Bagaimana ☺️ sampai jumpa besok lagi 🩷 mampir juga ke MALAM MEMBARA BERSAMA PAMANMU ☺️ terima kasih....
Bukan hanya sekali Arya melihat mantan istrinya itu. Jauh hari sebelum malam ini, ia sudah pernah melihat wanita itu ada di sebuah supermarket besar di mana ia dan beberapa temannya berada di dekat sana saat itu. Alya keluar dari sebuah mobil sedan bersama dengan seorang pemuda yang terlihat sangat patuh padanya. Tadinya, ia mengira Alya masih bekerja di rumah Alaric. Tapi dugaan itu sepertinya salah. Sebab saat secara kebetulan takdir membuatnya bertemu dengan wanita itu sekali lagi, sepasang matanya justru menangkap sedan mewah tersebut memasuki kawasan perumahan elit. "Dia makmur sedangkan aku hancur lebur," desis Arya penuh dengan kebencian. Semua ini terjadi dimulai dari kegagalan Arya membayar utang pada Madam Savannah. Seandainya Lilia tidak dibawa pergi dari tempat tersebut oleh pria yang tak ia ketahui siapa itu ... Arya tak akan menjadi kacungnya Madam Savannah. Utang-utangnya akan lunas. "Di mana Lilia sekarang? Apa dia hidup dengan baik juga? Kalau bertemu lagi deng
Menghabiskan beberapa hari di rumah Tuan Alaric, akhirnya keluarga William kembali ke rumah sendiri. Jika bukan karena ada keperluan, mereka ingin tinggal lebih lama. Masalahnya adalah ... Keano sudah harus masuk sekolah besok sehingga mereka mempersiapkan diri untuk mengantar bocah kecil itu nanti. Malam ini, Lilia melihat Agni yang membawa masuk seragam Keano yang sudah rapi. Yang sepertinya ... si pemilik seragam itu juga tidak sabar untuk segera memakainya besok. “Mama, apakah besok Mama dan Papa akan mengantar Keano?” tanya Keano setelah mengalihkan pandangannya dari Agni pada Lilia yang duduk di atas ranjang di dalam kamarnya. Lilia mengangguk sebagai jawaban. Membiarkan anak lelakinya itu ikut naik ke sana dan meletakkan kepalanya di pangkuan Lilia dengan manja. “Iya, Sayang,” katanya. “Mama dan Papa akan mengantar Keano nanti di hari pertama Keano masuk TK.” “Terima kasih, Mama.” Lilia mengusap rambut hitamnya yang lebat. Membalas senyum Keano yang tampak manis. “Papa j
Menuntaskan keresahan semalam di dalam pelukan William, Lilia merasa lebih baik pagi ini. Ia berjalan perlahan menuruni tangga setelah bersiap dan akan bersama-sama William mengantar anak lelaki mereka ke taman kanak-kanak pada hari pertamanya. “Mama,” panggil Keano yang ada di ujung anak tangga, sudah siap dalam balutan seragamnya sejak tadi. Di belakangnya, William berjalan dan mengamati Lilia yang tengah berjalan perlahan dengan berpegangan pada anak tangga. “Sudah siap?” tanya Lilia seraya merekahkan senyumnya. “Sudah, Mama. Uncle Giff sudah ada di depan, menyiapkan mobilnya.” Lilia mengangguk dengan senang, membiarkan Keano memeluknya sebelum ia berlari dengan diikuti oleh Agni yang membawakan tas miliknya. “Sepertinya kita harus pindah kamar ke bawah selama kamu hamil,” kata William, melingkarkan lengan kekarnya pada pinggang Lilia. “Pindah kamar ke lantai bawah?” ulang Lilia memperjelas. “Iya. Perut kamu akan semakin besar nanti ke depannya, ‘kan? Apalagi ini hamil kem
Sepertinya, kediaman yang disuguhkan Lilia sejak ia pergi dari parkiran mobil di taman kanak-kanak di mana Keano bersekolah, William telah menyadarinya. Sehingga saat mereka tiba di rumah, William yang harusnya pergi bersama dengan Giff untuk menuju ke Velox Corp tak begitu saja melakukannya. Prianya itu masuk mengikuti Lilia, mengatakan pada Giff bahwa mungkin mereka akan sedikit terlambat untuk pergi ke kantor karena ada hal yang harus ia selesaikan sebentar di dalam. Hal yang harus ia selesaikan itu adalah bicara dengan Lilia. Suara baritonnya singgah di indera pendengar Lilia saat gadisnya itu hendak menaiki tangga ke lantai dua. "Sayang," panggil William yang membuat Lilia urung mengayunkan kakinya ke atas. Lilia menoleh, menjumpai wajah khawatir William yang menatapnya. "Kamu tidak pergi ke kantor?" tanyanya. "Ada apa?" tanya William balik, tak ingin berbasa-basi. "Apa ada sesuatu yang buruk yang tidak aku ketahui? Apa kamu masih kepikiran dengan Keano?" Tanya bertubi-tu
Lilia tidak pingsan, tapi sebagian besar kesadarannya menghilang sehingga kegelapan hampir merenggut semua daya tahannya. William dengan gegas mengangkat Lilia, kedua lengan kekarnya membawa gadisnya itu untuk masuk ke dalam kamar. Melihat wajah Lilia yang memucat membuatnya menyerukan nama Giff. "GIFF!" Panggilannya dapat didengar oleh Giff yang memang berdiri tak jauh dari tangga sehingga pemuda itu berlari mendekat, menyusul William yang berjalan menaiki anak tangga dengan cepat. "Iya, Tuan—Nona Lilia kenapa?" "Tolong hubungi dokter Sarah, bilang padanya untuk memeriksa Lilia sekarang." "Baik." William membaringkan Lilia di atas ranjang milik mereka setibanya di sana. Ia menyentuh kening Lilia yang terasa dingin, menunduk dan memastikan istrinya itu masih terjaga. "Sayang, kamu baik-baik saja?" Lilia hanya memberikan anggukan samarnya. Ia meremas tangan pria itu, seolah mengisyaratkan agar William tidak pergi. "Jangan takut ... aku di sini," bisiknya. "Aku memanggil dok
Sebagaimana yang diminta oleh William, Giff pergi untuk mencari Arya. Di persimpangan yang disebutkan bahwa pria itu ada di sana sebelumnya, Giff mencari tahu tentang keberadaannya. Tapi, Arya tak terlihat saat Giff melakukan penelusuran lebih dari tiga hari lamanya. Pria itu tak terlihat meloper koran seperti sebelumnya, atau mungkin duduk dan mencari kesempatan untuk mendekati mobil-mobil yang berhenti di kala lampu merah. Tak ada sama sekali sosoknya. Seakan memang pertemuan mereka hari itu seperti kebetulan paling tak menyenangkan yang disengaja semesta. Giff tak menyerah. Karena tak bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri, ia mencari tahu dengan cara yang lain. Pada toko yang berjajar di sepanjang jalan tersebut, Giff mendatangi salah satu dari mereka dan menunjukkan foto Arya. Memastikan ia mengenali pria itu. "Dia sepertinya yang menjual koran di lampu merah ini," ucap seorang wanita yang memiliki toko pakaian di sana. "Apakah Ibu juga melihatnya beberapa hari terakh
Lalu pada hari yang mereka bicarakan itu tiba. Di dalam kamarnya, Lilia memandangi beberapa gaun yang dibawa masuk oleh Agni. Dari yang modelnya rumit hingga yang lebih sederhana yang Agni tahu bahwa gaun-gaun seperti itulah yang lebih disukai Lilia. Lilia baru saja menyelesaikan make up-nya, ia memasang anting di sebelah telinga kanannya lalu memutuskan untuk memilih gaun yang berwarna biru—ice blue lebih tepatnya. "Yang ini saja, Bu Agni," katanya. "Baik, Nona." Dengan bantuan Agni, Lilia berganti pakaian. Gaun dengan potongan yang lebih lebar pada bagian perutnya—karena memang gaun ibu hamil—itu mendapat pujian dari Agni seraya wanita paruh baya itu merapikan lengan Lilia. "Cantik sekali, Nona ...." "Terima kasih, Bu Agni," tanggapnya. "Aku berusaha agar tidak mencolok karena ini adalah harinya Pak Giff dan Viola." "Seperti biasa, Nona Lilia selalu bersikap rendah hati." Mereka menoleh ke arah pintu yang terbuka dan muncullah Keano yang kedua bola matanya melebar. Kaki keci
Meski di kafe tadi William kembali dengan senyum yang merekah di kedua sudut bibirnya, tapi Lilia tahu bahwa ada yang disembunyikan oleh prianya itu. Sehingga saat mereka telah tiba di rumah dan Lilia duduk di atas ranjang setelah mengantar Keano terlelap di dalam kamarnya, ia memanggil namanya dengan hati-hati. "William ...." Si pemilik nama yang tadinya hendak menuju ke dalam ruang ganti lalu urung melangkah lebih jauh. Ia menoleh dan mendekat pada Lilia. Memutuskan untuk naik ke atas ranjang. "Iya, Sayang?" "Hm ...." Lilia tampak ragu apakah harus menanyakan apa yang dibicarakannya di telepon tadi ataukah tidak. Ia sebenarnya ingin tahu, tapi mempertimbangkan bahwa urusan William bukan hanya soal dirinya saja melainkan juga memikul tanggung jawab atas banyak orang, Lilia pikir ia bisa saja memberi beban tambahan pada prianya itu. "Tidak," ucap Lilia akhirnya. "Hanya ... ingin memberi tahu kamu saja kalau twins baru memberi gerakan halus di dalam sini." Ia berkilah. "Benarka
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar.Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi.Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam.Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok.Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata.Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?"Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya.""Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?""Hanya itu saja yang aku pikirkan dari tad
Lilia dan William masih bersembunyi hingga Nicholas dan Selina pergi dari sana.Lilia turut senang karena saat semua luka dan kesalahpahaman perlahan teruraikan, satu demi satu dari mereka mendapatkan kebahagiaan."Apakah pernikahan akan dilakukan dalam waktu dekat kalau begini caranya?" tanya Lilia setelah dua orang yang mereka awasi tadi benar-benar telah pergi dari sana."Kalau memang niat, tidak perlu mengulurnya, 'kan?" balas William sembari mengusap puncak kepala Lilia."Tapi aku penasaran bagaimana cara Kak Nicholas bertemu dengan Selina sebenarnya? Dari tidak sengaja menjadi takdir?"Belum sempat William menjawab, mereka dikejutkan oleh suara yang datang dari sebelah kanan Lilia.Jovan, entah sejak kapan tangan kanan Nicholas itu ada di sini, tapi kehadirannya membuat mereka berdua terkejut."Itu dimulai dari Tuan Nicholas yang datang ke rumah sakit untuk periksa mata dan tidak sengaja terlihat sebuah peristiwa dengan Dokter Selina, Nona Lilia," katanya."Peristiwa apa?" tanya
Karena tak ingin keberadaan Lilia dan William terlihat, maka mereka berdua menyisih, menyembunyikan diri di belakang pohon besar yang ada di tengah taman rumah sakit."Apa itu yang kapan hari dibilang oleh Pak Jovan sebagai dokter anak yang dekat dengan Kak Nicholas?" tanya Lilia lirih, menoleh pada William yang berdiri di belakangnya, turut menyembunyikan diri meski Lilia tak yakin mereka tak akan ketahuan."Kenapa dengan wajahmu?" tanya Lilia sekali lagi, jari telunjuknya bergerak di depan wajah William dan ditanggapi bingung oleh si pemilik wajah."Apanya, Sayang?" tanya William balik."Kamu terlihat keberatan. Kamu tidak suka aku memintamu bersembunyi di sini?"Mata William mengerjap lebih dari satu kali, "Keberatan bagaimana?""Wajahmu terlihat kesal, kamu kesal padaku karena aku memintamu untuk bersembunyi? Aku memintamu melakukan hal yang sulit memangnya? Atau kamu menganggap aku kekanakan?"Cecaran pertanyaan dari Lilia membuat sepasang mata William terpejam pasrah."Lihat itu
“Aku tidak bisa melakukan itu begitu saja,” jawan William dengan cepat, seolah memang ia telah siap dengan jawaban tersebut. “Butuh waktu bertahun-tahun sejak kematian Madeline sampai Mama dan Papa mengatakan bahwa kalian bersalah karena telah menyia-nyiakannya. Aku bahkan harus menyalah pahami Nicholas melakukan sesuatu yang buruk padahal Madeline lah yang lelah dengan semua ketidak adilan yang terjadi untuknya.” Lilia meredakan detak jantungnya bertubi-tubi lebih cepat. Matanya perih memandang William dan netra kelamnya yang tampak menanggung kesakitan. Suara gemetarnya mengatakan segalanya, tentang kekecewaan, dan juga keretakan yang bertahun-tahun ada di bahunya. “Aku mungkin memaafkan kalian, tapi nanti ....” imbuh William setelah hening merengkuh mereka lebih dari enam puluh detik lamanya. “Biar aku lihat seperti apa kesungguhan Mama dan Papa dalam mencintai keluargaku, istriku, anak-anakku. Terhadap Nicholas pun juga begitu. Bukan hanya Madeline yang kalian buat menderita, t
Lilia tak begitu saja menjawabnya. Ia memandang Nyonya Donna yang menunduk dengan meremas jari-jarinya yang ada di atas paha, begitu juga dengan Tuan Adam yang menghela dalam napasnya. Terlihat sangat jelas sesal yang terukir dari caranya mengatakan, ‘Maafkan kami, Lilia ....’ Tuan Adam tak seperti sang istri yang lebih emosional dengan menunjukkan gestur akan sebuah sesal. Beliau tersenyum, maniknya menerpa Lilia degan bibirnya yang tersenyum. Tapi meski tak mengatakan apapun, Lilia tahu Tuan Adam sama menyesalnya. Sejak dulu Lilia tahu bahwa Tuan Adam memang cenderung pendiam dan lebih sering mengalah. Hingga hari ini pun ... sikap itu masih melekat di sana. Sebuah dinamika keluarga yang sering dijumpai oleh Lilia. “Kami tahu kamu tidak akan begtu saja mau memaafkan kami,” ucap kembali Nyonya Donna. “Kami juga memaklumi akan hal itu, Lilia. Tapi mungkin ... kamu bisa memberi sedikit harapan bahwa rasa bersalah kami ini akan bisa mendapat pemutihan nanti, meski membutuhkan waktu l
Agni benar saat mengatakan bahwa itu akan menjadi obat pelipur lara bagi Lilia, William dan juga Keano. Mereka berbahagia, melewati masa pemulihan Lilia dengan berharap bahwa bayi kembar dalam kandungannya itu tumbuh dengan baik, menjadi anak yang juga baik dan lembut hatinya—setidaknya begitu yang dikatakan oleh Keano berulang kali. Bocah kecil itu teramat senang saat tahu ia akan memiliki adik kembar laki-laki dan perempuan, senang tak kepalang. 'Mama, Keano sudah mengatakan pada Jayce dan Jasenna kalau Keano akan punya adik kembar laki-laki dan perempuan, mereka bilang nanti kalau adik lahir akan datang, apakah boleh, Mama?' Celotehannya menghidupkan satu hari Lilia yang terasa membosankan di rumah sakit. Dan jika Lilia tak kunjung menjawab dengan mengatakan, 'Boleh, Sayangku ....' maka Keano masih akan antusias menunggunya, menatapnya dengan mata berbinar. Kabar dirinya yang hamil kembar sepasang itu telah sampai pada Tuan Alaric yang datang memberinya selamat. Pada ibunya y
"Sudah, semuanya sudah berakhir, tidak ada lagi yang akan menyakiti kamu, menyakiti anak-anak kita, maaf untuk semua kelalaiannya ...." William menunjukkan senyumnya, merekah tapi di mata Lilia penuh rasa kecewa. Mungkin prianya itu merasa bersalah karena telah membiarkan Lilia diculik dan berakhir seperti ini. "Kamu juga tidak bersalah," balas Lilia sembari mengusap dagu William, pada sudut bibirnya, pada tegasnya rahang pria miliknya ini. "Kamu sudah menjagaku sebaik mungkin, tapi si jahat itu memang sedang memiliki kesempatan dan membuat semuanya jadi seperti ini." "Terima kasih untuk pengertianmu, Lilia." William menggapai bibir Lilia dengan lembut, tak ingin memberikan pagutan, sebatas kecupan beberapa detik seolah sedang meyakinkannya bahwa semuanya telah baik-baik saja. Saat William menarik wajahnya, ia menghela dalam napasnya sebelum berujar, "Aku harap setelah peristiwa ini kamu tidak semakin terpuruk dalam trauma itu," resahnya sendu. "Aku pikir tidak, William,"
Setelah merasa terombang-ambing di tengah laut yang sunyi dan tanpa tepian serta dirundung kesendirian dalam waktu yang ia kira berlalu lebih dari satu dasawarsa, Lilia akhirnya bisa melihat dunia yang sebenarnya. Langit-langit kamar asing yang lalu disadarinya sebagai langit-langit ruang rawat tempat ia berbaring, aroma obat-obatan yang menyentuh indera pembaunya, serta hangatnya tangan seorang pria yang ia rindukan, William. Mengerjapkan matanya dengan pelan, Lilia ingat apa yang telah membuatnya berbaring di sini dengan selang infus yang tergantung di lengan kirinya. Tak lain karena ia nyaris saja mati di tangan mantan ayah angkatnya yang kejam. Rasa sesak saat jemari tangan pria itu mencekik lehernya dan membuat napasnya terputus seperti masih tersisa di sana, memberinya sensasi aneh yang membuat Lilia ketakutan bahwa peristiwa itu akan berulang. Ah ... begitukah rasanya ada di ambang batas hidup dan mati? Gelap dingin dan menakutkan? Seperti itu jugakah alam bawah sadar yang
Pemantik yang dibawa oleh Niel itu mengeluarkan api, menyala di hadapan Arya yang wajahnya pias. Saat pria itu berpikir bahwa Niel benar akan membakarnya, dugaannya salah. Pemuda itu justru menariknya kembali. Ia memang membakar sesuatu, tapi bukan dirinya. Melainkan rokok yang terselip di antara jari tengah dan jari telunjuknya, lalu menyesapnya. Aksi itu membuat tawa Zain terdengar, begitu juga dengan Alaric yang lebih patut disebut sebagai 'mencemoohnya'. "Lihat, bukankah dia sangat bodoh?" tanya Niel, asap mengepul keluar dari bibirnya saat ia menunjuk pada Arya. "Dia benar-benar berpikir kalau yang aku tuangkan ke tubuhnya itu adalah bahan bakar." Dagunya mengedik pada Arya yang berekspresi penuh kebingungan. Pria itu mengendus tubuhnya sendiri, bahu kanan dan kirinya, pada tangan dan juga sekitarnya yang tak mengeluarkan aroma apapun selayaknya aroma bahan bakar. Yang disiramkan oleh Niel itu bukanlah bensin atau sesuatu sejenisnya, tapi air minum. Di saat seperti ini, si