah berubah menjadi sosok kuyang. "Kenapa dengan Reina Kak?" tanya Harto, ikut berbalik. Melihat sang anak berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan. Membuat Harto dan Nana hampir saja mengalami serangan jantung. Organ-organ dalam yang menjuntai disertai tetesan da
Malam ini entah kenapa, rasanya sangat mencekam dari biasanya. Tidak hanya dikediaman Nana, di tempat tinggal Ahmad yang berbeda kota juga sama. Beberapa kali Ahmad dan Wati mencoba menghubungi Nana dan yang lainnya. Namun, tak ada satupun yang menjawab panggilan Ahmad dan Wati. "Bagaimana ini Yank? Mas Harto, kak Nana, kak Ayu, tidak ada yang menjawab telepon kita," keluh Ahmad, ekspresi wajahnya mulai terlihat gusar. "Sabar! Kita pikirkan lagi, bagaimana caranya menghubungi orang rumah?" sahut Wati, berpikir keras. "Kalau sampai Reina benar-benar mengambil botol kuyang itu, itu artinya mbak Nana dalam bahaya. Aroma dari wanita hamil begitu menggoda para kuyang. Dari jarak jauh saja mereka bisa menciumnya, apalagi yang satu rumah," Sambung Wati. "Ya Allah, kenapa bisa begini? Tapi, kak Nana itu ibu Reina sendiri. Apa iya Reina tega melakukan itu pada kak Nana?" tanya Ahmad, meragukan kata-kata Wati. "Yank,
Delapan bulan sudah berlalu, sikap putri kecil Nana dan Harto semakin hari terlihat semakin aneh. Seperti malam ini. Reina beberapa kali mondar mandir di depan kamar ibunya. Entah apa yang gadis kecil itu lakukan. "Sedang apa Nak?" tanya Harto, yang baru saja keluar dari kamar. Reina diam saja. Ia hanya menatap Harto dengan tatapan aneh. Sambil sesekali menengok ke dalam kamar, mencuri pandang. Setelah kejadian malam Harto melihat cahaya melesat di depan jendela kamar dan malam penyatuannya dengan Nana. Tak lama setelah itu Nana dinyatakan hamil, dan sekarang usia kehamilannya sudah memasuki bulan ke sembilan. "Reina, kok diam? Kenapa?" tanya Harto lagi, membelai lembut rambut panjang putrinya. "Tidak ada apa-apa Yah. Cuma mau lihat bunda sama dedek bayi," jawab Reina, membuat kening Harto mengerut. "Dedek bayi, apa Nak? Bunda kami lagi baring, belum melahirkan juga. Kamu sudah tidak sabar mel
"Na, temani aku ke kamar kecil yuk!" bisik Ayu. Kening Nana mengerut. "Ngapain Kak? Kebelet?" "Tidak. Kan kamu pernah cerita waktu itu. Kalau orang yang menganut ilmu kuyang, kamar kecilnya selalu kotor dan bau tidak sedap. Aku cuma mau membuktikannya saja. Apa si Wati ini masih menganut ilmu warisan itu?"Mengetahui niatan Ayu. Nana jadi teringat akan dirinya tujuh tahun yang lalu. Rasa penasarannya yang begitu tinggi, yang pada akhirnya membuat ia dan yang lain terjebak dalam situasi mengerikan. "Jangan ah Kak! Kapok aku seperti itu!" tolak Nana cepat, ia tidak mau mengulanginya lagi. "Sebentar aja Na! kapok apa sih? Kita kan tidak melakukan apa-apa. Cuma mau memastikan aja," ujar Ayu, sedikit mendesak Nana. Wati yang baru saja kembali setelah menyiapkan air minum untuk tamunya, sedikit menatap tajam Ayu dan Nana. "Kenapa bisik-bisik Kak?" tanya Wati pelan saat menyodorkan a
Harto terkejut bukan main, kala dirinya mengetahui, jika adik sepupu yang selama ini ia cari sudah ditemukan. Ada sedikit rasa sesal dalam hati, saat yang menemukan pertama kali adalah Ahmad. Ia berharap yang menemukan itu dirinya. Berkat Wati, kini kehidupannya berjalan normal, begitu juga keluarga kecilnya. "Mas, kenapa diam? Bagaimana pendapat kamu?" tanya Nana, berharap Harto bisa memberinya jalan keluar untuk permasalahan Ahmad. Bukannya menjawab pertanyaan Nana. Harto hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ia mendongak, menatap wajah istrinya yang sedari tadi diliputi rasa gelisah. "Apa yang bisa aku katakan, kalau itu masalah hati seseorang yang sedang jatuh cinta, Yank? Terlebih penantian Ahmad begitu panjang, dan merubah dirinya seperti sekarang. Aku hanya kakak ipar, dan aku rasa tidak punya wewenang yang lebih jauh lagi untuk menentukan nasib cinta Ahmad," sahut Harto pada akhirnya. Desahan nafas Nana terdengar b
Tujuh tahun lamanya, Ahmad akhirnya bertemu lagi dengan sosok Wati-- gadis yang sejak lama mengisi hatinya. Walau sudah lama tak bertemu, perasaan Ahmad masih sama seperti dulu. "Wa-Wati?" Langkah Ahmad terhenti, kala ia bertemu dengan Wati di sebuah toserba. Kening Wati mengernyit. "Siapa, ya?" tanya Wati, ia tidak mengenali Ahmad karena penampilan Ahmad yang sekarang sudah jauh berbeda dari dulu. Raut wajah Ahmad berubah masam. Ia kira Wati masih mengingatnya. Namun, ternyata tidak. Tapi sebisa mungkin Ahmad menetralkan kembali ekspresinya di depan Wati. "Aku Ahmad, adik ipar mas Harto. Masih ingat?" tanya Ahmad, mengulurkan tangannya. Tangan Wati yang awalnya terulur, kini terlihat gemetar saat mendengar nama Harto. Ia tidak menyangka, setelah sekian tahun lamanya, ia kembali berhubungan dengan keluarga yang selama ini ia hindari. Melihat Wati yang merasa ragu membalas jabatan tangannya
"Di mana Wati, Mas?" tanya Nana. "Wati... Dia pergi Yank," jawab Arman, menunduk sedih. "Pergi? Kenapa?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Nana. "Ceritanya panjang Kak. Intinya dia marah, saat kami bertiga menuduhnya kuyang yang sedang dikejar warga," sahut Ahmad. "Ya Allah, kasihan Wati. Tapi, apa kalian yakin jika kuyang itu bukan dia?" tanya Ayu. Ketiganya mengangguk serempak. "Bukannya kalian berdua juga melihatnya? Kalian pasti tau, jika kuyang itu bukanlah Wati," ujar Agung. "Kami memang melihatnya. Tapi, saat itu wajahnya menyeramkan. Kami mana tau, kalau itu Wati atau bukan," sahut Nana. "Benar juga. Saat itu rupa Wati bukan rupa manusia. Wajar saja kalau mereka tidak mengenalinya. Tapi, kuyang itu memang bukan Wati," sahut Harto. --- Beberapa minggu setelah kejadian itu, keadaan kampung mulai kembali aman. Tak ada lagi berita
Di perjalanan pulang, tidak sengaja ketiganya bertemu dengan rombongan warga yang tadi mengejar sosok kuyang yang mengganggu proses melahirkan salah satu anak warga. "Gimana, Pak? Apa kuyangnya sudah ketemu?" tanya Agung, basa-basi. "Belum Mas, kuyangnya cepat sekali terbang. Tidak tau pergi ke mana atau mungkin mencari mangsa baru lagi," jawab salah seorang warga. "Mas Agung dan yang lainnya ini dari mana? Bukannya tadi kami mengejarnya ke arah lahan kosong itu? Kenapa kalian dari sana? Memangnya ada kuyang di sana?" tanya bapak yang putrinya diganggu kuyang tadi. Wajah ketiganya mulai menegang, tapi sebisa mungkin ketiganya bersikap biasa saja. Mereka tidak mau, jika perubahan ekspresi mereka menimbulkan kecurigaan para warga lainnya. "Eh, itu Pak. Tadi kami juga ikut ke lahan itu. Tapi, Ahmad bilang lapar mau beli makanan di kedai yang ada di ujung jalan sana. Jadi kami bertiga ke sana, tapi saat sampai,
Setelah memastikan posisi tubuh tanpa kepala itu berdiri dengan benar. Ahmad gegas menyusul Harto dan Agung yang sudah lebih dulu bersembunyi. Sosok kepala terbang itu melesat cepat memasuki bagian belakang kedai. Cahaya merah terlihat jelas. Harto dan yang lainnya, hanya bisa menutup mulut dan hidung mereka saat melihat kepala Wati mengitari tubuhnya. Bau anyir menyeruak memenuhi isi ruangan. Organ-organ yang menggantung dengan darah yang terus menerus menetes, membuat isi perut ketiganya terasa seperti diaduk-aduk. Sekuat tenaga Harto dan dua iparnya menahan mual. Waktu seakan berjalan lambat sekali. Bunyi kepakan telinga yang terdengar seperti sayap, akhirnya tidak terdengar lagi. Kepala Wati akhirnya menyatu dengan tubuhnya. Sesekali Wati menggerakkan kepalanya, membenarkan posisi yang pas. "Aneh, bukannya tadi sebelum pergi tubuhku ada di belakang pintu? Kenapa sekarang ada di sini?" gumam Wati, merasa bingung.