sampai jumpa besok lagi 🤣🤣🤣 penasaran ya? wkwkwkw babaii 😸
Tidak ... tidak boleh begini. Lilia berusaha menghentikan William tetapi yang terjadi justru bibirnya meloloskan sebuah desahan. “Ahh—” Ia menggigit bantal tempat ia berbaring saat William menyentuh kakinya dan berbisik, “Buka, Lilia, biar aku masukkan.” “Hngh … jangan, Liam!” “Lebih lebar.” “Tidak, jangan!” tolak Lilia saat jantungnya seperti akan meletup akibat sentuhan prianya ini. Apa ini akan benar-benar berlanjut atau William hanya sebatas menggodanya? Tapi ada kelegaan yang datang sebelum mereka akan benar-benar memiliki peluh yang membuat keduanya mengerang memanggil nama satu sama lain. Mereka mendengar ketukan pintu yang datang dari luar teriring tanya, "Mama ... Papa? Apakah Keano boleh masuk?" Keano, bocah kecil itu sepertinya sudah selesai berenang dan naik ke lantai dua. Lilia merasakan lengan William yang semula melingkari lengannya perlahan terurai. Ia melepas Lilia dan lebih dulu bangun dari tidurnya sembari mencium bibirnya, "Kita lanjutkan nanti." William
Setelah mengantar Lilia, Keano dan Alya kembali ke rumah neneknya Zain yang mereka tinggali, dengan berat hati William harus kembali ke kota hanya bersama dengan Giff. Menerobos batas-batas kota, William sebentar lagi akan tiba di Velox Corp pagi ini. Rencananya ia akan bertemu dengan Nicholas dan Tuan Alaric seperti jadwal yang dikatakan oleh Giff sebelumnya. "Anda baik-baik saja?" tanya Giff saat sekilas memandang William melalui kaca spion yang ada di atasnya pada tuannya yang duduk di kursi penumpang bagian belakang. "Hm ... padahal baru saja berpisah, tapi kepala dan hatiku sudah merencanakan kapan dan apa yang akan aku lakukan bersama dengan Lilia dan Keano nanti saat kami," jawab William. Giff tersenyum mendengar pengakuan itu, "Sama, saya pun juga tidak sabar untuk kembali ke sana." Salah satu sudut bibir William terangkat, seringainya yang terukir itu sepertinya tahu akan ke mana percakapan ini dibawa. "Maksudnya kamu tidak sabar untuk bertemu dengan temannya Lil
"Apa hubungan kalian memangnya?" Nyonya Bertha menyambar begitu Tuan Alaric selesai bicara. Ia terlihat menggertakkan rahangnya dan menatap Tuan Alaric penuh kebencian. "Bukankah foto itu sudah menjelaskan bahwa kamu dan Lilia memiliki hubungan yang tidak biasa?" imbuhnya. "Sikapmu berubah sejak tiga bulan terakhir, tiba-tiba saja aku mendapatkan surat keputusan cerai dari pengadilan, tidakkah semua itu menjelaskan semuanya, Alaric?" Tuan Alaric tampak mendorong napasnya selagi William yang duduk di sebelah beliau terlihat memijit keningnya. Salah satu sudut bibirnya terangkat, entah itu untuk seringai atau menahan tawa, semua orang yang ada di sana tak begitu jelas melihatnya karena ia menunduk. "Apa yang terjadi selama tiga bulan itu sebenarnya sudah bisa dijelaskan sekarang." Nyonya Bertha masih belum usai bicara, kali ini nadanya sedikit meninggi, mencecar dan menuntut. "Kamu tahu Lilia masih hidup, menjadikannya simpanan makanya berulang kali berpamitan pergi entah itu ke
Ruangan menjadi hening setelah Tuan Alaric mengatakan hal itu. Tapi pada detik berikutnya suara seseorang yang hampir limbung ke lantai terdengar. Nyonya Bertha, ia benar-benar jatuh jika Zain tak dengan cepat menahan tubuhnya. Nyonya Donna meremas dadanya penuh rasa terkejut sementara Gretha menggigit kuku di ibu jarinya dengan gusar. Wajahnya yang semula menatap layar tablet di tangan Tuan Adam berpindah pada Tuan Alaric. Suaranya terdengar serak dan gemetar saat ia bertanya, "J-jadi Lilia adalah anak kandung Papa?" Jawaban yang diberikan oleh Tuan Alaric berikutnya membuat Gretha seakan mati berdiri. Lembut, tapi penuh dengan penghinaan. "Ya. Lilia adalah anak kandungku, adiknya Ivana. Pewaris Seans Holdings dan pemilik darah murni Roseanne," jawabnya. "Tapi ... kenapa kamu masih memanggilku sebagai 'Papa'? Aku bukan Papamu, Gretha Carol!" William yang ada di sebelah Tuan Alaric seketika tertawa mendengar itu, jika Nicholas tak menyenggol lengannya, ia pasti tak akan berhenti.
Nyonya Bertha tersengal saat mendengar tanya berbalut amarah dari Tuan Alaric. Ia berdeham, membasahi tenggorokannya yang terasa kering sebelum bersuara untuk menepis. "Apa maksudmu, Alaric? Agatha adalah temanku yang—" "Aku bertanya bukan karena aku tidak tahu, Bertha!" sentak Tuan Alaric memotong kalimat itu. "Kamu akui atau tidak, satu hal yang harus kamu tahu, kamu akan menangis darah nanti saat akhirnya kamu diseret masuk ke penjara dan tidak ada seorang pun yang mau membantumu, nikmati kebebasan ini sebelum semuanya berakhir." Tuan Alaric tampak tak ingin mendengar basa-basi darinya. Beliau menggertakkan rahangnya, dari samping William duduk, ia melihat mata ayah mertuanya itu berair penuh amarah. "Akan aku pastikan kamu dan anakmu hancur, sebagai balasan atas apa yang kalian lakukan pada Agatha, Ivana, Leonora, Alya, pada Keano yang tidak tahu apa-apa, dan semua penghinaan yang kalian berikan terhadap Lilia." "Papa," panggil William seraya menyentuh lengan Tuan Ala
Ungkapan itu sebenarnya hampir sama seperti saat William menjawab 'Iya, Sayang.' Hanya saja, karena baru didengar oleh Lilia hari ini, rasanya itu menjadi sesuatu yang mengejutkan. Detak jantung Lilia yang baru saja berubah kencang kian tak bisa dikendalikan saat ia melihat kemunculan William di layar. Dengan posisi Lilia yang sedang berbaring seperti ini, William yang tiba-tiba hadir membuat seolah-olah pria itu sedang menunduk di atasnya. Dan yang lebih membuatnya salah tingkah adalah William tengah tak mengenakan atasan sehingga tubuhnya terlihat jelas memenuhi layar. "Akh—" Lilia yang hampir tersedak tak sengaja menjatuhkan ponselnya dan hampir menimpa wajahnya jika ia tak segera menghindar. "Sayang?" panggil William dari seberang ponsel. "Iya?" Lilia dengan cepat mengambil ponsel yang jatuh di sebelahnya dan menunjukkan wajahnya lagi pada William. "Kenapa?" tanya William, terdengar cemas. "T-tidak," jawabnya. "Kamu membuatku terkejut karena tiba-tiba muncul dengan tida
"Kedekatanmu dengan Henry telah mengatakan lebih banyak siapa ayah dari bayi yang kamu kandung itu," imbuh Nyonya Bertha. "Kamu pikir Mama tidak tahu cara mainmu? Kamu tidak ingin memiliki suami seorang sopir makanya kamu mengejar William dan menjebaknya. Sebenarnya William tidak pernah memperkosamu, 'kan?!" BRAK! Gretha menggebrakkan tangannya ke atas meja penuh amarah. Ia bangun dari duduknya dan menatap sang Ibu dengan nyalang. "Aku lakukan itu karena tidak ingin membuat Mama malu!" jawabnya dengan berseru. "Dilihat dari karakter Mama, apa kira-kira Mama juga mau memiliki menantu seorang sopir? Tapi bagus Mama mengakui bahwa Mama itu memang licik. Jadi aku tidak perlu menyalahkan diriku sendiri dari mana kelicikan itu berasal, Mama yang memberikannya untukku!" Seperti balasan telak, Nyonya Bertha tak bisa berkutik. "Gretha!" Tak ada jawaban yang bisa didengarnya. Ia memanggil Gretha yang berjalan pergi dari sana, sekali lagi. Tetapi hasilnya tetap sama. Langkah gegasnya men
Keheningan terjadi setelah William mengatakan itu. Untuk beberapa saat, hanya hela napas Tuan Adam yang mencemari sunyi. Nyonya Donna hanya menunduk, di mata William sang Ibu terlihat jelas tengah menahan malu. Tak pernah William menyaksikan beliau seperti itu. Kemungkinan besar, Nyonya Donna telah benar-benar sadar siapa yang baik dan siapa yang buruk sejak pertemuan dengan Tuan Alaric kemarin. "Jadi apa yang harus Mama lakukan?" tanya Nyonya Donna akhirnya membuka suara. "Kalau kamu tidak memaafkan, artinya kesalahan Mama terhadapmu akan bertumpuk, William. Salah pada Lilia, pada Keano juga." "Akan aku katakan pada Lilia kalau Mama datang ke sini dan ingin meminta maaf kepadanya nanti. Tapi jika Lilia tidak memberi maaf Mama, tolong anggap itu sebagai pelajaran bahwa ada beberapa kesalahan di dunia ini yang terlalu menyakitkan sampai tidak bisa dimaafkan." Nyonya Donna tersenyum getir, kepalanya memberi anggukan seolah tak memiliki pilihan lain selain menunggu Lilia memberinya j
Pagi saat Lilia membuka mata pada hari berikutnya, mendung abu-abu bergantung. Ia keluar dari kamar dan mendengar gelak tawa Keano serta William serta samar celotehan hangat Karlee dan Kathleena dari luar. Entah apa yang dilakukan oleh ayah dan tiga orang anak itu. Tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang seru. Lilia tadinya ingin menyusul mereka. Tapi ada sesuatu yang menyita perhatiannya saat ia lebih dulu berjalan menuju ke dapur. Ada sebuah buket bunga dalam vas, sebuah tas kecil dalam paper bag, serta kue berukuran kecil yang ada di atasnya. Semuanya bertuliskan, 'Selamat hari Ibu'. Paper bag berisi tas itu dari William, kue itu dari Keano, dan buket bunga itu dari si kembar Karlee dan Kathleena. Ada dua kartu ucapan yang ada di buket bunga itu dengan tulisan, [Karlee sayang Mommy.] [Mama cantik kesayangan Kathleena.] Entah siapa yang menuliskannya, tapi Lilia sangat suka dengan semua ini. "Manisnya ...." Ia menoleh pada Agni yang berjalan meninggalkan dapur sembari mem
Berjalan memasuki rumah, sepertinya ini sudah terlalu malam. Pesta anniversary Nicholas dan Selina berjalan dengan baik meski Lilia harus mengenakan gaun yang lain, bukan yang ia rencanakan untuk dipakai sebelumnya yang warnanya serasi dengan William dan anak-anaknya. "Selamat malam, Mama." Keano yang tadi berjalan di depan Lilia berhenti dan menoleh padanya saat tiba di depan pintu kamar. Lilia mengangguk, membalas senyum anak lelakinya yang baru saja melepas jas yang ia kenakan. "Selamat malam, Sayang." Lilia mendekat, mengusap puncak kepala Keano. Kini ia tak perlu lagi berlutut untuk membuat tubuh mereka sama tingginya karena Keano sudah tumbuh besar. "Tidurlah, walaupun besok masih libur, Keano harus tetap istirahat tepat waktu." Keano mengangguk sekali lagi. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi apa yang ia lakukan membuat Lilia terenyuh. Kedua tangannya memeluk Lilia dengan erat, maniknya yang berbinar menatap Lilia cukup lama sebelum akhirnya ia bersuara. "Teri
.... Langit di pagi itu tampak lebih biru ketimbang langit yang pernah dilihat oleh William sebelumnya. Matanya menatap hamparan warna lautan itu terbentang dari ujung timur hingga ke sudut barat. Cantik sekali .... Sesaat langkahnya terhenti di atas setapak yang ada di antara rerumputan hijau yang terlihat seperti permadani. Tidak banyak orang di tempat ini. Sepertinya hanya ada dirinya, serta beberapa orang di kejauhan yang membawa buket bunga. William kembali melanjutkan langkahnya. Terus berlalu, menjauh dari gerbang tinggi di belakangnya, lalu berhenti di depan nisan yang rasanya sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Madeline Quist. Itu adalah makam adik perempuannya. Seorang gadis yang pernah ia besarkan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Permadani hijau yang dilihatnya itu adalah rumput yang ada di pemakaman tempat di mana pusara Madeline berada. Bukan hanya Madeline saja sebenarnya, tapi juga Ivana. William menunduk, meletakkan salah satu buket yang ada di tangannya a
Rasanya seperti baru kemarin Lilia dan William mengantar Keano masuk ke Taman kanak-kanak. Rasanya juga baru kemarin si kembar Karlee dan Kathleena itu lahir. Tapi waktu terasa sangat cepat saat seseorang dirundung oleh bahagia yang tak bertepi. Nathaniel Keano Quist, bocah kecil nan jenius itu sudah masuk ke sekolah dasar. Ia masih meminta bersama dengan teman kembarnya sedari playgroup—Jayce dan Jasenna—di sekolah dasar yang sama. Ia tumbuh terlalu tampan, dan itu mengkhawatirkan bagi Lilia karena beberapa wali murid mulai menggoda agar sebaiknya Keano dijodohkan dengan anak-anak mereka sedari kecil. Tidak ... ia tidak siap! Meski dulu pernah menggoda William dengan mengatakan bahwa ia bisa berbesan dengan keluarga Heizt dalam pernikahan muda, tapi ia tak siap! Pagi ini, Lilia baru saja keluar dari kamar setelah selesai memandikan Karlee. Ia hendak menyusul Kathleena yang sudah lebih dulu mandi dan sekarang ada di ruang makan, bersiap menyantap sarapan pagi mereka sebelum Willi
Lilia tidak bisa mengatakan betapa bahagia ia saat melihat keluarganya disempurnakan oleh lahirnya Karlee dan Kathleena. Dua bayi mungil itu tengah tidur di dalam box bayi yang dilengkapi oleh kelambu. Mengantisipasi seandainya ada nyamuk yang lolos masuk ke dalam kamar dan menggigit mereka. Sudah beberapa hari yang lalu Lilia meninggalkan rumah sakit. Tak ada yang berubah dengan kehidupannya selain ia yang harus sering bangun malam untuk menyusui anak-anaknya. Itu saja ... selebihnya tidak ada yang berubah. William mengatakan ia bisa memakai baby sitter jika kewalahan. Tapi Lilia menolak, 'Bagaimana kalau nanti kamu menikahi baby sitternya Karlee dan Kathleena dan punya istri ke dua lagi? Aku tidak mau.' Sebenarnya itu adalah sindiran. Lilia mengatakan hal itu karena dulu dirinya juga baby sitter sebelum menjadi istri kedua William. 'Sayang ... pikiran macam apa itu?' balas William yang kala itu bisa dijumpai keputusasaan yang besar dari caranya bertanya. Matanya terpejam, jem
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat, Lilia berjalan dengan tenang di samping William. Tidak ada kepanikan yang terjadi di sana. Mereka tahu bayinya akan lahir, anak yang mereka tunggu-tunggu, si kembar sepasang nan menggemaskan adiknya Keano. Tadinya memang ada sedikit kepanikan saat William masuk sembari menggendong Keano ke dalam mobil. Tapi Lilia menenangkannya dengan mengatakan, 'Kalau kamu panik, kita semua akan panik, William. Tenanglah ... tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Hubungi saja Papa dan katakan untuk menemani Keano nanti.' Setelah itu William menarik napasnya. Di pangkuannya, Keano duduk diam, menatap Lilia dan tersenyum seolah agar ia tak merasakan sakit itu sendirian. 'Mama, ayo semangat ... kita akan bertemu dengan adik sebentar lagi.' 'Iya, Sayangku. Terima kasih.' Lihat ... saat tenang, semua akan terkendali. Lilia bersiap di dalam kamar rawatnya. Dokter Sarah mengatakan bahwa ia telah mengalami pembukaan yang ke lima, cukup cepat sejak pecah air ketuba
Rasanya ... waktu berjalan dengan sangat cepat. Dihitung oleh Lilia, si kembar akan launching dalam dua Minggu dari hari ini. Ia baru saja pulang yoga dengan diantar oleh Agni dan Ron, kali ini William tidak bisa ikut karena harus menyelesaikan pekerjaan yang berkaitan dengan audit. Keluar dari kamar mandi, tubuhnya terasa sangat segar. Di ruang ganti, ia dikejutkan oleh William yang ternyata sudah pulang. Bukan hanya itu saja, pria itu juga terlihat seperti sudah selesai mandi karena rambut hitam miliknya tampak setengah basah. Kaos berkerah yang dikenakannya pun bukan pakaian yang tadi ia pakai bekerja, jadi bisa disimpulkan prianya itu sudah datang sejak tadi dan mandi di kamar lain. Senyumnya merekah saat ia bangun dan menghampiri Lilia. "Kamu sudah pulang?" tanya Lilia yang disambut anggukan darinya. Pria itu menunduk, memberi kecupan di kening Lilia sebelum mengusap perutnya. "Sudah dari tadi, Sayang," jawabnya. "Wah ... apa aku yang kelamaan berendam? Kamu mandi di tempat
"Aish ... tidak tahu tempat," desis William sembari bersedekap. Karena tidak mungkin bagi mereka untuk tak pura-pura melihat sebab seruan Keano sudah menggema memenuhi setiap sudut parkiran, jadi William memutuskan untuk menghadapinya. Sedang Lilia yang mendengar itu menoleh pada William, dalam hati diam-diam bergumam, 'Kesal karena orang lain tidak tahu tempat padahal sendirinya pun begitu.' William mungkin lebih parah bagi Lilia, di manapun ada kesempatan ia pasti menggoda Lilia. Di ruang makan, di dalam kamar Keano, di ruang baca, di tempat yang sedikit memacu adrenalin—di dalam mobil saat mereka mengantar Keano. Kadang, William meminta Giff yang mengantar Keano masuk setelah parkir, sedangkan mereka berdua akan melakukan sesuatu yang lain di dalam mobil. Dan seperti paham dengan apa yang akan mereka lakukan, maka Giff akan menurut sembari mengancam, 'Awas ya kalau sampai viral ada mobil goyang di parkiran Taman kanak-kanak, aku tidak mau mengatasinya!' Ah ... bahkan mereka me
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar. Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi. Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam. Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok. Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata. Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?" Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya." "Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?" "Hanya itu saja yang aku pikirkan