Perkuliahan musim gugur telah dimulai. Masa-masa pengenalan kampus, bertemu dengan teman-teman dari berbagai Negara, hingga jatuh cinta dengan lingkungan baru dan juga jurusan yang diambilnya membuat Bella sedikit melupakan tentang Ilham.
Tanpa terasa, sudah masuk bulan ketiga.
Di pertengahannya, Bella diajak Rain untuk mengunjungi perpustakaan besar yang terkenal di kota itu. Mendengar Bella suka membaca, dia merasa perlu untuk menunjukkan bagaimana kerennya kota tempat mereka berkuliah memiliki koleksi buku yang super lengkap!
"Aku ikut!" Marisa menyahut saat mereka akan berangkat pergi.
"Baiklah." Rain tersenyum mengangguk.
Belum sempat mereka bersiap, terdengar suara bising dari halaman belakang gedung asrama hingga membuat sejumlah murid keluar kamar. Mereka bersama-sama mengamati sebuah benda yang perlahan turun dari langit ke halaman rerumputan.
Baling-baling besarnya yang berputar cepat tampak semakin dekat.
"I-itu ...
"Oh!" Bella terbelalak dan pura-pura sangat terkejut melihat Ilham di belakangnya. Apalagi Ilham sendiri yang sama sekali tidak menyangka gadis itu juga akan masuk ke kampus ini. Keningnya mengerut meski dengan perasaan senang, "Kamu kuliah di sini juga?" Dia bertanya seraya mendekat, "Kenapa kamu tidak mengatakan apapun padaku sebelumnya?" Bella hanya mengulas cengiran kecil. "Hehe, maaf, aku ..." Dia hendak memberikan alasan, namun akhirnya malah memilih untuk jujur, "Aku ingin memberimu kejutan. Haha." Keduanya sempat terdiam. "Tada!" Bella mengatakannya lagi, dalam hati dia bersumpah ini pasti sangatfreak! Ilham lantas tertawa terbahak-bahak hingga menggema di koridor yang panjang dan masih kosong. "Hei, aku senang sekali melihatmu di sini, Bell. Wow!" Kepalanya bergeleng-geleng tidak percaya. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Bella tidak yakin. Apakah dia mungkin merasa terkejut karena hubungannya dengan
Bella terperangah mendengar bentakan Erven ditengah tontonan anak-anak lain. Mereka saling berbisik dibalik telapak tangan. Seolah tidak ada yang berani menegurnya langsung karena telah mengangganggu ketenangan. Ilham mengeluarkan nafas serta senyum keki dari bibirnya, "Kau ini siapa?" Sebuah pertanyaan terlontar dengan pelan dan tajam, sebelum dia mengulurkan tangannya untuk menarik Bella keluar dari sana. Meski Bella spontan menghindar. "Tidak." Erven menarik kupluk jaket di belakang tengkuk Bella. Membuat gadis itu terkejut saat bangkit mengikuti tarikan Ilham. Bella sendiri merasa sangat aneh. Mengapa dia merasa seperti berada di opera sabun? Sejak kapan dirinya berada diantara dua lelaki kurang ajar yang seakan-akan sedang memperebutkannya? "Oh." Ilham melotot pada Erven yang memandangnya remeh, "Ada yang perlu kubicarakan dengannya." "Bicara apa? Di sini saja." Erven menunjuk ke lantai dibawah sneakersnya. Bella
Sore belum juga turun dengan kegelapan langit yang biasa menyelimutinya, namun Bella sudah terkapar diatas meja dengan buku-buku yang lembarannya tertiup angin. Dia tampak sangat serasi dengan pemandangan ini, seperti gambaran estetik dari gadis zaman dulu yang dilukis di tepian jendela.Hanya saja, mulut mereka tidak sedang menganga dan liur hampir menetes diujungnya."Dor!" Rain, yang sudah sampai lebih dulu dari Marissa yang tadi izin ke minimarket sebentar saat menunggunya, menepuk pundak Bella sehingga membuatnya terkejut begitu membuka mata."Aduh," Bella bergumam, kepalanya sedikit pusing akibat tidur dengan posisi tidak benar. Dia merasa sedikit kesal karena dikagetkan, tapi beruntung juga karena dia tidak mengalami keseleo karena terlalu lama di posisi itu."Lho, mana Marissa?" Bella melongok ke belakang kursi belajarnya. Kosong. Hanya ada Rain yang sedang menaruh tas dan langsung ambruk di atas ranjangnya."Ke minimarket seben
"Aiko?" Bella masih tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Dia bukannya terlalu percaya diri, tapi itulah kenyataan yang dia lihat kemarin. Bagaimana Erven memanfaatkan dirinya untuk memancing Ilham dari kejauhan."Ya, kudengar dia anak seorang pejabat tinggi di Negeri Mulia." Cerita Marissa, kemudian suaranya berubah penuh bisikan dan teka-teki, "Apakah mereka semua anak kaya raya dari Negeri yang sama? Kurasa iya. Lihat saja Erven yang katanya kemarin mendarat dengan helinya."Rain lantas tertawa, "Hahaha, sayang sekali kamu tidak melihatnya, Ris! Itu memang kenyataan, dia turun dari heli itu dan celingukan seperti anak kecil yang tersesat di tengah taman bermain!" Seraya menunjuk Marissa tanpa rasa bersalah karena tidak memanggilnya di momen itu.Marissa cermberut saja, memutar bola matanya dan berkata sedikit kesal, "Ya, seharusnya ada dari kalian yang setidaknya mengetuk pintu ruang ganti agar aku keluar! Pasti aku tahu ada kejadian yang mengheb
"Ka-kamu ...?" Semua gadis yang mengelilinginya masih menjatuhkan dagu seraya menahan nafas saking terkejutnya.Mereka memang tahu bahwa banyak anak-anak konglomerat dan para pejabat di kampus ini. Tapi, seorang Putri Kerajaan? Apalagi yang akan mewarisi tahta, rasanya itu hampir mustahil! Lihat saja penampilannya yang super biasa itu!Semua suara-suara kecil yang tadi menggunjingnya seketika terdiam. Mereka semua menutup mulut. Mengulum bibir dengan gugup.Ilham tidak mungkin berbohong. Dia cukup terkenal sebagai mahasiswa baru yang memiliki kredibilitas. Tampangnya yang tampan dan masuk dengan skor tes terbaik seangkatan, membuatnya tidak boleh diragukan!"Be-benarkah itu ...?" Erven mencuri pandang dari samping Bella dengan mata terbelalak, tidak berani bergerak mendekati seincipun lagi. Setinggi-tingginya karir orang tuanya di dunia olahraga, status Bella tetaplah berada jauh diatasnya.Apalagi Negeri Mulia merupakan Negeri yang maj
Bella melangkah naik bagaikan seorang sandra yang dipaksa memasuki jet yang telah menunggunya itu. Dia selalu menghela nafas berat di tiap langkahnya. Padahal semua begitu sempurna dengan kehidupan kampus yang baru, diluar hal-hal 'sepele' yang menjengkelkan, itu adalah bumbu pedas manis kehidupan. Tapi, kenapa dia sekarang seperti akan diceburkan ke dalam minyak panas? "Doakan aku, Ham." Pesannya sebelum lepas landas dari sana. Meninggalkan Ilham yang terdiam dengan helaan nafas dalam-dalam. Dia adalah orang yang pertama kali dekat dengan Bella. Dia juga mengenal Ayahnya, yang ternyata adalah Putra Mahkota dan Ibunya, yang ternyata Putri dari Kerajaan tetangga. "Semoga semua baik-baik saja. Jangan lupakan aku, Bell." Bisiknya dalam hati. Di atas langit, Bella merasakan batinnya bergolak. Antara ingin tetap diam menyesapi keadaannya sekarang dan berpikir matang tentang rencanannya kedepan. Atau berjalan saja mengikuti arus yang menuntu
Bella beringsut dari tempatnya duduk. Secara spontan dia bergerak memeluk Kakeknya, menjauh dari jarak pintu yang sudah dikepung oleh pengawal.Sementara para tentara dari luar Istana segera masuk untuk ikut mengamankan kegaduhan yang ditimbulkan Pangeran kedua. Pangeran itu telah menyiapkan beberapa tentara pemberontak juga, rupanya dia sudah merencanakan ini semua sejak tahun-tahun sebelumnya."Awas jika aku dapati anak perempuan itu menaiki tahta yang bukan haknya!" Begitu sumpahnya. "Akan kupenggal dengan tanganku sendiri! Tidak akan ada Ratu yang memimpin Kerajaan Mulia ini!"Meski anggota keluarga Kerajaan bergerak dengan senyap tanpa berani melawan perkataannya yang mengerikan itu, mereka diam-diam juga telah menyiapkan pertahanan. Seperti Pangeran ketiga yang langsung mengarahkan pasukan khusus untuk mengamankan Raja dan Putri yang akan naik tahta menggantikannya."Ayahanda." Beberapa hari sebelum kejadian, dimana Baginda Raja masih terlihat
"Maukah kamu menikah denganku?" Ilham berusaha sekuat mungkin menahan gemuruh di dadanya. Dia tidak sedang berbicara santai dengan Bella si gadis biasa, teman lamanya, yang dia sukai itu. Tetapi, dia sedang melamar seorang Ratu di Negerinya!Dia tahu betul itu. Dan dia tahu betul betapa gila yang dilakukannya ini!Bella masih tidak bersuara. Membuat Ilham semakin jantungan. Apakah dia telah melakukan kesalahan yang amat fatal dengan bertindak segegabah ini? Melamar Bella sesaat setelah mendapatkan info dari informannya di dalam Negeri, bahwa posisi Ratu akan sangat lemah jika seandainya memimpin tanpa seorang pendamping?"Apalagi beliau masih sangat muda. Akan ada banyak pihak yang berhasrat menggulingkannya. Atau paling tidak, orang-orang yang masuk ke lingkarannya hanya untuk mengkhianatinya." Jelas informan tersebut."Termasuk para Pangeran yang kini hendak melamarnya." Tambah orang tersebut. "Itu hanya perkiraanku, tentu saja."Namun, itu sanga
Dua belas tahun yang lalu, ketika usianya baru menginjak tujuh tahun dan baru masuk sekolah, Ilham ingat diajak Ayahnya ke rumah seseorang. Di jalan dia bercerita banyak hal tentang sekolah barunya yang seolah tidak begitu digubris oleh sang Ayah yang fokus menyetir."Ayah, dengarkan aku, dong." Mulutnya cemberut. Kedua pipinya yang gempal dan putih seperti bakpao jadi tambah menggemaskan. Membuat siapa saja yang melihatnya merasa senang, namun agaknya berbeda dengan sang Ayah."Maaf, nak. Diamlah dulu, Ayah sedang menyetir dan tidak bisa mendengarkanmu." Bicaranya yang formal dan kaku, serta keengganan untuk menatap anaknya meski hanya sekilas, membuat Ilham sadar bahwa dia bukanlah apa-apa di mata Ayahnya.Ayahnya adalah orang yang diam-diam sangat ambisius. Memang semuanya diperuntukkan untuk keluarganya, dan juga dapat memberikan apapun yang Ilham inginkan. Kecuali kasih sayang dan perhatian.Sampainya mereka di depan bangunan yang teramat besar, mega
Siang itu, mereka selesai membagikan sekerat buat-buahan kepada tetangga terdekat. Tidak ada satupun yang mengenali Bella sebagai pemimpin baru di Negeri ini, bukan karena teknologi belum memasuki desa ini, tetapi karena penampilan perempuan itu yang jauh berbeda dari yang digambarkan media.Inilah kehidupannya yang asli. Jauh sebelum dia mengetahui siapa identitas dirinya sebenarnya.Dan Ilham Azimi, putra tertua keluarga konglomerat di kota Pusat, tidak mau Bella mengetahui lebih banyak mengenai dirinya dan masa lalunya. Ada sesuatu yang terjadi di masa itu, sesuatu yang membuat Bella tidak mengingat apapun karena ..."Sayang?" Suara lembut istrinya membangunkan lelaki itu dari tidur siang sejenak. Ilham mengucek sebelah matanya. Sebenarnya dia tidak tertidur sejak tadi, melainkan sibuk berpikir tentang rencana selanjutnya. Mereka tidak mungkin terus berada di sini sementara di Istana, semua sedang berperang memperebutkan tahta.Termasuk p
"Ma-maksudmu?" Kedua alis Bella menyernyit dan manik mata coklatnya membulat. Diamatinya wajah pria di depan wajahnya itu, namun pikirannya tanpa sadar malah mengagumi wajah indahnya. Dia menggeleng samar.Ilham mengeluarkan nafas pendek, "Tidak." Seperti sedang menyimpan pemikiran itu di dalam dirinya sendiri, dia mengalihkan perhatian Bella ke jendela kamar yang menghadap ladang yang gelap."Lihat!" Katanya seraya membentangkan jemari tangan, "Kita berada di desa terpencil, lebih terpencil daripada kampung rumahmu dulu, Bell!"Bella sedikit mendengus, "Apa maksudmu?" Gumamnya, namun segera melepaskan tawa ringan. Dia sebenarnya sangat senang diajak kembali ke tempat sederhana seperti ini. Semua rumah di sini saling berjauhan dipisahkan oleh ladang yang berhektar-hektar."Terima kasih telah membawaku ke sini." Katanya membalas tatapan Ilham dengan sungguh-sungguh, "Akhirnya aku bisa merasakan kehidupan normal lagi."Ilham terbahak mendengarnya, "K
"Aku merasakan sesuatu yang tidak beres. Bukan, bukan hanya gerakan para saudara yang mencurigakan. Tetapi, lebih tepatnya sesuatu yang telah lama sekali disembunyikan oleh Kerajaan ini. Apa itu?"Bella menuliskan keluh kesahnya di selembar buku harian. Buku berukuran setelapak tangan yang selalu dibawanya kemana saja. Terselip di saku baju, tas, atau bahkan ditentengnya dalam tas kecil saat bepergian.Karena dia tidak begitu pandai mengungkapkan perasaan, termasuk dalam bentuk tulisan. Hanya coretan-coretan kecil yang dia isi di dalamnya. Tetapi, cukup menjadi petunjuk dan penenang kala sesuatu yang tidak diduga atau mengganggunya terjadi. Seperti saat ini.Ditutupnya buku kecil itu, disembunyikan dibalik selipan nakas sambing ranjang dan lekas tertidur di samping suaminya yang telah terlelap sejak tadi.Bella memang masih sangat muda dan inosen untuk memegang tampuk kekuasaan. Tetapi, firasat dan intuisinya mengatakan bahwa dia cukup p
Bella terdiam. Menutup lembaran majalah di tangannya dan bangkit menegakkan punggung. Seorang pelayan yang berdiri di dekatnya sampai memperhatikan gerakannya yang memindahkan telepon ke lain sisi."Ya?" Sahutnya sedikit tertahan, namun juga penasaran apa yang terjadi pada anak itu selepas semua kejadian ini? Apakah Aiko akhirnya sadar bahwa kelakuannya berbahaya untuk dirinya sendiri? Haruskah aku benar-benar menghukumnya jika dia kembali ke sini? Pikir Bella."Apakah aku mengganggumu?" Tanyanya."Tidak." Bella menjawab malas.Ingin cepat-cepat mengakhiri sambungan dan mengatasi anak satu itu. Kenangan lama yang sangat kelam selalu mencari celah di hatinya untuk membuat dia terjatuh, dan celah itu akan selalu terbuka manakala sosok Aiko muncul.Betapa Bella benci itu!"Ehm," Aiko tidak berada di depan matanya, namun senyum jahatnya seolah terlihat jelas sekarang, "Rencananya aku akan kembali ke Negeri Mulia untuk masuk ke kampus baru. Aku a
Hari baru beranjak siang kala kawanan burung dari selatan terbang melewati angkasa, di bawahnya hamparan padang hijau dan kebun bunga bermekaran, mengelilingi rumah yang damai nan sepi.Sinar matahari yang menerobos dinding kaca menciptakan kesan eksotis dan elegan bagi Bella yang terbangun diatas ranjang dengan kelambu minimalis. Ilham yang memesannya langsung dari perusahaan furnitur ternama, agar menyamakan dengan desain kamar Sang Ratu di Istana Wheels."Pagi yang indah, Sayang!" Sambut suaminya yang sedang duduk di tepian dan memandangi dengan kagum.Kecantikan Bella memang tiada duanya! Itu adalah kecantikan yang diturunkan dari garis dua Kerajaan. Sampai-sampai Ilham itu bersyukur dengan kepribadian penyendiri Bella yang tidak lantas membuatnya dikerubungi lelaki-lelaki busuk."Huahhhm!" Bella menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya dan beringsut menaikkan selimut lagi."Bangunlah." Ilham menggoyangkan lengan kecil itu seraya tertawa k
Tiba-tiba wajah itu muncul dari balik pelindung kepala seorang pengawal Ratu. Semua orang seketika terkejut, terbangun, dan bersiaga penuh.Dia adalah Pangeran Kedua!Bagaimana bisa dia selama ini berada di samping Sang Ratu, sementara tidak ada seorangpun yang menyadari keberadaannya? Bella sendiri langsung bergerak mundur ke belakang Ilham yang langsung memasang badan. Suaminya hendak menarik pedang di sisi kiri, meski dia tentu saja belum mahir menggunakannya.Sekedar gertakan untuk mengesankan kekuatan disaat terdesak itu perlu! Pikir Ilham menajamkan kedua alisnya."Berhenti disitu!" Balas Kazem, ikut melayangkan ujung pedangnya di depan wajah Pangeran Kedua yang membelalakkan mata kepadanya."Be-beraninya kau, pelayan rendahan!" Maki Pangeran Kedua dalam gumaman kerasnya saat mencoba menghindar secepat kilat."Yang Mulia mendiang Raja telah mewasiatkan kami untuk mengangkat Ratu pertama di Kerajaan ini!" Kazem berseru ke arahnya.
"Jam berapa dia akan tiba?" Bella bertanya dengan suara lemah. Dirinya telah terbaring selama beberapa jam terakhir di ranjang, sementara para pelayan mengelilinginya. Mereka semua bersiaga, demikian juga para pasukan khusus di depan gedung. Beberapa jam lalu ... Duagh! Bella terjatuh saat hendak turun dari helikopter. Hal itu dikarenakan suasana yang sangat mencekam kala pasukan Pangeran Kedua telah bergerak ke arah gedung pencakar langit yang dia tuju. Membuatnya panik dan kalang kabut. Lutut dan tulang keringnya terluka parah, sehingga dia langsung dilarikan ke suatu kamar yang paling aman di puncak gedung tersebut oleh tim medis. Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh pihak yang lain dan timnya menjaga ketat informasi ini dari siapapun, apalagi media. Rakyat hanya mengetahui bahwa calon Ratu tetap dalam keadaan selamat dan baik-baik saja. Bella berusaha menggerakkan kakinya agar tidak menjadi kaku dan semakin parah. Besok, jika se
Sambungan diangkat.Pada awalnya terdengar riuh dari jauh, lalu suara seorang pria yang tegas menyahutnya, "Apakah ini dengan Tuan-""Dimana Bella?" Ilham langsung memotong, "Apakah dia baik-baik saja??" Dia yakin yang kini memegang ponsel itu adalah salah satu ajudannya."Ya, beliau baik-baik saja." Ajudan itu menyahut lagi, "Ada pesan yang harus saya sampaikan kepada Anda, Tuan. Bahwa Anda harus datang ke Istana besok siang untuk menemui Yang Mulia."Kalimat itu menjalar bagai rambatan listrik dari tangan hingga ke kepala Ilham. Bella memintanya untuk datang besok?? Apakah itu artinya ... dia diterima?? Semoga saja!Ilham merasa lega, sekaligus senang bukan kepalang. Namun, dia berusaha keras untuk menahannya.Sementara Gerry terus menguping tepat di samping ponselnya tanpa mengerti satu katapun. Yang Mulia? Istana? Apa yang sebenarnya orang aneh ini sedang bicarakan?"Baik!" Ilham segera menjawab, lalu sambungan dimatikan. Tut. Tut