Di tengah-tengah jadwal yang begitu padat, Leo tetap menyempatkan dirinya untuk pergi ke sebuah rumah sederhana dua tingkat di pinggiran kota Portland. Meskipun rumah itu terlihat sederhana di luar, tidak ada yang akan mengira bahwa bagian dalamnya terlihat mewah. Pria itu mendengus ketika melewati lorong setelah menaiki tangga. Pemilik rumah ini terlihat sekali tidak mau dianggap sebagai orang kaya. Atau mungkin sebenarnya dia hanya ingin menghindari pegawai pajak. Tapi siapa yang tidak kenal dengan Jack Reeves? Bujangan tampan yang tidak hanya dikenal sebagai kepala FBI, tetapi juga dikenal sebagai pemilik gedung apartemen mewah yang ditempati oleh para artis dan orang-orang kaya yang menginginkan hunian mewah dengan tingkat keamanan yang tinggi. "Kau merindukan Rose?" tanya Leo yang begitu memasuki ruang billiard, justru mendapati pria itu tengah memandangi foto Rose di ponselnya di dekat jendela. Pria itu tidak menanggapi. Tangan kanannya sesekali mendekatkan gelas berisi angg
Sergio meminum segelas anggur merah seraya memandang taburan bintang di langit dari balik dinding kaca. Siang tadi, ia benar-benar membuat perhitungan pada Laura karena sudah menyamar sebagai Chloe selama bertahun-tahun. Gadis itu beralasan ingin membuatnya berhenti memikirkan Claire dengan jalan pintas, layaknya gadis jalang yang haus akan belaian. Kenyataan bahwa gadis itu bukanlah anak kandung dari Andreo Cortez, atau yang lebih dikenalnya sebagai Andrey Ivanovic, membuatnya lepas kendali dan menyiksa gadis itu tanpa ampun. Ia mengalihkan pandangannya pada buku harian berwarna biru milik ibunya. Setelah mengetahui alasan Laura yang membohonginya hanya demi membantu ayahnya, ia membaca kedua buku harian milik ibunya dengan wajah datar. Kedua buku harian itu justru membuatnya tertawa terbahak-bahak, alih-alih merasa menyesal atau marah. Baginya, buku harian itu adalah bentuk kekonyolan dari ibunya yang selama ini gemar menyakiti siapapun termasuk dirinya."Sergio?" panggilan Lau
Arsen terkekeh geli. “Terkadang aku justru senang kau memiliki alter ego, karena kau tidak perlu lagi menghadapi pecundang itu dengan ekspresi ketakutan yang membuatku kesal.”“Tunggu, jadi aku tadi sudah menghadapi Sergio? Siapa...maksudku, aku tadi benar-benar ketakutan, lalu tiba-tiba saja kesadaranku menghilang,” tanya Claire dengan kening berkerut seraya memegang sisi kepalanya.Arsen merangkul bahu gadis itu dan mencium keningnya, lalu mengajaknya untuk kembali melanjutkan langkah mereka. “Tadi Kanzo yang muncul, dan dia melawan pecundang itu dengan menggunakan jurus Aikido." Ia mengedikkan bahunya. “Entahlah, setahuku itu teknik Aikido. Atau mungkin Jujutsu. Ah, terserahlah. Tapi yang pasti aku senang, karena bukan James yang menghadapi pecundang itu.”“Benarkah? Kanzo yang melawannya? Bagaimana ceritanya?” tanya Claire penasaran.Arsen terus menceritakan kejadian tadi dengan bersemangat, bahkan sesekali menertawakan tingkah Sergio yang menurutnya konyol. Ia sempat merasa
Juan menatap Tania yang sedang tertawa senang, karena Leo membawakan gadis itu satu set boneka barbie beserta perlengkapannya. Ia tidak mau ikut campur dengan urusan mereka, karena bisa jadi akan merusak suasana. Dering ponselnya mengalihkan perhatiannya dari interaksi mereka yang terlihat seperti sepasang kekasih, karena ternyata Tania tak bisa menolak pesona dari pria itu. Sejak kedatangan Leo kemarin, gadis itu lebih banyak diam dan menatap pria itu dengan wajah malu-malu. Setidaknya itu bisa membuatnya merasa lega selama sejenak, karena anak gadisnya tidak lagi merengek meminta Arsen untuk datang ke sini.“Ada apa?” tanyanya begitu mengangkat panggilan dari Andreo.[Claire bilang padaku bahwa kemarin malam dia ke apartemen Sergio di Portland bersama Arsen. Di sana ada Laura dengan wajah bengkak, seperti baru saja disiksa oleh Sergio. Bagaimana ini? Apa sebaiknya aku melaporkannya ke polisi?] suara Andreo terdengar panik di seberang telepon.“Kau yakin Sergio yang melakukannya
“Jangan pergi kemana-mana dan jangan gegabah, oke. Kuusahakan untuk secepatnya menyelesaikan urusanku dengan dosen. Aku harus segera mengurusnya jika ingin cepat mendapatkan ijazah dan keluar dari kampus ini,” pesan Arsen sebelum meninggalkan Claire di park blocks, tepatnya di dekat plang hitam dari semen bertuliskan Portland State University.Claire hanya mengangguk seraya tersenyum saat Arsen mencium keningnya, kemudian menatap kepergian pria itu dengan mobilnya. Ketika di rumah sakit tempat Josh dirawat tadi, ia memaksa pria itu untuk menemaninya menjemput Laura di apartemen Sergio. Berbagai upaya dilakukannya untuk membujuk pria itu, meskipun dengan cara yang memalukan sekalipun. Bahkan ia meminta Josh untuk membujuk Arsen. Untungnya pemuda itu sanggup membuat kakak tirinya menyanggupi permintaannya. Mengingat kejadian itu membuatnya tersenyum. Betapa mudahnya sosok Josh melupakan dendamnya setelah mengetahui fakta yang sebenarnya. Apalagi pemuda itu sama sekali tidak merasa ri
Perkiraan awal sekitar lima atau sepuluh menit sudah cukup bagi Arsen untuk menyelesaikan urusannya, namun ternyata salah seorang dosen memintanya untuk mengisi seminar Kewirausahaan, karena dia sudah menjadi seorang pengusaha. Ingin sekali ia menolak permintaan itu, namun sayangnya ia sudah mengenal dosen itu dan menganggapnya seperti ayahnya sendiri. Satu jam kemudian, barulah ia keluar dari gedung fakultasnya dan terburu-buru menuju ke Park Blocks. Tak sampai lima menit kemudian, ia sudah memarkirkan mobilnya di pinggir jalan dekat plang universitas, lantas mencari keberadaan Claire. Cukup sulit menemukan gadis itu, karena suasana taman jauh lebih ramai daripada saat ia dan Claire baru tiba di sini tadi.“Claire?” panggil Arsen pada seorang gadis berambut hitam ikal dan mengenakan jaket berwarna putih yang membelakanginya. Dalam hati ia merasa lega, karena ternyata gadis itu tidak pergi kemanapun selain di area taman yang sangat panjang ini. “Maaf, aku tadi harus mengisi semina
"Gawat, Romeo sudah berhasil mendapatkan Claire," lapor Leo pada Jack dan Brandon melalui video call. "Apa? Bagaimana bisa? Bukankah kau bilang ada orang yang mengawasi Claire?" bentak Jack dengan wajah garang. "Mereka fokus pada rumah saksi, bos. Seharusnya Arsen yang menjaga Claire, tapi dia malah sibuk di kampus," sesal Leo. "Freddy baru saja mendapatkan lokasi Romeo. Ada di hotel dekat Haystack Rock. Akan kukirimkan titik lokasinya pada kalian setelah ini. Pastikan kita sampai di sana tepat waktu sebelum semuanya terlambat," sahut Brandon dengan terburu-buru. "Jack, anak buahku berangkat hanya dengan 3 personilmu saja. Apa tidak kurang?" "Leo, kirimkan tim tambahan. Pastikan mereka hanya melumpuhkan target," perintah Jack sambil menyambar-nyambar jaketnya. "Kau mau kemana?" tanya Leo sambil berlari ke arah mobilnya. "Aku harus ikut ke sana. Kita tidak punya waktu lagi. Brandon, jangan lupa panggil ambulans untuk berjaga-jaga."Dan setelah itu sambungan mereka berakhir dan Br
Claire yang melihat itu kembali ketakutan, namun kedua matanya tiba-tiba terpejam sejenak. Saat membuka matanya, Rose muncul dengan ekspresi jijik di wajahnya, apalagi saat melihat tubuhnya yang hanya mengenakan pakaian dalam.“Ew, benar-benar menjijikkan,” gumamnya saat merasakan lembab di beberapa bagian tubuhnya, lalu mendongak untuk menatap Sergio yang tengah memegang sebilah pisau di tangan kanannya.“Kau benar-benar akan membuat lelucon dengan itu? Di sini?” Rose tertawa meremehkan, lalu mengangkat sebelah alisnya. “Apa kau benar-benar semenyedihkan itu, sampai-sampai harus memakai benda tajam untuk menghadapi seorang gadis? Benar-benar laki-laki banci. Cih!” Ia memutar matanya dan berpura-pura muntah.Rahang Sergio mengeras mendengar hinaan itu. Kedua matanya menatap Rose nanar dan tangan kanannya menggenggam pisau bergerigi itu dengan erat. “Berhenti mengataiku banci!” hardiknya marah.“Kau memang banci, tak punya otak, tak punya hati, dan yang lebih menyedihkan lagi...”