Nemesis?Butuh beberapa waktu untuk memahami maksud ucapan Brianna. Dira menatapnya lekat tanpa mengalihkan pandangan sekalipun dari wanita itu.“Jadi kau yang melakukannya,” ucap Dira setelah mencerna maksud dibalik kata-katanya. “Pesan bertuliskan ”Keadilan akan datang” itu dikirim olehmu,” lanjut Dira. “Dan inisial N itu berarti Nemesis. Kenapa kau melakukannya? Keadilan seperti apa yang akan datang?”Kepala Brianna bergerak ke satu sisi, senyumnya angkuh nyaris terkesan meremehkan.“Mata dibayar mata, darah dibayar darah dan nyawa dibalas nyawa. Pernah mendengar kata-kata itu? Aku yakin kau tidak sebodoh itu sampai tidak bisa memahami artinya.”Langti di luar sana semakin gelap. Waktu terus berlalu. Seharusnya malam ini semua orang bersenang-senang, tapi rupanya hal itu tidak berlaku untuknya. Dira menatap Brianna yang terlihat puas dengan dirinya sendiri sambil bertanya-tanya, sejauh apa permainan ini akan berlangsung?“Aku tidak pernah mengambil darahmu kalau itu yang kau maksud
Dira mundur perlahan dengan napas terengah, tubuhnya gemetar bukan karena takut pada ancaman yang mengelilinginya, melainkan karena kecemasan yang menggumpal di dadanya.—Noah. Apa Brianna melakukan sesuatu pada putranya? Ia sungguh berharap kalau ucapan wanita itu hanya ancaman belaka, tapi ia sudah melihatnya, luka dan juga dendam yang dimilikinya begitu besar hingga Dira ragu apakah wanita itu masih memiliki rasa kasihan dalam dirinya. Noah seharusnya aman bersama Eri. Ia dan Ethan sudah menyembunyikan mereka di tempat aman, tapi apa itu cukup? Bagaimana jika Brianna tahu di mana menemukan putranya? Pertanyaan itu terus berulang di benaknya, menciptakan rasa sesak yang hampir membuatnya tak bisa bernapas. Sementara itu, para pria bertubuh tegap yang dikirim Brianna mulai bergerak mendekat. Mereka seperti bayangan gelap yang perlahan merayap, menciptakan ketegangan yang begitu pekat di udara. Dira bisa merasakan tatapan dingin mereka yang tajam, seolah hanya menunggu perintah untuk
Dira dan Ethan menerobos masuk ke kamar putra mereka, napas tersengal-sengal oleh kecemasan yang terus menggerogoti. Mata Dira langsung menyapu ruangan, mencari sosok kecil yang seharusnya ada di sana. Namun, yang mereka temukan hanyalah kasur kosong dan mainan yang berserakan di lantai. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Noah. “Di mana dia? Di mana Eri?” suara Dira terdengar bergetar, hampir seperti bisikan yang tercekik di tenggorokan. Matanya bergerak liar, seolah berharap Noah akan muncul begitu saja dibalik tirai. “Noah!” Ethan merasakan tubuhnya menegang, pikirannya berpacu mencari jawaban. Seharusnya ada penjaga di luar. “Penjaga itu… mereka semua menghilang,” gumam Ethan, lebih kepada dirinya sendiri. Sialan, Brianna sudah memikirkan segalanya dengan matang. Dira meraih lengan suaminya, wajahnya tampak pucat. “Kita harus menemukannya Ethan. Kita harus menemukan Noah sekarang,” serunya panik, mencengkeram kemeja Ethan. Air matanya mengalir deras. Belum sempat mereka berger
Ethan berdiri di luar ruang rumah sakit tempat Dira dirawat. Suasana di sekitar rumah sakit terasa begitu sepi, begitu pekat dengan aroma kesedihan. Ethan berkali-kali mengusap belakang kepalanya, merasa lemah sekaligus frustrasi. Perasaan kosong dalam dirinya begitu menguasai. Duka karena kehilangan putranya menggegogoti jiwanya. Ia sungguh berharap semua tragedi ini hanya mimpi buruk, tapi aroma obat-obatan dan tubuh Dira yang masih terbaring di rumah sakit dengan keras menamparnya, menariknya pada realita yang sama sekali tidak siap ia hadapi. Di hadapannya, dua polisi berdiri tegak, wajah mereka tampak serius saat memeriksa dokumen dan mencatat keterangan dari Ethan. Polisi pertama, seorang pria paruh baya, bertanya dengan lembut, berusaha tidak menambah beban berat yang harus ditanggung Ethan. “Saudara Ethan, kami telah menemukan bukti yang cukup kuat mengenai keterlibatan Brianna dan Eri dalam kejadian ini. Mereka akan segera ditangkap. Segera, kami akan menetapkan mereka dala
Seolah mendengar pertanyaannya, tiba-tiba tubuh Dira bergerak pelan. Kelopak matanya bergetar, sebelum akhirnya terbuka perlahan. Ethan segera bangkit dari kursinya, mendekat dengan hati-hati. “Dira…” panggil Ethan lembut, menahan napasnya sejenak, menatap Dira penuh harap. Dira menoleh perlahan ke arah suara itu, wajahnya terlihat bingung dan lemah. Dia mengerjap beberapa kali, berusaha memahami di mana dia berada. Pandangannya menyapu ruangan putih itu, hingga akhirnya bertemu dengan wajah Ethan yang menatapnya dengan wajah campuran rasa lega dan kecemasan. “Ethan…” bisik Dira pelan, suaranya serak. Ethan yang tidak bisa menahan kelegaan yang menyelubunginya menunduk untuk mencium kening istrinya. Setelahnya ia mendaratkan kecupan singkat di bibir tipis Dira yang dingin. “Aku mencemaskanmu,” bisiknya parau. Dira menoleh, terlihat bingung, seolah pernyataan Ethan terlalu sulit untuk dicerna. Tautan alisnya menyatu. “Kenapa aku di rumah sakit? Bagaimana dengan pesta pernikahan
Pagi pertama di Hallstatt terasa begitu tenang. Udara dingin menusuk kulit, namun keindahan tempat itu seolah menghangatkan hati Dira. Senyum simpul bermain di wajahnya mana kala sepasang visual tajamnya menatap lurus ke depan. Ia berdiri di balkon rumah mereka, memandangi pemandangan menakjubkan di depannya. Danau yang tenang memantulkan bayangan pegunungan berselimut salju, sementara rumah-rumah bergaya tradisional Austria berdiri anggun di sekelilingnya. Perjalanan selama 7 jam lebih terbayarkan dengan keindahan yang menyambut mereka. Rumah mereka terbuat dari kayu dengan jendela besar yang menghadap langsung ke danau. Dira menyentuh bingkai jendela, merasakan tekstur kayu tua yang kokoh. Ada sesuatu yang menenangkan dari tempat ini—seolah membawa kehangatan meski berada di tengah dinginnya musim salju. “Indah sekali,” gumamnya tanpa sadar. Keindahan tempat ini tak terbantahkan, tapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa janggal. Mengapa mereka tiba-tiba pindah ke sini? Ethan pri
“Leo, pastikan dia tidak pernah hilang dari pandanganmu. Sekali aku menemukannya, aku tidak akan melepaskannya dan saat itu terjadi, kau tahu apa yang akan kulakukan. Aku tidak akan meminta izinmu untuk itu.” Ethan memastikan poselnya tepat saat suara Dira terdengar. “Aku mau keluar.” Ethan menatap keluar lewat jendela besar rumah mereka. Ketidaksetujuan terang-terangn terlihat di wajahnya yang tampan dan mulai ditumbuhi rambut halus. “Suhu di luaran saat ini -4°C, Dira. Kau akan membuat dirimu sendiri kedinginan.” Dira mengikuti arah pandang Ethan. “Ini bukan musim dingin pertamaku, Ethan. Aku bisa menghadapinya. Ingat, aku pernah mengalami yang lebih buruk dari ini.” “Kau baru keluar dari rumah sakit, Dira. Aku tidak mau kau sakit dan jangan coba-coba me—“ Ethan belum menyelesaikan kata-katanya saat Dira berlari keluar dengan tawanya yang renyah. Ia melemparkan tatapan penuh arti pada Ethan sebelum menarik pintu dan menutupnya. Ethan mendesah panjang, memilih untuk menyerah.
“Ethan, kita baru saja sampai di tempat ini. Kita tidak bisa pergi begitu saja,” ujar Dira begitu mereka masuk ke dalam rumah. “Sebenarnya bisa. Kita hanya perlu naik kapal feri, pergi ke stasiun Hallstatt Bahnhof lalu ke stasiun Attanang yang akan membawa kita ke Wina setelah itu—“ “Aku tidak mau dengar!” potong Dira sambil menutup telinga dengan kedua tangannya. Matanya melebar karena kesal. “Sebenarnya apa yang salah? Sebelumnya kita baik-baik saja di tempat ini, lalu tiba-tiba kau ingin pergi dari sini. Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada menyelidik. Keinginan untuk pergi secepatnya dari tempat ini terasa menggelikan. Dorongan apa yang mendasari keinginan itu? Dira berusaha mencari alasannya dan satu-satunya kesimpulan yang bisa ia dapatkan adalah… “Apa ini karena anak-anak itu?” tebaknya. Ethan berubah setelah bertemu anak-anak tadi, tapi tidak mungkin itu alasannya 'kan? Ethan memunggunginya. Suaminya yang tampan dan misterius kini sedang berkutat dengan laptopnya.
“Dahulu kala ada seorang pangeran yang tinggal di sebuah kastil mewah.” “Apa dia tampan Daddy?” Ethan menahan senyumnya. “Ya, dia tampan. Sangat tampan. Hari-harinya dipenuhi dengan kegiatan istana yang sangat membosankan. Dia kesepian, tapi tidak seorang pun yang tahu perasaannya.” Leandra mengerjap-ngerjap dengan penuh rasa ingin tahu. “Lalu, apa yang terjadi, Daddy?” “Pria itu memutuskan untuk berpetualang. Dia pergi tanpa memberitahu siapapun. Melakukan perjalanan panjang melewati samudera, menikmati setiap detiknya, tapi pangeran itu tetap saja kesepian.” “Apa dia pulang?” Ethan menggeleng. Ia memperbaiki selimut putrinya. “Tidak, dia tidak pulang, glyko mou. Dia meneruskan perjalanan, tapi pangeran itu memutuskan untuk berhenti. Dia butuh istirahat.” Theo yang sejak tadi hanya menjadi pendengar akhirnya bersuara. “Lagi, Daddy.” Ethan mengelus rambut halus putri kecilnya. “Keajaiban terjadi saat pangeran itu melakukan kesembronoan. Dia membuang sampah sembarangan. Saat it
Lima tahun kemudian, Dira menatap putri kecil mereka Leandra sedang bermain pasir bersama ayahnya. Di samping keduanya, seorang bocah kecil berusia 4 tahun tampak diam mengamati. Mata cokelatnya yang tajam dan awas seperti sedang menilai setiap gerakan yang dilakukan oleh Kakak dan Ayahnya. Dira yang melihatnya merasakan dadanya membengkak oleh perasaan bahagia yang tak terungkapkan. Kebahagiannya, kini berada tepat di hadapannya, seperti sebuah potret abadi yang tak ternilai. Dira melilitkan pareo di sekitar pinggangnya sebelum akhirnya menghampiri keluarganya. Ketiganya begitu larut menikmati aktivitas membuat istana pasir hingga keberadaannya sama sekali tidak disadari. Dira ikut berjongkok, mencium puncak kepala Leandra dan Theo bergantian. Leandra yang memiliki warna mata persis seperti yang dimiliki oleh Ethan menatapnya berbinar. “Mommy! Lihat, kami berhasil membuat istana pasir.” “Oh iya! Siapa yang paling banyak berkontribusi?” Leandra menepuk dadanya dengan bangga. The
Ethan tertawa sebelum akhirnya menyuapkan saus itu ke mulutnya. Dira mencecap rasa creamy alpukat yang lembut, berpadu sempurna dengan sedikit perasan lemon. “Bagaimana?” tanya Ethan. “Kalau kau membutuhkan pekerjaan katakan saja. Toko rotiku pasti akan menemukan tempat untukmu.” Ethan menyeringai. “Mungkin aku akan mempertimbangkannya.” Lima belas menit kemudian pasta buatan Ethan sudah siap disantap. Dira dengan penuh semangat mulai melahap makanannya. Dira baru saja menyuap satu sendok ketika gelombang rasa panas menyambar tubuhnya. Bukan panas biasa, tetapi sensasi teramat kuat yang membuat sendok di tangannya terjatuh dengan bunyi cling yang nyaring. Gelombang nyeri menjalar dari punggung bawahnya, menusuk hingga ke perut. Ia meringis, tangannya mencengkeram tepi meja. “Ethan…” suaranya mulai goyah. Ethan langsung menghampirinya dengan wajah tegang. “Kenapa? Apa yang sakit, Angel?” Dira mencoba menarik napas dalam. “Mungkin cuma kontraksi palsu…” Namun, belum sempat ia me
Dira memejamkan mata, menikmati sapuan angin yang membelai kulit wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Ia melakukannya selama beberapa kali dan dalam proses itu senyum sama sekali tidak pernah meninggalkan wajahnya. Ketenangan dengan cepat merasuk dalam dirinya. Sepasang lengan kokoh memeluknya dari belakang, membelai perutnya yang sudah membesar. Dira memiringkan kepalanya sedikit, memberi akses lebih mudah saat Ethan mendaratkan kepala di bahunya. “Apa yang kau lakukan?” tanya Ethan lembut di telinganya. “Menikmati pemandangan. Kita jarang ke tempat ini padahal laut ini tepat di depan rumah,” desahnya lambat. Dira menundukkan pandangan, menatap tangan Ethan yang sekarang sedang mengelus-ngelus perutnya dari balik gaun tipisnya. “Aku tidak sabar menunggu kedatangan Dut-dut.” “Aku juga,” balas Dira, menyandarkan tubuhnya pada Ethan. Memasuki usia kehamilan 36 minggu, dokter mengatakan dalam beberapa minggu ia akan melahirkan. Sejak saat itu
Ethan berdiri terpaku di depan toko peralatan bayi seperti orang tersesat, matanya menyapu setiap sudut etalase yang dipenuhi berbagai barang berwarna-warni untuk kebutuhan bayi. Meski sudah membaca buku tentang kebutuhan bayi dan mencaritahu segalanya, ada perasaan aneh yang merayap dalam dirinya. Perasaan yang sulit ia definisikan—campuran antara keterkejutan, antusiasme, dan sedikit kegugupan, merasa seolah memasuki dunia yang benar-benar asing. Sekilas, ia melihat anak kecil yang sedang merengek dan meraung pada orang tuanya sambil menunjuk-nunjuk barang yang ada di etalase. Dulu pemandangan itu pasti membuatnya bergidik dan menjauh. Sekarang… ia tidak sabar untuk menghadapi situasi yang sama. Tanpa sadar sudut mulutnya terangkat. “Ethan?” Suara Dira menyadarkannya. Istrinya menatapnya dengan alis bertaut, mungkin heran melihatnya hanya berdiri di sana tanpa bergerak. Ethan mengangkat bahu, lalu meraih keranjang belanja. “Ayo masuk dan membeli semua yang dibutuhkan Dut-d
“Aku mencintaimu.” Kedua kelopak matanya terangkat, sebentuk senyum tipis terukir di wajahnya yang cantik. Ia mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan sepasang mata sebiru kristal yang paling ia sukai di dunia ini. “Kau bilang apa?” tanyanya serak, khas orang baru bangun tidur. Dira mengangkat sedikit kepalanya, menggunakan lengan Ethan sebagai bantal saat menunggu pria itu bersuara. Tentu saja ia mendengar apa yang dikatakan Ethan, ia hanya suka mendengar kata-kata itu keluar dari bibir suaminya. Ethan mendekat, menempelkan hidung mereka. “Aku mencintaimu, agape mou.” “Sekarang lebih mudah bagimu mengatakannya, ya ‘kan?” Ethan tertawa rendah. Memang, rasanya jauh lebih mudah mengatakannya sekarang. Setelah apa yang mereka lalui, rasanya penting mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Ketakutan itu masih ada, jauh bersembunyi dalam dirinya, tapi sekarang jauh lebih mudah menghadapinya setelah semua yang terjadi. Setelah menyadari bahwa cinta sungguh bisa memberikan kekuatan ya
Dira menyeringai, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada foto yang ada di dekat komputer suaminya. Foto pernikahan mereka—atau lebih tepat disebut pembaruan janji pernikahan. Mereka melakukannya di sebuah pulau kecil. Ia mengenakan gaun koktail sederhana sementara Ethan mengenakan celana selutut dan kemeja yang lengannya digulung sampai di atas siku. Benar-benar sederhana, tapi hari itu menjadi salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupnya. “Aku suka foto itu,” komentarnya. Ethan mengikuti arah pandang istrinya. “Aku juga, terutama karena setelah itu aku membuatmu tidak mengenakan apa pun selama berhari-hari,” balasnya bangga, menunjukkan seringai nakalnya. Dira tertawa. “Kau membuat bikiniku rusak, sekalian saja tidak usah memakainya.” Ethan menarik lembut lengan istrinya dan membawanya duduk di atas pangkuannya. “Ethan! Menurutku kau tidak bisa melakukannya. Aku pasti sangat berat sekarang.” Ethan mengabaikannya. “Menurutmu, berapa peluang yang kudapatkan untuk membuatm
Dira berdiri di tengah ruang utama Flour & Figs sambil tersenyum tipis, matanya mengamati setiap sudut toko dengan seksama. Aroma kayu yang masih baru bercampur dengan wangi lembut vanilla dari lilin aroma terapi yang sengaja dinyalakan untuk memberikan kesan hangat. Dinding kaca besar di sisi kanan toko memberikan pemandangan langsung ke arah laut yang membentang luas, dengan ombak tenang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Rak-rak kayu yang dipasang di sepanjang dinding telah tertata rapi dengan toples berisi aneka kue kering dan roti. Meja-meja bundar kecil dan kursi anyaman ditempatkan di dekat jendela, menawarkan tempat duduk yang sempurna bagi pelanggan yang ingin menikmati kue dan minuman sambil menatap hamparan laut. Beberapa tanaman hijau dalam pot keramik tersebar di beberapa sudut, menambah nuansa alami dan menenangkan—konsep yang sejak dulu ia inginkan. Dira berjalan perlahan ke arah dapur, tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang mulai membuncit. Kehamilann
Dira berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumah mereka sambil mengigit jarinya. Sudah dua jam berlalu, tapi sampai sekarang Ethan belum juga menghubunginya. Kenapa Ethan belum menghubunginya? Ia sudah mencoba menghubungi suaminya, tapi hasilnya nihil.Mungkin Ethan terlalu sibuk sampai tidak lupa waktu? Atau mungkin saja sinyal membuat sambungannya tidak terhubung.“Ma’am.”Sapaan itu hampir membuatnya melompat. Ia menghela napas, menatap pengurus rumahnya. “Ada apa, Marta?”“Ma’am ada Riko di depan pintu, katanya ingin menemui Anda. Ini mendesak.”Untuk apa sekretaris Ethan ingin menemuinya? Mengabaikan gemuruh yang berdentam dalam dadanya, Dira bergerak cepat untuk menemui pria itu. Riko berdiri di ujung pintu, tampak seperti orang tersesat. Wajahnya pucat dengan kedua tangan yang terlipat seperti orang yang sedang berdoa.Dira menarik kepalanya, berusaha melihat ke belakang pria itu, dan ia tidak melihat keberadaan Ethan.“Riko.”Pria itu membelalak, terkejut karena kehadirannya ya